Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rinafryanieAvatar border
TS
rinafryanie
[Cerbung] Aşkim, Hayatim (My Love, My Life)
[Cerbung] Aşkim, Hayatim (My Love, My Life)

Part 1. Di Bawah Langit Istanbul


Kupandangi seraut wajah beriris mata cokelat dengan alisnya yang tebal di layar ponsel. Sorot mata yang tajam namun teduh seolah menjanjikan perlindungan. Akan tetapi sama sekali aku tak pernah membayangkan jika punya pacar atau suami berjambang seperti yang sedang kutatap ini. Geli dan aneh saja rasanya.

"Pokoknya lo gak bakalan nyesel kalo udah ketemu dia." Dengan antusias Ayla mempromosikan lelaki yang akan dikenalkannya kepadaku.

"Ah, terang aja karena dia masih saudara lo!"

"Gue berani taruhan, lo bakalan jatuh cinta sama dia."

"Gak semudah itu, Ndut!"

"Gue kasih tantangan buat lo kalo prediksi gue bener."

"Apaan? Traktir makan?"

"Nggak! Lo seneng liat badan gue tambah melar, ya? Gue tantang lo naik balon udara di Cappadocia!"

"Anjrit! Gila, lo ya? Lo kan tau gue takut ketinggian!"

Kulempar sendal bulu kelinciku ke tubuh Ayla yang gempal. Ayla berlari meninggalkanku sambil tertawa.


Setiba di tanah Istanbul, aku tinggal bersama kakakku dan istrinya. Mereka sudah dua tahun hidup di pusat sejarah peradaban Islam di dunia ini. Kak Fahri memang bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di salah satu Primary School. Sebenarnya aku ingin kos, namun kakakku tak mengizinkan. Ia khawatir bila aku jauh darinya.

***

Segera kulipat mukena setelah salat Magrib di Masjid  Ortakoy.  Aku tak mau telat. Sengaja kupilih masjid ini karena lokasinya tak jauh dari kafe tempat janjian bertemu. Kutinggalkan masjid tua peninggalan sejarah masa kejayaan Sultan Abdul Majid bernuansa pink itu. Bergegas menuju gerbang masjid, tak lupa kusempatkan berswafoto. Agenda wajib yang tak bisa kulewatkan begitu saja dalam perjalananku di negeri ini. Tanpa meng-edit dulu, dengan penuh percaya diri segera kuunggah ke akun Instagramku.

Tatapanku liar mencari sosok  yang akan menemuiku, sesuai dengan pesan  yang  kuterima dari WhatsApp tadi siang. Ciri-ciri fisik yang sudah digambarkan belum tertangkap pandanganku. Hmm, tampaknya ia belum datang.

Di kafe tepi laut yang lumayan ramai dikunjungi, aku duduk menghadap lautan. Panorama malam dengan semarak cahaya lampu dari Bosphorus Bridge, jembatan penghubung benua Asia dan Eropa yang membelah wilayah Turki itu sungguh menakjubkan. Belum pernah kunikmati pemandangan malam seindah ini.

Udara dingin dan angin pantai sesekali mengibaskan ujung hijab yang menerpa wajahku. Kunjunganku kali ini tepat di penghujung musim dingin, sehingga tubuhku sedikit menggigil diserta gigi menggemeletuk. Mantel tebal pun tak cukup membuatku merasa hangat. Aku belum terbiasa dengan perubahan cuaca di negeri orang.

Segelas mungil Cay, teh Turki beraroma khas berada dalam genggaman mengalirkan hangatnya ke tubuhku. Sepotong simit, roti berbentuk donat besar kupesan sekadar pengganjal perut.

Aku penasaran dengan usaha Ayla untuk mengenalkan familinya yang berada di negeri para sufi ini. Ingin tahu saja seberapa keren ia seperti yang Ayl bilang. Kalau lihat di foto profil WhatsApp-nya sih lumayan. Senyum dan tatapannya itu yang mungkin menarik. Ah, Ayl-ku ada saja ulahnya sama adik iparnya ini. Aku tahu Ayl ingin aku segera mendapat jodoh. Ia juga tak mau aku larut dalam kesedihan karena baru saja putus dengan Haikal. Padahal aku justru merasa terbebas setelah meninggalkannya.

Kulirik jam digital di ponsel sudah lewat angka 7.00 PM. Untuk membuang rasa jenuh, kubuka Instagramku. Oh, ternyata sudah banyak komentar  follower yang rata-rata sahabatku di Jakarta. Kubaca satu persatu komentar konyol mereka, lalu kubalas sambil tertawa geli.

Iyi akşamlar.” Terdengar suara berat menyapa dalam bahasa Turki, cukup mengagetkanku. Kuangkat wajah dari layar ponsel.

Iyi akşamlar, selamat malam!” balasku terkesima menatap seraut wajah tampan  di hadapanku.

”Nazhira?” tanyanya. Kuanggukan kepalaku.

“Emir?” Aku balik bertanya. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya dengan aksen Indonesianya yang kaku. “Maaf, agak macet di perjalanan.”

“Nggak apa-apa, aku belum lama juga kok,” jawabku sambil mempersilakan duduk.

        Sejenak kami terdiam, sedikit grogi dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Ya Tuhan, ternyata ia lebih keren dari foto yang kulihat di WA-nya. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Tak sia-sia usaha kakak iparku kali ini.

“Umm ... aku mau pesan minuman, barangkali Nazhira mau nambah, bisa sekalian kupesankan.” Tawaran Emir berhasil memecah kebekuan  diantara kami.

“Oh enggak, terima kasih, ini sudah cukup,” jawabku gugup. "Oya, panggil aku Naz aja."

       Kuperhatikan dari sudut mata ketika ia menyesap kopi Turki pesanannya. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada aktor terkenal Turki Sukru Özyildiz ketika berperan di drama seri Nefes Nefesi.Gagah dengan jambang tipisnya. Matanya itu ....

“Ayla bilang kamu tinggal di rumahnya,  suaminya itu kakakmu, bukan?” Ia kembali membuka percakapan.

“Betul, Kak Fahri itu kakak kandungku,” jelasku. “Oya, Ayla bilang apa saja tentang diriku?”

“No, kami belum banyak bercerita. Yang kutahu, Naz kuliah di sini dan kunjungan kali ini hanya untuk registrasi. Karena Naz akan kembali ke Jakarta mempersiapan dulu keperluan. Itu saja sih. Betul, nggak?"

Fyuhh! Lega rasanya napasku. Yang kutakutkan Ayla bercerita macam-macam. Secara ia paling banyak tahu segalanya tentang aku. Ya, aku dan Ayla bersahabat sejak di bangku SMP. Kami selalu bersama kemanapun pergi, juga teman saling curhat. Sementara itu kami terpisah karena ia dipersunting Kak Fahri setelah menyelesaikan S1-nya, dan diboyong ke negeri ini. Sedangkan aku lanjut mengajar di salah satu SMA swasta di Jakarta. Kebetulan sekali aku lulus mendaftar kuliah S-2 lewat Burslari, yaitu program beasiswa yang ditawarkan pemerintah Turki. Aku tak mau sia-siakan kesempatan emas ini.

“Apa benar kamu pernah tinggal di Indonesia?” tanyaku.

“Betul, aku bahkan lahir dan tinggal di sana sampai usiaku 10 tahun. Babam dulu memimpin perusahaan batubara milik kakekku di Kalimantan. Kemudian bertemu Annem, menikah dan lahirlah aku serta adikku Aisha. Saat perusahaan mengalami kemerosotan, Babam melepasnya dan memboyong kami kembali ke Turki.” Kemudian ia melanjutkan kisah masa kecilnya saat di Indonesia.

“Pantas saja masih fasih berbahasa Indonesia,” sambungku.

“Tapi jujur saja, aku pasti lupa andai Annem tak menggunakannya lagi. Untungnya sesekali ia berbahasa Indonesia, apalagi kalau sedang marah atau ngomel-ngomel,” ceritanya sambil terbahak. Aku pun ikut tertawa mendengarnya.

      Suasana beku diantara kami mulai mencair. Ternyata ia cukup menyenangkan. Kuteguk çay-ku yang hampir habis dan  berubah dingin, sementara Emir asyik menikmati baklava.

“Simit-mu kenapa tak dihabiskan, Naz?” tanyanya melirik roti didepanku.

“Tadinya aku pengen cicipin dolma, tapi nggak ada di daftar menu, jadi terpaksa kupesan simit,” jawabku.

“Di tempat ini yang terkenal enak itu kumpir sama waffle, juga es krim,” jelas Emir. “By the way,  tahu dolma dari mana?”

“Dari drama seri yang suka kutonton,” jawabku. “Aku penggila drama Turki."

“Oya? Kamu penggemar drama Turki?Sudah nonton apa saja?"

“Lumayan banyak sih, tapi yang paling kusuka Kara Sevda sama Erkenci Kus."

"Aku heran, apa sih yang membuatmu tertarik?” tanyanya  penasaran.

“Aktornya ganteng-ganteng!” jawabku dengan spontan.

“Berarti kamu suka sama cowok Turki. Ya, kan?" Ia mulai berani menggoda.

“Iya! M-maksudku ...." Aku menahan ucapanku karena  malu. Ah Naz, ah! Andai ini siang mungkin pipiku akan jelas merona merah.

“Sudah malam.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan sambil menengok jam di layar ponsel.

“Ok, besok kita cari dolma kalau memang kamu penasaran,” ujarnya seraya beranjak dari kursi. “Sekarang sudah cukup malam, kuantar kamu pulang.”


       Di tempat parkir, Emir membukakan pintu mobil sport hitamnya untukku. Setelah bersandar nyaman, kutarik safe belt untuk kupasang mengikat tubuhku. Akan tetapi,  beberapa kali kutarik talinya tak juga  terulur, sepertinya macet. Melihat aku dalam kesulitan, Emir berusaha membantuku. Saat ia meraih lalu menarik gesper, lengannya tak sengaja melingkari perutku. Ia memiringkan tubuh hingga wajahnya hampir menyentuh wajahku. Di saat itu jantungku berdegup kencang. Aliran darahku seakan terhenti dan napasku tertahan seketika. Aroma tubuhnya terhirup dan embusan napasnya terasa hangat di pipiku. Aku tak berani bergerak karena jarak yang begitu dekat. Andaikan kupalingkan mukaku sedikit saja, wajah kami pasti beradu. Dari sudut mata, terlihat jelas helai demi helai rambut halus menghiasi rahang dan dagunya yang kokoh. Sempat pula kutangkap saat matanya memperhatikan wajahku agak lama. Tatapannya yang lembut seakan menjelajahi seluruh bagian di wajahku. Aku hanya bisa menelan saliva. Oh My God! Apa yang sedang terjadi dengan diriku?   Kalimat istighfar berulang-ulang kurapalkan dalam hati. 

       Setelah sabuk pengaman terpasang dengan baik, Emir mulai menghidupkan mobil. Sepanjang jalan kami terdiam, tak sepatah kata pun terucap. Mungkinkah ia sibuk dengan pikiran dan perasaannya atas kejadian beberapa saat tadi, seperti diriku?

Hanya saja di tengah perjalanan, beberapa kali dering panggilan dari ponsel Emir memecah keheningan. Anehnya Emir selalu menolak panggilan itu. Sekali lagi ponsel itu berbunyi, jiwa kepoku muncul. Penuh penasaran diam-diam kulirik nama yang tertera di layar itu. Zeyda! Sepertinya itu nama perempuan.

Kali ini Emir menjawabnya, namun dengan nada kesal. Kudengar percakapan mereka dalam bahasa Turki, ia meninggikan suaranya dengan raut wajah berubah tegang. Tampaknya ia sedang marah dengan lawan bicaranya. Lalu siapakah Zeyda? Apa hubungannya dengan Emir?

        Mengapa tiba-tiba ada rasa tak enak dalam hatiku, seperti ada rasa kecewa atau sakit? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya? Itu bukan urusanku! Kenal juga baru saja dan ... siapa aku di hadapannya?  Tahu diri dong, Naz!

       Tiba di rumah kakakku, Emir turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu mobil dengan santun.

