Kaskus

Story

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:



Quote:



Quote:


Quote:


PROLOG

i.


Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.



Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis. 



ii.

 

Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.



Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.



Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.



Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu. 



Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.



“Toilet,” balasku singkat.



“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.



“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”



“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya



“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“Untuk melamar kerja?”



“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudmu dengan kita?”



“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”



“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”



“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.



“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.



“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



“Sialan kau mengerjaiku.”



“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.



Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
pintokowindardiAvatar border
pulaukapokAvatar border
aripinastiko612Avatar border
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread1Anggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#32
BAB VIII Part 2 - Warisan Sesungguhnya

ii.

Tidak ada yang lebih mengherankan saat kau mengetahui ada ruang bawah tanah seluas ini di bawah kasurmu yang kau tiduri setiap hari. Terdengar klise, tentu saja, tapi kenapa harus dibuat seperti brankas bawah tanah seperti ini.

“Apa kau tahu kenapa Dito membuat tempat ini?” tanyaku penasaran.

“Sebenarnya dulu bangunannya tidak seperti ini … yang jelas Dito itu saat masih kecil sangat suka sekali dengan Batman,” jelas Ardi.

“Itu menjelaskan semuanya,” kataku.

Tanganku meraih kedua buah golok yang terpampang di depan wajahku, menggenggamnya pada masing masing kedua tanganku. Kesan pertamaku adalah ringan, keren, bening sekali. Pada bagian bilahnya aku bisa menatap pantulan mataku sendiri yang berwarna coklat hitam, pada bagian gagangnya dibuat dengan ikatan tali berwarna hitam yang tergulung rapi dari bawah hingga pas di ujung gagang, menyisakan sedikit tali yang tersisa di ujungnya. Bentuknya dari bagian pangkal hingga tengah terlihat sangat padat, dan bagian ujungnya dibuat meruncing dengan sedikit kesan terpotong kecil di bagian atasnya, tidak seperti golok yang biasa aku temukan dengan bagian membulat pada ujungnya.

Pandanganku memperhatikan setiap gerigi yang terbentuk pada bagian punggung golok ini, kesan survival yang ditanam membuatnya semakin gagah. Dan bagian terakhir yang membuatku terkesima adalah ukiran keris terpecah belah pada bagian pangkalnya, terukir rapi pada kedua sisinya. Hingga terlalu lama aku menatap benda keren ini, tiba tiba terasa seperti ada sesuatu yang bisa kutekan pada pegangan di area telunjukku, keduanya mempunyai hal yang sama.

“Ardi … ada sesuatu yang aneh di bagian pegangannya, di bagian telunjuknya,” keluhku.

“Itu … nanti Dito saja yang beritahu,” jawab Ardi menghindar. “Oh iya … tolong hubungi Dito sekarang!”

“Sebentar dulu lah, baru megang,” ucapku kesal sambil kembali meletakan kedua golok pada tempatnya kembali. Jari jariku kemudian menghubungi kembali Dito. Kemudian kuoper panggilannya ke smartband Ardi, aku tidak mau bicara dengannya sebentar.

Tangan Ardi bergetar, ia lalu menjawab teleponnya dan bicara dengan Dito. “Halo Dito … Ah … sudah … kapan kita bergerak lagi … baiklah satu minggu dari sekarang. Hei Jaya … Dito ingin bicara pada kau,” ucap Ardi sambil mencabut earphonenya dan menyodorkannya padaku.

“Halo halo …”

“Hari ini kau pergi ke pemakamanku siang ini nanti!” perintah Dito.

“Hah ... “ mataku langsung sipit sebelah mendengarnya.

“Nadya sudah berada di rumah saya, rumah pribadi, sepuluh menit lagi akan ada jemputan dari rumah kau, jadi ambil semua senjata itu sekarang lalu berganti pakaian, kalau bisa serba hitam, tapi saya tidak melarang kalian makai kaos warna warni kalau mau coba,” papar Dito dan langsung mematikan teleponnya.

“Ini orang apa di matanya cumang ada tombol matiin telepon doang yak,” ucapku resah.

