- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1838
Mulai Berjarak
Ada seorang lagi yang baru aja masuk didalam chat. Namanya Yulia. Dia ini masuk mulai chat pertama kali dengan gue ketika gue dalam perjalanan pulang dari rumah Kakek Nenek gue. Dia ini gue kenal pertama kali ketika dulu ada perkumpulan anak-anak pecinta One Ok Rock
.
Gue awalnya nggak terlalu merhatiin anak ini. Tapi ketika kami mulai berkenalan satu sama lain, lebih tepatnya memperkenalkan diri masing-masing, gue baru ngeh kalau sepintas dia ini mirip dengan teman gue di Amerika sana yang dulu sempat sebentar lewat dalam perjalanan hidup gue, Cica.
Yulia sangat berbeda dengan Cica. Dia hanya menyerupai fisiknya aja. sifatnya sangat berbeda. Dia lebih lembut, dengan tutur kata yang lebih tertata. Mungkin karena kerjanya di salah satu laboratorium kampus negeri berjas kuning ya. lingkungan orang pintar membuat individu menjadi ikutan pintar, begitu kata orang.
Berbeda dengan Winda dan juga Alya, dia menjadi yang paling pintar dan paling nyambung diajak ngomong. Walaupun bahasannya pun tidak sebanyak dengan Emi. Emi sampai saat ini belum ada yang mengalahkan dari segi apapun pokoknya. Gue memilih menggunakan platform chat yang berbeda dengan cewek-cewek ini. Biar nggak bingung sih tujuannya.
Saat ini gue sudah kembali menjalani rutinitas setelah lebaran. Semuanya berjalan normal dan mulai membosankan. Begitu pula dengan hubungan gue dan Emi. rasa bosan yang sangat gue takutkan mulai hadir. Entah rasa ini juga dirasakan oleh Emi atau tidak. Gue jadi merasa selalu ada yang salah dalam hubungan ini.
Efek dari situasi ini adalah, gue seringkali cekcok dan tidak seirama dengan pemikiran Emi. hal yang dulu nggak pernah terjadi pada hubungan kami. Entah hal ini karena kejenuhan atau memang butuh penyegaran diantara kami berdua. Gue sempat berpikir, jika gue akan menikahi dia, gue harus menghilangkan rasa bosan ini. Karena jika masuk ke jenjang serius seperti itu, konsekuensinya adalah gue akan bersama dia selamanya. Gue mau itu terjadi, tapi saat ini harus gue antisipasi dengan berbagai cara.
Sayangnya cara yang gue pilih adalah cara yang salah bagi semua orang mungkin. Tapi ya gue menjalani apa yang sudah menjadi kebiasaan gue. Gue mencoba berkomunikasi dengan cewek-cewek lain. Bedanya sejauh ini kontak fisik nggak terjadi. Bahkan bertemu langsung pun tidak. Kecuali dengan Mila, semua cewek yang berkomunikasi aktif dengan gue tidak bertemu secara fisik dengan gue.
--
“Kak, sebenarnya hubungan kamu dengan Emi itu kayak gimana sih?” tanya Winda dichat.
“Haha ya biasa-biasa aja. dia manajer, aku vokalis. Sama kayak Drian, dia gitaris, Emi manajernya juga.” jawab gue.
“Aku boleh minta nomernya Emi nggak Kak?”
“Buat apaan?”
“Ya biar aku bisa lebih mengenal dekat dengan Emi. Kayaknya Emi itu juga jadi sahabat yang baik buat kakak dan teman-teman di bandnya.”
“Kalau itu emang iya. Emi bisa ngikutin ritme kami yang lebih tua dari dia.”
“Kalau aku gimana? Nyambung nggak menurut kamu misalnya aku jadi teman dekat band kakak?”
“Hmm. Gimana ya? nggak tau juga sih. Soalnya kan kamu cuma ngobrol sama aku, nggak sama yang lain. Termasuk Emi. Emi itu kan seumur kamu, paling ya kamu bisa ngobrol nyambung sama dia, kalau diband aku.”
“Gitu ya? ah tapi kayaknya kalau misalnya aku bisa ngobrol asyik sama kamu, sama yang lain juga bisa deh.”
Ngobrol asyik katanya? Hahaha. Ini lagi ngelawak apa gimana? Gue nggak pernah benar-benar bisa asyik ngobrol dengan yang namanya Winda ini. Obrolan kami hanya sebatas obrolan orang kasmaran sebelah? Apaan kasmaran sebelah? Ya dia yang kasmaran, gue nggak. Banyak nggak nyambungnya gue ngobrol sama anak ini.
Mungkin juga karena level pendidikan yang berbeda. Tapi sebenarnya itu harusnya nggak jadi hambatan sih. Pengetahuan itu bisa didapatkan dimanapun. Apalagi internet saat ini sangat mudah diakses menggunakan ponsel. Ini karena memang WIndanya aja mungkin yang nggak mau meng-upgrade pengetahuannya.
Gue selalu memakai cara klasik. Menggunakan ilmu pengetahuan yang gue tahu dan gue pelajari, supaya terlihat lebih baik dari semua lawan bicara gue. hanya Emi satu-satunya yang selalu bisa membantah semua yang gue informasikan. Hanya dia yang bisa mendebat.
Tapi dengan begitulah gue menemukan orang yang pas. Gue nggak butuh dipuji-puji dengan pengetahuan gue, gue butuh tektok. Gue butuh lawan bicara yang sepadan. Bukan hanya, ‘wah iya ya? ih kok kamu pintar banget sih.’ Segala macam pertanyaan-pertanyaan mereka yang nggak bisa gue jawab bisa gue cari dulu di google kok. hahaha.
Lagi-lagi trik gue yang seperti ini nggak mempan ketika menghadapi Emi sebagai lawan bicara. Dia selalu bisa menemukan jawaban gue diinternet, atau bahkan langsung dari sumber mana gue mendapatkan jawaban. Nggak seperti cewek-cewek itu yang percaya-percaya aja apa jawaban gue. hahaha.
Nah, ketidaktahuan seperti inilah yang gue manfaatkan untuk mendapatkan simpati dari mereka, sampai akhirnya mereka jadi suka sama gue. Sebatas itu saja sudah. Nggak perlu yang lain-lain lagi. Mungkin kalau beruntung, ketika gue coba meminta foto-foto yang ‘seru’, mereka bisa kasih. Haha.
“Aku itu mau perdalam skill renang aku, tapi gimana ya? nggak ada yang ngajarin.”
“Aku sih bisa-bisa aja ngajarin kamu berenang. Tapi kayaknya nggak akan bisa karena waktu ketemu kita itu susah. Aku banyak yang diurus, kayak kuliah dan ngeband, terus pagi sampai sore kan aku kerja.”
“Haha. Sempetin dong kak. Buat aku gitu kali-kali kamu berkorban.”
“Haha nggak tau deh, aku nggak akan bisa janji. Tapi kalau emang ada waktunya yaudah nggak apa-apa.”
…..dan obrolan gue dengan semua cewek itu hanya begitu-begitu aja. nggak ada progres dan istimewanya. Tapi hal ini cukup mengobati perasaan gue yang akhirnya selalu rindu akan sosok Emi yang bisa segalanya. Minimal jauh lebih superior dari mereka semua. Gue akhirnya menyadari Emi secerdas itu otaknya. Gue menemukan banyak pembanding dan memang Emi selalu jadi yang terbaik dimata gue.
--
Suatu malam kondusif setelah latihan band, gue dan anak-anak sedang makan malam sambil ngobrol. Tiba-tiba Emi menerima telpon entah dari siapa dan pada akhirnya kembali berkumpul dengan semuanya. Tapi raut wajahnya nggak enak banget. ini yang gue tahu pasti ada sesuatu yang dia tahan untuk tidak diobrolkan dengan gue.
Gue sempat curiga itu Winda, karena anak ini mulai protektif sama gue. banyak mewanti-wanti gue ini itu. Ini sangat mengganggu gue karena Emi aja nggak pernah sampai seperti ini. Dia banyak juga wanti-wanti, bahkan mengontrol beberapa hal dalam diri gue, tapi itu semua ada alasan baik dibaliknya. Sementara Winda ini seperti sudah memiliki gue sepenuhnya, sok galak kalau nggak nurut. Lah emang siapa anda mengatur-atur hidup saya? Kata gue dalam hati.
“MANTU BANGS*T!” teriak Emi mendadak setelah membaca chat di HP-nya, seraya mencubit Drian yang duduk disebelahnya.
“ADAW! SAKIT BANGS*T!” Spontan Drian juga berteriak karena sakit.
“Mi, lo kenapa sih? Chat sama siapa sih dari tadi? Sibuk sendiri gitu. Udah jam berapa ini? Sini gue liat!” gue sudah mulai curiga, karena raut muka Emi sangat tidak enak.
“Ga usah. Ini urusan gue!” Emi membentak gue didepan anak-anak.
“Woy woy woy! Pertengkaran rumah tangganya mohon diselesaikan di kasur rumah kalian ya, jangan dibahas di sini. Merusak kenikmatan pecel lele gue nantinya. Pencernaan gue bisa terganggu kalau ada yang bete-betean di sini. Simpen dulu handphone lo. Mari kita makan. Mau gue suapin, apa Drian yang suapin?” selak Arko, mencoba mencairkan suasana.
“Najis amat lo!” Hardik Emi sambil mendorong Arko kesamping kirinya.
“Yah, nggak tau dia kalau jari tangan Drian panjang-panjang begitu artinya dia jago fingering, Mi.” Arko melanjutkan.
“Terus apa hubungannya kalau jago fingering sama disuapin makan?” tanya Emi.
“Kan biar puas kalau jarinya panjang-panjang, masuknya bisa banyak. MAKANANNYA! Hahaha.” tambah Bang Drian, “Itu baru jari tangan loh yang panjang. Masih ada lagi di diri gue yang PANJANG dan BESAR.”
“T*i.” ujar Emi ketus.
“Ya jari kaki gue lah. Emang lo mikirin apa lagi sih, Mi? Kotor ah pikiran lo.” kata Drian.
Gue sangat curiga dia mendapatkan chat dari Winda. Masalahnya dia tahu darimana nomor Emi? dan apa yang sedang dia obrolin? Kenapa juga Emi mendadak kacau moodnya? Yah ini memang harus jadi konsekuensi yang harus gue hadapi ketika memulai bermain api. Apalagi orang-orang yang berhubungan dengan gue juga dekat dengan lingkaran band kami. Sama-sama anak komunitas, yang kecil ukuran populasinya.
“Zy, cek Whatsapp lo. WINDA nungguin balesan dari lo dari jam 12an tadi…” ujar Emi.
Semua terdiam. Gue pun yang sedang mengumpulkan uang untuk bayar studio terdiam. Dugaan gue benar. mood Emi rusak berat karena Winda ini. Tapi apa yang diobrolin? Sementara gue juga penasaran dengan chat apa yang dituliskan ke gue dari Winda?
Perjalanan dari studio di Jakarta Timur menuju ke kostan Emi terasa sangat panjang. Gue memacu motor dengan amat kencang, karena emosi nggak karuan. Memang ini adalah kesalahan gue, tapi dengan begitu semua anak bakal tahu kalau ada sesuatu yang nggak beres antara gue dan Emi. itu bukan pertanda baik bagi band ini. Karena otak dari band ini adalah gue dan Emi. konsep, ide, lagu dan segala macamnya datang dari pemikiran dan diskusi kami berdua dulu, baru kemudian minta pendapat yang lain.
Segalanya jadi kacau sekali. Tapi yang bisa gue pastikan, Winda ini sudah benar-benar suka dengan gue. selanjutnya apa yang harus gue lakukan? Apakah gue harus bakar habis harapan si Winda ini ke gue? wah ngapain gue jadi ngurusin perasaan Winda?
Kalau penjelasannya itu untuk selingan? Itu akan sangat nggak masuk akal. Tapi mau bagaimana? Emang kenyataanya seperti itu. Gue nggak mau bilang kalau gue takut bosan dengan Emi. adanya Emi nanti malah merasa bersalah dan jadi minder.
Gue udah susah payah untuk membuat dia percaya diri. Tapi malah gue yang merusak semuanya. Cara ini memang sudah merusak kepercayaan Emi terhadap gue. entah kenapa gue yakin, Emi dan gue nggak akan semudah itu dipisahkan.
“Zy… Kamu besok Jum’at ada acara?” tanya Emi, gue sedang main game dilaptop gue.
“Jum’at ya? Kayaknya mau ada acara sama temen aku.” Jawab gue sekenanya.
“Acara sama temen? Siapa temennya?”
“Kenapa?”
“Winda?”
“Kenapa jadi Winda hah? Anj*ng!”
“Loh kok marah?”
“Kenapa lo jadi sibuk ngurusin Winda sih? WINDA TERUS DARI KEMAREN!”
“Terus siapa temennya?”
“Ya ada kok temen. Ngurusin amat. Emang gue harus ngedikte semua temen gue?”
“Emang gue nggak boleh tau semua temen lo?”
“Kenapa lo HARUS tau semua temen gue hah?” kata gue sambil force shutdown laptop gue, “Males gue kayak begini. Gue mending balik aja. Besok nggak usah ketemu sekalian. Ketemu aja di event. Itu juga kalau gue mau berangkat ke event. Gue jadi males manggung!” gue membereskan semua barang gue dan bersiap pulang kerumah. Suasana kostan Emi sudah sangat nggak kondusif.
“Zy. Kenapa sih lo HARUS selalu pergi setiap kali gue lagi mau nanyain begini?”
“Kenapa lo HARUS SELALU bikin gue nggak nyaman kalau gue lagi di kostan lo begini HAH?” gue berdiri didepan Emi, “Mi, lo tau gue sayang banget sama lo kan? Kenapa lo selalu ngeselin kayak gini sih?”
“Iya gue tau…” dia menunduk, “Dan gue sayang banget sama lo, Zy.”
“Plis jangan ngeselin.” Ujar gue singkat, gue sudah menggendong ransel gue.
“Gue ngeselin? GUE NGESELIN, ZY? YA ALLAH! Dari segi apa gue ngeselin lo, Zy? DARI SEGI APA?” dia menangis.
“Lo ngurusin gue banget. Gue gerah, Mi. Gue sampai harus ngasih tau temen gue begitu. Lebay.” Gue kembali duduk disamping dia.
“Soalnya. Ya Allah, Zy. Soalnya…”
“Kenapa? Kenapa, Mi?” gue memeluknya dari samping kirinya.
“Soalnya gue tau, kalau besok lo mau berenang sama Winda, Zy.”
“WINDA APAAN LAGI SIH ANJ*NG!” gue melepas pelukan dan langsung melempar tas gue ke tembok saking kaget dan emosi mendengar nama itu.
Sejauh itu Emi bisa tahu. Ini yang sangat gue takutkan. Emi terlalu jauh melangkah keranah privasi gue. bahkan gue nggak pernah menjanjikan untuk datang dan berenang bersama Winda. Tapi dia bisa bikin asumsi seperti ini dapat informasi dari siapa lagi kalau bukan dari Windanya sendiri? Apa ada informasi yang ditambahkan atau memang kebiasaan asumsi Emi aja yang mengatakan jumat ini gue akan berenang dengan Winda?
“Zy, dengerin dulu. Gue mohon. Kali ini dengerin gue. Gue mohon kali ini jangan pergi.” Dia menarik gue duduk kembali dikasur “Zy. Mau dengerin gue dulu sampe selesai?”
“Apaan lagi yang mesti gue dengerin? Asumsi apa lagi yang PERLU gue denger dari lo?” ujar gue.
“Asumsi? Gue SELALU lo bilang TUKANG ASUMSI? Walaupun gue punya bukti?”
“Bukti apaan sih? Sini mana HP lo? Siapa lagi sih yang ngaco? Ganggu aja hubungan orang!” gue berusaha merebut HP Emi.
“Zy, aku mohon. Aku mohon banget. Dengerin aku dulu, Zy.” Gue nggak sengaja mendorong Emi sampai terjatuh, dia sekarang bersimpuh didepan gue.
“Jangan mohon-mohon gitu! Nggak suka gue liatnya!”
“Tapi plis.. Mau dengerin cerita aku sampe abis, Zy?”
“Apaan buru?”
“Aku udah tau dari pas kita mau pulang mudik kalau kamu udah chat sama yang namanya Winda, dan kayaknya udah lama dari bahasan kalian sih. Dia vokalis band yang waktu puasa kemaren pernah sepanggung sama kita. Dia nge-add aku juga di Facebook dan aku udah confirm dia. Aku juga udah ngobrol sama dia. Dia supel dan mau berusaha kenal aku. Beberapa hari ini dia minta nomor handphone aku dan aku chat sama dia.” Emi mulai menjelaskan dengan kondisi mata yang sudah sembab.
“Harusnya gue nggak bolehin dia buat sok ngobrol sama lo.” gumam gue..
“Kenapa?”
“Ya karena gue tau, pasti begini! PASTI BEGINI! ANJ*NG!” nada bicara gue meninggi lagi.
“Dia banyak cerita tentang kamu dan gimana hubungan kalian. Dia juga cerita semua mimpi dia sama kamu dan apa aja rencana kalian. Termasuk rencana kalian buat berenang bareng di deket rumahnya itu.”
“GUE NGGAK PERNAH….. AH BANGS*T! NIH DENGER YA!” gue menunjuk muka Emi dengan telunjuk kanan gue, “GUE NGGAK PERNAH BILANG KALAU GUE MAU BERENANG BARENG DIA! ANJ*NG! SALAH TERUS AJA OMONGAN GUE! GUE CUMAN BILANG KALAU GUE SUKA BERENANG!” nada bicara gue tegas.
“Terus kamu mau ketemu sama dia kan?”
“Iya gue emang mau ketemu sama dia, TAPI NGGAK UNTUK BERENANG!”
“Terus?”
“Ya cuman ketemu. Dia juga CUMAN TEMEN gue. Kenapa? HARUS IZIN SAMA PACAR KALAU MAU KETEMU TEMEN? HARUS BANGET? ANJ*NG! Lo kira gue apaan? Anak kecil? Harus izin sama pacar sendiri buat ketemu temen? Gue aja nggak izin sama nyokap gue! Kenapa harus izin sama lo?”
“Zy, gue tau, lo nggak buta dan nggak gobl*k. Lo tau kalau dia SUKA BANGET sama lo. Dan gue yakin, rasa suka dia ke lo itu udah jadi sayang.”
“Bodo amat gue mah. Itu kan urusan dia! Bukan urusan gue!”
“Oke, lo bodo amat. Tapi lo bilang nggak, kalau lo bodo amat dan nggak mau sama dia? LO BILANG NGGAK KALAU LO UDAH PUNYA PACAR?”