“Maaf aku tak bisa ikut masuk dulu, sepertinya mereka sudah tidur,” ujarnya perlahan.

“Nggak masalah, terima kasih sudah mengantar,” jawabku.

“Sampai ketemu besok!” ujarnya “Oya, aku siap mengantarmu kemanapun kamu mau, tapi selepas kerja. Kalau weekend  aku siap menemanimu  seharian, itupun kalau kamu mau.”

“Dengan senang hati,” sambutku girang. “Itupun kalau tak merepotkanmu.”

“Enggak! Aku malah senang bisa membantumu selama di sini, dan ...  aku pun ingin mengenalmu lebih dekat.” Ia berusaha meyakinkan. Di kalimat terakhir,  suaranya merendah hampir berbisik, membuatku tergetar.

“Baiklah, besok siang kukabari. Teşekkurler!” ucapku seraya berterimakasih.

“Ok, tamam!  Iyi geceler!” Ia melambaikan tangannya sambil masuk ke mobil.

“Iyi geceler!” Kubalas lambaian tangannya.

"Assalamualaikum!” ucapnya sekali lagi sebelum mobilnya bergerak.

Waalaikumsalam!” jawabku masih berdiri menunggu sampai kendaraannya hilang dari pandangan.

       Setelah salat Isya, kurebahkan tubuh lelahku setelah seharian mengunjungi beberapa tempat di kota Istanbul. Terbayang lagi semua kejadian yang kualami saat pertemuanku dengan Emir. Aku membenamkan senyumku di bantal.
Wajah mirip Sukru Özyildiz itu masih menari-nari di pelupuk mata. Senyum dan tatapannya masih tak mau pergi.

Sambil berusaha pejamkan mata, aku berdo’a semoga semua bisa  terulang  dalam mimpiku malam ini. Ah, tak sabar rasanya menunggu pagi datang.

***


Iyi askamlar  : selamat malam
Iyi geceler  : selamat malam (larut)
Anne / Annem : Ibu/ Ibuku
Baba/ babam  : Bapak/ Bapakku
Abi  : Kakak laki-laki
Abla/ Ablacim : kakak perempuan/ Kakak perempuanku sayang
Tamam : okay
Teşekkurler : terima kasih
Diubah oleh rinafryanie 05-04-2020 14:28
faridatul.a
abahekhubytsany
pulaukapok
pulaukapok dan 47 lainnya memberi reputasi
44
4.5K
126
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
rinafryanieAvatar border
TS
rinafryanie
#2
Part 2. Syair Sang Pujanggga Legenda
[Cerbung] Aşkim, Hayatim (My Love, My Life)

"Gimana semalem? Lo gak mau cerita, heh?" Ayla menggodaku. Sengaja tak segera kujawab, biar Ayla semakin penasaran.

"Naz!" seru Ayla sambil melotot. Aku tertawa melihat wajahnya yang merengut.

"Lo nggak salah ngenalin dia," jawabku akhirnya.

"Hah? Lo langsung jatuh cinta?" Ayla tampak kaget. "Bener kan, gue bilang apa?"

"Gila! Nggak lah!" sanggahku. "Eh tapi senyum sama tatapannya itu, Ayl ...."

"Apa? Kenapa?" Ayla tambah penasaran.

"Ada deh," sahutku menggodanya.
Kutinggalkan Ayla yang bengong menuju taman mini di halaman.

***

Pagi masih terbalut hawa dingin. Mentari belum menampakkan  sinarnya. Langit pucat payungi permukaan tanah Istanbul yang masih basah. Butiran sisa hujan semalam, masih menetes dari dedaunan. Aromanya menyeruak segar menyelusup rongga napasku.

Kusirami tanaman-tanaman kecil di pot yang tak tersentuh air hujan. Kubuang daun-daun kering serta rumput yang tumbuh liar. Sejak Ayla sibuk dengan Baby Zee, ia agak menelantarkan tanamannya. Padahal aku paling anti mengurus tanaman. Hanya saja karena tanaman ini terlihat mulai berbunga,  terpaksa kusirami. Sayang kalau sampai mati mengering. Sebenarnya aku punya alergi serbuk sari. Agak aneh memang, karena jarang-jarang orang yang punya alergi sepertiku ini. Terhirup baunya saja, mata dan hidungku langsung berair. Larinya langsung bersin-bersin. Ini gen yang diturunkan Mama, tentu saja selain kecantikan parasnya.

"Assalamualaikum, Gunaydin!" Suara dari belakang membuatku hampir terjengkang karena kaget.

"Waalaikumsalam, selamat pagi ... Emir!" jawabku gugup. Aku salah tingkah ketika sadar kepalaku tak berhijab. Sedikit pun tak mengira Emir akan  datang sepagi ini.

Emir  terpaku, matanya tak lepas  dari tubuhku. Bahkan  lebih liar menatap dari atas sampai bawah seperti terpesona. Saat itu aku ingin berlari masuk rumah dan bersembunyi karena malu. Kucoba tutupi  kepala dengan kedua tangan, namun rambut panjangku tetap  tergerai bebas di punggung.

"Emh ... silakan masuk, aku ganti pakaian dulu!" kataku sambil berlari mendahului masuk. Aku tahu ia masih terpukau di belakangku.

Saat aku turun dan sudah berpakaian rapi,  Emir sedang ditemani Kak Fahri mengobrol.

"Naz, hari ini Kakak nggak bisa temani kamu belanja oleh-oleh  buat ke Jakarta," ujar Kak Fahri. "Zee agak demam, kasian Ayl harus ngurus sendiri."

"Nggak apa-apa Abi, aku bisa antar Naz kebetulan aku free." Emir memotong pembicaraan kakakku. Eh, ia panggil Kak Fahri dengan Abi, itu kan sebutan untuk kakak laki-laki. Ah, aku lupa. Tentu saja ia memanggil dengan sebutan itu, Ayla kan kakak sepupunya.

"Lho, Baby Zee sakit apa?" tanyaku kaget. Aku menghampiri Ayla yang sedang menggendong bayinya.

"Entahlah, dari semalam panasnya tinggi," jawabnya terlihat khawatir.

"Aih, Zee sayang, jangan bikin Aunty-mu sedih  dong, besok kan Aunty pulang ke Jakarta! Cepet sembuh ya," ucapku sambil meraba dahi Zee.

"Ayl, gue mau belanja, lo mau titip apa?" tanyaku kepada Ayla.

"Nggak, gua titip lo aja," jawab Ayla tanpa kumengerti.

"Maksud lo?" Aku mengernyit.

"Titipin lo sama Emir!" seru Ayla sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Emir. Emir seakan tahu maksud Ayla, ia balas berkedip sambil tersenyum penuh arti.

"Don't worry, Ablacim!" sahut Emir.

Kucubit pinggang Ayla yang berubah lekuk. Dari pasca lahiran, Ayl belum bisa mengembalikan kelangsingannya. Perutnya pun mulai berlemak. Tapi ia masih tetap cantik.

Ketika berpamitan, Kak Fahri menahanku di pintu sebelum aku keluar.

"Ingat, Naz! Jaga diri, jaga hati!" bisiknya.

"Uh! Selalu  saja ...."  gerutuku. Melihatku bersungut, kakakku menjentikan jarinya ke ujung hidungku.

"Diingetin malah manyun,  dasar manja!" ujarnya.

Aku tahu kakakku selalu ingin menjagaku. Ia tak mau terjadi sesuatu pada diriku. Terkadang ia over protectif karena terlalu sayang, juga menjaga amanah yang dititipkan orangtua kami.

Kak Fahri juga berpesan kepada Emir untuk menjagaku. Ia menyampaikan kekhawatirannya. Emir terlihat berusaha meyakinkan, jika aku aman bersamanya.

Di mobil, Emir menyetir sambil senyum-senyum sendiri. Aku merasa  penasaran, apa yang sedang dipikirkannya.

"Dari tadi kulihat senyum-senyum terus, ada apa sih?" tanyaku. Emir melirikku sambil tetap tersenyum malah terkesan menggodaku. "Apaan, sih? Apa ada yang lucu?"

"Nggak, cuma masih kebayang aja tadi ada yang malu-malu pas aku datang," jawabnya. "Bayangan itu nggak mau hilang dari ingatanku, apa lagi saat dia ...."

Buk!

Dia menghentikan kalimatnya setelah kulempar dengan sebuah benda kecil yang ada di dashboard. Bukannya marah, ia malah tergelak.

"Cok güzel...." gumamnya.

"Hah? Kamu bilang apa?"

"You are so beautiful!"

Wajahku mulai memanas.

"Gombal!" seruku. "Dosa lho, lihatin perempuan bukan muhrim kayak gitu, banyak-banyak istighfar !"  ujarku cemberut.

"Tapi aku nggak sengaja lihat!" Emir berkilah.

"Alasan!" Aku pura-pura marah.

"Tapi bener kok, kamu cantik sekali."

Dari situ aku dan Emir semakin akrab. Suasana tak sekaku tadi malam, karena kami tak sungkan  lagi saling bercanda.
***


Besok pagi aku terbang ke Jakarta. Sebelum pulang aku hunting oleh-oleh buat sahabat dan keluargaku. Emir mengajakku belanja di Grand Bazaar, pusat belanja termegah dan tertua di negeri ini bahkan di dunia.

Tiba di Grand Bazaar, Emir langsung membawaku menyusuri lorong komplek pertokoan yang  megah dan artistik ini. Setengah kalap kumasuki tiap gerai yang menjual berbagai  souvenir. Melihat barang-barang unik dan murah, naluri perempuanku timbul. Rasanya ingin kuborong semua untuk dibawa pulang ke Indonesia. Tapi segera kutahan lapar mata ini. Hanya kupilih beberapa barang yang benar-benar diperlukan. Ingat, aku harus berhemat untuk bisa hidup dan selesaikan kuliah di sini. Aku tak mau tergantung pada orangtua juga kakakku.

Tak terasa waktu sudah memasuki  Zuhur, kudengar suara azan berkumandang. Kuajak Emir menghentikan belanjaku untuk salat dan makan siang dulu. Kami berjalan menuju masjid di area pusat perbelanjaan. Aku harus konsisten dengan niatku untuk mengerjakan salat tepat waktu, apapun kondisinya. Ini salah satu resolusiku dalam berhijrah, setelah berhijab.

Dengan terkagum-kagum, kujejakkan kaki di lantai dingin dan berkilau. Adem rasanya setelah rasa lelah melanda tubuh. Kuedarkan pandangan ke arah shaf laki-laki, namun tak tampak Emir di barisannya. Mungkin ia masih berwudu.

"Naz, berhubung jarak shaf kita terpisah jauh, selesai salat kita ketemu lagi disini." Aku menganggukan kepala sambil menerima kantung plastik untuk membungkus sepatu. Itu kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum terpisah.

Selesai salat, seperti biasa kupasang kamera ponselku. Kuambil gambar-gambar tiap sudut ruangan, tak lupa berswafoto diantara para turis yang juga sibuķ berfoto. Di sini aku heran karena bukan hanya orang hendak salat saja yang berkunjung ke masjid ini, tapi turis asing yang tidak salat pun ramai mengunjungi, bahkan mereka yang beribadah seolah tak  terganggu dengan aktivitas mereka.

Di tempat tadi terpisah,  Emir sudah menunggu. Melihatku berjalan ke arahnya sambil potret sana potret sini, ia menawarkan diri untuk mengambil gambarku agar terlihat seluruh badan. Beberapa kali ia ambil fotoku, lalu kami pun beberapa kali berfoto berdua.

Kami makan siang di resto, masih di kawasan Grand Bazzar. Saat kami tengah menyantap menu, telepon Emir berdering. Emir melihat pemanggilnya, lalu mengabaikan. Sampai beberapa kali, persis seperti di waktu pertama kami bertemu.

"Siapa? Kenapa nggak mau jawab?" pancingku.

"Bukan siapa-siapa, tak penting juga," jawabnya seperti tak ingin aku tahu. Justru sikapnya ini semakin membuatku merasa penasaran.

"Apa selalu seperti itu kamu menanggapi orang?"

"Maksudmu?"

"Menganggap tak penting."

"Nggak juga! Tergantung." Emir menghabiskan sisa saladnya.

Ponsel kembali berdering, nama Zeyda tampak jelas muncul di layar. Dia lagi. Ada apa sih?

"Zeyda itu siapa?" Aku memberanikan diri bertanya.

Emir tercekat menghentikan kunyahan.
"My Ex-girl, tapi sudah lama break. Aku nggak ngerti kenapa ia telepon aku terus. Padahal sudah tak ada apa-apa diantara kami. It's over," jelasnya.

"Kenapa nggak dijawab? Mungkin ada hal penting yang harus ia sampaikan." ujarku sambil mengaduk-aduk pasta bollognes, tanpa menghabiskannya. Selera makanku tiba-tiba sirna. Aku berusaha menutupi gejolak rasa di dada. Gemuruhnya hàmpir tak bisa kutahan.

Emir menjawab panggilan itu dan langsung berbicara dengan nada keras. Terlihat sekali kalau ia sedang marah.

"What happened?" Emir mengamati wajahku setelah menutup panggilan teleponnya. Sontak aku terjengah, adakah perubahan di wajahku?

"Nothing. I'm ok!" Aku menggeleng gugup. Harusnya aku yang bertanya begitu. Ada apa diantara mereka kalau memang sudah tak ada apa-apa?
Eh? Kenapa mesti aku yang merasa galau?

"Masih ada barang yang mau dicari?" Emir mengalihkan pembicaraan.

"Aku mau cari beberapa buku sastra negeri ini dalam bahasa Inggris, untuk referensi bacaanku."

"Ok, habis ini kita jalan lagi."

Kembali ke Bazaar, Emir membawaku masuk ke area gerai buku. Aku langsung mencari buku yang kuinginkan. Beberapa buku kupilih karena Emir yang merekomendasikan. Sepertinya bagus juga selera sastra yang dimilikinya.

Setelah membayar di kasir, kulihat Emir membeli sebuah buku lalu memberikannya padaku.

"Ini kuhadiahkan untukmu. Kamu pasti suka. Harus dibaca kalau nanti kita berjauhan, biar nggak kangen."

"Hah?" Aku terkesiap. Ia tertawa kecil.

"It's a joke! Nggak usah dipikirin," jawabnya santai.

Gimana nggak bisa dipikirin coba, kata-katanya membuat banyak pertanyaan sesat yang hanya berputar-putar di otakku.

Senja telah beranjak, namun kami masih ingin menikmati kebersamaan. Telepon dari Kak Fahri beberapa kali menanyakan keberadaanku. Ia pasti mengkhawatirkanku. Tapi selalu kujawab 'sebentar lagi pasti pulang' dengan berbagai alasan.

Setelah Magrib, kami masuk ke sebuah kedai minuman di tepi Selat Bosphorus, tak jauh dari tempat pertama kali bertemu.

"Di sini biasanya ada dolma, kamu masih penasaran, kan?"

Aku tertawa kecil mengiakan. Ternyata ia masih ingat janjinya semalam. Lalu ia memesan beberapa potong dolma dan kebab. Aku memesan Cay, sedangkan ia memesan minuman raki yang asing bagiku.

Setelah menu tersaji, aku menyantapnya dengan lahap. Benar juga perkiraanku saat membayangankan betapa nikmatnya makanan ini setiap kali dilihat di layar kaca. Lezat dengan aroma rempahnya yang dibalut daun anggur, khas banget. Kalau kebabnya tak jauh berbeda dengan yang sering kumakan di Jakarta.

Quote:


Emir menyodorkan segelas Raki ke hadapanku.

Aku segera menelan kebab yang masih penuh di mulut. Kuraih gelas itu lalu kuteguk sampai habis dengan terengah-engah.

"Mitos dari mana?" tanyaku sambil menyeka mulut dengan punggung tangan. "Syirik lho!"

Emit menahan tawa, lalu memberiku selembar tissu.

"Aku sendiri yang bikin mitos," jawabnya dengan santai.

"Hah?" Aku terperanjat. Jadi? Dia ngerjain? Kulempar gulungan tissu bekas menyeka mulut, tepat kena bahunya. Ia tergelak.

"Kamu juga sih! Tahu syirik, masih aja dipercaya."

"Minuman apa sih ini? Kok aku mendadak pusing," kataku memegang kepala. Pandanganku seperti berputar-putar.

"Ini raki, minuman fermentasi dari buah anggur." Jawaban Emir terdengar samar-samar di telingaku.

Setengah sadar aku dipapah Emir masuk ke mobil. Dalam pandanganku yang berbayang, kulihat raut wajah Emir tegang seperti ketakutan. Aku tak ingat apa-apa lagi karena langsung tertidur di mobil.

***

Sampai di rumah, aku dibangunkan Emir yang masih kebingungan karena kondisiku yang masih belum sadar sepenuhnya. Ia pasti tak mengira akan terjadi masalah seperti ini. Aku berusaha menenangkannya walau keadaanku masih belum stabil.

Melihat aku pulang dengan sedikit mabuk, kakakku langsung menyambut dengan muka tegang, kemudian menginterogasi Emir.

"Apa yang terjadi dengan Naz? Kau apakan dia, hah?" tanyanya panik.

"Maafkan aku, Abi. Tadi Naz kuberi raki. Aku tak tahu Naz bakalan mabuk," jawab Emir dengan rasa bersalah.

"Astaghfirullah! Kenapa kamu beri minuman haram itu? Jangan kau samakan kami dengan kebiasaan kalian di sini!" bentak Kak Fahri yang langsung marah.

Ayla langsung memapahku ke kamar. Kudengar kakakku masih meluapkan emosinya kepada Emir. Celaka! Ia tak mempercayainya lagi untuk berteman denganku dan dilarang menemui lagi.

Air mata penyesalan pun merembes. Menyesali diri kenapa mau saja ketika ditawari minuman yang belum kukenal sebelumnya. Kenapa juga Emir melakukannya? Mestinya ia yang lebih paham.

Di  Attaturk Airport, aku berpamitan kepada Kak Fahri dan Ayla. Sebelumnya aku minta maaf dan berjanji tak akan mengulangi kejadian semalam. Tiba-tiba, ponselku bergetar.  Ada pesan masuk di WhatsApp.

"Lihat ke arah 45 derajat, 20 meter dari tempatmu berdiri. Aku tak bisa mendekat, hanya bisa mengantarmu dari sini. Selamat jalan."

Aku mengedar pandangan ke arah yang ditunjuk dengan nanar. Sekitar dua puluh meter dari tempatku, Emir bersandar di sebuah pilar. Lelaki berusia 29 tahun itu tersenyum melambaikan tangannya. Kubalas senyumannya, tapi kutahan diri untuk membalas lambaian, karena takut kakaku curiga.

"Saat kau rindu, bacalah syair berjudul 'Uzaktan Seviyorum Seni' dari Cemal Sureyya. Aku pasti merindukanmu."

Aku tersenyum dan tersipu. Entahlah, aku harus bahagia atau bersedih dengan perpisahan ini.

***

Di pesawat yang menerbangkanku ke Jakarta, kubuka buku karya penyair legendaris Turki yang ditulis dalam bahasa Inggris itu.



Uzaktan Seviyorum Seni (I Love You from Afar)
By Cemal Sureyya

I love you from afar
without being able to smell your scent
to embrace your nape
to feel your face
I merely love you

from afar, I just love you
not holding your hand
without touching your heart
nor dissolving in your eyes
in spite of today’s three-day love fads
not wildly but like a man, I love you

I just love you from afar
without wiping off the two tears running down your cheeks
not joining you in your heartiest laughs
nor crooning together with you your most favorite song

from afar, I just love you
without disappointing,
not pouring out anything
without destroying
not making sad,
nor causing a cry, I love you from afar

I just love you like that from afar;
by shredding in my tongue
every word I want to tell you
I love you

I love you on a white piece of paper
while my words fall down, drop by drop


***
Diubah oleh rinafryanie 03-05-2020 14:58
uliyatis
faridatul.a
abahekhubytsany
abahekhubytsany dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.