Ardi terkekeh kecil mendengarku.

“Diam kau … sepuluh menit lagi kita akan dijemput,” aku sampai tidak sengaja melemparkan kekesalan ku pada Ardi.

“Santai santai … pertama pakai dulu rompi yang ada di loker bawah, lalu ambil semua senjatanya,” tutur Ardi berusaha menenangkanku.

Benar saja, ada semacam sela sela di bagian bawah meja ini yang saat kutarik berisikan rompi hitam dan juga sarung tangan di sebelahnya, tanpa banyak tanya langsung saja kupasangkan rompi itu pada badanku,. Rasanya tidak terlalu ketat, juga tidak kelebaran, pas sekali, menutupi seluruh bagian badan depan dan belakang sampai pergelangan siku. Pada bagian punggung aku bisa merasakan adanya benda keras yang saat kusodorkan badanku ke depan dan belakang tidak membuat badanku kaku sama sekali. Membingungkan sekaligus keren dengan badan bidangku yang cukup tampak menggunakan rompi ini.

Tidak lupa juga aku memakai sarung tangan di depan mataku. Terlihat banyak seperti pori pori kecil pada permukaannya, rasanya cukup kaku tapi nyaman dan tidak panas sama sekali, mungkin itu fungsi lubang kecil kecil itu. Tidak selebar yang kukira saat dipasang, dan rasanya seperti sarung tangan motor yang cukup tipis.

“Oh iya … rompi itu berfungsi sebagai baju pelindung, bahkan katanya bisa menahan peluru, tapi aku tidak pernah mengetesnya. Kalau tidak salah sarung tangannya juga, aku pernah menangkap pedang dengan menggunakan sarung tangan itu tanpa terluka,” jelas Ardi.

“Lalu dimana aku menaruh golok dan pisau … maksudku wedhung ini?”

“Di bagian punggung terdapat magnet di dalam rompinya, kau tinggal taruh saja goloknya di punggungmu dan dia akan menempel sendiri,” jawab Ardi.

Tanganku kemudian perlahan meletakan sebuah golok di belakang punggungku dan langsung saja golok itu tertarik dengan sendirinya oleh magnet tersebut, lalu kemudian kulakukan hal yang sama pada golokku satunya lagi, rasanya sedikit ada yang bergoyang sendiri saat benda itu menempel.

“Lalu wedhungya?”

“Dua buah taruh di bagian lengan dan dua buah lagi di bagian atas pinggang sedikit.”

Wedhung ini tidak memiliki gagang pegangan seperti goloknya dan hanya langsung gagang besi yang dibuat uliran untuk pegangan tangan. Dan dengan bunyi suara klep, menunjukan kalau belati ini telah menempel dengan erat pada semua bagian rompi ini. Benar benar rasanya seperti seorang pembunuh.

“Kenapa aku tiba tiba merasakan perasaan murung,” ungkap Ardi.

“Ah … apa benar kita akan membunuh seseorang dengan semua ini … maksudku, kenapa kita harus seperti ini, apa ayahku juga seperti ini dulu?” gumamku.

Ardi menoleh ke arahku, kemudian dia meraih punggungnya, tidak , dia menggenggam pedangnya, mengangkatnya dengan satu lengan dan tanpa aba aba dia saat itu langsung mengayunkannya ke arah wajahku. Tubuhku bergerak sendiri, memasang kuda kuda dan menangkap tebasan itu dengan kedua tanganku, kepalaku merunduk, tidak bisa berkata apa apa lagi saat detik itu juga untuk merespon tindakannya. Hanya menatapnya dengan mata terbuka lebar sambil menelan ludah, benar benar di luar dugaan dan sangat berbahaya.

“Orang yang menang tahu kapan untuk bertarung dan kapan untuk menurunkan senjatanya. Aku tidak berharap untuk berperang, kita semua disini sedang bertahan untuk hidup kita masing masing. Sama seperti yang kau lakukan sekarang ini,” ucapan yang keluar dari mulutnya, tidak mengomentari perkataanku tadi, dan hanya langsung menyerangku baik fisik maupun batinku secara langsung.

Aku melepas cengkraman ku, tertunduk malu dan tidak berkata apa apa lagi, menyesal dan bingung sedang menyelimuti, dan mengingat betapa bodohnya aku berkata begitu di saat salah satu dari kami hampir kehilangan nyawanya. Seharusnya aku banyak belajar untuk tidak banyak berpikir.

“Ayo kita keluar dari sini segera,” ujar Ardi, lengannya kemudian menarik kembali pedangnya dan menggenggamnya kembali seperti sebuah tongkat.

Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang, tidak berkata apa apa sama sekali dan hanya tertunduk sambil mengikuti langkahnya. Kemudian dia berhenti di sebuah tembok dan menekan sebuah tombol persegi pada bagian tengah tembok tersebut. Cahaya lampu kuning adalah hal yang pertama kali masuk ke mataku, menatap ke langit langit dan memperhatikan sekitar, banyak sekali peralatan seperti kunci besar dan dan juga gergaji dan alat mekanik tergantung di tembok, jalur keluar ini tersambung ke arah garasi.

Sebuah mobil sedang kecil berwarna kuning mengkilap berada di hadapanku, dan juga sepertinya sebuah motor yang tertutupi oleh selimut, dan selimut itu pula terselimuti pula oleh debu, sepertinya motor itu jarang sekali digunakan dan sepertinya tidak digunakan sama sekali.

Ardi perlahan melangkah ke pintu samping garasi, pintu berteralis besi yang melindungi garasi rumah ini, terutama mobil kesayangan Dito sebelum meledak.

Matahari siang yang menyengat membuatku merasa terbangun kembali dari rasa sedihku. Tanganku mengepal erat erat dan sekarang marah akan kekonyolan dan pikiran bodohku sendiri, aku tidak mau menjadi korban selanjutnya dan sekarang ini adalah saat membuktikan kalau aku bukan pecundang lagi yang baru lulus kuliah kemarin, aku akan berusaha menjadi pria yang meneruskan perjalanan keluargaku ini.

Suara klakson mobil muncul dari depan gerbang, jemputan kami sudah sampai. Tanganku menapakan dirinya pada punggung Ardi dan mengantarkannya ke mobil perlahan. Entah kenapa saat aku menoleh sedikit ke wajah Ardi, dia menampakan seringai kecilnya padaku, dia merasa puas dengan kata katanya tadi sepertinya.



iii.

Cuaca mendung menyelimuti area pemakaman, banyak sekali orang orang berpakaian hitam datang dan mengerumuni pemakaman Dito, berapa banyak orang yang dikenal olehnya membuatku terpukau dengan koneksinya, padahal melihat sifat konyolnya itu saja sudah membuatku muak.

Aku dan Ardi berada di barisan belakang, sementara Nadya dan seorang wanita lagi disampingnya berada persis berdiri di depan makam kakaknya itu. Pakaian hitam dari atas hingga ke bawah dan juga sambil mengenakan topi yang lebar, menutupi wajahnya yang aku mungkin mengira dibaliknya itu terdapat air mata buaya ataupun malah menahan tawa, tapi saatnya sekarang adalah waktunya berkabung bagi kami. Namun wanita yang disampingnya itu sedang memeluk Nadya dengan erat dari awal pemakaman hingga peti mati itu dikuburkan

Dari kejauhan aku bisa melihat cukup banyak karangan bunga yang berbaris mengiringi sepanjang jalan, entah dari perusahaan hingga ke masing masing keluarga yang memberikan bunga tersebut. Kembali mengingat erita Ardi, jika dipikir pikir Dito sepertinya benar benar membuat perusahaan milik ayahnya ini berkembang hingga namanya bisa dikenal oleh banyak orang seperti ini. Sukses dan kharismanya yang mengantarkannya sejauh ini, tapi dimataku dia tetap brengsek.

