- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#127
Spoiler for Episode 22:
Waktu terus berjalan, tanpa memperdulikan apa yang terjadi. Waktu tetap menjalankan tugasnya, ia takkan berhenti ketika ada orang-orang yang berkeluh kesah tentang masalah hidupnya. Waktu takkan pernah sekalipun berjalan mundur, meskipun semua umat di muka bumi ini memohon hingga bersujud.
Aku pun masih menjalankan semua ini bersama dengan Renata, kami seperti sudah melupakan apa yang akan menghambat kami. Entah tanpa disengaja untuk melupakan, atau memang disengaja oleh kami. Namun itu sudah tidak menjadi masalah, kami tetap berjalan bersama-sama dengan waktu yang tetap maju.
Beberapa momen sudah kami lewati seperti biasa. Ketika aku menjalankan ibadah puasa, aku tak menyangka bahwa ia pun ingin mencoba bagaimana rasanya berpuasa bersama dengan kami.
"Kamu serius kuat?" Tanyaku.
"Tadi pagi kuat-kuat aja, kok makin siang makin lemes ya?" Tanyanya.
"Sabar..." ku usap kepalanya sambil tersenyum, "sebentar lagi buka puasa kok."
Hari pertama mungkin berat bagi Renata untuk menjalankan semuanya, terlebih ia membantu kami di kedai. Waktu berbuka puasa tiba, Renata bersama dengan kami ikut membatalkan puasa bersama-sama.
"Lega banget Adrian." Ucapnya.
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Dan semua ini kembali berulang dari hari ke hari, Renata pun berhasil menjalankan ibadah puasanya sebulan penuh. Beberapa hari terakhir mungkin terasa lebih mudah karena kedai kami tutup hingga beberapa hari setelah lebaran, ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca novel di kamarku.
"Ngga terasa kan kalau udah libur?" Tanyaku.
"Iya juga ya, apa aku udah kebiasaan?" Tanyanya kepadaku.
"Bisa jadi sih. Eh iya kamu ke Gereja jam berapa?" Kataku.
"Kayak biasa aja." Jawabnya.
Waktu pun berlalu meninggalkan kami. Aku masih menunggu di parkiran, tak lama berselang keluarlah Renata dari dalam Gereja menghampiriku. Kami pun masuk ke dalam mobil untuk kembali ke rumah.
"Kita keburu ngga buka puasa di rumah?" Tanya Renata.
"Kalau ngga keburu nanti buka puasa di jalan aja Ren, santai." Kataku.
Benar saja, jalanan macet pun menyambut kami dengan senangnya. Kumandang adzan pun terdengar di sela-sela kemacetan ini, aku memutuskan untuk mampir ke warung untuk membeli cemilan dan air untuk membatalkan puasa.
Tok! Tok! Tok!Kami yang ada di dalam mobil bersamaan menatap ke arah kaca mobil yang ada di sampingku. Kemudian aku menurunkan kaca mobil, aku melihat ada beberapa orang yang melakukan hal yang sama.
"Mas, silahkan untuk buka puasa." Kata orang tersebut.
Ia memberikan dua botol air mineral beserta dengan makanan kecil untuk kami, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia pun berlalu menuju deretan mobil-mobil yang ada di belakang kami.
"Adrian, itu gratis?" Tanya Renata heran.
"Iya, biasanya emang ada kelompok-kelompok orang yang suka bagiin takjil buat buka puasa Ren. Kamu baru ngerasain ya?" Kataku.
"Aku takjub sama apa yang mereka lakuin, keren." Ucapnya.
"Keren berpahala Ren dengan niat tulus mereka." Kataku.
Kami pun akhirnya membatalkan puasa untuk hari ini. Waktu terus berjalan, tak terasa hari lebaran telah tiba. Aku berjalan menuju rumah sepulang dari salat berjama'ah bersama dengan Ayah dan Ibu. Mereka menyempatkan diri untuk berlebaran denganku meskipun hanya bisa satu hari. Setelah bersilaturahmi dengan tetangga sekitar, kami pun kembali masuk ke dalam rumah.
Aku dan Ayah sedang menonton TV, sedangkan Ibu sedang mempersiapkan makanan untuk kami. Tradisi keluarga besar yang biasa kami lakukan adalah berkumpul di rumahku setiap tahunnya.
"Itu siapa Nak?" Tanya Ibu.
Aku melihat keluar melalui kaca jendela, kemudian aku bangun lalu berjalan menuju keluar rumah. Renata keluar dari dalam mobil, aku pun terpana melihat apa yang ia kenakan. Kali ini Renata mengenakan kaftan merah, dengan selendang di lehernya.
"Kok bisa samaan warnanya?" Tanyaku.
"Eh..." Renata melihat ke arahku, "iya ya warnanya bisa samaan."
Aku mengajak Renata masuk ke dalam rumah untuk bertemu Ayah dan juga Ibu. Renata berlalu menuju dapur untuk membantu Ibu menyiapkan makanan, aku masih menatapnya sambil duduk di samping Ayah.
"Udah jangan diliatin mulu, tinggal tentuin aja tanggalnya." Kata Ayah.
Aku menaikkan hidung dengan jari telunjuk untuk menjawab pertanyaan Ayah. Satu per satu datanglah saudara-saudara kami, tentu saja kehadiran Renata cukup mengejutkan mereka. Namun Renata bisa mengendalikan suasana dan semuanya nampak baik-baik saja. Terlebih dengan saudara-saudaraku yang masih kecil, mereka cukup senang berinteraksi dengan Renata. Begitupun Renata yang bisa mengikuti arah pembicaraan saudara-saudaraku yang bahkan aku saja tidak bisa mencapai titik imajinasi pembicaraan mereka.
Sore pun menjelang, aku beserta Renata, Ibu, dan Ayah sedang merapihkan rumah setelah perkumpulan saudara besar. Selesai dari hal tersebut, Ayah dan Ibu sudah siap dengan barang bawaan mereka untuk kembali ke tempat tugas.
"Si Ferdi kemana? Kok belum ke sini?" Tanya Ayah.
"Panjang umur tuh." Kataku.
Mobil Ferdi terpakir di belakang mobil Renata. Keluarlah Ferdi bersama dengan Bella, ku lihat lagi ternyata Rara pun ikut menggunakan motornya. Mereka pun masuk dan bersalaman dengan Ayah dan Ibu.
"Loh, Om mau berangkat lagi?" Tanya Ferdi.
"Iya nih ngga bisa ditinggal lama." Jawab Ayah.
"Kalian ngga pada mudik?" Tanya Ibu.
"Ngga Tan..." Bella menyalami Ibu, "ngga punya kampung halaman."
"Yaudah kalau begitu, Om sama Tante berangkat ya." Kata Ayah.
Taksi yang dipesan pun datang, Ayah dan Ibu masuk ke dalam taksi tersebut lalu pergi untuk kembali ke tempat kerja di luar kota. Kami pun masuk ke dalam rumah dan berkumpul di ruang tamu. Ferdi berlalu menuju dapur lalu membuka tudung saji, kemudian ia mengambil piring kosong lalu mengisinya dengan makanan.
"Bang Fer ngga salah makan lagi? Tadi kan baru makan." Kata Bella.
"Ah Bel kamu kayak baru kenal aja. Kamu sama Rara juga makan gih, ajak Renata juga tuh dia belum makan." Kataku.
Rara bersama Renata beranjak menuju dapur sementara Bella tetap di ruang tamu karena ia sudah makan sebelumnya. Ku nyalakan sebatang rokok sambil menonton TV, Bella pun ikut melakukan hal yang sama denganku. Beberapa menit berlalu, mereka sudah menyelesaikan makan dan kembali ke ruang tamu.
"Jadi gimana nih?" Kata Ferdi.
"Ya begitu." Jawabku.
"Oke." Kata Ferdi lagi.
"Perbincangan macam apa barusan?" Tanya Renata heran.
"Ya namanya juga ngobrol sama orang yang berkebutuhan, jadi tanggepin aja biar dia seneng." Kataku.
"Berkebutuhan apaan cuk! Eh ngomong-ngomong kita boleh nginep di sini kan? Pasti boleh dong." Kata Ferdi.
"Kalau lu mah emang tiap lebaran juga nginep di sini, ngapain segala minta izin. Kalau Bella sama Rara mau ya boleh-boleh aja." Kataku.
"Ka Renata nginep juga?" Tanya Rara.
Renata mengangguk. Malam pun tiba, Renata beserta Bella dan Rara sedang keluar untuk membeli entah apa. Aku dan Ferdi sedang berada di dalam kamarku.
"Gue mandi dulu deh." Kataku sambil membuka baju.
"Yaudah gue ngedota dulu, eh ada update..."
Ferdi terdiam melihat ke arahku, aku pun menatap ke arahnya dengan heran. Ia bangun dari duduknya lalu menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.
"Kenapa lu Fer?" Tanyaku heran.
"Rosario?" Tanya Ferdi.
Aku melihat ke arah kalung yang sedang ku kenakan, kemudian aku kembali melihat ke arah Ferdi. Beberapa saat kami hanya saling tatap dalam diam, akhirnya Ferdi kembali duduk di atas kursi.
"Gue dukung kok, buru sana mandi keburu mereka balik." Katanya.
Aku meninggalkan Ferdi menuju kamar mandi. Beberapa saat berlalu, saat ini aku dan Ferdi sedang berada di balkon kamar dengan rokok kami yang sudah menyala.
"Jadi dia ngasih lu?" Tanya Ferdi.
Aku mengangguk, "Iya dia ngasih gue, ngga ada alesan pula kalau gue mau beli. Tapi menurut lu, gue salah ngga sih pakai ginian?"
"Gimana sih, lu yang lebih sering salat dari gue malah nanya sama gue. Ilmu gue masih cetek Dri, gue ngga tau itu salah apa ngga. Seenggaknya itu lu lepas kan pas salat?" Kata Ferdi.
Aku kembali mengangguk, kemudian kami dapat melihat mobil Renata sudah kembali datang. Ferdi menepuk pundakku secara pelan.
"Lakuin apa yang bikin lu percaya aja." Ucapnya.
*
Kembali membicarakan momen-momen yang sudah kami lewati bersama-sama, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan hal berikutnya adalah "gantian". Aku sedang duduk di sebuah kursi sambil memandang ke arah depan, ku lihat di sekeliling tempat ini sudah dipenuhi oleh orang-orang.
"Udah mau mulai." Ucap Renata.
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian mataku kembali memandang ke arah depan. Jujur saja aku tidak terlalu memahami tentang kegiatan ini, aku hanya mencoba mengikuti semuanya dengan teratur. Beberapa saat berlalu hingga acara selesai, aku dan Renata berjalan keluar dari dalam Gereja menuju parkiran.
"Adrian..." Renata menggenggam tanganku, "kamu kenapa?"
Aku menoleh ke arahnya, "Nggapapa kok."
"Kamu keliatan bingung gitu, kayaknya aku salah ngajak kamu buat..."
"Ren..." aku menggenggam tangannya, "kamu ngga salah, kamu cuma ngajak dan aku yang mau. Aku seneng kamu ngajak aku buat ikut Misa Natal, ini pengalaman baru buat aku."
Renata pun tersenyum setelah mendengarkan perkataanku, dan akhirnya kami pun tiba di tempat kendaraan kami terparkir. Ku kenakan helm yang biasa ku kenakan, Renata mendekat ke arahku.
"Kamu ngga mau ikut ke rumah?" Tanya Renata.
"Besok aku ke rumah, kan pas libur juga hari Minggu." Jawabku.
"Yaudah, kamu hati-hati ya di jalan." Ucapnya lagi.
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian aku meninggalkan Renata untuk kembali menuju kedai. Beberapa jam di perjalanan, aku kembali tiba di kedai. Aku berjalan masuk menuju tempat penyimpanan, ku lihat keadaan sekitar masih terkendali. Kemudian aku berjalan mendekat ke arah Ferdi.
"Ini kembaliannya, silahkan ditunggu. Terima kasih." Ucap Ferdi.
"Gantian cuk." Kataku.
Ferdi pun bergeser, "Ngomong-ngomong besok lu ke rumah Renata buat Natalan? Apa gimana nih?"
"Mungkin iya, kalau emang situasinya ngga memungkinkan ya gue di rumah aja." Jawabku.
"Yakin lu mau ketemu nyokapnya?
Aku menatap Ferdi dengan cepat, kemudian aku terdiam beberapa saat. Rasanya aku seperti diingatkan, beberapa waktu yang lalu ketika aku memutuskan untuk menjauhi Renata.
"Salah ngomong nih gue, udah balik ke bar aja jangan megang kasir." Ucap Ferdi.
"Kok gue baru kepikiran ya?" Tanyaku.
"Selama lu deket sama Renata kayaknya lu udah ngga pernah mikir lagi. Bukan maksud nyalahin lu sama Renata atau gue nyalahin Renata ya, tapi emang kayaknya cara pikir lu berubah drastis dari sebelumnya..."
Aku terdiam mendengar perkataan Ferdi.
"... Entah itu sesuatu yang bagus atau ngga, gue pun ngga tau karena gue ngga ngerasain. Yang ngerasain itu kalian berdua, gue ngga bisa ikut campur. Sekalipun gue mau ikut campur, gue cuma bisa dukung kalian aja biar kalian yang nentuin..."
Aku menghela nafas panjang.
"... Kembali lagi soal besok. Kalau emang lu belum siap buat ketemu nyokapnya, gue saranin jangan. Daripada semua yang udah kalian lewatin musnah gitu aja, kayak kenangan pahit yang harus kalian inget untuk waktu yang lama. Jelas Ferdi.
"Kesannya mirip kayak lirik lagu. Biarlah aku menyimpan bayangmu dan biarkanlah semua menjadi kenangan, yang terlukis di dalam hatiku." Kataku.
"Meskipun perih namun tetap selalu ada di sini. Itu lagunya Reza Artamevia cuk, duet sama siapa namanya?" Kata Ferdi.
"Masaki Ueda." Jawabku cepat.
Kami pun tertawa, "Bangs*t, tua juga lu Dri."
"Kalian kenapa sih kok seru banget?" Tanya Bella.
"Ini loh Bel, lagi main tebak-tebakan lagu lawas." Jawab Ferdi.
Perbincangan pun berlanjut hingga tiba waktunya untuk tutup. Aku dan Syailendra melewati jalan yang selalu sama untuk pulang, dalam diam aku hanya memandang ke arah sekeliling. Hingga tiba kembali di rumah, tidak banyak kegiatan yang berubah. Kembali masuk ke dalam kamar setelah menghabiskan sebatang rokok, aku kembali merebahkan tubuh di atas kasur lalu menatap langit-langit.
"Hmm..."
Aku mencoba untuk memejamkan mata, lebih tepatnya aku memaksa. Aku ingin segera masuk ke dalam alam bawah sadar meninggalkan semua kenyataan ini.
Pagi pun tiba, aku sudah berdiri setelah mengenakan sepatu yang biasa ku kenakan. Aku berlalu menuju garasi untuk mengeluarkan Syailendra, ku panaskan mesinnya terlebih dahulu sambil aku mengenakan sweater dan helm. Setelah semuanya siap, aku pun melajukan Syailendra. Jalanan nampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang.
Ku hentikan motorku secara perlahan, Syailendra berhenti tepat di depan Renata yang sedang menunggu di luar. Kami pun saling berbalas senyum satu sama lain, kemudian ia mendekat ke arahku.
"Aku kira kamu ngga bakalan dateng." Ucapnya.
"Sebentar aja nggapapa kan?" Kataku.
Renata menganggukkan kepalanya, kemudian ia mengajakku untuk masuk ke dalam rumah. Setelah memarkirkan Syailendra, aku pun mengikutinya dari belakang. Aku cukup terkejut, di balik pintu sudah ada Ari yang menyambutku.
"Bang Adrian!" Ucapnya.
"Jangan bikin kaget dong Ri..." aku menjabat tangannya, "selamat natal ya."
"Kamu jangan bikin Adrian kaget dong." Kata Renata.
Ari hanya tersenyum sambil menggaruk kepala belakangnya, kami pun berjalan masuk ke dalam rumah. Di sana aku dapat melihat Papanya Renata sedang merapihkan aksesoris di pohon natal, ia pun menyadari kedatanganku kemudian tersenyum.
"Selamat natal Om." Kataku.
Ia mengabaikan jabatan tanganku, melainkan ia memelukku. Aku pun terkejut dan tidak tau harus bertindak bagaimana, aku hanya bisa berdiam diri sampai ia melepaskan pelukannya.
"Terima kasih Adrian, kamu sudah mau datang." Ucap beliau.
Mendengar perkataannya pun aku semakin bingung, namun aku mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Aku pun diajak menuju halaman belakang oleh Papanya Renata, aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil mengikuti kemana langkahnya menuntunku. Ia mempersilahkan aku duduk di bangku taman, aku pun duduk setelah beliau duduk terlebih dahulu.
"Do'a Renata mungkin di dengar oleh Tuhan." Kata Papanya Renata.
"Maksudnya gimana Om?" Tanyaku.
"Setiap malam, hingga sebelum natal tiba. Om selalu mendengar Renata berdo'a, ia memohon agar natal kali ini lebih baik dari sebelumnya. Ia selalu menyebut namamu, dan nampaknya terkabul." Jelas beliau.
Renata datang membawakan minuman untukku dan juga untuk Papanya. Aku menatap Renata, terlihat cukup jelas bahwa ia sangat bahagia. Entah apa benar yang baru saja diceritakan oleh Papanya, aku tidak tau kebenarannya.
"Eh iya, ada yang kelupaan. Bentar ya." Ucap Renata.
Ia kembali masuk ke dalam rumah. Papanya Renata menyenggol tanganku yang membuatku menatap ke arahnya dengan cepat.
"Kamu liat sendiri kan? Kamu mungkin udah bisa liat dari sikapnya Renata." Kata Papanya Renata.
"Renata memang orang yang ceria Om, tapi kali ini lebih ceria dari biasanya." Kataku.
Suara pintu terbuka, aku menatap ke arah suara tersebut berasal. Mamanya Renata mendekat ke arah kami, aku pun berdiri sambil tersenyum. Beliau pun tersenyum dan berdiri di dekat kami.
"Ayah, ini ada panggilan dari Pak Julius."
Papanya Renata meraih handphone tersebut, "Adrian, Om tinggal sebentar ya ada panggilan penting nih."
Aku pun mengangguk kemudian Papanya Renata menjauh dariku, Mamanya pun akhirnya duduk di sampingku. Beberapa saat kami hanya saling diam satu sama lain, aku tidak berani mengucapkan satu kata pun. Mataku pun tertunduk menatap ke arah bebatuan yang disusun sebagai jalan halaman belakang.
"Adrian..."
Aku sempat menghela nafas sebelum menatap ke arah Mamanya Renata, aku akan sebisa mungkin menerima apa yang akan ia katakan.
"Tante suka sama orang yang gigih, pantang menyerah kayak kamu. Tante masih inget ketika kamu masuk ke mobil, kamu ngga ngeluarin satu kata pun, sampai akhirnya kamu cuma ngangguk..."
Aku masih terdiam.
"... Terus kamu keluar dari mobil. Tante pikir semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana yang kita bicarain waktu itu. Ternyata Tante salah..."
Mataku tertuju pada gerakan bibir Mamanya Renata.
"... Setelah kejadian itu, Tante jadi lebih sering denger Renata berdo'a dan menyebut nama kamu. Dan akhirnya kamu bisa sampai di sini hari ini. Mungkin memang Tante ngga bisa misahin kalian berdua, mungkin kalian memang ditakdirkan untuk berdua. Cuma Tuhan yang bisa misahin kalian berdua, Tante salut sama kamu." Ucap Beliau.
Aku menelan ludah dan bersiap untuk menanggapi apa yang baru saja Mamanya Renata katakan, namun Renata datang ke arah kami. Kata-kataku pun tertahan begitu saja, aku pun tersenyum kepadanya.
"Ren, temenin Adrian ya. Mama mau nyiapin perlengkapan." Ucap beliau.
Renata pun duduk di sampingku. Aku terdiam menatapnya, memang benar saja ia nampak lebih ceria kali ini dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Tak lama, Ari pun ikut duduk bersama dengan kami. Perbincangan pun dimulai, hingga sore pun menjelang.
Aku sudah duduk di atas Syailendra, Renata berdiri di sampingku. Kami masih menyempatkan diri untuk berbincang di depan gerbang rumah Renata sebelum aku pulang.
"Adrian, makasih ya udah mau dateng." Kata Renata.
"Sama-sama, aku pulang dulu ya." Kataku.
"Bentar..."
Renata mendekat lalu mencium bibirku, tentu saja aku sangat terkejut. Bukan untuk apa yang ia lakukan, melainkan di mana kejadian ini terjadi.
"Ren, ini di pinggir jalan." Kataku.
"Ngga bakalan ada yang lewat kok, masih pada natalan semua." Ucapnya.
Ia kembali menciumku, sebuah tindakan yang benar-benar tidak aku duga. "Tiba-tiba", sebuah kata yang dapat menggambarkan sesuatu yang terjadi diluar kehendak. Seperti ciuman ini yang datang tiba-tiba, dan seperti perasaanku kepada Renata yang datang tiba-tiba. Aku tidak menghendaki perasaanku, namun semuanya datang begitu saja. Ditambah berjalannya waktu yang beriringan dengan terbiasanya kami satu sama lain, yang membuat kami semakin nyaman dengan hubungan ini.
***
Aku pun masih menjalankan semua ini bersama dengan Renata, kami seperti sudah melupakan apa yang akan menghambat kami. Entah tanpa disengaja untuk melupakan, atau memang disengaja oleh kami. Namun itu sudah tidak menjadi masalah, kami tetap berjalan bersama-sama dengan waktu yang tetap maju.
Beberapa momen sudah kami lewati seperti biasa. Ketika aku menjalankan ibadah puasa, aku tak menyangka bahwa ia pun ingin mencoba bagaimana rasanya berpuasa bersama dengan kami.
"Kamu serius kuat?" Tanyaku.
"Tadi pagi kuat-kuat aja, kok makin siang makin lemes ya?" Tanyanya.
"Sabar..." ku usap kepalanya sambil tersenyum, "sebentar lagi buka puasa kok."
Hari pertama mungkin berat bagi Renata untuk menjalankan semuanya, terlebih ia membantu kami di kedai. Waktu berbuka puasa tiba, Renata bersama dengan kami ikut membatalkan puasa bersama-sama.
"Lega banget Adrian." Ucapnya.
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Dan semua ini kembali berulang dari hari ke hari, Renata pun berhasil menjalankan ibadah puasanya sebulan penuh. Beberapa hari terakhir mungkin terasa lebih mudah karena kedai kami tutup hingga beberapa hari setelah lebaran, ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca novel di kamarku.
"Ngga terasa kan kalau udah libur?" Tanyaku.
"Iya juga ya, apa aku udah kebiasaan?" Tanyanya kepadaku.
"Bisa jadi sih. Eh iya kamu ke Gereja jam berapa?" Kataku.
"Kayak biasa aja." Jawabnya.
Waktu pun berlalu meninggalkan kami. Aku masih menunggu di parkiran, tak lama berselang keluarlah Renata dari dalam Gereja menghampiriku. Kami pun masuk ke dalam mobil untuk kembali ke rumah.
"Kita keburu ngga buka puasa di rumah?" Tanya Renata.
"Kalau ngga keburu nanti buka puasa di jalan aja Ren, santai." Kataku.
Benar saja, jalanan macet pun menyambut kami dengan senangnya. Kumandang adzan pun terdengar di sela-sela kemacetan ini, aku memutuskan untuk mampir ke warung untuk membeli cemilan dan air untuk membatalkan puasa.
Tok! Tok! Tok!Kami yang ada di dalam mobil bersamaan menatap ke arah kaca mobil yang ada di sampingku. Kemudian aku menurunkan kaca mobil, aku melihat ada beberapa orang yang melakukan hal yang sama.
"Mas, silahkan untuk buka puasa." Kata orang tersebut.
Ia memberikan dua botol air mineral beserta dengan makanan kecil untuk kami, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia pun berlalu menuju deretan mobil-mobil yang ada di belakang kami.
"Adrian, itu gratis?" Tanya Renata heran.
"Iya, biasanya emang ada kelompok-kelompok orang yang suka bagiin takjil buat buka puasa Ren. Kamu baru ngerasain ya?" Kataku.
"Aku takjub sama apa yang mereka lakuin, keren." Ucapnya.
"Keren berpahala Ren dengan niat tulus mereka." Kataku.
Kami pun akhirnya membatalkan puasa untuk hari ini. Waktu terus berjalan, tak terasa hari lebaran telah tiba. Aku berjalan menuju rumah sepulang dari salat berjama'ah bersama dengan Ayah dan Ibu. Mereka menyempatkan diri untuk berlebaran denganku meskipun hanya bisa satu hari. Setelah bersilaturahmi dengan tetangga sekitar, kami pun kembali masuk ke dalam rumah.
Aku dan Ayah sedang menonton TV, sedangkan Ibu sedang mempersiapkan makanan untuk kami. Tradisi keluarga besar yang biasa kami lakukan adalah berkumpul di rumahku setiap tahunnya.
"Itu siapa Nak?" Tanya Ibu.
Aku melihat keluar melalui kaca jendela, kemudian aku bangun lalu berjalan menuju keluar rumah. Renata keluar dari dalam mobil, aku pun terpana melihat apa yang ia kenakan. Kali ini Renata mengenakan kaftan merah, dengan selendang di lehernya.
"Kok bisa samaan warnanya?" Tanyaku.
"Eh..." Renata melihat ke arahku, "iya ya warnanya bisa samaan."
Aku mengajak Renata masuk ke dalam rumah untuk bertemu Ayah dan juga Ibu. Renata berlalu menuju dapur untuk membantu Ibu menyiapkan makanan, aku masih menatapnya sambil duduk di samping Ayah.
"Udah jangan diliatin mulu, tinggal tentuin aja tanggalnya." Kata Ayah.
Aku menaikkan hidung dengan jari telunjuk untuk menjawab pertanyaan Ayah. Satu per satu datanglah saudara-saudara kami, tentu saja kehadiran Renata cukup mengejutkan mereka. Namun Renata bisa mengendalikan suasana dan semuanya nampak baik-baik saja. Terlebih dengan saudara-saudaraku yang masih kecil, mereka cukup senang berinteraksi dengan Renata. Begitupun Renata yang bisa mengikuti arah pembicaraan saudara-saudaraku yang bahkan aku saja tidak bisa mencapai titik imajinasi pembicaraan mereka.
Sore pun menjelang, aku beserta Renata, Ibu, dan Ayah sedang merapihkan rumah setelah perkumpulan saudara besar. Selesai dari hal tersebut, Ayah dan Ibu sudah siap dengan barang bawaan mereka untuk kembali ke tempat tugas.
"Si Ferdi kemana? Kok belum ke sini?" Tanya Ayah.
"Panjang umur tuh." Kataku.
Mobil Ferdi terpakir di belakang mobil Renata. Keluarlah Ferdi bersama dengan Bella, ku lihat lagi ternyata Rara pun ikut menggunakan motornya. Mereka pun masuk dan bersalaman dengan Ayah dan Ibu.
"Loh, Om mau berangkat lagi?" Tanya Ferdi.
"Iya nih ngga bisa ditinggal lama." Jawab Ayah.
"Kalian ngga pada mudik?" Tanya Ibu.
"Ngga Tan..." Bella menyalami Ibu, "ngga punya kampung halaman."
"Yaudah kalau begitu, Om sama Tante berangkat ya." Kata Ayah.
Taksi yang dipesan pun datang, Ayah dan Ibu masuk ke dalam taksi tersebut lalu pergi untuk kembali ke tempat kerja di luar kota. Kami pun masuk ke dalam rumah dan berkumpul di ruang tamu. Ferdi berlalu menuju dapur lalu membuka tudung saji, kemudian ia mengambil piring kosong lalu mengisinya dengan makanan.
"Bang Fer ngga salah makan lagi? Tadi kan baru makan." Kata Bella.
"Ah Bel kamu kayak baru kenal aja. Kamu sama Rara juga makan gih, ajak Renata juga tuh dia belum makan." Kataku.
Rara bersama Renata beranjak menuju dapur sementara Bella tetap di ruang tamu karena ia sudah makan sebelumnya. Ku nyalakan sebatang rokok sambil menonton TV, Bella pun ikut melakukan hal yang sama denganku. Beberapa menit berlalu, mereka sudah menyelesaikan makan dan kembali ke ruang tamu.
"Jadi gimana nih?" Kata Ferdi.
"Ya begitu." Jawabku.
"Oke." Kata Ferdi lagi.
"Perbincangan macam apa barusan?" Tanya Renata heran.
"Ya namanya juga ngobrol sama orang yang berkebutuhan, jadi tanggepin aja biar dia seneng." Kataku.
"Berkebutuhan apaan cuk! Eh ngomong-ngomong kita boleh nginep di sini kan? Pasti boleh dong." Kata Ferdi.
"Kalau lu mah emang tiap lebaran juga nginep di sini, ngapain segala minta izin. Kalau Bella sama Rara mau ya boleh-boleh aja." Kataku.
"Ka Renata nginep juga?" Tanya Rara.
Renata mengangguk. Malam pun tiba, Renata beserta Bella dan Rara sedang keluar untuk membeli entah apa. Aku dan Ferdi sedang berada di dalam kamarku.
"Gue mandi dulu deh." Kataku sambil membuka baju.
"Yaudah gue ngedota dulu, eh ada update..."
Ferdi terdiam melihat ke arahku, aku pun menatap ke arahnya dengan heran. Ia bangun dari duduknya lalu menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.
"Kenapa lu Fer?" Tanyaku heran.
"Rosario?" Tanya Ferdi.
Aku melihat ke arah kalung yang sedang ku kenakan, kemudian aku kembali melihat ke arah Ferdi. Beberapa saat kami hanya saling tatap dalam diam, akhirnya Ferdi kembali duduk di atas kursi.
"Gue dukung kok, buru sana mandi keburu mereka balik." Katanya.
Aku meninggalkan Ferdi menuju kamar mandi. Beberapa saat berlalu, saat ini aku dan Ferdi sedang berada di balkon kamar dengan rokok kami yang sudah menyala.
"Jadi dia ngasih lu?" Tanya Ferdi.
Aku mengangguk, "Iya dia ngasih gue, ngga ada alesan pula kalau gue mau beli. Tapi menurut lu, gue salah ngga sih pakai ginian?"
"Gimana sih, lu yang lebih sering salat dari gue malah nanya sama gue. Ilmu gue masih cetek Dri, gue ngga tau itu salah apa ngga. Seenggaknya itu lu lepas kan pas salat?" Kata Ferdi.
Aku kembali mengangguk, kemudian kami dapat melihat mobil Renata sudah kembali datang. Ferdi menepuk pundakku secara pelan.
"Lakuin apa yang bikin lu percaya aja." Ucapnya.
*
Kembali membicarakan momen-momen yang sudah kami lewati bersama-sama, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan hal berikutnya adalah "gantian". Aku sedang duduk di sebuah kursi sambil memandang ke arah depan, ku lihat di sekeliling tempat ini sudah dipenuhi oleh orang-orang.
"Udah mau mulai." Ucap Renata.
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian mataku kembali memandang ke arah depan. Jujur saja aku tidak terlalu memahami tentang kegiatan ini, aku hanya mencoba mengikuti semuanya dengan teratur. Beberapa saat berlalu hingga acara selesai, aku dan Renata berjalan keluar dari dalam Gereja menuju parkiran.
"Adrian..." Renata menggenggam tanganku, "kamu kenapa?"
Aku menoleh ke arahnya, "Nggapapa kok."
"Kamu keliatan bingung gitu, kayaknya aku salah ngajak kamu buat..."
"Ren..." aku menggenggam tangannya, "kamu ngga salah, kamu cuma ngajak dan aku yang mau. Aku seneng kamu ngajak aku buat ikut Misa Natal, ini pengalaman baru buat aku."
Renata pun tersenyum setelah mendengarkan perkataanku, dan akhirnya kami pun tiba di tempat kendaraan kami terparkir. Ku kenakan helm yang biasa ku kenakan, Renata mendekat ke arahku.
"Kamu ngga mau ikut ke rumah?" Tanya Renata.
"Besok aku ke rumah, kan pas libur juga hari Minggu." Jawabku.
"Yaudah, kamu hati-hati ya di jalan." Ucapnya lagi.
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian aku meninggalkan Renata untuk kembali menuju kedai. Beberapa jam di perjalanan, aku kembali tiba di kedai. Aku berjalan masuk menuju tempat penyimpanan, ku lihat keadaan sekitar masih terkendali. Kemudian aku berjalan mendekat ke arah Ferdi.
"Ini kembaliannya, silahkan ditunggu. Terima kasih." Ucap Ferdi.
"Gantian cuk." Kataku.
Ferdi pun bergeser, "Ngomong-ngomong besok lu ke rumah Renata buat Natalan? Apa gimana nih?"
"Mungkin iya, kalau emang situasinya ngga memungkinkan ya gue di rumah aja." Jawabku.
"Yakin lu mau ketemu nyokapnya?
Aku menatap Ferdi dengan cepat, kemudian aku terdiam beberapa saat. Rasanya aku seperti diingatkan, beberapa waktu yang lalu ketika aku memutuskan untuk menjauhi Renata.
"Salah ngomong nih gue, udah balik ke bar aja jangan megang kasir." Ucap Ferdi.
"Kok gue baru kepikiran ya?" Tanyaku.
"Selama lu deket sama Renata kayaknya lu udah ngga pernah mikir lagi. Bukan maksud nyalahin lu sama Renata atau gue nyalahin Renata ya, tapi emang kayaknya cara pikir lu berubah drastis dari sebelumnya..."
Aku terdiam mendengar perkataan Ferdi.
"... Entah itu sesuatu yang bagus atau ngga, gue pun ngga tau karena gue ngga ngerasain. Yang ngerasain itu kalian berdua, gue ngga bisa ikut campur. Sekalipun gue mau ikut campur, gue cuma bisa dukung kalian aja biar kalian yang nentuin..."
Aku menghela nafas panjang.
"... Kembali lagi soal besok. Kalau emang lu belum siap buat ketemu nyokapnya, gue saranin jangan. Daripada semua yang udah kalian lewatin musnah gitu aja, kayak kenangan pahit yang harus kalian inget untuk waktu yang lama. Jelas Ferdi.
"Kesannya mirip kayak lirik lagu. Biarlah aku menyimpan bayangmu dan biarkanlah semua menjadi kenangan, yang terlukis di dalam hatiku." Kataku.
"Meskipun perih namun tetap selalu ada di sini. Itu lagunya Reza Artamevia cuk, duet sama siapa namanya?" Kata Ferdi.
"Masaki Ueda." Jawabku cepat.
Kami pun tertawa, "Bangs*t, tua juga lu Dri."
"Kalian kenapa sih kok seru banget?" Tanya Bella.
"Ini loh Bel, lagi main tebak-tebakan lagu lawas." Jawab Ferdi.
Perbincangan pun berlanjut hingga tiba waktunya untuk tutup. Aku dan Syailendra melewati jalan yang selalu sama untuk pulang, dalam diam aku hanya memandang ke arah sekeliling. Hingga tiba kembali di rumah, tidak banyak kegiatan yang berubah. Kembali masuk ke dalam kamar setelah menghabiskan sebatang rokok, aku kembali merebahkan tubuh di atas kasur lalu menatap langit-langit.
"Hmm..."
Aku mencoba untuk memejamkan mata, lebih tepatnya aku memaksa. Aku ingin segera masuk ke dalam alam bawah sadar meninggalkan semua kenyataan ini.
Pagi pun tiba, aku sudah berdiri setelah mengenakan sepatu yang biasa ku kenakan. Aku berlalu menuju garasi untuk mengeluarkan Syailendra, ku panaskan mesinnya terlebih dahulu sambil aku mengenakan sweater dan helm. Setelah semuanya siap, aku pun melajukan Syailendra. Jalanan nampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang.
Ku hentikan motorku secara perlahan, Syailendra berhenti tepat di depan Renata yang sedang menunggu di luar. Kami pun saling berbalas senyum satu sama lain, kemudian ia mendekat ke arahku.
"Aku kira kamu ngga bakalan dateng." Ucapnya.
"Sebentar aja nggapapa kan?" Kataku.
Renata menganggukkan kepalanya, kemudian ia mengajakku untuk masuk ke dalam rumah. Setelah memarkirkan Syailendra, aku pun mengikutinya dari belakang. Aku cukup terkejut, di balik pintu sudah ada Ari yang menyambutku.
"Bang Adrian!" Ucapnya.
"Jangan bikin kaget dong Ri..." aku menjabat tangannya, "selamat natal ya."
"Kamu jangan bikin Adrian kaget dong." Kata Renata.
Ari hanya tersenyum sambil menggaruk kepala belakangnya, kami pun berjalan masuk ke dalam rumah. Di sana aku dapat melihat Papanya Renata sedang merapihkan aksesoris di pohon natal, ia pun menyadari kedatanganku kemudian tersenyum.
"Selamat natal Om." Kataku.
Ia mengabaikan jabatan tanganku, melainkan ia memelukku. Aku pun terkejut dan tidak tau harus bertindak bagaimana, aku hanya bisa berdiam diri sampai ia melepaskan pelukannya.
"Terima kasih Adrian, kamu sudah mau datang." Ucap beliau.
Mendengar perkataannya pun aku semakin bingung, namun aku mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Aku pun diajak menuju halaman belakang oleh Papanya Renata, aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil mengikuti kemana langkahnya menuntunku. Ia mempersilahkan aku duduk di bangku taman, aku pun duduk setelah beliau duduk terlebih dahulu.
"Do'a Renata mungkin di dengar oleh Tuhan." Kata Papanya Renata.
"Maksudnya gimana Om?" Tanyaku.
"Setiap malam, hingga sebelum natal tiba. Om selalu mendengar Renata berdo'a, ia memohon agar natal kali ini lebih baik dari sebelumnya. Ia selalu menyebut namamu, dan nampaknya terkabul." Jelas beliau.
Renata datang membawakan minuman untukku dan juga untuk Papanya. Aku menatap Renata, terlihat cukup jelas bahwa ia sangat bahagia. Entah apa benar yang baru saja diceritakan oleh Papanya, aku tidak tau kebenarannya.
"Eh iya, ada yang kelupaan. Bentar ya." Ucap Renata.
Ia kembali masuk ke dalam rumah. Papanya Renata menyenggol tanganku yang membuatku menatap ke arahnya dengan cepat.
"Kamu liat sendiri kan? Kamu mungkin udah bisa liat dari sikapnya Renata." Kata Papanya Renata.
"Renata memang orang yang ceria Om, tapi kali ini lebih ceria dari biasanya." Kataku.
Suara pintu terbuka, aku menatap ke arah suara tersebut berasal. Mamanya Renata mendekat ke arah kami, aku pun berdiri sambil tersenyum. Beliau pun tersenyum dan berdiri di dekat kami.
"Ayah, ini ada panggilan dari Pak Julius."
Papanya Renata meraih handphone tersebut, "Adrian, Om tinggal sebentar ya ada panggilan penting nih."
Aku pun mengangguk kemudian Papanya Renata menjauh dariku, Mamanya pun akhirnya duduk di sampingku. Beberapa saat kami hanya saling diam satu sama lain, aku tidak berani mengucapkan satu kata pun. Mataku pun tertunduk menatap ke arah bebatuan yang disusun sebagai jalan halaman belakang.
"Adrian..."
Aku sempat menghela nafas sebelum menatap ke arah Mamanya Renata, aku akan sebisa mungkin menerima apa yang akan ia katakan.
"Tante suka sama orang yang gigih, pantang menyerah kayak kamu. Tante masih inget ketika kamu masuk ke mobil, kamu ngga ngeluarin satu kata pun, sampai akhirnya kamu cuma ngangguk..."
Aku masih terdiam.
"... Terus kamu keluar dari mobil. Tante pikir semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana yang kita bicarain waktu itu. Ternyata Tante salah..."
Mataku tertuju pada gerakan bibir Mamanya Renata.
"... Setelah kejadian itu, Tante jadi lebih sering denger Renata berdo'a dan menyebut nama kamu. Dan akhirnya kamu bisa sampai di sini hari ini. Mungkin memang Tante ngga bisa misahin kalian berdua, mungkin kalian memang ditakdirkan untuk berdua. Cuma Tuhan yang bisa misahin kalian berdua, Tante salut sama kamu." Ucap Beliau.
Aku menelan ludah dan bersiap untuk menanggapi apa yang baru saja Mamanya Renata katakan, namun Renata datang ke arah kami. Kata-kataku pun tertahan begitu saja, aku pun tersenyum kepadanya.
"Ren, temenin Adrian ya. Mama mau nyiapin perlengkapan." Ucap beliau.
Renata pun duduk di sampingku. Aku terdiam menatapnya, memang benar saja ia nampak lebih ceria kali ini dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Tak lama, Ari pun ikut duduk bersama dengan kami. Perbincangan pun dimulai, hingga sore pun menjelang.
Aku sudah duduk di atas Syailendra, Renata berdiri di sampingku. Kami masih menyempatkan diri untuk berbincang di depan gerbang rumah Renata sebelum aku pulang.
"Adrian, makasih ya udah mau dateng." Kata Renata.
"Sama-sama, aku pulang dulu ya." Kataku.
"Bentar..."
Renata mendekat lalu mencium bibirku, tentu saja aku sangat terkejut. Bukan untuk apa yang ia lakukan, melainkan di mana kejadian ini terjadi.
"Ren, ini di pinggir jalan." Kataku.
"Ngga bakalan ada yang lewat kok, masih pada natalan semua." Ucapnya.
Ia kembali menciumku, sebuah tindakan yang benar-benar tidak aku duga. "Tiba-tiba", sebuah kata yang dapat menggambarkan sesuatu yang terjadi diluar kehendak. Seperti ciuman ini yang datang tiba-tiba, dan seperti perasaanku kepada Renata yang datang tiba-tiba. Aku tidak menghendaki perasaanku, namun semuanya datang begitu saja. Ditambah berjalannya waktu yang beriringan dengan terbiasanya kami satu sama lain, yang membuat kami semakin nyaman dengan hubungan ini.
***
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas