Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#1806
Keseruan dikomunitas Baru
Gue benar-benar dibikin agak kewalahan karena bertubi-tubinya chat yang masuk. Positifnya adalah, ada angin segar sedikit yang bisa mengurangi intensitas gue dengan Emi yang benar-benar ketemu disetiap bidang kehidupan gue saat ini.

Emi ada di band, ada di sekolah pascasarjana gue, ada dikehidupan percintaan gue, dan selalu ada di otak gue. Gue dan dia nggak pernah kehabisan obrolan. Ada terus bahan obrolan yang bisa didiskusikan, baik ringan maupun serius.

Dengan Emi dan gue yang selalu terkoneksi seperti ini, gue sangat takut ada kebosanan melanda. Apalagi makin kesini, Emi juga mengatur jadwal gue, merubah pelan-pelan kebiasaan jelek gue dan sebagainya. Itu memang awalnya gue yang minta agar lebih teratur hidup gue, tapi lama-lama ada rasa yang cukup jenuh untuk melalui segala macam hal bareng-bareng terus.

Untuk itulah berkomunikasi dengan beberapa orang yang punya pola pikir yang berbeda-beda gue anggap sebagai angin segar untuk refreshing otak gue. Dari obrolan dengan beragam jenis manusia ini pula gue selalu mendapatkan bahan obrolan baru dengan Emi.

Mungkin naluri gue untuk selalu bisa menaklukan cewek nggak pernah mati. Motivasi utama gue yang tadinya hanya untuk pengalihan suasana hati biar nggak bosan dengan keberadaan Emi, gue manfaatkan sekalian untuk menaklukan hati orang lain. Tapi apa gue akan menjadi sayang? Tentu saja tidak. Karena hati gue selalu terkunci unuk Emi.

Banyak cara, baik yang konvensional maupun cara-cara masa kini mengikuti lawan bicara gue dalam usaha membuat cewek-cewek ini suka sama gue. Sialnya, gue seperti selalu lupa kalau orang yang suka sama gue tapi nggak mendapatkan timbal balik seimbang akan berbuat nekat.

Saat ini gue berkomunikasi aktif dengan Rinda, Winda, Lira, Alya, Dwina sesekali, dan tentu saja Emi yang menjadi lawan bicara utama gue. Mila dan teman-teman kampus lainnya lebih banyak gue ajak bicara kalau ketemu dikampus. Sisanya gue jarang chat dengan mereka kalau bukan urusan kampus.

Untuk diketahui, Emi pun juga sekarang teman ngobrolnya ada variasinya. Arko dan Drian menjadi teman ngobrol Emi kalau lagi nggak ketemu untuk urusan band. Sekarang pun kami seperti nge-gang sendiri, diluar dari Vino dan Rahman.

Banyak sekali becandaan yang sering kami lontarkan satu sama lain. Kalau ada meme lucu di instagram, twitter atau facebook, kami biasanya saling tag untuk sekedar becandaan. Obrolan diluar konteks band pun lebih banyak kami habiskan dengan obrolan-obrolan ringan yang menyenangkan. Dari sini pulalah muncul kekhawatiran tersendiri.

Arko sudah bilang kalau istrinya agak kurang setuju jika Emi banyak berinteraksi dengan suaminya. Wajar sebenarnya Arko bisa nyaman dengan Emi. obrolannya nyambung dan karena Arko ini secara akademis juga paling jenius diantara kami semua, obrolan serius tentang sains pun bisa nyambung sama Emi.

Kalau dengan Drian gue khawatirnya karena Drian memiliki selera yang mirip dengan gue kalau urusan cewek. Mungkin kekurangan Emi hanya di fisiknya yang sepertinya bukan yang diinginkan Drian. Tapi entah kenapa, Drian sangat nyaman kalau ngobrol dengan Emi. Senyaman gue kalau ngobrol dengan Emi. Gue sangat mengenal baik Drian. Jadi apa yang dia mau gue juga tau. Emi bisa menawarkan seluruh kemauan Drian, dari mulai ngobrol santai, ceplas ceplos nggak pakai jaim kalau ngomong, pintar, wawasan luas, mengerti IT dengan cukup baik, suka musik metal, dan sangat mengerti style dalam urusan fashion.

Drian adalah orang yang rupawan, tapi dia kurang bisa menata penampilannya. Tapi sejak bertemu dan kenal dengan Emi, terutama setelah bergabung kembali dalam satu band, penampilan Drian sudah jauh berubah lebih baik dan akhirnya semakin menambah nilai plus dari dirinya secara fisik. Hal yang nggak bisa dilakukan Ara dimasa lalu.

“Lo emang nggak apa-apa gue teleponan sama sahabat gue?” kata gue saat kami sedang menonton konser metal streaming via laptop Emi.

“Kalau nggak pakai perasaan ya santai lah.” Ujar Emi, dia kembali duduk sehabis mengambil cemilan dikulkas.

“Gue nggak apa-apa jalan sama sahabat gue yang cewek?”

“Ya nggak apa-apa, kenapa jadi masalah? ASAL jangan ada perasaan.”

“Seberapa yakin lo sama gue yang berhubungan sama sahabat gue yang cewek tapi tanpa perasaan?”

“Gue cuma modal percaya aja sama lo,” katanya, lalu menggenggam tangan gue, “sama kayak gue belajar percaya lagi sama lo dan sama kayak masalah kemarin saat ada sesuatu yang lo umpetin dari gue. Semua akan kebongkar pada waktunya Zy, selama gue ikhlas dan tulus mencintai lo.”

“Iya gue ngerti,” gue genggam balik tangan Emi, “dan gue pun entah kenapa jadi yakin, kalau nggak akan terjadi apapun antara lo sama Arko maupun lo sama Drian.”

“Ya nggak lah! Gila kali.”

“Hati orang siapa yang tau, Mi.”

“Gue nggak sebrengsek itu, Zy.”

“Iya gue tau.”

“Kalaupun gue misalnya mau ninggalin lo atau pindah ke lain hati, gue bakalan selesaiin hubungan kita dulu. Nggak diem-diem ada hubungan lain di belakang kayak kelakuan lo dulu sama Dee.”

“Dee lagi, Dee lagi. Kayaknya seumur hidup, urusan gue sama Dee bakalan dibahas mulu nih.” Gue melepaskan genggaman tangan gue.

“Seumur hidup? Lo mau seumur hidup sama gue emang, Zy?” Nada bicara Emi meninggi dan terdengar tertarik.

“Kalau kita ditakdirkan begitu gimana, Mi?”

“Edaaan, takdir coy ngomongnya! Klepek klepek kayak tempe mendoan gue dibegituin sama Bang Ijaaaa.” Ledek dia, tangannya menggamit rocky perlahan, tapi bikin onfire.

“T*i. Klepek-klepek tapi ngarahnya ke rocky! Hahaha. Bangs*t Anda! Eh, Mi. Mau gila-gilaan nggak?”

“Apaan? Ng*we di teras?”

“Bloon! Hahaha. Tapi boleh juga sih…”

“Bab*k! Hahaha. Apaan?”

“Bentar, tapi gue tanya sesuatu dulu. Lo mudik nggak tahun ini?”

“Hmm. Kata bokap gue sih kayaknya di rumah doang. Soalnya tahun ini harusnya mudik ke rumah kakek gue, acara tiga tahunan keluarga gue. Tapi kan kondisi nyokap masih begitu, jadi kayaknya gue nggak kemana-mana.”

“Kalau gue anterin lo ke acara keluarga lo mau?”

“Gue sendirian gitu ke rumah kakek gue?”

“Berdua sama gue kesananya.”

“Lo mau pamer diri lagi di acara keluarga gue? Hahaha.”

“Iyalah. Kapan lagi gue dipuja-puji ganteng begitu sama keluarga lo! Apalagi gue sekarang udah S2 juga. Makin dibangga-banggain pasti.”

“Halah! Biji!”

“Hahaha. Mau nggak? Tapi kita naik motor ke rumah kakek lo-nya.”

“Anj*ng! Seriusan naik motor? Jauh loh, Zy! Lo kuat ga? Kan lo udah tua.”

"Bangs*t."

"Beneran kuat kagak?"

“Santai aja, kan kita jalan-jalan. Mudiknya nyantai juga bukan? Nggak dikejar waktu. Jadi kita kesana bawa motornya pun santai.”

“Beneran lo nggak apa-apa? Gue nggak bisa gantian bawa motor loh.”

“Santai lah. Yang penting lo jangan tidur aja pas lagi jalan. Serem soalnya ngeboncengin jarak jauh orang yang tidur begitu. Jadi beban di motor dan bahaya juga. Kalau ngantuk, kita melipir dulu ke Masjid atau SPBU terdekat.”

“Kalau urusan begitu sih santai aja. Buktinya kemarin itu ke Bandung bisa kan kita? Hehehe.”

“Iya. Hmm. Ini belum ide gokilnya tapi.”

“HAH? KE RUMAH KAKEK GUE NAIK MOTOR ITU BELUM IDE GOKIL MENURUT LO? ANJ*NG! IDE GOKILNYA APAAN LAGI?”

“Ide gokilnya….. Dari rumah kakek lo, kita ke rumah kakek gue ya? Gue mau serius ngenalin lo ke kakek nenek gue.”

“Kakek nenek lo? Dimana emang rumah kakek nenek lo?”

“Ikut sama gue ke rumah kakek nenek gue, di Kota T, Jawa Timur.”

“KITA NAIK MOTOR DARI SINI KE JAWA TIMUR, ZY?”

“Yap. Gimana?”

“Hahahaha. Gila sih ini. Tapi why not? Gue setuju. Berarti kita mesti nyusun rencana sama keuangannya ya. nggak lupa juga akal-akalan bilang ke orang tua kita.”

“Udah gue pikirin semua. Gue juga udah nabung kok. paling nanti kalau urgent aja baru lo bantuin keuangannya ya. yang penting kita susun planningnya dulu oke?”

“Oke Zy…..”

--

Kehidupan kampus gue yang baru sebenarnya nggak terlalu jauh dengan kehidupan kampus yang dulu. Banyak tugas yang bikin pusing kepala, apalagi sekarang konsentrasi gue terbagi dengan pekerjaan, dan juga ngeband. Perbedaan nyata dari kehidupan kampus yang dulu adalah dari segi perekonomian mahasiswanya.

Mahasiswa yang sekarang jadi kawan-kawan sekelas gue adalah orang-orang yang sudah bekerja dan mampu membiayai kuliahnya yang mahal ini sendiri, atau minimal minta orang tuanya yang tajir. Jadinya sudah ketebak bagaimana gaya hidupnya kan? High class banget. Sesuatu yang dari jaman dulu sangat gue hindari. Tetapi untuk berbaur, mau tidak mau gue sesekali harus mengikuti arus seperti ini.

Gue yang keadaan ekonominya tidak semampu dulu waktu masih ada Papa merasa cukup berat pergaulannya. Tapi gue terbiasa untuk berada dilevel mid class seperti ini, mereka saja yang nggak terbiasa mungkin ya.

Untungnya mereka-mereka ini nggak ada yang sombong atau menunjukkan kelebihan mereka secara materi dan jabatan. Semuanya humble dan biasa-biasa aja. mereka juga mau berteman dengan siapapun, itu yang membuat gue sedikit nyaman berada dilingkaran orang-orang penting ini.

Gue memiliki beberapa teman akrab yang kebetulan dari segi umur nggak berbeda jauh dengan gue. Mando adalah salah satu pegawai bank plat merah sama dengan Dee, tapi dia ada dikantor pusat. Dia adalah seorang yang seumuran persis dengan gue. Ada lagi Mirta, cewek imut muka bocah berperawakan pendek, seorang pegawai perusahaan plat merah dibidang penerbangan yang umurnya empat tahun dibawah gue, plus satu almamater dengan gue, tapi dia dari fakultas D. Lalu ada lagi Dadan, cowok gemulai yang bekerja disalah satu perusahaan ekspedisi di utara ibukota, dua tahun dibawah gue, dari fakultas E dulunya. Ada Fani, cewek super semok (maju depan mundur belakang), cantik tapi nggak suka dandan, ceplas ceplos apa adanya kalau ngomong, lima tahun dibawah gue, seorang karyawan perusahaan penerbangan juga. Satu lagi yang paling dekat dengan gue, Mbak Disya, ibu beranak dua yang umurnya delapan tahun diatas gue, tapi tetap awet muda dan bekerja sebagai salah satu VP (vice president) di Bank internasional yang ada di Indonesia.

Kok Mila nggak ada? Seperti yang sudah gue bilang, Mila adalah anak yang sangat ambisius dan susah untuk dikritik. Sikap seperti ini yang membuatnya nggak banyak berteman dekat dengan siapapun dikelas, kecuali gue. Itu juga sering ributnya karena hampir selalu selisih paham.
FYI, hampir semua cewek muda yang ada dikelas gue, memiliki perawakan yang setipe, manis-manis, high class, dan tentunya pintar-pintar.

Yang cowok-cowok juga begitu kalau yang muda-muda, pada ganteng, tajir, dan pintar-pintar juga. yang bapak-bapak ibu-ibu rata-rata juga memiliki kecerdasan luar biasa. Nggak heran mereka sukses dipekerjaannya masing-masing. Bahkan ada salah satu ibu yang juga almamater kampus gue, adalah teman dekat rektor kampus gue saat ini. Sungguh sebuah peluang koneksi yang besar banget dan ini harus menjadi kesempatan untuk dimanfaatkan secara positif.

Dari kelas lain pun yang kemudian gue kenal juga banyak yang ternyata memiliki pengaruh kuat dinegeri ini. Ada anak menteri, anak mantan presiden, Jendral TNI aktif, bahkan salah satu direktur utama perusahaan multinasional. Gue hanya bisa bersyukur mengenal mereka semua dan dipertemukan dikampus ini. Sempat diawal gue cerita dengan Emi bagaimana mindernya gue. tapi Emi selalu bisa menyemangati gue kalau dengan otak yang gue punya, gue bisa sejajar dengan mereka.

Peran Emi sangat sentral diperjalanan gue menempuh pendidikan pascasarjana ini. Tantangan gue yang harus membagi waktu dan pikiran untuk urusan pekerjaan, band dan kuliah ini sangat terbantu dengan adanya Emi. Emi nggak cuma sekedar jadi penyemangat secara verbal saja, tapi juga ikut turun langsung membantu mengerjakan tugas dan juga jadi teman diskusi.

Kok bisa Emi jadi teman diskusi bahkan mengerjakan tugas? Itu karena apa yang gue dapatkan dikampus langsung gue transfer ke Emi, jadi bahan bahasan obrolan kami. Sisanya, dengan kecerdasan dan kemampuan informatika yang dia miliki, Emi bahkan sudah tau lebih dulu materi-materi yang akan diajarkan secara detail hanya dengan melihat diktat sekilas, kemudian browsing lebih banyak, lalu didiskusikan dengan gue.

Ilmu yang gue dapat setara dengan ilmu yang Emi punya. Selalu seperti itu. Sayangnya, yang mendapatkan gelar secara hitam diatas putih adalah gue, bukan Emi. padahal kalau dari kemampuan akademis, Emi jauh-jauh berada diatas gue. Ini diperhitungkan dari start awal kami yang sama-sama belajar pelajaran S2 ini. Anggapannya adalah Emi teman sekelas gue, tapi dia ini yang paling pintar diantara yang lain.

Sudah bisa terbayangkan bagaimana mumpuninya kemampuan akademis Emi? tanpa ikut kuliah, hanya dari penjabaran gue dari kuliah dan catatan-catatan yang gue buat selama perkuliahan, kemduian ditambah browsing, kemampuan dia ada diatas gue. Gimana kalau dia ikutan kuliah juga? dan harus diingat, Emi dan gue nggak punya basic pelajaran bisnis manajemen sebelumnya mengingat kuliah kami adalah sains murni dulu. Gue dan Emi belajar bersama dari awal mengenai bisnis manajemen ini secara otodidak, karena kuliah pasca tidak mengajarkan hal yang dasar lagi.

Alhamdulillahnya, gue dan Emi mampu untuk mengejar ketertinggalan kami terhadap dasar ilmu bisnis manajemen ini. Akhirnya kami bisa mengikuti ritme perkuliahan dengan baik. Setiap sabtu ketika gue berada didalam ruang kuliah, Emi menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus gue. walaupun tidak sebesar dan selengkap koleksi perpustakaan utama kampus kami, setidaknya semua materi dan ilmu yang diperlukan untuk membangun sebuah rintisan bisnis atau kerennya start-up, tersedia secara lengkap dan terorganisir dengan baik.

Katalog dari sisi bisnis dan turunannya ada semua. Memudahkan mahasiswanya untuk belajar secara komprehensif. Gue pun sering belajar bareng dengan Mila kalau nggak ada Emi diperpustakaan ini. Mila secara akademis kepintarannya masih jauh dibawah Emi. Tapi Mila merupakan orang yang enak diajak diskusi dibanding teman gue yang lain.

“Ja, lo disini sama Mila?” tanya Mbak Disya.

“Iya Mbak, yuk mau gabung nggak?” tanya gue sambil melambai tangan ke mbak Disya.

“Ah nggak deh. Gue cabut duluan aja.” katanya sambil melirik malas ke Mila.

“Oh yaudah kalau gitu Mbak.”

“Ja, gue ada salah apa sama Mbak Disya?” tanya Mila bingung.

“Haha entahlah Mil gue juga bingung. Udah nggak usah dipikirin.” Kata gue.

“Seriusan? Ih gue nggak enak kalau ada salah sama Mbak Disya.”

“Udah nggak ada apa-apa. nggak usah dipikrin lah Mil. Ngeribetin lo banget deh.”

“Haha iya deh. Yaudah oke deh. Tadi sampai mana kita?”

“Ini yang urusan etika bisnis korporasi. Tadi kan lo lagi jelasin ke gue.”

Dan diskusi urusan perkuliahan ini terus berlanjut sampai habis magrib. Setelahnya biasanya gue mengantar Mila dulu sampai naik bis untuk pulang kerumahnya, sementara gue langsung cabut kerumah Emi untuk membagi ilmu yang gue dapatkan tadi selama dikampus.

namikazeminati
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.