Para pelayat kemudian berjalan bepergian satu demi satu, meninggalkan beberapa orang yang tersisa mendekati makam Dito, langkah langkah kecil yang berjalan pergi bersamaan dengan jelasnya penampakan wajah orang orang yang sepertinya setia menemani Dito hingga akhir.

Yang menarik perhatianku saat ini adalah sesosok tubuh besar yang seperti Dito datang menghampiri Nadya dan wanita disampingnya itu. Perawakan besar dan mengenakan topi hitam ala mafia, dengan sarung tangan hitam serta berpakaian jas rapi tanpa dasi. Dia kemudian berbincang bincang sedikit pada Nadya dan bersalaman dengan wanita di sebelahnya. Aku tidak menaruh curiga sama sekali, mungkin dia teman gym Dito atau semacamnya, yang pasti aku bisa mengira kalau dia adalah teman baik Dito.

“Dito menyebutnya dengan singa merah, entah kenapa dia menyebutnya begitu aku tidak tahu. Tapi yang kutahu nama aslinya adalah Gading,” ucap Ardi menjelaskan orang itu.

Jika kuingat ingat sebelumnya, Dito waktu itu menyebutkan nama orang itu pada saat di hotel, dan dia juga tidak menaruh rasa curiga pada orang itu, aku semakin yakin kalau dia benar benar teman dekat Dito. Kemudian orang itu pamit dan pergi meninggalkan pemakaman. Mataku mengikutinya berjalan hingga dia sampai ke mobilnya, mobil yang dikenakan orang itu sepertinya kalau diperhatikan memang cukup mirip dengan punyanya Dito.

Aku membuang pandanganku dan kembali memperhatikan sekitar, tidak ada yang mencurigakan sampai sejauh ini. Sampai aku bisa merasakan sesuatu pada bagian lenganku, aku rasa ada yang menyentuhku.

“Jaya … kamu ngapain disini,” ucap wanita itu, suaranya sangat familiar di telingaku.

Aku menoleh, dan tersontak kaget, tidak menjerit dan hanya sedikit terlontar. Dewi? bagaimana bisa disini.

“Kok bengong aja sih … salah orang aku ya …”gumamnya.

“Ah … kagak kok Dew … gak salah orang kok …” ucapku terbatah batah.

“Kamu ngapain disini? ada sodara kamu ya?” tanya Dewi dengan polosnya.

“Ah iya … itu sodaraku … yang sudah dikubur barusan,” balasku sambil menunjuk kuburan Dito.

Dewi kemudian menutup mulutnya, matanya terbuka lebar, alisnya naik, kaget mendengar jawabanku yang seperti anak tanpa beban. “Beneran? maaf ya Jaya aku gak maksud begitu kok,” ucap Dewi lirih.

“Santai saja Dew … gak masalah kok, tapi aku heran kenapa kamu juga disini?” tanyaku balik.

“Kakekku dulunya menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan ayahnya Dito, lalu kerjasamanya terus sampai ke anaknya sekarang, dan sepertinya sekarang adiknya yang akan meneruskannya,” lirih Dewi .

“Ada kakekmu ya … jadi malu ingin ketemu … kapan kapan saja deh … lagi gak pas,” ucapku malu malu sambil menengok ke berbagai arah mencari memperhatikan sekitar.

Akhirnya aku bisa menemukannya, kedua orang berbadan besar sedang mengawalnya. Kakek Dewi berjalan perlahan meninggalkan pemakaman dengan menggunakan tongkat, tanpa bantuan kedua orang disampingnya, dia masih kuat untuk melakukannya sendiri.

“Itu kakekmu mau pergi Dew,” ujarku.

“Hah … yaudah deh aku balik dulu ya Jaya, Assalamualaikum,” pamit Dewi, dengan riangnya, padahal kan di pemakaman orang.

Aku memperhatikannya berlari perlahan mengikuti kakeknya, dan sampai masuk ke mobil mereka yang besar itu.

“Tadi pacarmu?” sosor Ardi.

“Hampir … hampir.”
ariefdias
aripinastiko612
aripinastiko612 dan ariefdias memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.