“KENAPA SIH HARUS BANGET GUE NGAKU KE SEMUA ORANG KALAU GUE UDAH PUNYA PACAR? KATANYA LO BISA PROFESIONAL? KATANYA NGGAK APA-APA KALAU GUE NGAKUIN KITA ITU HUBUNGANNYA VOKALIS DAN MANAJER? KENAPA SEKARANG MINTA PENGAKUAN?”
“ANJ******NNGGG! YA ALLAH! Zy, gue nggak minta pengakuan! Nggak pernah gue minta pengakuan untuk dianggep jadi pacar lo.”
“Yaudah, terus kenapa jadi perkara banget gue HARUS ngaku ke ini si cewek bangs*t kalau gue itu pacar lo hah? Pingin keliatan lo punya pacar vokalis band? IYA HAH?” gue semakin tidak sabar dan emosi gue mulai nggak terkontrol.
“Salah nggak gue menjaga pacar gue biar nggak tergoda sama cewek lain? Salah kah gue menjaga hati gue biar nggak tersakiti?”
“Emang lo yakin kalau gue bakalan tergoda sama dia? Gue bakalan mau sama cewek yang kualifikasinya jauh dari lo begitu? Lo pikir gue sedepresi itu sampe nyari selingkuhan yang kayak begitu? Lo berarti nggak kenal sama gue, Mi!”
“Terus kenapa, Zy? Kenapa lo harus ngerespon dia dan mau nurut semua kata dia?”
“Karena asyik aja.”
“Asyik?”
“Ya asyik aja. Gue akhirnya ngerasa dikejar-kejar lagi. Ada orang yang perhatian lagi. Ada orang yang suka banget sama kita gitu. Ya asyik aja jadinya.”
“Lo nggak sayang sama dia?”
“Lo nggak percaya kalau gue itu sayangnya cuma sama lo?”
“Lo masih sayang sama gue?”
“Lo pikir sekarang gue lagi di kostan lo apa kosan dia?”
“Terus lo kenapa masih bertahan terus aja keep contact sama dia walaupun lo tau kemaren gue udah tau hubungan kalian?”
“Ya karena asyik aja. Kenapa sih urusan 'asyik aja' begini masih ditanyain?”
“Lo tetep ngerasa asyik walaupun lo tau itu bakalan nyakitin gue?”
“Entah. Gue lagi bosen aja. Makanya nyari yang asyik.”
Akhirnya mau tidak mau gue harus jujur ke Emi mengenai rasa bosan dalam hubungan kami ini.
“Kan harusnya ga akan nyakitin lo. Tadinya kan lo nggak tau. Dan gue juga cuman pingin bikin dia makin suka banget sama gue, terus nanti gue tinggalin dah kalau udah mulai rese. Ya sama lah kayak si Radit, cowok kedemenan lo itu.”
“Beda. Radit nggak pernah begitu saat dia punya pacar.”
“Tau darimana lo? Lo itu NGGAK PERNAH jadi pacarnya Radit. Siapa tau dia malah lebih parah dari gue?”
“Gue…” dia diam sejenak, “Ya gue yakin aja, Radit nggak akan begitu.”
“Kucing disuguhin ikan asin nggak nyaplok? Munafik itu kucing!”
“Zy….”
“Apaan lagi? Mau cewek mana lagi yang lo kepoin di hidup gue?”
“Emang ada cewek lain lagi?”
“Ya lo terus aja kepoin seluruh cewek yang ada di hidup gue! Terus aja! Biar puas! Tuduh gue selingkuh terus! Bikin bosen aja gue sama hubungan ini!”
“Kok lo begitu sih, Zy? Ya Allah. Lo udah bosen sama kita?”
“Terus apaan? Buru!”
“Besok nggak usah ketemu sama Winda ya? Aku mohon dengan sangat.”
“Kenapa sih emangnya kalau gue ketemu sama Winda? Toh gue nggak akan ngew* juga sama dia. Gue cuman mau tukeran koleksi film.” Gue menjawab seadanya lagi.
“Lo masih nggak mau ngaku kalau lo mau berenang sama dia?”
“Gue nggak ada pernah niatan buat mau berenang sama dia. Dia itu yang ngotot ngajak gue berenang! Kenapa jadi lo yang ngotot sih kepingin gue berenang sama dia? Kenapa lagian? Dia nyuruh lo buat maksa gue berenang sama dia?”
“Ya nggak gitu. Soalnya kata dia, abis berenang, dia mau lo anterin dia pulang ke rumah dia. Biar dia bisa ngenalin lo ke nyokap dia. Lo mau dikenalin sama dia sebagai CALON SUAMI dia, Zy. CALON SUAMI! Ya Allah!”
Ini baru namanya berhalusinasi. Bahkan selama ini gue berkomunikasi dengan Winda, gue nggak pernah sedikit pun menyinggung urusan pacaran, apalagi sampai mau dikenalkan ke orang tuanya.
“Dih, apaan? Kenapa jadi calon suami segala? Pacaran juga nggak! Geer amat jadi cewek! Udah beg*, ngekhayal mulu lagi!”
“FIRZY! Jangan ngomong cewek beg* ke dia!”
“KENAPA SIH? LO MASIH AJA BELAIN DIA TERUS? KATANYA NGGAK SUKA GUE SAMA DIA? TAPI KENAPA DIBELAIN TERUS? SUKA-SUKA GUE LAH NILAI DIA BEG* APA NGGAK! ORANG GUE YANG KENALAN SAMA DIA!”
“Iya. Lo yang lebih kenal dia. Gue tau. Lo lebih paham Winda, daripada lo paham gue.”
“Liat kan? Lo sekarang malah mendorong untuk gue sama dia. Mau lo apa sih? Bukannya lo nggak mau gue sama dia?”
“Jangan ngata-ngatain dia. Itu dulu. Dan nggak usah ketemu sama dia besok. Boleh? Cuman itu permintaan gue.”
“Terus gue mau ngapain kalau nggak ketemu sama dia?”
“Mau ngapain? Ada gue, Zy. Lo juga nggak mau ketemu sama gue?”
“Maaf, Mi. Gue lagi jenuh banget sama hubungan kita ini. Gue butuh jeda dulu.”
Gue beranjak pergi meninggalkan kamar Emi untuk pulang kerumah. Maaf gue harus jujur mengenai perasaan gue saat ini. Gue sangat jenuh dan sangat takut menghadapi kebosanan ini. Apalagi menurut gue sikap ini sudah sangat berlebihan dengan terlalu masuk kedalam ranah pribadi gue. cara ini salah, tapi sudah terlanjur. Konsekuensi terburuk harus bisa gue hadapi. Apapun itu.
.
Gue awalnya nggak terlalu merhatiin anak ini. Tapi ketika kami mulai berkenalan satu sama lain, lebih tepatnya memperkenalkan diri masing-masing, gue baru ngeh kalau sepintas dia ini mirip dengan teman gue di Amerika sana yang dulu sempat sebentar lewat dalam perjalanan hidup gue, Cica.
Yulia sangat berbeda dengan Cica. Dia hanya menyerupai fisiknya aja. sifatnya sangat berbeda. Dia lebih lembut, dengan tutur kata yang lebih tertata. Mungkin karena kerjanya di salah satu laboratorium kampus negeri berjas kuning ya. lingkungan orang pintar membuat individu menjadi ikutan pintar, begitu kata orang.
Berbeda dengan Winda dan juga Alya, dia menjadi yang paling pintar dan paling nyambung diajak ngomong. Walaupun bahasannya pun tidak sebanyak dengan Emi. Emi sampai saat ini belum ada yang mengalahkan dari segi apapun pokoknya. Gue memilih menggunakan platform chat yang berbeda dengan cewek-cewek ini. Biar nggak bingung sih tujuannya.
Saat ini gue sudah kembali menjalani rutinitas setelah lebaran. Semuanya berjalan normal dan mulai membosankan. Begitu pula dengan hubungan gue dan Emi. rasa bosan yang sangat gue takutkan mulai hadir. Entah rasa ini juga dirasakan oleh Emi atau tidak. Gue jadi merasa selalu ada yang salah dalam hubungan ini.
Efek dari situasi ini adalah, gue seringkali cekcok dan tidak seirama dengan pemikiran Emi. hal yang dulu nggak pernah terjadi pada hubungan kami. Entah hal ini karena kejenuhan atau memang butuh penyegaran diantara kami berdua. Gue sempat berpikir, jika gue akan menikahi dia, gue harus menghilangkan rasa bosan ini. Karena jika masuk ke jenjang serius seperti itu, konsekuensinya adalah gue akan bersama dia selamanya. Gue mau itu terjadi, tapi saat ini harus gue antisipasi dengan berbagai cara.
Sayangnya cara yang gue pilih adalah cara yang salah bagi semua orang mungkin. Tapi ya gue menjalani apa yang sudah menjadi kebiasaan gue. Gue mencoba berkomunikasi dengan cewek-cewek lain. Bedanya sejauh ini kontak fisik nggak terjadi. Bahkan bertemu langsung pun tidak. Kecuali dengan Mila, semua cewek yang berkomunikasi aktif dengan gue tidak bertemu secara fisik dengan gue.
--
“Kak, sebenarnya hubungan kamu dengan Emi itu kayak gimana sih?” tanya Winda dichat.
“Haha ya biasa-biasa aja. dia manajer, aku vokalis. Sama kayak Drian, dia gitaris, Emi manajernya juga.” jawab gue.
“Aku boleh minta nomernya Emi nggak Kak?”
“Buat apaan?”
“Ya biar aku bisa lebih mengenal dekat dengan Emi. Kayaknya Emi itu juga jadi sahabat yang baik buat kakak dan teman-teman di bandnya.”
“Kalau itu emang iya. Emi bisa ngikutin ritme kami yang lebih tua dari dia.”
“Kalau aku gimana? Nyambung nggak menurut kamu misalnya aku jadi teman dekat band kakak?”
“Hmm. Gimana ya? nggak tau juga sih. Soalnya kan kamu cuma ngobrol sama aku, nggak sama yang lain. Termasuk Emi. Emi itu kan seumur kamu, paling ya kamu bisa ngobrol nyambung sama dia, kalau diband aku.”
“Gitu ya? ah tapi kayaknya kalau misalnya aku bisa ngobrol asyik sama kamu, sama yang lain juga bisa deh.”
Ngobrol asyik katanya? Hahaha. Ini lagi ngelawak apa gimana? Gue nggak pernah benar-benar bisa asyik ngobrol dengan yang namanya Winda ini. Obrolan kami hanya sebatas obrolan orang kasmaran sebelah? Apaan kasmaran sebelah? Ya dia yang kasmaran, gue nggak. Banyak nggak nyambungnya gue ngobrol sama anak ini.
Mungkin juga karena level pendidikan yang berbeda. Tapi sebenarnya itu harusnya nggak jadi hambatan sih. Pengetahuan itu bisa didapatkan dimanapun. Apalagi internet saat ini sangat mudah diakses menggunakan ponsel. Ini karena memang WIndanya aja mungkin yang nggak mau meng-upgrade pengetahuannya.
Gue selalu memakai cara klasik. Menggunakan ilmu pengetahuan yang gue tahu dan gue pelajari, supaya terlihat lebih baik dari semua lawan bicara gue. hanya Emi satu-satunya yang selalu bisa membantah semua yang gue informasikan. Hanya dia yang bisa mendebat.
Tapi dengan begitulah gue menemukan orang yang pas. Gue nggak butuh dipuji-puji dengan pengetahuan gue, gue butuh tektok. Gue butuh lawan bicara yang sepadan. Bukan hanya, ‘wah iya ya? ih kok kamu pintar banget sih.’ Segala macam pertanyaan-pertanyaan mereka yang nggak bisa gue jawab bisa gue cari dulu di google kok. hahaha.
Lagi-lagi trik gue yang seperti ini nggak mempan ketika menghadapi Emi sebagai lawan bicara. Dia selalu bisa menemukan jawaban gue diinternet, atau bahkan langsung dari sumber mana gue mendapatkan jawaban. Nggak seperti cewek-cewek itu yang percaya-percaya aja apa jawaban gue. hahaha.
Nah, ketidaktahuan seperti inilah yang gue manfaatkan untuk mendapatkan simpati dari mereka, sampai akhirnya mereka jadi suka sama gue. Sebatas itu saja sudah. Nggak perlu yang lain-lain lagi. Mungkin kalau beruntung, ketika gue coba meminta foto-foto yang ‘seru’, mereka bisa kasih. Haha.
“Aku itu mau perdalam skill renang aku, tapi gimana ya? nggak ada yang ngajarin.”
“Aku sih bisa-bisa aja ngajarin kamu berenang. Tapi kayaknya nggak akan bisa karena waktu ketemu kita itu susah. Aku banyak yang diurus, kayak kuliah dan ngeband, terus pagi sampai sore kan aku kerja.”
“Haha. Sempetin dong kak. Buat aku gitu kali-kali kamu berkorban.”
“Haha nggak tau deh, aku nggak akan bisa janji. Tapi kalau emang ada waktunya yaudah nggak apa-apa.”
…..dan obrolan gue dengan semua cewek itu hanya begitu-begitu aja. nggak ada progres dan istimewanya. Tapi hal ini cukup mengobati perasaan gue yang akhirnya selalu rindu akan sosok Emi yang bisa segalanya. Minimal jauh lebih superior dari mereka semua. Gue akhirnya menyadari Emi secerdas itu otaknya. Gue menemukan banyak pembanding dan memang Emi selalu jadi yang terbaik dimata gue.
--
Suatu malam kondusif setelah latihan band, gue dan anak-anak sedang makan malam sambil ngobrol. Tiba-tiba Emi menerima telpon entah dari siapa dan pada akhirnya kembali berkumpul dengan semuanya. Tapi raut wajahnya nggak enak banget. ini yang gue tahu pasti ada sesuatu yang dia tahan untuk tidak diobrolkan dengan gue.
Gue sempat curiga itu Winda, karena anak ini mulai protektif sama gue. banyak mewanti-wanti gue ini itu. Ini sangat mengganggu gue karena Emi aja nggak pernah sampai seperti ini. Dia banyak juga wanti-wanti, bahkan mengontrol beberapa hal dalam diri gue, tapi itu semua ada alasan baik dibaliknya. Sementara Winda ini seperti sudah memiliki gue sepenuhnya, sok galak kalau nggak nurut. Lah emang siapa anda mengatur-atur hidup saya? Kata gue dalam hati.
“MANTU BANGS*T!” teriak Emi mendadak setelah membaca chat di HP-nya, seraya mencubit Drian yang duduk disebelahnya.
“ADAW! SAKIT BANGS*T!” Spontan Drian juga berteriak karena sakit.
“Mi, lo kenapa sih? Chat sama siapa sih dari tadi? Sibuk sendiri gitu. Udah jam berapa ini? Sini gue liat!” gue sudah mulai curiga, karena raut muka Emi sangat tidak enak.
“Ga usah. Ini urusan gue!” Emi membentak gue didepan anak-anak.
“Woy woy woy! Pertengkaran rumah tangganya mohon diselesaikan di kasur rumah kalian ya, jangan dibahas di sini. Merusak kenikmatan pecel lele gue nantinya. Pencernaan gue bisa terganggu kalau ada yang bete-betean di sini. Simpen dulu handphone lo. Mari kita makan. Mau gue suapin, apa Drian yang suapin?” selak Arko, mencoba mencairkan suasana.
“Najis amat lo!” Hardik Emi sambil mendorong Arko kesamping kirinya.
“Yah, nggak tau dia kalau jari tangan Drian panjang-panjang begitu artinya dia jago fingering, Mi.” Arko melanjutkan.
“Terus apa hubungannya kalau jago fingering sama disuapin makan?” tanya Emi.
“Kan biar puas kalau jarinya panjang-panjang, masuknya bisa banyak. MAKANANNYA! Hahaha.” tambah Bang Drian, “Itu baru jari tangan loh yang panjang. Masih ada lagi di diri gue yang PANJANG dan BESAR.”
“T*i.” ujar Emi ketus.
“Ya jari kaki gue lah. Emang lo mikirin apa lagi sih, Mi? Kotor ah pikiran lo.” kata Drian.
Gue sangat curiga dia mendapatkan chat dari Winda. Masalahnya dia tahu darimana nomor Emi? dan apa yang sedang dia obrolin? Kenapa juga Emi mendadak kacau moodnya? Yah ini memang harus jadi konsekuensi yang harus gue hadapi ketika memulai bermain api. Apalagi orang-orang yang berhubungan dengan gue juga dekat dengan lingkaran band kami. Sama-sama anak komunitas, yang kecil ukuran populasinya.
“Zy, cek Whatsapp lo. WINDA nungguin balesan dari lo dari jam 12an tadi…” ujar Emi.
Semua terdiam. Gue pun yang sedang mengumpulkan uang untuk bayar studio terdiam. Dugaan gue benar. mood Emi rusak berat karena Winda ini. Tapi apa yang diobrolin? Sementara gue juga penasaran dengan chat apa yang dituliskan ke gue dari Winda?
Perjalanan dari studio di Jakarta Timur menuju ke kostan Emi terasa sangat panjang. Gue memacu motor dengan amat kencang, karena emosi nggak karuan. Memang ini adalah kesalahan gue, tapi dengan begitu semua anak bakal tahu kalau ada sesuatu yang nggak beres antara gue dan Emi. itu bukan pertanda baik bagi band ini. Karena otak dari band ini adalah gue dan Emi. konsep, ide, lagu dan segala macamnya datang dari pemikiran dan diskusi kami berdua dulu, baru kemudian minta pendapat yang lain.
Segalanya jadi kacau sekali. Tapi yang bisa gue pastikan, Winda ini sudah benar-benar suka dengan gue. selanjutnya apa yang harus gue lakukan? Apakah gue harus bakar habis harapan si Winda ini ke gue? wah ngapain gue jadi ngurusin perasaan Winda?
Kalau penjelasannya itu untuk selingan? Itu akan sangat nggak masuk akal. Tapi mau bagaimana? Emang kenyataanya seperti itu. Gue nggak mau bilang kalau gue takut bosan dengan Emi. adanya Emi nanti malah merasa bersalah dan jadi minder.
Gue udah susah payah untuk membuat dia percaya diri. Tapi malah gue yang merusak semuanya. Cara ini memang sudah merusak kepercayaan Emi terhadap gue. entah kenapa gue yakin, Emi dan gue nggak akan semudah itu dipisahkan.
“Zy… Kamu besok Jum’at ada acara?” tanya Emi, gue sedang main game dilaptop gue.
“Jum’at ya? Kayaknya mau ada acara sama temen aku.” Jawab gue sekenanya.
“Acara sama temen? Siapa temennya?”
“Kenapa?”
“Winda?”
“Kenapa jadi Winda hah? Anj*ng!”
“Loh kok marah?”
“Kenapa lo jadi sibuk ngurusin Winda sih? WINDA TERUS DARI KEMAREN!”
“Terus siapa temennya?”
“Ya ada kok temen. Ngurusin amat. Emang gue harus ngedikte semua temen gue?”
“Emang gue nggak boleh tau semua temen lo?”
“Kenapa lo HARUS tau semua temen gue hah?” kata gue sambil force shutdown laptop gue, “Males gue kayak begini. Gue mending balik aja. Besok nggak usah ketemu sekalian. Ketemu aja di event. Itu juga kalau gue mau berangkat ke event. Gue jadi males manggung!” gue membereskan semua barang gue dan bersiap pulang kerumah. Suasana kostan Emi sudah sangat nggak kondusif.
“Zy. Kenapa sih lo HARUS selalu pergi setiap kali gue lagi mau nanyain begini?”
“Kenapa lo HARUS SELALU bikin gue nggak nyaman kalau gue lagi di kostan lo begini HAH?” gue berdiri didepan Emi, “Mi, lo tau gue sayang banget sama lo kan? Kenapa lo selalu ngeselin kayak gini sih?”
“Iya gue tau…” dia menunduk, “Dan gue sayang banget sama lo, Zy.”
“Plis jangan ngeselin.” Ujar gue singkat, gue sudah menggendong ransel gue.
“Gue ngeselin? GUE NGESELIN, ZY? YA ALLAH! Dari segi apa gue ngeselin lo, Zy? DARI SEGI APA?” dia menangis.
“Lo ngurusin gue banget. Gue gerah, Mi. Gue sampai harus ngasih tau temen gue begitu. Lebay.” Gue kembali duduk disamping dia.
“Soalnya. Ya Allah, Zy. Soalnya…”
“Kenapa? Kenapa, Mi?” gue memeluknya dari samping kirinya.
“Soalnya gue tau, kalau besok lo mau berenang sama Winda, Zy.”
“WINDA APAAN LAGI SIH ANJ*NG!” gue melepas pelukan dan langsung melempar tas gue ke tembok saking kaget dan emosi mendengar nama itu.
Sejauh itu Emi bisa tahu. Ini yang sangat gue takutkan. Emi terlalu jauh melangkah keranah privasi gue. bahkan gue nggak pernah menjanjikan untuk datang dan berenang bersama Winda. Tapi dia bisa bikin asumsi seperti ini dapat informasi dari siapa lagi kalau bukan dari Windanya sendiri? Apa ada informasi yang ditambahkan atau memang kebiasaan asumsi Emi aja yang mengatakan jumat ini gue akan berenang dengan Winda?
“Zy, dengerin dulu. Gue mohon. Kali ini dengerin gue. Gue mohon kali ini jangan pergi.” Dia menarik gue duduk kembali dikasur “Zy. Mau dengerin gue dulu sampe selesai?”
“Apaan lagi yang mesti gue dengerin? Asumsi apa lagi yang PERLU gue denger dari lo?” ujar gue.
“Asumsi? Gue SELALU lo bilang TUKANG ASUMSI? Walaupun gue punya bukti?”
“Bukti apaan sih? Sini mana HP lo? Siapa lagi sih yang ngaco? Ganggu aja hubungan orang!” gue berusaha merebut HP Emi.
“Zy, aku mohon. Aku mohon banget. Dengerin aku dulu, Zy.” Gue nggak sengaja mendorong Emi sampai terjatuh, dia sekarang bersimpuh didepan gue.
“Jangan mohon-mohon gitu! Nggak suka gue liatnya!”
“Tapi plis.. Mau dengerin cerita aku sampe abis, Zy?”
“Apaan buru?”
“Aku udah tau dari pas kita mau pulang mudik kalau kamu udah chat sama yang namanya Winda, dan kayaknya udah lama dari bahasan kalian sih. Dia vokalis band yang waktu puasa kemaren pernah sepanggung sama kita. Dia nge-add aku juga di Facebook dan aku udah confirm dia. Aku juga udah ngobrol sama dia. Dia supel dan mau berusaha kenal aku. Beberapa hari ini dia minta nomor handphone aku dan aku chat sama dia.” Emi mulai menjelaskan dengan kondisi mata yang sudah sembab.
“Harusnya gue nggak bolehin dia buat sok ngobrol sama lo.” gumam gue..
“Kenapa?”
“Ya karena gue tau, pasti begini! PASTI BEGINI! ANJ*NG!” nada bicara gue meninggi lagi.
“Dia banyak cerita tentang kamu dan gimana hubungan kalian. Dia juga cerita semua mimpi dia sama kamu dan apa aja rencana kalian. Termasuk rencana kalian buat berenang bareng di deket rumahnya itu.”
“GUE NGGAK PERNAH….. AH BANGS*T! NIH DENGER YA!” gue menunjuk muka Emi dengan telunjuk kanan gue, “GUE NGGAK PERNAH BILANG KALAU GUE MAU BERENANG BARENG DIA! ANJ*NG! SALAH TERUS AJA OMONGAN GUE! GUE CUMAN BILANG KALAU GUE SUKA BERENANG!” nada bicara gue tegas.
“Terus kamu mau ketemu sama dia kan?”
“Iya gue emang mau ketemu sama dia, TAPI NGGAK UNTUK BERENANG!”
“Terus?”
“Ya cuman ketemu. Dia juga CUMAN TEMEN gue. Kenapa? HARUS IZIN SAMA PACAR KALAU MAU KETEMU TEMEN? HARUS BANGET? ANJ*NG! Lo kira gue apaan? Anak kecil? Harus izin sama pacar sendiri buat ketemu temen? Gue aja nggak izin sama nyokap gue! Kenapa harus izin sama lo?”
“Zy, gue tau, lo nggak buta dan nggak gobl*k. Lo tau kalau dia SUKA BANGET sama lo. Dan gue yakin, rasa suka dia ke lo itu udah jadi sayang.”
“Bodo amat gue mah. Itu kan urusan dia! Bukan urusan gue!”
“Oke, lo bodo amat. Tapi lo bilang nggak, kalau lo bodo amat dan nggak mau sama dia? LO BILANG NGGAK KALAU LO UDAH PUNYA PACAR?”
“KENAPA SIH HARUS BANGET GUE NGAKU KE SEMUA ORANG KALAU GUE UDAH PUNYA PACAR? KATANYA LO BISA PROFESIONAL? KATANYA NGGAK APA-APA KALAU GUE NGAKUIN KITA ITU HUBUNGANNYA VOKALIS DAN MANAJER? KENAPA SEKARANG MINTA PENGAKUAN?”
“ANJ******NNGGG! YA ALLAH! Zy, gue nggak minta pengakuan! Nggak pernah gue minta pengakuan untuk dianggep jadi pacar lo.”
“Yaudah, terus kenapa jadi perkara banget gue HARUS ngaku ke ini si cewek bangs*t kalau gue itu pacar lo hah? Pingin keliatan lo punya pacar vokalis band? IYA HAH?” gue semakin tidak sabar dan emosi gue mulai nggak terkontrol.
“Salah nggak gue menjaga pacar gue biar nggak tergoda sama cewek lain? Salah kah gue menjaga hati gue biar nggak tersakiti?”
“Emang lo yakin kalau gue bakalan tergoda sama dia? Gue bakalan mau sama cewek yang kualifikasinya jauh dari lo begitu? Lo pikir gue sedepresi itu sampe nyari selingkuhan yang kayak begitu? Lo berarti nggak kenal sama gue, Mi!”
“Terus kenapa, Zy? Kenapa lo harus ngerespon dia dan mau nurut semua kata dia?”
“Karena asyik aja.”
“Asyik?”
“Ya asyik aja. Gue akhirnya ngerasa dikejar-kejar lagi. Ada orang yang perhatian lagi. Ada orang yang suka banget sama kita gitu. Ya asyik aja jadinya.”
“Lo nggak sayang sama dia?”
“Lo nggak percaya kalau gue itu sayangnya cuma sama lo?”
“Lo masih sayang sama gue?”
“Lo pikir sekarang gue lagi di kostan lo apa kosan dia?”
“Terus lo kenapa masih bertahan terus aja keep contact sama dia walaupun lo tau kemaren gue udah tau hubungan kalian?”
“Ya karena asyik aja. Kenapa sih urusan 'asyik aja' begini masih ditanyain?”
“Lo tetep ngerasa asyik walaupun lo tau itu bakalan nyakitin gue?”
“Entah. Gue lagi bosen aja. Makanya nyari yang asyik.”
Akhirnya mau tidak mau gue harus jujur ke Emi mengenai rasa bosan dalam hubungan kami ini.
“Kan harusnya ga akan nyakitin lo. Tadinya kan lo nggak tau. Dan gue juga cuman pingin bikin dia makin suka banget sama gue, terus nanti gue tinggalin dah kalau udah mulai rese. Ya sama lah kayak si Radit, cowok kedemenan lo itu.”
“Beda. Radit nggak pernah begitu saat dia punya pacar.”
“Tau darimana lo? Lo itu NGGAK PERNAH jadi pacarnya Radit. Siapa tau dia malah lebih parah dari gue?”
“Gue…” dia diam sejenak, “Ya gue yakin aja, Radit nggak akan begitu.”
“Kucing disuguhin ikan asin nggak nyaplok? Munafik itu kucing!”
“Zy….”
“Apaan lagi? Mau cewek mana lagi yang lo kepoin di hidup gue?”
“Emang ada cewek lain lagi?”
“Ya lo terus aja kepoin seluruh cewek yang ada di hidup gue! Terus aja! Biar puas! Tuduh gue selingkuh terus! Bikin bosen aja gue sama hubungan ini!”
“Kok lo begitu sih, Zy? Ya Allah. Lo udah bosen sama kita?”
“Terus apaan? Buru!”
“Besok nggak usah ketemu sama Winda ya? Aku mohon dengan sangat.”
“Kenapa sih emangnya kalau gue ketemu sama Winda? Toh gue nggak akan ngew* juga sama dia. Gue cuman mau tukeran koleksi film.” Gue menjawab seadanya lagi.
“Lo masih nggak mau ngaku kalau lo mau berenang sama dia?”
“Gue nggak ada pernah niatan buat mau berenang sama dia. Dia itu yang ngotot ngajak gue berenang! Kenapa jadi lo yang ngotot sih kepingin gue berenang sama dia? Kenapa lagian? Dia nyuruh lo buat maksa gue berenang sama dia?”
“Ya nggak gitu. Soalnya kata dia, abis berenang, dia mau lo anterin dia pulang ke rumah dia. Biar dia bisa ngenalin lo ke nyokap dia. Lo mau dikenalin sama dia sebagai CALON SUAMI dia, Zy. CALON SUAMI! Ya Allah!”
Ini baru namanya berhalusinasi. Bahkan selama ini gue berkomunikasi dengan Winda, gue nggak pernah sedikit pun menyinggung urusan pacaran, apalagi sampai mau dikenalkan ke orang tuanya.
“Dih, apaan? Kenapa jadi calon suami segala? Pacaran juga nggak! Geer amat jadi cewek! Udah beg*, ngekhayal mulu lagi!”
“FIRZY! Jangan ngomong cewek beg* ke dia!”
“KENAPA SIH? LO MASIH AJA BELAIN DIA TERUS? KATANYA NGGAK SUKA GUE SAMA DIA? TAPI KENAPA DIBELAIN TERUS? SUKA-SUKA GUE LAH NILAI DIA BEG* APA NGGAK! ORANG GUE YANG KENALAN SAMA DIA!”
“Iya. Lo yang lebih kenal dia. Gue tau. Lo lebih paham Winda, daripada lo paham gue.”
“Liat kan? Lo sekarang malah mendorong untuk gue sama dia. Mau lo apa sih? Bukannya lo nggak mau gue sama dia?”
“Jangan ngata-ngatain dia. Itu dulu. Dan nggak usah ketemu sama dia besok. Boleh? Cuman itu permintaan gue.”
“Terus gue mau ngapain kalau nggak ketemu sama dia?”
“Mau ngapain? Ada gue, Zy. Lo juga nggak mau ketemu sama gue?”
“Maaf, Mi. Gue lagi jenuh banget sama hubungan kita ini. Gue butuh jeda dulu.”
Gue beranjak pergi meninggalkan kamar Emi untuk pulang kerumah. Maaf gue harus jujur mengenai perasaan gue saat ini. Gue sangat jenuh dan sangat takut menghadapi kebosanan ini. Apalagi menurut gue sikap ini sudah sangat berlebihan dengan terlalu masuk kedalam ranah pribadi gue. cara ini salah, tapi sudah terlanjur. Konsekuensi terburuk harus bisa gue hadapi. Apapun itu.
itkgid dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup