- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1821
Perjalanan Ke Timur Pulau Jawa
Tugas demi tugas gue dan Emi selesaikan untuk kuliah, manggung demi manggung juga gue lewati bersama Emi. sedangkan yang harus dikorbankan adalah hubungan gue dengan Emi yang jadinya dingin banget karena kebanyakan urusan profesional daripada urusan pribadi kami berdua.
Hal inilah yang sangat gue takutkan. Gue malah keenakan berhubungan secara profesional dengan Emi daripada personalnya. Emi selalu ada dan selalu menyediakan keperluan serta bantuan yang gue butuhkan. Ini yang membuat gue jadi sangat bergantung dengan Emi, dan tanpa sadar seperti memanfaatkan kemampuannya daripada memikirkan perasaannya.
Gue terlalu lama dipeluk oleh ego gue sendiri sehingga tidak memikirkan sampai sejauh mana Emi merasakan ketidaknyamanan ini. Gue terlalu sibuk dengan urusan dan diri gue sendiri sehingga harus membayar mahal sebuah perjuangan membina hubungan dengan Emi yang sudah sekian lama terjalin dengan baik, menjadi renggang dan tanpa gairah apapun.
Saat seperti ini pun gue tidak merasa ada yang janggal. Segala sesuatu yang terjadi gue anggap normal semua. Karena gue hanya berpikir dan membayangkan semua dari sisi sudut pandang gue sendiri. Sebuah kesalahan yang mungkin saja akan mengakibatkan sesuatu yang buruk terjadi.
Selanjutnya gue dan Emi tetap menjalani hubungan yang sebenarnya kami tahu agak nggak normal dan sehat. Kuliah, band dan urusan pekerjaan dijalanin barengan terus, tapi bersikapnya selalu profesional. Untuk urusan komunikasi dengan orang lain, gue juga berusaha untuk tetap menanggapi mereka dengan suasana hati yang biasa-biasa aja.
Tapi pada dasarnya ini cewek-cewek merasa dikasih harapan, seperti biasa mereka jadi menuntut ini itu dari gue. yang sejauh ini sangat agresif adalah Winda dan Alya. Contohnya adalah saat gue dan band sedang latihan, si Winda ini nggak berhenti untuk chat gue. sekedar mengingatkan kalau gue jangan pulang malam-malam.
Keadaan gue nggak bisa diatur untuk nggak pulang malam. Semua personil band gue adalah orang yang bekerja, bukan pengangguran yang banyak waktu luang. Jadi satu-satunya waktu yang tepat untuk latihan distudio hanya malam hari aja. Kami biasanya memulai latihan jam 8 malam sampai jam 11 malam. Kami latihan selalu 3 jam. Kenapa? Biar sekalian capek dan nggak berulang kali menghabiskan waktu distudio, karena kami juga punya urusan pribadi masing-masing.
Arko dan Vino sudah berkeluarga, sementara gue dan Emi sibuk kerja dengan segala macam tugas kuliah S2 gue. yang mungkin agak luang hanya Drian dan Rahman karena mereka hanya bekerja saja tanpa ada kesibukan lainnya, berkeluarga pun belum.
“Habis ini kita bakal banyak panggungan nih.” Kata Emi ketika selesai latihan di suatu malam.
“Panggungannya dimana aja?” kata Drian terdengar sangat bersemangat.
“Ada di salah satu universitas yang udah terkenal acara jepangannya Kak. Ada juga di SMA di Bekasi. Paling nggak udah ada empat jadwal manggung kita.” Kata Emi.
“Wah mantap banget emang lo Mi. nggak rugi juga gue kita punya manajer yang mumpuni kayak gini.” Drian menimpali lagi.
Drian sepertinya sangat senang sekali malam ini. Kenapa ya? ada urusan dengan keberhasilan Emi mendapatkan beberapa panggungan, atau tertarik dengan Emi-nya itu sendiri?
“Mesti diatur lagi nih. Soalnya gue kan bisa ngeband lagi juga karena restu dari bini gue.” kata Arko.
“Lo kan kepala keluarga Ko, masa nggak bisa bikin keputusan? Izin boleh aja, tapi kan segala sesuatu lo yang nentuin mestinya.” Gue membalas kalimat Arko.
“Iya justru itu, gue mesti kompromi sama bini gue kalau banyak panggungan gini. Kan terkait sama biaya kita latihan, waktu juga. tenaga gue juga kan nggak sekuat dulu.”
“Iya sih gue ngerti, tapi ya itu harusnya lo sebagai suami bisa ngatur, manajemen keuangan lo juga diatur. Lo setiap latihan gini sewa mobil atau pakai taksi online. Padahal seluruh peralatan lo itu kan nggak perlu dibawa. Cukup bawa stik drum sama beberapa simbal aja. Jadi bisa pakai motor bukan?” gue coba memberi usulan solusi.
“Nah iya bener itu kata Ija. Mending lo bawa yang seperlunya aja, nggak perlu semuanya dibawa. Simbal satu yang chinese, double pedal, sama stik. Snare drum nggak perlu. Kan bisa pake yang ada distudio, ya walaupun semua alat di studio nggak sebagus punya kita masing-masing, tapi setidaknya itu bisa mengurangi pengeluaran lo kan, Ko.” Rahman juga berbicara akhirnya.
