- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#30
BAB VII Part 2 - Saatnya Pulang
iii.
Perjalanan kami berdua saat pulang memang tidak seperti yang awalnya ku bayangkan dimana banyak orang yang memperhatikan kami saat melihat Ardi yang membawa gulungan kain putih pada punggungnya itu, mungkin sekarang sekarang ini orang cukup sibuk dengan kegiatannya masing masing dan tidak mempunyai waktu sedikitpun untuk memperhatikan sekitarnya, semua sibuk merunduk memperhatikan gadget miliknya, oh ada juga yang tidak menunduk, tapi dia sedang menggunakan VRnya.
Kami tidak banyak bercakap cakap saat berada di kereta, kami memang berdua sama sama orangnya pendiam dan tidak akan bicara jika tidak ada yang memulai, itulah permasalahan kami, tidak ada yang berani memulai.
Mataku juga tidak bisa berhenti fokus melihat sawah sawah yang terhampar luas, hamparan ombak hijau yang bergelombang bersama kencangnya angin. Suara mesin diesel yang kencang membuat pikiranku menjadi tenang. Tiba tiba jadi mengingat kembali masa masa lalu, sudah lama sekali diriku tidak naik kereta api, terakhir kali aku ingat saat aku kecil bersama ayahku, tidak banyak yang kuingat saat itu pula selain pemandangan yang sama yang tidak membuatku bosan. Semakin aku memandanginya, semakin berat mataku untuk tetap berada pada posisi siaganya, mengantuk dan rasa nyaman menyelimuti telingaku dengan suara kereta jedeg-jedeg yang tidak dapat kutemukan dalam kendaraan lain.
Semua itu langsung hilang saat tubuhku keget, merespon sebuah tekanan yang terpusat pada bagian pahaku, mataku terbuka lebar dan sekarang tiba tiba saja rasa kesal memenuhiku. Jari Ardi sudah tertancap, jujur saja aku selalu berpikir kalau dia diam diam membuka matanya saat aku tidak memperhatikannya.
“Jangan sampai tertidur,” ucap Ardi pelan.
Mataku sipit sebelah, otot otot di pipiku bergetar melihat tingkahnya. “Bisakah kita santai sedikit,” ucapku kesal.
“Santai? mungkin itu lah yang musuh tunggu … dimana saat kita bersantai.”
“Bukannya dengan tidak membuka pedangmu berarti kita sedang dalam kondisi santai … lagian kalau terlalu terjaga dan mencolok, mungkin saja kita malah dicurigai dan musuh bisa menemukan kita dengan mudah,” kata kata itu melesat dari mulutku dengan bumbu bumbu alasan agar dia bisa melunak sedikit.
Ardi bergumam sejenak. “Baiklah … mungkin terlalu tegang juga tidak bagus,” Kakinya kemudian saling menyilang.
Belum sampai semenit perkataan kami barusan melakukan obrolan kecil, datang seorang pelayan dengan pakaian rapi berwarna biru dari ujung kerudung hingga bawah.
“Apa ini kursi mas Ardi?” tanya pelayan itu dengan nada lembut.
“Oh iya … sudah datang ya,” ucap Ardi dengan seringainya.
Sikut ku secara reflek membentur tubuh Ardi yang mau menyosor dengan tangannya yang hampir salah memegang cangkir teh yang ingin diberikan padanya, dan malah mau lemeset ke tubuh pelayan tersebut yang dia juga bersamaan merespon mundur dengan wajah terkejut saat tangan sialannya itu berani beraninya bergerak dengan mata tertutup. Cangkir teh bergoyang dan terlihat beberapa tetes mengalir keluar dari bibir cangkir tersebut. Untung saja aku cepat menyadarinya. Sontak Ardi berhenti dan menarik kembali tangannya.
Aku memaksakan senyum di wajahku sambil memicingkan mata, merasa tidak enakan pada pelayan tersebut. “Maaf ya … saudara saya punya masalah ... dengan pengelihatannya ... “ ucapku gemetaran sambil menyambut secangkir teh yang ia pesan, melihat wajah pelayan tersebut dengan wajah cantiknya yang dengan dahi mengkerut dan matanya melesat tajam ke arah Ardi, siap untuk menikamnya atas kelakuannya itu..
kemudian wajahnya langsung melunak dan ia menutupi mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya yang ditutupi sarung tangan putih, sepertinya ia kaget dan merasa kasihan mendengar penjelasanku barusan. Lalu dia memberiku senyum kecil dan pergi dari hadapan kami berdua.
Sekarang hanya tinggal Ardi, secangkir teh dan mata tajamku yang mengarah pada Ardi, dipikiranku saat ini adalah betapa bodohnya dan betapa pedenya ia saat melakukan hal itu.
“Heh … kau tadi hampir saja menyentuh pelayan tadi,” ucapku dengan mengapit rahangku sambil membuka setengah bibir, geram dan geregetan.
“Ah … maafkan aku, seperti yang kau lihat kan kalau aku-”
“Kalau kau sudah tahu kenapa malah mau ngambil.”
“Ok ok maaf,”
Ardi membuka telapak tangannya. Sambil berusaha tenang, aku menaruh dengan perlahan cangkir teh di tanganku lalu menaruhnya pada telapak tangan Ardi yang terbuka, kemudian ia mengangkat cangkir teh itu dan menyeruputnya dengan perlahan. Uap mengebul dari panasnya teh tersebut sangat cocok dengan suhu ruangan kereta yang dingin ini. Bersamaan dengan kondisi yang mulai tenang, mataku kemudian berusaha untuk kembali beristirahat, sampai kemudian mataku terbuka lebar kembali saat rasa tekanan yang sangat membuatku geram muncul lagi pada bagian pahaku.
“Ah … tadi bagian apa yang hampir kusentuh?” sebuah pertanyaan yang mengagetkanku muncul dari mulut Ardi, aneh dan tidak biasanya dia berkata seperti itu. tapi mungkin bagi laki laki itu adalah hal normal.
Tenggorokanku terasa terdorong dari dalam, menahan rasa geli saat pertanyaan bodoh muncul dari dirinya. “Bokong,” satu kata itu saja yang terlontar dari mulutku.
Ardi lalu menyeruput kembali tehnya dan lalu ia meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Suara bunyi dentingan pada kedua benda keramik yang bersentuhan serta sikap Ardi yang tiba tiba saja membeku membuatku berkira kira kalau sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang liar.
“Sesaat pikiranku jadi tidak jernih, ini tidak bagus.”
Akhirnya kekehanku keluar, tidak kuat mendengar perkataan konyol yang keluar dari mulutnya itu. “Jika kau tadi tidak kuhentikan … pasti cangkir mu sudah kosong dan pakaian kita semua basah sambil menjerit terkena air panas.”
Ardi menoleh sedikit ke arahku. “Sepertinya saranku untuk tetap terjaga adalah hal yang bagus,” ucapnya dengan bangga.
Aku hanya bisa menggeleng pelan mendengarnya dan membuang pandanganku, kembali memperhatikan pemandangan yang sekarang berubah menjadi hutan kayu jati. Tidak lama setelah itu muncul suara kereta kembali menjadi bising, pemandangan sawah sekarang telah kembali ke layar. Punggungku kusandarkan pada sofa yang empuk dan tidak lama berselang mataku sudah terlelap dan kali ini tidur tanpa ada gangguan sedikitpun.
iv.
Setelah beberapa jam berlalu, kami akhirnya sampai di depan rumah. Kembali ke rumah dan hanya kami berdua bukan lah hal yang bagus melihat rumah seluas ini. Dengan teras yang berdebu dan beberapa dedaunan kuning dan coklat yang berserakan di atas lantai kayu membuat rumah ini benar benar seperti rumah tua dan angker.
Kemudian kami berdua duduk di kursi untuk sementara, dan sesuai atas perintah Dito, aku menghubunginya disaat aku sudah sampai di rumah.
“Halo halo …” ucapku.
“Halo halo,” balas Dito, entah kenapa aku jadi kesal mendengar ia membalas begitu juga padaku.
“Kami berdua sudah sampai rumah.”
“Perintah pertama yang saya berikan sekarang adalah, ambil sapu lalu sapu seluruh rumah,” ucap Dito lantang.
Mendengar itu mataku langsung sipit sebelah, berdiam dan tidak menjawab kata katanya barusan.
“Halo halo,” kata Dito saat mengetahui tidak ada balasan padanya.
Aku masih diam dan tidak membalas perkataannya barusan, hanya ada awan hitam yang lebat di atas kepalaku sekarang.
“Iya iya … baru saja saya menyuruh Nadya untuk memesan pengurus rumah agar segera datang dan membersihkan rumah, kalian tinggal bersantai dan menunggu perintahku saja nanti.”
“Berapa lama kita akan berada disini?” tanyaku setelah mendiamkannya tadi beberapa saat.
“Entah lah … mungkin tiga atau seminggu, saya sedang melihat situasi dan kondisi saat ini setiap jamnya,” jawab Dito.
“Entah kenapa tiba tiba saja aku berpikir kalau kami di taroh di rumah untuk dijadikan sebagai umpan untuk memancing orang itu keluar,” terlontar ucapan itu dari mulutku, yang biasanya hanya kutahan sendiri di pikiranku.
“20% ucapanmu itu ada benarnya … hanya saja sekarang saya menyuruh kalian ke rumah bukan karena untuk memancing mahluk itu keluar,” jelas Dito.
“Lalu kalau bukan itu?”
“Yang sedang saya lakukan adalah memisahkan atau memencarkan kita semua agar orang itu kesulitan untuk mencari kita satu persatu.”
“Jadi kau tidak mau mengambil resiko untuk menghajarnya bersama sama dan malah menyelamatkan masing masing dari kita, begitu?” tanyaku menerka perkataanya tadi.
“Saya terkejut kalau kau bisa mencerna dengan cepat, tapi begitulah yang saya maksud. Dengan begitu keselamatan kita semua terjaga, dan jika dia tahu kalau saya belum mati dan kembali kesini, hanya saya dan Nadya saja yang tewas,” ujar Dito. kemudian diiringi dengan suara ketukan keras dari benda logam dari telepon. “Aw sakit,” ucap Dito lagi.
Terpikirkan benda logam, kemudian aku teringat kerisku yang seminggu lagi jadi. “Eh Dito … seminggu lagi kerisku jadi, bisa nitip gak?” tanyaku dengan riang namun dengan nada memohon.
“Nitip? kalaupun saya bisa ambil juga tidak bakal diambilin, hanya kau saja yang boleh mengambilnya langsung dari engkong.”
“Sakral banget … masa gak bisa sih?” tanyaku memastikan.
“Iya … ada sesuatu yang bakal diomongin secara langsung, dan tidak bisa pakai video call ataupun hologram,” jawab Dito.
Mendengar itu aku menjadi kecewa, semoga saja kejadian ini cepat berakhir.
“Oh iya, saya ingin bicara pada Ardi.”
Kemudian aku mengoper earphoneku pada Ardi.
“Kau masih hidup? … Ada apa? … Hah? … Gapapa nih? … Oke deh kalo begitu, toh mau gimana lagi,” pembicaraan singkat mereka berdua lalu berakhir dan Ardi kembali memberikan earphoneku.
Aku kembali memasangkannya pada kupingku. “Ardi akan menunjukan memberikan sesuatu padamu, sebenarnya sih lebih itu saya yang buat dan harusnya saya yang ngasih … tapi masa bodo lah,” ucap Dito.
“Ngasih apaan?”
“Satu benda lagi yang harusnya kau punya … kalau benda itu sih gak butuh seremonial ato upacara segala.”
“Apaan?” tanyaku dengan nada makin kutekan.
“Ya … liat aja deh sendiri,” ucapan barusan Dito mengakhiri pembicaraan kami, dan seperti biasanya, dia yang memutuskannya.
“Ardi? benda apaan dah?” tanyaku melanjutkan rasa penasaranku kali ini padanya.
Ardi tidak berkata apapun, dan kemudian dia mengetukan pedang besarnya itu dengan ujung telunjuknya. Sesaat kemudian seringai besar muncul dari wajahku, otot ototku pipiku naik hanya ada satu kata yang menjelaskan situasi saat ini, wow.
iii.
Perjalanan kami berdua saat pulang memang tidak seperti yang awalnya ku bayangkan dimana banyak orang yang memperhatikan kami saat melihat Ardi yang membawa gulungan kain putih pada punggungnya itu, mungkin sekarang sekarang ini orang cukup sibuk dengan kegiatannya masing masing dan tidak mempunyai waktu sedikitpun untuk memperhatikan sekitarnya, semua sibuk merunduk memperhatikan gadget miliknya, oh ada juga yang tidak menunduk, tapi dia sedang menggunakan VRnya.
Kami tidak banyak bercakap cakap saat berada di kereta, kami memang berdua sama sama orangnya pendiam dan tidak akan bicara jika tidak ada yang memulai, itulah permasalahan kami, tidak ada yang berani memulai.
Mataku juga tidak bisa berhenti fokus melihat sawah sawah yang terhampar luas, hamparan ombak hijau yang bergelombang bersama kencangnya angin. Suara mesin diesel yang kencang membuat pikiranku menjadi tenang. Tiba tiba jadi mengingat kembali masa masa lalu, sudah lama sekali diriku tidak naik kereta api, terakhir kali aku ingat saat aku kecil bersama ayahku, tidak banyak yang kuingat saat itu pula selain pemandangan yang sama yang tidak membuatku bosan. Semakin aku memandanginya, semakin berat mataku untuk tetap berada pada posisi siaganya, mengantuk dan rasa nyaman menyelimuti telingaku dengan suara kereta jedeg-jedeg yang tidak dapat kutemukan dalam kendaraan lain.
Semua itu langsung hilang saat tubuhku keget, merespon sebuah tekanan yang terpusat pada bagian pahaku, mataku terbuka lebar dan sekarang tiba tiba saja rasa kesal memenuhiku. Jari Ardi sudah tertancap, jujur saja aku selalu berpikir kalau dia diam diam membuka matanya saat aku tidak memperhatikannya.
“Jangan sampai tertidur,” ucap Ardi pelan.
Mataku sipit sebelah, otot otot di pipiku bergetar melihat tingkahnya. “Bisakah kita santai sedikit,” ucapku kesal.
“Santai? mungkin itu lah yang musuh tunggu … dimana saat kita bersantai.”
“Bukannya dengan tidak membuka pedangmu berarti kita sedang dalam kondisi santai … lagian kalau terlalu terjaga dan mencolok, mungkin saja kita malah dicurigai dan musuh bisa menemukan kita dengan mudah,” kata kata itu melesat dari mulutku dengan bumbu bumbu alasan agar dia bisa melunak sedikit.
Ardi bergumam sejenak. “Baiklah … mungkin terlalu tegang juga tidak bagus,” Kakinya kemudian saling menyilang.
Belum sampai semenit perkataan kami barusan melakukan obrolan kecil, datang seorang pelayan dengan pakaian rapi berwarna biru dari ujung kerudung hingga bawah.
“Apa ini kursi mas Ardi?” tanya pelayan itu dengan nada lembut.
“Oh iya … sudah datang ya,” ucap Ardi dengan seringainya.
Sikut ku secara reflek membentur tubuh Ardi yang mau menyosor dengan tangannya yang hampir salah memegang cangkir teh yang ingin diberikan padanya, dan malah mau lemeset ke tubuh pelayan tersebut yang dia juga bersamaan merespon mundur dengan wajah terkejut saat tangan sialannya itu berani beraninya bergerak dengan mata tertutup. Cangkir teh bergoyang dan terlihat beberapa tetes mengalir keluar dari bibir cangkir tersebut. Untung saja aku cepat menyadarinya. Sontak Ardi berhenti dan menarik kembali tangannya.
Aku memaksakan senyum di wajahku sambil memicingkan mata, merasa tidak enakan pada pelayan tersebut. “Maaf ya … saudara saya punya masalah ... dengan pengelihatannya ... “ ucapku gemetaran sambil menyambut secangkir teh yang ia pesan, melihat wajah pelayan tersebut dengan wajah cantiknya yang dengan dahi mengkerut dan matanya melesat tajam ke arah Ardi, siap untuk menikamnya atas kelakuannya itu..
kemudian wajahnya langsung melunak dan ia menutupi mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya yang ditutupi sarung tangan putih, sepertinya ia kaget dan merasa kasihan mendengar penjelasanku barusan. Lalu dia memberiku senyum kecil dan pergi dari hadapan kami berdua.
Sekarang hanya tinggal Ardi, secangkir teh dan mata tajamku yang mengarah pada Ardi, dipikiranku saat ini adalah betapa bodohnya dan betapa pedenya ia saat melakukan hal itu.
“Heh … kau tadi hampir saja menyentuh pelayan tadi,” ucapku dengan mengapit rahangku sambil membuka setengah bibir, geram dan geregetan.
“Ah … maafkan aku, seperti yang kau lihat kan kalau aku-”
“Kalau kau sudah tahu kenapa malah mau ngambil.”
“Ok ok maaf,”
Ardi membuka telapak tangannya. Sambil berusaha tenang, aku menaruh dengan perlahan cangkir teh di tanganku lalu menaruhnya pada telapak tangan Ardi yang terbuka, kemudian ia mengangkat cangkir teh itu dan menyeruputnya dengan perlahan. Uap mengebul dari panasnya teh tersebut sangat cocok dengan suhu ruangan kereta yang dingin ini. Bersamaan dengan kondisi yang mulai tenang, mataku kemudian berusaha untuk kembali beristirahat, sampai kemudian mataku terbuka lebar kembali saat rasa tekanan yang sangat membuatku geram muncul lagi pada bagian pahaku.
“Ah … tadi bagian apa yang hampir kusentuh?” sebuah pertanyaan yang mengagetkanku muncul dari mulut Ardi, aneh dan tidak biasanya dia berkata seperti itu. tapi mungkin bagi laki laki itu adalah hal normal.
Tenggorokanku terasa terdorong dari dalam, menahan rasa geli saat pertanyaan bodoh muncul dari dirinya. “Bokong,” satu kata itu saja yang terlontar dari mulutku.
Ardi lalu menyeruput kembali tehnya dan lalu ia meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Suara bunyi dentingan pada kedua benda keramik yang bersentuhan serta sikap Ardi yang tiba tiba saja membeku membuatku berkira kira kalau sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang liar.
“Sesaat pikiranku jadi tidak jernih, ini tidak bagus.”
Akhirnya kekehanku keluar, tidak kuat mendengar perkataan konyol yang keluar dari mulutnya itu. “Jika kau tadi tidak kuhentikan … pasti cangkir mu sudah kosong dan pakaian kita semua basah sambil menjerit terkena air panas.”
Ardi menoleh sedikit ke arahku. “Sepertinya saranku untuk tetap terjaga adalah hal yang bagus,” ucapnya dengan bangga.
Aku hanya bisa menggeleng pelan mendengarnya dan membuang pandanganku, kembali memperhatikan pemandangan yang sekarang berubah menjadi hutan kayu jati. Tidak lama setelah itu muncul suara kereta kembali menjadi bising, pemandangan sawah sekarang telah kembali ke layar. Punggungku kusandarkan pada sofa yang empuk dan tidak lama berselang mataku sudah terlelap dan kali ini tidur tanpa ada gangguan sedikitpun.
iv.
Setelah beberapa jam berlalu, kami akhirnya sampai di depan rumah. Kembali ke rumah dan hanya kami berdua bukan lah hal yang bagus melihat rumah seluas ini. Dengan teras yang berdebu dan beberapa dedaunan kuning dan coklat yang berserakan di atas lantai kayu membuat rumah ini benar benar seperti rumah tua dan angker.
Kemudian kami berdua duduk di kursi untuk sementara, dan sesuai atas perintah Dito, aku menghubunginya disaat aku sudah sampai di rumah.
“Halo halo …” ucapku.
“Halo halo,” balas Dito, entah kenapa aku jadi kesal mendengar ia membalas begitu juga padaku.
“Kami berdua sudah sampai rumah.”
“Perintah pertama yang saya berikan sekarang adalah, ambil sapu lalu sapu seluruh rumah,” ucap Dito lantang.
Mendengar itu mataku langsung sipit sebelah, berdiam dan tidak menjawab kata katanya barusan.
“Halo halo,” kata Dito saat mengetahui tidak ada balasan padanya.
Aku masih diam dan tidak membalas perkataannya barusan, hanya ada awan hitam yang lebat di atas kepalaku sekarang.
“Iya iya … baru saja saya menyuruh Nadya untuk memesan pengurus rumah agar segera datang dan membersihkan rumah, kalian tinggal bersantai dan menunggu perintahku saja nanti.”
“Berapa lama kita akan berada disini?” tanyaku setelah mendiamkannya tadi beberapa saat.
“Entah lah … mungkin tiga atau seminggu, saya sedang melihat situasi dan kondisi saat ini setiap jamnya,” jawab Dito.
“Entah kenapa tiba tiba saja aku berpikir kalau kami di taroh di rumah untuk dijadikan sebagai umpan untuk memancing orang itu keluar,” terlontar ucapan itu dari mulutku, yang biasanya hanya kutahan sendiri di pikiranku.
“20% ucapanmu itu ada benarnya … hanya saja sekarang saya menyuruh kalian ke rumah bukan karena untuk memancing mahluk itu keluar,” jelas Dito.
“Lalu kalau bukan itu?”
“Yang sedang saya lakukan adalah memisahkan atau memencarkan kita semua agar orang itu kesulitan untuk mencari kita satu persatu.”
“Jadi kau tidak mau mengambil resiko untuk menghajarnya bersama sama dan malah menyelamatkan masing masing dari kita, begitu?” tanyaku menerka perkataanya tadi.
“Saya terkejut kalau kau bisa mencerna dengan cepat, tapi begitulah yang saya maksud. Dengan begitu keselamatan kita semua terjaga, dan jika dia tahu kalau saya belum mati dan kembali kesini, hanya saya dan Nadya saja yang tewas,” ujar Dito. kemudian diiringi dengan suara ketukan keras dari benda logam dari telepon. “Aw sakit,” ucap Dito lagi.
Terpikirkan benda logam, kemudian aku teringat kerisku yang seminggu lagi jadi. “Eh Dito … seminggu lagi kerisku jadi, bisa nitip gak?” tanyaku dengan riang namun dengan nada memohon.
“Nitip? kalaupun saya bisa ambil juga tidak bakal diambilin, hanya kau saja yang boleh mengambilnya langsung dari engkong.”
“Sakral banget … masa gak bisa sih?” tanyaku memastikan.
“Iya … ada sesuatu yang bakal diomongin secara langsung, dan tidak bisa pakai video call ataupun hologram,” jawab Dito.
Mendengar itu aku menjadi kecewa, semoga saja kejadian ini cepat berakhir.
“Oh iya, saya ingin bicara pada Ardi.”
Kemudian aku mengoper earphoneku pada Ardi.
“Kau masih hidup? … Ada apa? … Hah? … Gapapa nih? … Oke deh kalo begitu, toh mau gimana lagi,” pembicaraan singkat mereka berdua lalu berakhir dan Ardi kembali memberikan earphoneku.
Aku kembali memasangkannya pada kupingku. “Ardi akan menunjukan memberikan sesuatu padamu, sebenarnya sih lebih itu saya yang buat dan harusnya saya yang ngasih … tapi masa bodo lah,” ucap Dito.
“Ngasih apaan?”
“Satu benda lagi yang harusnya kau punya … kalau benda itu sih gak butuh seremonial ato upacara segala.”
“Apaan?” tanyaku dengan nada makin kutekan.
“Ya … liat aja deh sendiri,” ucapan barusan Dito mengakhiri pembicaraan kami, dan seperti biasanya, dia yang memutuskannya.
“Ardi? benda apaan dah?” tanyaku melanjutkan rasa penasaranku kali ini padanya.
Ardi tidak berkata apapun, dan kemudian dia mengetukan pedang besarnya itu dengan ujung telunjuknya. Sesaat kemudian seringai besar muncul dari wajahku, otot ototku pipiku naik hanya ada satu kata yang menjelaskan situasi saat ini, wow.
Diubah oleh amriakhsan 27-03-2020 01:34
aripinastiko612 dan ariefdias memberi reputasi
2