“Sekarang gini deh, kalau kita latihan itu biar apa? biar perfect kan? Nah simulasi alatnya juga harus seperti yang akan kita pakai manggung dong, ya kan? Biar terbiasa. Jadinya juga bisa maksimal di panggung. Itulah sebabnya kalau gue latian bawa semua barang ini.” Bela Arko.
“Ya benar emang, tapi bukan berarti dengan begini lo malah buang-buang uang Ko. Inget lo itu udah berkeluarga. Nggak bisa lo maksain kayak gini terus. Adanya, nanti ada suatu masa ketika lo ribut sama istri lo soal duit, yang ujung-ujungnya malah bikin band ini jadi berantakan rencananya, entah karena lo nggak ada uang jadi nggak bisa keluar rumah, atau masalah lainnya. Nyari pengganti itu nggak gampang. Chemistry kita itu yang jadi masalah. Kalau nyari pemain pengganti gampang, tapi nyambung nggak chemistry-nya sama kita?” kata gue.
Arko hanya diam saja mendengar nasehat teman-temannya. Mungkin yang dibilang sama teman-temannya itu benar, atau dia ada pemikiran lainnya, gue juga nggak tau. Kemudian entah gimana ceritanya, Emi izin ke gue untuk berbicara menjauh sedikit dari kami berempat. Entah dia bilang apa sama Arko.
--
Sebelum lebaran, kami mengisi sesi akustikan untuk ngabuburit di salah satu mall ternama di Jakarta. Nggak melulu lagu jepangan, tapi kami juga menyanyikan beberapa lagu rohani milik band lokal. Penonton yang menyaksikan sepertinya senang dan merasa terhibur. Ini sudah membuat kami puas walaupun bayarannya nggak seberapa. Dan kalau kami dapat bayaran gini, biasanya juga langsung habis dipakai makan bareng direstoran sehabis manggung.
Setelah itu kami merayakan idul fitri dengan keluarga masing-masing. Dua hari setelah idul fitri adalah hari yang sangat penting buat gue dan Emi. kami akan memulai perjalanan kami menuju ke Provinsi Jawa Timur, menggunakan sepeda motor gue. Perjalanan yang amat panjang yang pernah gue lakukan dengan menggunakan sepeda motor.
Semua persiapan sudah dilaksanakan, dan kami tentunya telah mendapatkan izin dari orang tua masing-masing, serta Emi pun mendapatkan jatah cuti 9 hari. Kalau gue nggak perlu cuti-cuti toh gue adalah freelancer. Perjalanan pun dimulai dengan tujuan pertama yaitu di Subang, tempat kakek Emi sekarang tinggal bersama istrinya yang baru.
Kakek Emi ini telah lama ditinggal meninggal oleh Neneknya Emi. Bahkan dari jaman Emi masih SD. Akhirnya, menurut cerita Emi, kakeknya disarankan untuk menikah lagi oleh anak-anaknya. Gue pun bertemu dengan Kakeknya ini selama di Subang. Kami banyak berbincang mengenai segala sesuatu.
Ternyata salah satu kecerdasan Emi adalah dari keluarga Bapaknya ini. Kakeknya adalah orang yang sangat cerdas dengan pengetahuan yang sangat banyak. Padahal kakeknya tentu saja buta akan teknologi bernama google. Tapi beliau ini bisa menjelaskan segala macam atau berdiskusi tentang informasi-informasi menarik, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan.
Setelah satu malam kami berada disana, gue dan Emi melanjutkan perjalanan menuju ke Jawa timur dengan melewati beberapa kota. Dari mulai Purwokerto, Jogja, Wonosari dan seterusnya sampai akhirnya kami sampai di kota tujuan. Perjalanan gue dan Emi agak lebih panjang dibanding yang biasa gue lakukan kalau mudik sekeluarga, karena gue mengubah arah dari jalur pantura ke selatan.
Alangkah terkejutnya kakek nenek gue, ketika malam-malam ada tamu yang datang ke halaman parkir rumah yang selalu terbuka sebelum jam 10 malam itu. Gue memarkirkan motor gue di halaman parkir, mengucap salam dan langsung bersalaman dengan kakek nenek gue yang kebetulan habis menerima tamu yang sedang bersilaturahmi, jadi mereka ada diruang tamu utama.
Gue sangat emosional melihat momen pertemuan gue dengan mereka berdua. Apalagi saat itu Mama nggak bisa mudik karena harus ada persiapan pernikahan adik gue. Tentunya biaya juga jadi masalah, karena uang yang dibutuhkan tidak sedikit untuk pernikahan itu. Apalagi keluarga gue adalah pihak perempuan yang biasanya jadi tuan rumah untuk pernikahan.
Gue nggak tahu kenapa pihak perempuan hampir selalu jadi sesi repot jika ada perhelatan pernikahan seperti ini di Indonesia. Menurut logika gue, setidaknya yang pihak laki-laki pun harusnya bisa berkompromi, apalagi masalah dana untuk mengusung resepsi yang sebenarnya menurut pemikiran gue hanya mengedepankan gengsi ini.
“Ija?” Ada suara yang menyapa kami dari belakang kami.
“Iya, Mbah. Ini Ija. Assalamualaikum.” Sahut gue, itu nenek gue. gue kangen banget sama beliau.
“Kamu kesini naik motor? Kata Mama kamu, kalian ndak jadi kesini Le. Kamu soalnya mau liburan sama pacar kamu.”
“Aku emang liburan ke rumah sodara pacarku, Mbah, namanya Emi.” Gue mempersilakan Emi menjabat tangan dan cium tangan Nenek gue.
“Assalamualaikum, Mbah.” Kata Emi seraya tersenyum.
“Walaikumsalam, Nduk.” Jawab Nenek gue, juga balas tersenyum.
“Tapi aku lanjut lagi ke sini naik motor berdua dia buat jengukin Mbah di sini. Mama soalnya nggak bisa dateng kesini kan. Kasian Mbah kalau Lebaran begini kita nggak datang.” Lanjut gue.
“Le le… Kamu tuh nekat buanget toh, Le. Ayo masuk dulu.”
“Mbah Kakung masih bangun, Mbah?”
“Mbah Kakung-mu tuh lagi nonton tipi, Le.”
“Sopo, Mbah?”
“Iki putumu, Mbah. Ija. Ija dateng kesini sepedahan… Duh Le Le… Kasian awakmu Le. Mama-mu juga pasti kaget Le. Coba Mbah telepon Mama-mu dulu yo…” kata Nenek.
“Ini calonmu, Le?” tanya kakek, setelah gue dan Emi salim ke beliau.
“Insya Allah ini calonnya Ija, Mbah.”
“Yo Syukur kalau begitu ya. mudah-mudahan kalian langgeng yo.” Ucap Kakek gue sembari tersenyum yakin.
Gue dan Emi pun dipersilakan memilih kamar yang mana aja. Rumah Kakek Nenek gue ini sangatlah besar kalau dibandingkan dengan penghuninya yang cuma orang berusia senja dan hanya tinggal berdua. Gue selalu membayangkan kalau nggak ada momen lebaran seperti ini, rumah ini pastilah sangat sepi dan akan banyak debu karena nggak selalu bisa terjangkau membersihkannya.
Kakek nenek gue ini sudah pernah ditawarkan perawat atau yang mengurus rumah, tapi nenek gue selalu menolak dengan alasan nggak percaya sama orang lain untuk perawatan dan pemeliharaan rumahnya. Rumahnya ini kurang lebih luasnya 400 meter persegi dan berdiri diatas tanah yang luasnya kurang lebih 1.000 meter persegi. Disana juga ada rumah peninggalan mbah buyut gue dari pihak Kakek.
Kakek dan Nenek gue adalah seorang guru dan pernah menjabat sebagai kepala sekolah. Kebetulan satu profesi yang sama dengan kakeknya Emi. FYI, kakek nenek di jawa timur ini adalah orang tua kandung Mama. Sedangkan kakek nenek gue dari Papa sudah lama meninggal. Nenek gue dari Papa sudah meninggal sejak tahun 60-an sebelum peristiwa G30S, sedangkan Kakek gue meninggal satu bulan setelah gue lahir.
Setelah selesai memilih kamar, gue dan Emi beberes terlebih dulu. Emi memilih kamar yang ada dibagian depan rumah yang dulunya merupakan kamar Mama, dan kemudian dipakai oleh Om gue kalau lagi mudik. Sejak pindah dari rumah ini menuju ke ibukota, kamar tersebut selalu dipakai oleh Om gue. sementara Om gue baru pindah ke ibukota bertahun-tahun setelah Mama. Bahkan anak tertuanya yang juga sepupu gue, lahir di kota ini dan sempat bersekolah sampai kelas 3 SD disini.
Atas saran Papa lah makanya Om gue itu akhirnya mencari peruntungan di ibukota, dan saat ini beliau sudah sukses. Terbukti tepat saran Papa gue dulu untuknya. Disini bukannya nggak ada lapangan pekerjaan, tapi kota ini yang seperti nggak ada gairah untuk maju membuat penduduknya yang muda-muda jadi pada keluar mencari peruntungan diluar kota. Disini nggak ada istilah orang miskin melarat, karena mereka selalu merasa berkecukupan dengan kehidupannya yang sederhana.
Memang miskin dan melarat atau kaya itu kan sebenarnya persepsi orang. Ada orang – orang kaya yang merasa diri mereka biasa-biasa aja, dan sebaliknya ada orang yang serba kekurangan menurut orang lain, tapi dirinya sendiri nggak pernah merasa kekurangan.
Dengan pemikiran seperti itu, kadang kala gue memang senang tinggal disini beberapa saat, tapi kalau untuk jangka waktu yang lama, bisa mati kutu gue. kehidupan di ibukota yang serba cepat, dinamis dan beragam membuat orang yang terbiasa tinggal diibukota akan kewalahan menyesuaikan diri di kota kecil ini. Untungnya dari dulu gue nggak pernah diajarkan dan menerapkan pola hidup berlebih-lebihan. Sehingga mendapati keadaan yang serba terbatas menurut sebagian besar orang ibukota ini, gue nggak gagap lagi, sudah biasa aja.
Gue kemudian berbincang-bincang dengan Kakek Nenek gue. topik pembicaraan adalah bagaimana gue dan Emi bisa bertemu dan menjalin hubungan. Gue menceritakan panjang lebar mengenai perjalanan hubungan kami, tentunya tanpa yang plus-plusnya ya.
Setelah itu gue berbicara dengan Mama yang ternyata telah tersambung via telepon karena Nenek gue menghubungi Mama. Mama sempat marah-marah karena nggak bilang kalau mau kesini. Ya karena gue izin hanya sampai Subang saja. Tapi ya Mama mau gimana lagi, anaknya sudah berada diantara Kakek Neneknya sekarang.
Hari berikutnya, gue banyak berbincang tentang rencana adik gue menikah yang ternyata Kakek Nenek gue diberitahu lebih dulu daripada gue. entah kenapa bisa begitu. yang jelas gue sempat kecewa, orang yang paling dekat secara jarak dikasih taunya belakangan. Mungkin Mama nggak mau membebani gue yang dianggapnya nggak punya pekerjaan yang jelas, dan telah banyak berubah semenjak berhubungan dengan Emi.
Wejangan Kakek Nenek gue pun ada yang menyinggung masalah tersebut. Gue sempat marah dan melampiaskannya ke Emi, melampiaskan dalam artian gue curhat panjang lebar ketika kami sedang keluar rumah dan mencari makan sambil menikmati malam dikota kecil yang ternyata sudah menghentikan operasionalnya lewat dari jam 20.00. sudah banyak sekali toko yang tutup setelah jam segitu.
Selama disana, Emi benar-benar diperlakukan seperti cucu sendiri. Gue sudah bilang juga kalau Emi nggak bisa bahasa jawa, tapi tettap saja kadang dia diajak ngomong bahasa jawa. Haha. Mungkin karena penampilan Emi yang seperti orang jawa kali ya daripada seperti orang sunda.
Sementara Emi beraktivitas, gue menyempatkan untuk membalas sesekali orang-orang yang chat dengan gue. sinyal disana masih sangat sulit untuk provider kuning saat itu, jadi gue hanya sesekali aja membalas chat. Tapi ya tetap gue balas sebisa gue.
Winda dan Alya sangat khawatir dengan keadaan gue yang tiba-tiba jadi sulit dihubungi. Gue udah bilang kalau sinyal disini sangat sulit. Tapi yang ada mereka malah marah-marah ke gue. menyatakan kalau gue kurang peduli kalau mereka itu sebenarnya sangat peduli dengan gue. lah itu kan urusan mereka. Bukan urusan gue.
Disisi lain, misi kecil-kecilan dan iseng gue ini membuahkan hasil. Kayaknya mereka ini fix sudah suka dengan gue. kalau Rinda dan Dwina memang sudah jelas suka dengan gue. Mila juga sepertinya perasaannya di masa lalu mulai tumbuh lagi ke gue, tapi gue memang nggak banyak diskusi dengan dia selain urusan kampus, sementara satu orang yang namanya Lira ini masih abu-abu. Nggak ada progres berarti. Tapi ya gue nggak ambil pusing, suka syukur, nggak yaudah. Toh perasaan gue seutuhnya hanya untuk Emi seorang.
“Zy. Seriusan kita pulang besok?”
“Kita itu pulang harus ngabisin 2 hari, Mi. Nggak punya banyak waktu di sini.”
“Baru nyampe, terus besok udah pulang lagi?”
“Ya kita kelamaan di jalan soalnya, jadinya begitu deh. Mungkin lain kali kalau ada kesempatan, bisa kesini lagi dan waktunya lebih panjang.”
“Kesini lagi? Mau tiap lebaran kesini gitu?”
“Ya nggak juga sih. Gue ikut jadwalnya keluarga gue aja. Kebetulan tahun ini belum bisa pulang semuanya. Mungkin satu atau dua tahun lagi kesini.”
“Apa satu atau dua tahun lagi masih ada ‘kita’?”
“Kenapa lo nanya begitu?” gue meminggirkan motor dan menikmati indahnya hamparan sawah.
“Zy, kita udah pacaran hampir dua tahun loh… Satu atau dua tahun lagi itu udah tiga atau empat tahun. Dua tahun aja kita ngejalaninnya udah seberat ini. Apa yakin kita bakalan bertahan untuk tahun-tahun ke depannya?”
“Gue nggak tau, Mi. Gue nggak bisa prediksi masa depan. Gue juga nggak terlalu berharap akan ada apaan di masa depan, gue takut kecewa. Jadi, gue coba ngejalanin hubungan ini aja. Kalau gue berharap banget, nanti gue ngerasain rasa sakit yang gue rasain dulu pas harus pisah sama mantan-mantan gue.”
“Tapi lo nggak mikir kalau kita akan terus bareng di tahun-tahun kedepannya?”
“Gue nggak tau banget, Mi. Serius. Gue nggak bisa kasih jawaban pasti.”
Terlihat raut wajah kecewa dari Emi. Memang saat itu gue sedang bimbang. Gue ingin terus bersama Emi, tapi apa iya hubungan ini bisa dipertahankan? Apalagi setelah adanya band dan urusan kuliah, seperti ada boomerang yang berbalik ke gue. Gue diserang oleh ketidakyakinan bisa mempertahankan hubungan, karena gue takut merasa bosan terhadap hubungan gue dengan Emi, dimana kami selalu bertemu dan berdiskusi untuk banyak hal, baik dari sisi hobi sampai urusan formal seperti pekerjaan.
“Hmm. Oke. Gue ngerti, Zy.” Kata Emi lirih.
“Sini ayo nikmatin pemandangan di sini sebelum pulang besok. Kayak waktu kita di rumah kakek lo dulu. Nikmatin sunset bareng di pinggir sawah.”
“Semoga bisa tetep nikmatin begini bareng ya di sini, di tahun-tahun berikutnya?”
“Amiiin…”
Hal inilah yang sangat gue takutkan. Gue malah keenakan berhubungan secara profesional dengan Emi daripada personalnya. Emi selalu ada dan selalu menyediakan keperluan serta bantuan yang gue butuhkan. Ini yang membuat gue jadi sangat bergantung dengan Emi, dan tanpa sadar seperti memanfaatkan kemampuannya daripada memikirkan perasaannya.
Gue terlalu lama dipeluk oleh ego gue sendiri sehingga tidak memikirkan sampai sejauh mana Emi merasakan ketidaknyamanan ini. Gue terlalu sibuk dengan urusan dan diri gue sendiri sehingga harus membayar mahal sebuah perjuangan membina hubungan dengan Emi yang sudah sekian lama terjalin dengan baik, menjadi renggang dan tanpa gairah apapun.
Saat seperti ini pun gue tidak merasa ada yang janggal. Segala sesuatu yang terjadi gue anggap normal semua. Karena gue hanya berpikir dan membayangkan semua dari sisi sudut pandang gue sendiri. Sebuah kesalahan yang mungkin saja akan mengakibatkan sesuatu yang buruk terjadi.
Selanjutnya gue dan Emi tetap menjalani hubungan yang sebenarnya kami tahu agak nggak normal dan sehat. Kuliah, band dan urusan pekerjaan dijalanin barengan terus, tapi bersikapnya selalu profesional. Untuk urusan komunikasi dengan orang lain, gue juga berusaha untuk tetap menanggapi mereka dengan suasana hati yang biasa-biasa aja.
Tapi pada dasarnya ini cewek-cewek merasa dikasih harapan, seperti biasa mereka jadi menuntut ini itu dari gue. yang sejauh ini sangat agresif adalah Winda dan Alya. Contohnya adalah saat gue dan band sedang latihan, si Winda ini nggak berhenti untuk chat gue. sekedar mengingatkan kalau gue jangan pulang malam-malam.
Keadaan gue nggak bisa diatur untuk nggak pulang malam. Semua personil band gue adalah orang yang bekerja, bukan pengangguran yang banyak waktu luang. Jadi satu-satunya waktu yang tepat untuk latihan distudio hanya malam hari aja. Kami biasanya memulai latihan jam 8 malam sampai jam 11 malam. Kami latihan selalu 3 jam. Kenapa? Biar sekalian capek dan nggak berulang kali menghabiskan waktu distudio, karena kami juga punya urusan pribadi masing-masing.
Arko dan Vino sudah berkeluarga, sementara gue dan Emi sibuk kerja dengan segala macam tugas kuliah S2 gue. yang mungkin agak luang hanya Drian dan Rahman karena mereka hanya bekerja saja tanpa ada kesibukan lainnya, berkeluarga pun belum.
“Habis ini kita bakal banyak panggungan nih.” Kata Emi ketika selesai latihan di suatu malam.
“Panggungannya dimana aja?” kata Drian terdengar sangat bersemangat.
“Ada di salah satu universitas yang udah terkenal acara jepangannya Kak. Ada juga di SMA di Bekasi. Paling nggak udah ada empat jadwal manggung kita.” Kata Emi.
“Wah mantap banget emang lo Mi. nggak rugi juga gue kita punya manajer yang mumpuni kayak gini.” Drian menimpali lagi.
Drian sepertinya sangat senang sekali malam ini. Kenapa ya? ada urusan dengan keberhasilan Emi mendapatkan beberapa panggungan, atau tertarik dengan Emi-nya itu sendiri?
“Mesti diatur lagi nih. Soalnya gue kan bisa ngeband lagi juga karena restu dari bini gue.” kata Arko.
“Lo kan kepala keluarga Ko, masa nggak bisa bikin keputusan? Izin boleh aja, tapi kan segala sesuatu lo yang nentuin mestinya.” Gue membalas kalimat Arko.
“Iya justru itu, gue mesti kompromi sama bini gue kalau banyak panggungan gini. Kan terkait sama biaya kita latihan, waktu juga. tenaga gue juga kan nggak sekuat dulu.”
“Iya sih gue ngerti, tapi ya itu harusnya lo sebagai suami bisa ngatur, manajemen keuangan lo juga diatur. Lo setiap latihan gini sewa mobil atau pakai taksi online. Padahal seluruh peralatan lo itu kan nggak perlu dibawa. Cukup bawa stik drum sama beberapa simbal aja. Jadi bisa pakai motor bukan?” gue coba memberi usulan solusi.
“Nah iya bener itu kata Ija. Mending lo bawa yang seperlunya aja, nggak perlu semuanya dibawa. Simbal satu yang chinese, double pedal, sama stik. Snare drum nggak perlu. Kan bisa pake yang ada distudio, ya walaupun semua alat di studio nggak sebagus punya kita masing-masing, tapi setidaknya itu bisa mengurangi pengeluaran lo kan, Ko.” Rahman juga berbicara akhirnya.
“Sekarang gini deh, kalau kita latihan itu biar apa? biar perfect kan? Nah simulasi alatnya juga harus seperti yang akan kita pakai manggung dong, ya kan? Biar terbiasa. Jadinya juga bisa maksimal di panggung. Itulah sebabnya kalau gue latian bawa semua barang ini.” Bela Arko.
“Ya benar emang, tapi bukan berarti dengan begini lo malah buang-buang uang Ko. Inget lo itu udah berkeluarga. Nggak bisa lo maksain kayak gini terus. Adanya, nanti ada suatu masa ketika lo ribut sama istri lo soal duit, yang ujung-ujungnya malah bikin band ini jadi berantakan rencananya, entah karena lo nggak ada uang jadi nggak bisa keluar rumah, atau masalah lainnya. Nyari pengganti itu nggak gampang. Chemistry kita itu yang jadi masalah. Kalau nyari pemain pengganti gampang, tapi nyambung nggak chemistry-nya sama kita?” kata gue.
Arko hanya diam saja mendengar nasehat teman-temannya. Mungkin yang dibilang sama teman-temannya itu benar, atau dia ada pemikiran lainnya, gue juga nggak tau. Kemudian entah gimana ceritanya, Emi izin ke gue untuk berbicara menjauh sedikit dari kami berempat. Entah dia bilang apa sama Arko.
--
Sebelum lebaran, kami mengisi sesi akustikan untuk ngabuburit di salah satu mall ternama di Jakarta. Nggak melulu lagu jepangan, tapi kami juga menyanyikan beberapa lagu rohani milik band lokal. Penonton yang menyaksikan sepertinya senang dan merasa terhibur. Ini sudah membuat kami puas walaupun bayarannya nggak seberapa. Dan kalau kami dapat bayaran gini, biasanya juga langsung habis dipakai makan bareng direstoran sehabis manggung.
Setelah itu kami merayakan idul fitri dengan keluarga masing-masing. Dua hari setelah idul fitri adalah hari yang sangat penting buat gue dan Emi. kami akan memulai perjalanan kami menuju ke Provinsi Jawa Timur, menggunakan sepeda motor gue. Perjalanan yang amat panjang yang pernah gue lakukan dengan menggunakan sepeda motor.
Semua persiapan sudah dilaksanakan, dan kami tentunya telah mendapatkan izin dari orang tua masing-masing, serta Emi pun mendapatkan jatah cuti 9 hari. Kalau gue nggak perlu cuti-cuti toh gue adalah freelancer. Perjalanan pun dimulai dengan tujuan pertama yaitu di Subang, tempat kakek Emi sekarang tinggal bersama istrinya yang baru.
Kakek Emi ini telah lama ditinggal meninggal oleh Neneknya Emi. Bahkan dari jaman Emi masih SD. Akhirnya, menurut cerita Emi, kakeknya disarankan untuk menikah lagi oleh anak-anaknya. Gue pun bertemu dengan Kakeknya ini selama di Subang. Kami banyak berbincang mengenai segala sesuatu.
Ternyata salah satu kecerdasan Emi adalah dari keluarga Bapaknya ini. Kakeknya adalah orang yang sangat cerdas dengan pengetahuan yang sangat banyak. Padahal kakeknya tentu saja buta akan teknologi bernama google. Tapi beliau ini bisa menjelaskan segala macam atau berdiskusi tentang informasi-informasi menarik, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan.
Setelah satu malam kami berada disana, gue dan Emi melanjutkan perjalanan menuju ke Jawa timur dengan melewati beberapa kota. Dari mulai Purwokerto, Jogja, Wonosari dan seterusnya sampai akhirnya kami sampai di kota tujuan. Perjalanan gue dan Emi agak lebih panjang dibanding yang biasa gue lakukan kalau mudik sekeluarga, karena gue mengubah arah dari jalur pantura ke selatan.
Alangkah terkejutnya kakek nenek gue, ketika malam-malam ada tamu yang datang ke halaman parkir rumah yang selalu terbuka sebelum jam 10 malam itu. Gue memarkirkan motor gue di halaman parkir, mengucap salam dan langsung bersalaman dengan kakek nenek gue yang kebetulan habis menerima tamu yang sedang bersilaturahmi, jadi mereka ada diruang tamu utama.
Gue sangat emosional melihat momen pertemuan gue dengan mereka berdua. Apalagi saat itu Mama nggak bisa mudik karena harus ada persiapan pernikahan adik gue. Tentunya biaya juga jadi masalah, karena uang yang dibutuhkan tidak sedikit untuk pernikahan itu. Apalagi keluarga gue adalah pihak perempuan yang biasanya jadi tuan rumah untuk pernikahan.
Gue nggak tahu kenapa pihak perempuan hampir selalu jadi sesi repot jika ada perhelatan pernikahan seperti ini di Indonesia. Menurut logika gue, setidaknya yang pihak laki-laki pun harusnya bisa berkompromi, apalagi masalah dana untuk mengusung resepsi yang sebenarnya menurut pemikiran gue hanya mengedepankan gengsi ini.
“Ija?” Ada suara yang menyapa kami dari belakang kami.
“Iya, Mbah. Ini Ija. Assalamualaikum.” Sahut gue, itu nenek gue. gue kangen banget sama beliau.
“Kamu kesini naik motor? Kata Mama kamu, kalian ndak jadi kesini Le. Kamu soalnya mau liburan sama pacar kamu.”
“Aku emang liburan ke rumah sodara pacarku, Mbah, namanya Emi.” Gue mempersilakan Emi menjabat tangan dan cium tangan Nenek gue.
“Assalamualaikum, Mbah.” Kata Emi seraya tersenyum.
“Walaikumsalam, Nduk.” Jawab Nenek gue, juga balas tersenyum.
“Tapi aku lanjut lagi ke sini naik motor berdua dia buat jengukin Mbah di sini. Mama soalnya nggak bisa dateng kesini kan. Kasian Mbah kalau Lebaran begini kita nggak datang.” Lanjut gue.
“Le le… Kamu tuh nekat buanget toh, Le. Ayo masuk dulu.”
“Mbah Kakung masih bangun, Mbah?”
“Mbah Kakung-mu tuh lagi nonton tipi, Le.”
“Sopo, Mbah?”
“Iki putumu, Mbah. Ija. Ija dateng kesini sepedahan… Duh Le Le… Kasian awakmu Le. Mama-mu juga pasti kaget Le. Coba Mbah telepon Mama-mu dulu yo…” kata Nenek.
“Ini calonmu, Le?” tanya kakek, setelah gue dan Emi salim ke beliau.
“Insya Allah ini calonnya Ija, Mbah.”
“Yo Syukur kalau begitu ya. mudah-mudahan kalian langgeng yo.” Ucap Kakek gue sembari tersenyum yakin.
Gue dan Emi pun dipersilakan memilih kamar yang mana aja. Rumah Kakek Nenek gue ini sangatlah besar kalau dibandingkan dengan penghuninya yang cuma orang berusia senja dan hanya tinggal berdua. Gue selalu membayangkan kalau nggak ada momen lebaran seperti ini, rumah ini pastilah sangat sepi dan akan banyak debu karena nggak selalu bisa terjangkau membersihkannya.
Kakek nenek gue ini sudah pernah ditawarkan perawat atau yang mengurus rumah, tapi nenek gue selalu menolak dengan alasan nggak percaya sama orang lain untuk perawatan dan pemeliharaan rumahnya. Rumahnya ini kurang lebih luasnya 400 meter persegi dan berdiri diatas tanah yang luasnya kurang lebih 1.000 meter persegi. Disana juga ada rumah peninggalan mbah buyut gue dari pihak Kakek.
Kakek dan Nenek gue adalah seorang guru dan pernah menjabat sebagai kepala sekolah. Kebetulan satu profesi yang sama dengan kakeknya Emi. FYI, kakek nenek di jawa timur ini adalah orang tua kandung Mama. Sedangkan kakek nenek gue dari Papa sudah lama meninggal. Nenek gue dari Papa sudah meninggal sejak tahun 60-an sebelum peristiwa G30S, sedangkan Kakek gue meninggal satu bulan setelah gue lahir.
Setelah selesai memilih kamar, gue dan Emi beberes terlebih dulu. Emi memilih kamar yang ada dibagian depan rumah yang dulunya merupakan kamar Mama, dan kemudian dipakai oleh Om gue kalau lagi mudik. Sejak pindah dari rumah ini menuju ke ibukota, kamar tersebut selalu dipakai oleh Om gue. sementara Om gue baru pindah ke ibukota bertahun-tahun setelah Mama. Bahkan anak tertuanya yang juga sepupu gue, lahir di kota ini dan sempat bersekolah sampai kelas 3 SD disini.
Atas saran Papa lah makanya Om gue itu akhirnya mencari peruntungan di ibukota, dan saat ini beliau sudah sukses. Terbukti tepat saran Papa gue dulu untuknya. Disini bukannya nggak ada lapangan pekerjaan, tapi kota ini yang seperti nggak ada gairah untuk maju membuat penduduknya yang muda-muda jadi pada keluar mencari peruntungan diluar kota. Disini nggak ada istilah orang miskin melarat, karena mereka selalu merasa berkecukupan dengan kehidupannya yang sederhana.
Memang miskin dan melarat atau kaya itu kan sebenarnya persepsi orang. Ada orang – orang kaya yang merasa diri mereka biasa-biasa aja, dan sebaliknya ada orang yang serba kekurangan menurut orang lain, tapi dirinya sendiri nggak pernah merasa kekurangan.
Dengan pemikiran seperti itu, kadang kala gue memang senang tinggal disini beberapa saat, tapi kalau untuk jangka waktu yang lama, bisa mati kutu gue. kehidupan di ibukota yang serba cepat, dinamis dan beragam membuat orang yang terbiasa tinggal diibukota akan kewalahan menyesuaikan diri di kota kecil ini. Untungnya dari dulu gue nggak pernah diajarkan dan menerapkan pola hidup berlebih-lebihan. Sehingga mendapati keadaan yang serba terbatas menurut sebagian besar orang ibukota ini, gue nggak gagap lagi, sudah biasa aja.
Gue kemudian berbincang-bincang dengan Kakek Nenek gue. topik pembicaraan adalah bagaimana gue dan Emi bisa bertemu dan menjalin hubungan. Gue menceritakan panjang lebar mengenai perjalanan hubungan kami, tentunya tanpa yang plus-plusnya ya.
Setelah itu gue berbicara dengan Mama yang ternyata telah tersambung via telepon karena Nenek gue menghubungi Mama. Mama sempat marah-marah karena nggak bilang kalau mau kesini. Ya karena gue izin hanya sampai Subang saja. Tapi ya Mama mau gimana lagi, anaknya sudah berada diantara Kakek Neneknya sekarang.
Hari berikutnya, gue banyak berbincang tentang rencana adik gue menikah yang ternyata Kakek Nenek gue diberitahu lebih dulu daripada gue. entah kenapa bisa begitu. yang jelas gue sempat kecewa, orang yang paling dekat secara jarak dikasih taunya belakangan. Mungkin Mama nggak mau membebani gue yang dianggapnya nggak punya pekerjaan yang jelas, dan telah banyak berubah semenjak berhubungan dengan Emi.
Wejangan Kakek Nenek gue pun ada yang menyinggung masalah tersebut. Gue sempat marah dan melampiaskannya ke Emi, melampiaskan dalam artian gue curhat panjang lebar ketika kami sedang keluar rumah dan mencari makan sambil menikmati malam dikota kecil yang ternyata sudah menghentikan operasionalnya lewat dari jam 20.00. sudah banyak sekali toko yang tutup setelah jam segitu.
Selama disana, Emi benar-benar diperlakukan seperti cucu sendiri. Gue sudah bilang juga kalau Emi nggak bisa bahasa jawa, tapi tettap saja kadang dia diajak ngomong bahasa jawa. Haha. Mungkin karena penampilan Emi yang seperti orang jawa kali ya daripada seperti orang sunda.
Sementara Emi beraktivitas, gue menyempatkan untuk membalas sesekali orang-orang yang chat dengan gue. sinyal disana masih sangat sulit untuk provider kuning saat itu, jadi gue hanya sesekali aja membalas chat. Tapi ya tetap gue balas sebisa gue.
Winda dan Alya sangat khawatir dengan keadaan gue yang tiba-tiba jadi sulit dihubungi. Gue udah bilang kalau sinyal disini sangat sulit. Tapi yang ada mereka malah marah-marah ke gue. menyatakan kalau gue kurang peduli kalau mereka itu sebenarnya sangat peduli dengan gue. lah itu kan urusan mereka. Bukan urusan gue.
Disisi lain, misi kecil-kecilan dan iseng gue ini membuahkan hasil. Kayaknya mereka ini fix sudah suka dengan gue. kalau Rinda dan Dwina memang sudah jelas suka dengan gue. Mila juga sepertinya perasaannya di masa lalu mulai tumbuh lagi ke gue, tapi gue memang nggak banyak diskusi dengan dia selain urusan kampus, sementara satu orang yang namanya Lira ini masih abu-abu. Nggak ada progres berarti. Tapi ya gue nggak ambil pusing, suka syukur, nggak yaudah. Toh perasaan gue seutuhnya hanya untuk Emi seorang.
“Zy. Seriusan kita pulang besok?”
“Kita itu pulang harus ngabisin 2 hari, Mi. Nggak punya banyak waktu di sini.”
“Baru nyampe, terus besok udah pulang lagi?”
“Ya kita kelamaan di jalan soalnya, jadinya begitu deh. Mungkin lain kali kalau ada kesempatan, bisa kesini lagi dan waktunya lebih panjang.”
“Kesini lagi? Mau tiap lebaran kesini gitu?”
“Ya nggak juga sih. Gue ikut jadwalnya keluarga gue aja. Kebetulan tahun ini belum bisa pulang semuanya. Mungkin satu atau dua tahun lagi kesini.”
“Apa satu atau dua tahun lagi masih ada ‘kita’?”
“Kenapa lo nanya begitu?” gue meminggirkan motor dan menikmati indahnya hamparan sawah.
“Zy, kita udah pacaran hampir dua tahun loh… Satu atau dua tahun lagi itu udah tiga atau empat tahun. Dua tahun aja kita ngejalaninnya udah seberat ini. Apa yakin kita bakalan bertahan untuk tahun-tahun ke depannya?”
“Gue nggak tau, Mi. Gue nggak bisa prediksi masa depan. Gue juga nggak terlalu berharap akan ada apaan di masa depan, gue takut kecewa. Jadi, gue coba ngejalanin hubungan ini aja. Kalau gue berharap banget, nanti gue ngerasain rasa sakit yang gue rasain dulu pas harus pisah sama mantan-mantan gue.”
“Tapi lo nggak mikir kalau kita akan terus bareng di tahun-tahun kedepannya?”
“Gue nggak tau banget, Mi. Serius. Gue nggak bisa kasih jawaban pasti.”
Terlihat raut wajah kecewa dari Emi. Memang saat itu gue sedang bimbang. Gue ingin terus bersama Emi, tapi apa iya hubungan ini bisa dipertahankan? Apalagi setelah adanya band dan urusan kuliah, seperti ada boomerang yang berbalik ke gue. Gue diserang oleh ketidakyakinan bisa mempertahankan hubungan, karena gue takut merasa bosan terhadap hubungan gue dengan Emi, dimana kami selalu bertemu dan berdiskusi untuk banyak hal, baik dari sisi hobi sampai urusan formal seperti pekerjaan.
“Hmm. Oke. Gue ngerti, Zy.” Kata Emi lirih.
“Sini ayo nikmatin pemandangan di sini sebelum pulang besok. Kayak waktu kita di rumah kakek lo dulu. Nikmatin sunset bareng di pinggir sawah.”
“Semoga bisa tetep nikmatin begini bareng ya di sini, di tahun-tahun berikutnya?”
“Amiiin…”
itkgid dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup