- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#29
BAB VII - Saatnya Pulang
i.
Mungkin banyak sekali kata kata yang ingin kami ucapkan pada orang ini, mulai dari kata kagum hingga menu utama untuknya adalah kata kasar yang mungkin saja jika diucapkan tidak akan mempengaruhi dirinya atau melukai perasaanya sedikitpun. Dengan wajah bahagia dan tanpa merasa bersalah Dito datang kembali ke tempat ini, duduk di kursi dengan santai sambil mengelus elus tangan kanannya yang penuh dengan balutan perban dengan tambahan batang kayu pada bagian atas dan bawah tangannya. Sebelum Dito masuk aku rasa tangannya seperti tidak ada masalah, mungkin dia sok kuat menahan rasa sakit saat di depan pintu tadi, tapi wajahnya sekarang malah menatap dingin tangannya, apa mungkin dia kesal pada tangannya sendiri atau memang begitukah Dito menahan rasa sakit, aku tidak tahu.
Kami semua duduk di sofa masing masing, Dito duduk di tengah dengan Nadya yang sedang merawat lukanya. Kami sama sekali belum berbicara serius atau melontarkan satupun pertanyaan padanya tentang masalah kenapa dia bisa mengalami kecelakaan seperti itu, dan bagaimana pula dia bisa disini padahal di berita dia sudah dinyatakan tewas.
“Kenapa kau tidak mati?” pertanyaan pertama akhirnya terlontar dari mulut Ardi, tapi bukan pertanyaan itu yang aku kira akan keluar.
Mendengar kata kata barusan kami semua spontan mengarahkan pandangan kami ke Ardi, beberapa detik kami terdiam, bahkan Nadya berhenti mengusap luka Dito dan memasang wajah kesal berapi api ke arah Ardi, namun sepertinya hanya aku disini yang sedang menahan tawa karena kalimatnya itu.
“Saya tahu kau dendam … tapi jangan sebegitunnya lah.”
“Baiklah langsung ke intinya saja, apa penyebab kecelakaanmu?” tanya Ardi.
“Itu semua terjadi karena jalan negara ini penuh dengan lubang,” jawab Dito santai.
Suara hentakan meja yang keras mencuat saat tinju dari tangan Ardi mendarat, raut wajahnya sangat kesal. “Jangan bercanda kau, katakan yang sebenarnya!” bentak Ardi.
Sepertinya dia sangat paham betapa tidak mungkinnya mobil itu bisa terlontar cukup jauh hanya sebuah lubang, pasti ada penyebab yang jelas, dan aku yakin bukan karena kecerobohan Dito pula itu bisa terjadi.
Dito memicingkan matanya ke Ardi, lalu dia sedikit melirik ke arahku yang aku tidak tahu harus menjawab apa selain menggelengkan kepalaku, aku juga tidak paham kenapa aku melakukannya.
“Baiklah … bukan saya yang melakukannya, ada sesuatu, lebih tepatnya seseorang yang melakukannya,” jawab Dito.
“Seseorang? apa maksudmu?” kejar Ardi.
“Saya tidak tahu, saya juga tidak paham … saat itu sangat gelap dan saya hanya bisa melihat siluetnya saja saat mobil sudah berhenti berguling, dia memecahkan kaca mobil dan menatap dengan mata melotot, dia memelototi selama beberapa detik. Saya tidak bisa bernafas saat itu juga, dan saya membuka mata dan membiarkan terbuka saat dia menatap, saya membeku dan tidak bergerak sama sekali,” ucap Dito dengan suaranya yang sedikit gemetaran, aku tidak bisa membayangkan betapa menakutkannya kejadian itu.
“Sepertinya dia memang berniat ingin membunuhmu, dia bahkan mengincarmu sampai melihat kondisimu apakah kau sudah mati atau belum, benar benar gila. tapi bagaimana kau bisa tahu dia orangnya, maksudku bagaimana kau tahu dai pembunuhnya” jawab Ardi mendengar cerita Dito tadi.
“Ya … tapi yang membuat bingung adalah, kenapa dia tidak mengecek nadi untuk memastikan kalau saya sudah mati atau belum, atau di terburu buru dan harus keluar dari TKP segera, saya memikirkan itu sepanjang perjalanan kemari tadi naik angkot,” Dito bertanya pada dirinya sendiri, aku tidak percaya dia datang kemari dengan luka seperti itu dan memilih untuk naik angkot.
“Kenapa kau tidak minta tolong di jalan saja setelah itu … malah pulang sendiri naik angkot,” kata Ardi resah.
“Kau kan paham Ardi kalau aku tidak bisa mengambil resiko apapun saat itu juga dan aku tidak ingin orang lain terlibat dalam masalah ini.”
“Ah … Dito … lalu bagaimana kau bisa tahu dia mengincarmu,” tanyaku heran.
“Awalnya saya sempat ingin teriak minta tolong, namun … namun saat suara langkah kakinya itu menginjak lumpur dan mendekat, saya bisa yakinkan bahwa yang melangkah itu bukanlah suara langkah ingin menolong,” ucap Dito dengan mata terpejam dan memiringkan sedikit kepalanya.
Kami semua terdiam mendengar kata kata barusan, menatap Dito yang semakin memejamkan dalam dalam matanya.
“Saya bahkan berpikir kalau itu bukan lah manusia, bukan langkah manusia, saya tidak bisa merasakan ada roh manusia di dalam situ dan yang semakin membuktikannya adalah saat tatapannya itu, siluet melotot dengan sedikit menggelengkan kepalanya itu disaat saya dalam posisi masih menempel duduk di mobil yang sudah terbalik, untung saja dia tidak menusukku,” jelas Dito.
“Kemudian dia pergi begitu saja ya … benar benar misterius, yang pasti bukanlah setan atau semacamnya, mungkin dia adalah pembunuh bayaran yang sudah mengincarmu dari awal.”
“Iya itu juga saya pikirkan sejak tadi, namun bagaimana orang bisa tahu kalau kita- maksudnya saya ada disini, saya tidak pernah bilang pada siapapun,” ungkap Dito.
“kalau begitu aku tidak tahu, mungkin dia punya metode tersendiri untuk melacakmu,” balas Ardi yang tidak bisa berkata apa apa lagi.
“Ah .. mungkin kau sering menelepon orang Dito, mungkin dari situ dia bisa melacak IP mu dan menemukan lokasi keberadaanmu,” kataku membantu menjawab.
“Satu satunya orang yang saya telepon saat berada di sini tidak lain dan tidak bukan adalah teman saya, dan hanya dia seorang,” jawab Dito dengan nada resah, dia bahkan sedikit menggeleng gelengkan kepalanya.
“Apa? bisa saja dia bukan?” kataku menyosor jawaban dan kelakuannya itu.
“Tidak .. tidak mungkin,” ucap Dito yang semakin gelisah sambil memperhatikan smart bandnya, rahangnya menggigit dengan keras.
“Maksud kakak, kak Gadhing?” sambung Nadya menengadahkan wajahnya ke arah Dito.
“Ya … tidak mungkin bukan dia orangnya,” jawab Dito sambil menyengir, namun tampaknya dia ragu.
“Siapa itu Gadhing?” tanyaku penasaran.
“Gadhing itu teman kecilnya kak Dito, dan sudah lama dia dan kakak menjalin kerjasama perusahaan dengannya, PT Sampurna, dia adalah pemilik PT Sampurna,” jawab Nadya.
“Saya percaya pada Gadhing, dia menelepon juga karena memang membicarakan masalah internal dan kerjasama perusahaan kami, kami dari dulu sahabat dan saling tolong menolong,” jelas Dito.
“Sebegitu percayanya kau Dito?” tanya Ardi.
“Ya … tapi untuk berjaga jaga, saya tidak akan menghubunginya lagi untuk saat ini.”
“Keputusan yang tepat,” jawab Ardi puas.
“Dan karena sudah ada yang memasang serta memulai permainan catur pada kita, maka dengan ini kita suka tidak suka harus ikut bermain, kita harus mengalahkannya,” ucap Dito sambil menekan lututnya dengan tangan kirinya.
“Maksudmu ... kita melawan … balik?” tanyaku terbatah batah.
Dito melirikan matanya padaku. “Tentu saja kita harus, namun kita harus memastikan apakah targetnya adalah keluarga kita, ataukah masalah lainnya.”
Aku hanya bisa menelan ludah mendengar kata katanya itu, apa serius kita akan mencari orang- maksudku mahluk itu.
“Seperti yang sudah kita lihat, bahwa bidak pertama telah dijatuhkan, yaitu saya sebagai bidak Ratu disini, mungkin musuh sudah berada di atas angin sekarang, dan karena dari itu kalian sebagai kuda harus mencari info tentang orang itu, siapapun itu,” ucap Dito dengan sedikit bersemangat, semakin membuatku kesal saja.
“Apa kau yakin Dito? bukanya ini ... saatnya kita harus istirahat dulu,” kataku sambil menahan getaran pada rahangku yang tidak berhenti.
“Terus nunggu musuh menyerang kembali? kita memang harus hati hati dalam hal ini … makannya saya menyuruh kalian berdua untuk maju sambil mengawasi, dan Nadya akan menjadi pengawal dan menjagaku untuk saat ini,” ucap Dito dengan menutup sebagian mulutnya dengan tangan kirinya, mata tajamnya itu sedang memikirkan sesuatu yang aku tidak suka.
“Tapi Dito, kita harus tahu dulu siapa target sebenarnya sebelum maju … jika kita salah memperkirakan, mungkin saja kita akan terbunuh,” sanggah Ardi.
“Ya … makannya sejak awal saya bilang untuk melihat pergerakan musuh, untuk itu besok hari kalian berdua harus pulang ke kota, saya akan memonitor semuanya dari sini.”
“Sebaiknya kita ke rumah sakit terdekat saja kakak … tangan kanan mu semakin parah jika tidak segera,” lirih Nadya.
“Oh … tenang saja, dokter pribadi kita sudah dalam perjalanan kemari, tenang saja … dia orang yang kita bisa percaya,” jawab Dito.
Aku menengok Ardi dan tanpa melihat, dia mengangguk kepadaku, aku tidak paham sama sekali bagaimana caranya namun sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan hal hal aneh ini, dan tiba tiba saja sekarang saat ini aku merasa bahwa yang dia lakukan ialah sedang melatih indra keenamnya. Aku tidak peduli, semuanya jadi semakin tidak jelas saja.
Namun itu tidak membuat Ardi bisa jalan melalu lalang begitu saja, aku berdiri memegang bahunya dan kami berdua berjalan, aku mengantarkannya naik tangga ke lantai dua kamar Ardi berada.
“Oh iya … jangan lupakan satu hal,” kata Dito saat suara tapakan kaki kami menapakan pada anak tangga beralaskan kayu ini.
Kami lalu berhenti lagi, memalingkan wajahku dan menatap Dito yang sedang mengelus elus ujung hidungnya dengan telunjuknya, sampai dia melirik ke arahku sambil.
“Aku sudah Mati.”
ii.
Sejak malam hari aku selalu berpikir tentang sesuatu yang membuatku hampir tidak bisa tidur. Mataku menatap jam, tiap waktu dan tiap detik yang terlintas di benakku adalah saat ini adalah bayangan yang mengingatkanku pada kedua orang tuaku, aku berpikir bahwa apakah orang ini yang sama, atau orang yang lain, atau suruhan yang dari dahulu sedang mengawasi kami, menunggu hingga kami dewasa dan mempreteli kami satu persatu seperti batang lidi hingga habis. Takut, ketakutan melanda pikiran, hatiku tidak bisa tenang, bahkan aku sempat berpikir kalau aku akan mati sebelum menikah, menyedihkan sekali.
Semenjak malam itu, entah kenapa aku mulai merasa sesuatu yang aneh saat melihat mentari pagi, anging yang masuk memberikan perasaan yang beda pagi hari ini. Bukan rasa benci, melainkan rasa penasaran apakah hari ini aku akan masih hidup atau hari ini aku akan mati. Rahangku bahkan tidak kuat lagi untuk menahan kedua bibirku agar tetap tertutup, rasa sesak nafas yang kurasakan, dan terkadang gigiku sendiri bergerak dengan sendirinya menggigit udara kosong, bulu bulu di pipiku naik, gemetar ketakutan.
Bahkan saat sholat subuh pun aku tidak bisa tenang sama sekali, yang di pikiranku hanyalah perasaan takut yang tiada habisnya, sekarang tubuhku hanya bisa duduk lemas di atas sajadah, berdoa dan meminta agar menghilangkan perasaan takut ini dan meminta keselamatan, untuk kami semua.
mataku menyipit, menatap mentari yang bersamaan dengan ombak putih yang menyisir pasir pantai, aku bisa melihat jelas dari sini kapal kapal kecil di malam hari mulai berlabuh dan kapal kapal besar masih menyusuri lautan yang jauh disana.
Kemudian suara ketukan kayu yang keras muncul dari pintu, apakah aku sedang bermimpi, apakah pembunuh itu datang dan sudah mencapai pintu kamarku. Kelopak mataku tiba tiba terbuka lebar, merasakan insting bahaya, dan merasakan ancaman yang besar. Kemudian aku kembali mengingat cerita yang diucapkan Dito semalam, tentang sesuatu yang mengatakan bahwa dia bukanlah manusia, dan yang bisa mengeluarkan aura semacam ini hanyalah orang, dan mahluk yang dikatakan Dito bukanlah termasuk kategori tersebut.
Suara ketukan datang kembali, kali ini lebih kencang dari sebelumnya, hingga telingaku saja kaget mendengar suara tersebut. Melihat daun pintu yang terkena sinar matahari. Langkahku mulai berjalan perlahan mendekati pintu, dengan tapakan lebar yang menyentuh lantai perlahan satu persatu, pelan pelan namun pasti dan tidak bersuara. Saat itu lalu aku berpikir bisa menggunakan cahaya matahari pagi yang mengarah ke pintu untuk membutakannya saat aku membukakan pintunya, lalu mendaratkan pukulan tepat di wajahnya bahkan sebelum ia bisa menutup matanya dengan tangannya, aku yakin pasti berhasil.
Sekarang tubuhku sudah melekat pada tembok kayu, jemariku menyentuh permukaan yang licin dan halus, mengusapnya perlahan sambil mengambil langkah ke arah pintu. bagian belakang kepalaku kutempelkan pada tembok, kemudian memutar dan menempelkan telingaku di tembok kayu, berusaha mendengar dan memastikan jika ada kemungkinan terburuk kalau dia tidak sendirian.
Kedua bibirku merapat, menahan nafas dan berusaha menghilangkan suara semaksimal mungkin, hingga yang tersisa hanyalah suara di pikiranku dan suara detak jantungku yang semakin berdebar debar. Tidak ada suara sama sekali, mungkin orang ini datang sendirian. Tanganku perlahan meraih gagang pintu dan tangan satunya lagi sudah bersiap dan memasang tinju tepat di samping kepalaku.
“Kau ini terlalu penakut …” sebuah suara pelan dan halus masuk ke telingaku, dia sudah mengetahui keberadaanku.
Tanganku langsung memutar gagang pintu dengan cepat dan menariknya sekencang kencangnya. Pukulan maut yang sudah kusiapkan sekarang melaju dengan kecepatan tinggi, rencanaku berhasil.
Namun yang aku dengar malah suara tepakan tangan yang keras, dan setelahnya suara gagang pintu yang menabrak tembok kayu dengan keras, lebih keras dari suara pukulanku. Mataku melotot saat melihat pukulanku telah berhasil ditangkap dengan sempurna dengan sebuah tangan, jantungku sudah terbanjiri dengan aliran darah dan sudah tidak ada perasaan lagi yang bisa aku ucapkan selain putus asa.
Tidak ada balasan yang masuk ke tubuhku atau benda apapun, hanya tangan itu dan kami berdua akhirnya saling menatap, namun kali ini dia tidak membalas tatapanku yang sudah ketakutan setengah- bukan, malah nyaris tewas.
“Santai saja Jaya,” ucap Ardi dengan seringainya.
“Santai - santai matamu … kenapa harus mengetuk kamar orang sambil mengeluarkan aura setan begitu,” kataku kesal.
“Ya … sekalian ngetes, apa kau sudah siap?”
Ardi melepaskan tanganku, aku melihat dia yang sudah berpakaian rapi dengan rambut terikat dan mengkilap, baju pantai bercelana pendek, tubuh kekar besarnya itu menurutku aneh. “Sejak semalam aku tidak bisa tidur dan bahkan melipat baju saja sampai kesulitan,” keluhku.
Ardi tidak berkata apa apa.
Mataku menyipit. “Iya aku sudah siap.”
“Baiklah kalau begitu, waktunya pulang.”
i.
Mungkin banyak sekali kata kata yang ingin kami ucapkan pada orang ini, mulai dari kata kagum hingga menu utama untuknya adalah kata kasar yang mungkin saja jika diucapkan tidak akan mempengaruhi dirinya atau melukai perasaanya sedikitpun. Dengan wajah bahagia dan tanpa merasa bersalah Dito datang kembali ke tempat ini, duduk di kursi dengan santai sambil mengelus elus tangan kanannya yang penuh dengan balutan perban dengan tambahan batang kayu pada bagian atas dan bawah tangannya. Sebelum Dito masuk aku rasa tangannya seperti tidak ada masalah, mungkin dia sok kuat menahan rasa sakit saat di depan pintu tadi, tapi wajahnya sekarang malah menatap dingin tangannya, apa mungkin dia kesal pada tangannya sendiri atau memang begitukah Dito menahan rasa sakit, aku tidak tahu.
Kami semua duduk di sofa masing masing, Dito duduk di tengah dengan Nadya yang sedang merawat lukanya. Kami sama sekali belum berbicara serius atau melontarkan satupun pertanyaan padanya tentang masalah kenapa dia bisa mengalami kecelakaan seperti itu, dan bagaimana pula dia bisa disini padahal di berita dia sudah dinyatakan tewas.
“Kenapa kau tidak mati?” pertanyaan pertama akhirnya terlontar dari mulut Ardi, tapi bukan pertanyaan itu yang aku kira akan keluar.
Mendengar kata kata barusan kami semua spontan mengarahkan pandangan kami ke Ardi, beberapa detik kami terdiam, bahkan Nadya berhenti mengusap luka Dito dan memasang wajah kesal berapi api ke arah Ardi, namun sepertinya hanya aku disini yang sedang menahan tawa karena kalimatnya itu.
“Saya tahu kau dendam … tapi jangan sebegitunnya lah.”
“Baiklah langsung ke intinya saja, apa penyebab kecelakaanmu?” tanya Ardi.
“Itu semua terjadi karena jalan negara ini penuh dengan lubang,” jawab Dito santai.
Suara hentakan meja yang keras mencuat saat tinju dari tangan Ardi mendarat, raut wajahnya sangat kesal. “Jangan bercanda kau, katakan yang sebenarnya!” bentak Ardi.
Sepertinya dia sangat paham betapa tidak mungkinnya mobil itu bisa terlontar cukup jauh hanya sebuah lubang, pasti ada penyebab yang jelas, dan aku yakin bukan karena kecerobohan Dito pula itu bisa terjadi.
Dito memicingkan matanya ke Ardi, lalu dia sedikit melirik ke arahku yang aku tidak tahu harus menjawab apa selain menggelengkan kepalaku, aku juga tidak paham kenapa aku melakukannya.
“Baiklah … bukan saya yang melakukannya, ada sesuatu, lebih tepatnya seseorang yang melakukannya,” jawab Dito.
“Seseorang? apa maksudmu?” kejar Ardi.
“Saya tidak tahu, saya juga tidak paham … saat itu sangat gelap dan saya hanya bisa melihat siluetnya saja saat mobil sudah berhenti berguling, dia memecahkan kaca mobil dan menatap dengan mata melotot, dia memelototi selama beberapa detik. Saya tidak bisa bernafas saat itu juga, dan saya membuka mata dan membiarkan terbuka saat dia menatap, saya membeku dan tidak bergerak sama sekali,” ucap Dito dengan suaranya yang sedikit gemetaran, aku tidak bisa membayangkan betapa menakutkannya kejadian itu.
“Sepertinya dia memang berniat ingin membunuhmu, dia bahkan mengincarmu sampai melihat kondisimu apakah kau sudah mati atau belum, benar benar gila. tapi bagaimana kau bisa tahu dia orangnya, maksudku bagaimana kau tahu dai pembunuhnya” jawab Ardi mendengar cerita Dito tadi.
“Ya … tapi yang membuat bingung adalah, kenapa dia tidak mengecek nadi untuk memastikan kalau saya sudah mati atau belum, atau di terburu buru dan harus keluar dari TKP segera, saya memikirkan itu sepanjang perjalanan kemari tadi naik angkot,” Dito bertanya pada dirinya sendiri, aku tidak percaya dia datang kemari dengan luka seperti itu dan memilih untuk naik angkot.
“Kenapa kau tidak minta tolong di jalan saja setelah itu … malah pulang sendiri naik angkot,” kata Ardi resah.
“Kau kan paham Ardi kalau aku tidak bisa mengambil resiko apapun saat itu juga dan aku tidak ingin orang lain terlibat dalam masalah ini.”
“Ah … Dito … lalu bagaimana kau bisa tahu dia mengincarmu,” tanyaku heran.
“Awalnya saya sempat ingin teriak minta tolong, namun … namun saat suara langkah kakinya itu menginjak lumpur dan mendekat, saya bisa yakinkan bahwa yang melangkah itu bukanlah suara langkah ingin menolong,” ucap Dito dengan mata terpejam dan memiringkan sedikit kepalanya.
Kami semua terdiam mendengar kata kata barusan, menatap Dito yang semakin memejamkan dalam dalam matanya.
“Saya bahkan berpikir kalau itu bukan lah manusia, bukan langkah manusia, saya tidak bisa merasakan ada roh manusia di dalam situ dan yang semakin membuktikannya adalah saat tatapannya itu, siluet melotot dengan sedikit menggelengkan kepalanya itu disaat saya dalam posisi masih menempel duduk di mobil yang sudah terbalik, untung saja dia tidak menusukku,” jelas Dito.
“Kemudian dia pergi begitu saja ya … benar benar misterius, yang pasti bukanlah setan atau semacamnya, mungkin dia adalah pembunuh bayaran yang sudah mengincarmu dari awal.”
“Iya itu juga saya pikirkan sejak tadi, namun bagaimana orang bisa tahu kalau kita- maksudnya saya ada disini, saya tidak pernah bilang pada siapapun,” ungkap Dito.
“kalau begitu aku tidak tahu, mungkin dia punya metode tersendiri untuk melacakmu,” balas Ardi yang tidak bisa berkata apa apa lagi.
“Ah .. mungkin kau sering menelepon orang Dito, mungkin dari situ dia bisa melacak IP mu dan menemukan lokasi keberadaanmu,” kataku membantu menjawab.
“Satu satunya orang yang saya telepon saat berada di sini tidak lain dan tidak bukan adalah teman saya, dan hanya dia seorang,” jawab Dito dengan nada resah, dia bahkan sedikit menggeleng gelengkan kepalanya.
“Apa? bisa saja dia bukan?” kataku menyosor jawaban dan kelakuannya itu.
“Tidak .. tidak mungkin,” ucap Dito yang semakin gelisah sambil memperhatikan smart bandnya, rahangnya menggigit dengan keras.
“Maksud kakak, kak Gadhing?” sambung Nadya menengadahkan wajahnya ke arah Dito.
“Ya … tidak mungkin bukan dia orangnya,” jawab Dito sambil menyengir, namun tampaknya dia ragu.
“Siapa itu Gadhing?” tanyaku penasaran.
“Gadhing itu teman kecilnya kak Dito, dan sudah lama dia dan kakak menjalin kerjasama perusahaan dengannya, PT Sampurna, dia adalah pemilik PT Sampurna,” jawab Nadya.
“Saya percaya pada Gadhing, dia menelepon juga karena memang membicarakan masalah internal dan kerjasama perusahaan kami, kami dari dulu sahabat dan saling tolong menolong,” jelas Dito.
“Sebegitu percayanya kau Dito?” tanya Ardi.
“Ya … tapi untuk berjaga jaga, saya tidak akan menghubunginya lagi untuk saat ini.”
“Keputusan yang tepat,” jawab Ardi puas.
“Dan karena sudah ada yang memasang serta memulai permainan catur pada kita, maka dengan ini kita suka tidak suka harus ikut bermain, kita harus mengalahkannya,” ucap Dito sambil menekan lututnya dengan tangan kirinya.
“Maksudmu ... kita melawan … balik?” tanyaku terbatah batah.
Dito melirikan matanya padaku. “Tentu saja kita harus, namun kita harus memastikan apakah targetnya adalah keluarga kita, ataukah masalah lainnya.”
Aku hanya bisa menelan ludah mendengar kata katanya itu, apa serius kita akan mencari orang- maksudku mahluk itu.
“Seperti yang sudah kita lihat, bahwa bidak pertama telah dijatuhkan, yaitu saya sebagai bidak Ratu disini, mungkin musuh sudah berada di atas angin sekarang, dan karena dari itu kalian sebagai kuda harus mencari info tentang orang itu, siapapun itu,” ucap Dito dengan sedikit bersemangat, semakin membuatku kesal saja.
“Apa kau yakin Dito? bukanya ini ... saatnya kita harus istirahat dulu,” kataku sambil menahan getaran pada rahangku yang tidak berhenti.
“Terus nunggu musuh menyerang kembali? kita memang harus hati hati dalam hal ini … makannya saya menyuruh kalian berdua untuk maju sambil mengawasi, dan Nadya akan menjadi pengawal dan menjagaku untuk saat ini,” ucap Dito dengan menutup sebagian mulutnya dengan tangan kirinya, mata tajamnya itu sedang memikirkan sesuatu yang aku tidak suka.
“Tapi Dito, kita harus tahu dulu siapa target sebenarnya sebelum maju … jika kita salah memperkirakan, mungkin saja kita akan terbunuh,” sanggah Ardi.
“Ya … makannya sejak awal saya bilang untuk melihat pergerakan musuh, untuk itu besok hari kalian berdua harus pulang ke kota, saya akan memonitor semuanya dari sini.”
“Sebaiknya kita ke rumah sakit terdekat saja kakak … tangan kanan mu semakin parah jika tidak segera,” lirih Nadya.
“Oh … tenang saja, dokter pribadi kita sudah dalam perjalanan kemari, tenang saja … dia orang yang kita bisa percaya,” jawab Dito.
Aku menengok Ardi dan tanpa melihat, dia mengangguk kepadaku, aku tidak paham sama sekali bagaimana caranya namun sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan hal hal aneh ini, dan tiba tiba saja sekarang saat ini aku merasa bahwa yang dia lakukan ialah sedang melatih indra keenamnya. Aku tidak peduli, semuanya jadi semakin tidak jelas saja.
Namun itu tidak membuat Ardi bisa jalan melalu lalang begitu saja, aku berdiri memegang bahunya dan kami berdua berjalan, aku mengantarkannya naik tangga ke lantai dua kamar Ardi berada.
“Oh iya … jangan lupakan satu hal,” kata Dito saat suara tapakan kaki kami menapakan pada anak tangga beralaskan kayu ini.
Kami lalu berhenti lagi, memalingkan wajahku dan menatap Dito yang sedang mengelus elus ujung hidungnya dengan telunjuknya, sampai dia melirik ke arahku sambil.
“Aku sudah Mati.”
ii.
Sejak malam hari aku selalu berpikir tentang sesuatu yang membuatku hampir tidak bisa tidur. Mataku menatap jam, tiap waktu dan tiap detik yang terlintas di benakku adalah saat ini adalah bayangan yang mengingatkanku pada kedua orang tuaku, aku berpikir bahwa apakah orang ini yang sama, atau orang yang lain, atau suruhan yang dari dahulu sedang mengawasi kami, menunggu hingga kami dewasa dan mempreteli kami satu persatu seperti batang lidi hingga habis. Takut, ketakutan melanda pikiran, hatiku tidak bisa tenang, bahkan aku sempat berpikir kalau aku akan mati sebelum menikah, menyedihkan sekali.
Semenjak malam itu, entah kenapa aku mulai merasa sesuatu yang aneh saat melihat mentari pagi, anging yang masuk memberikan perasaan yang beda pagi hari ini. Bukan rasa benci, melainkan rasa penasaran apakah hari ini aku akan masih hidup atau hari ini aku akan mati. Rahangku bahkan tidak kuat lagi untuk menahan kedua bibirku agar tetap tertutup, rasa sesak nafas yang kurasakan, dan terkadang gigiku sendiri bergerak dengan sendirinya menggigit udara kosong, bulu bulu di pipiku naik, gemetar ketakutan.
Bahkan saat sholat subuh pun aku tidak bisa tenang sama sekali, yang di pikiranku hanyalah perasaan takut yang tiada habisnya, sekarang tubuhku hanya bisa duduk lemas di atas sajadah, berdoa dan meminta agar menghilangkan perasaan takut ini dan meminta keselamatan, untuk kami semua.
mataku menyipit, menatap mentari yang bersamaan dengan ombak putih yang menyisir pasir pantai, aku bisa melihat jelas dari sini kapal kapal kecil di malam hari mulai berlabuh dan kapal kapal besar masih menyusuri lautan yang jauh disana.
Kemudian suara ketukan kayu yang keras muncul dari pintu, apakah aku sedang bermimpi, apakah pembunuh itu datang dan sudah mencapai pintu kamarku. Kelopak mataku tiba tiba terbuka lebar, merasakan insting bahaya, dan merasakan ancaman yang besar. Kemudian aku kembali mengingat cerita yang diucapkan Dito semalam, tentang sesuatu yang mengatakan bahwa dia bukanlah manusia, dan yang bisa mengeluarkan aura semacam ini hanyalah orang, dan mahluk yang dikatakan Dito bukanlah termasuk kategori tersebut.
Suara ketukan datang kembali, kali ini lebih kencang dari sebelumnya, hingga telingaku saja kaget mendengar suara tersebut. Melihat daun pintu yang terkena sinar matahari. Langkahku mulai berjalan perlahan mendekati pintu, dengan tapakan lebar yang menyentuh lantai perlahan satu persatu, pelan pelan namun pasti dan tidak bersuara. Saat itu lalu aku berpikir bisa menggunakan cahaya matahari pagi yang mengarah ke pintu untuk membutakannya saat aku membukakan pintunya, lalu mendaratkan pukulan tepat di wajahnya bahkan sebelum ia bisa menutup matanya dengan tangannya, aku yakin pasti berhasil.
Sekarang tubuhku sudah melekat pada tembok kayu, jemariku menyentuh permukaan yang licin dan halus, mengusapnya perlahan sambil mengambil langkah ke arah pintu. bagian belakang kepalaku kutempelkan pada tembok, kemudian memutar dan menempelkan telingaku di tembok kayu, berusaha mendengar dan memastikan jika ada kemungkinan terburuk kalau dia tidak sendirian.
Kedua bibirku merapat, menahan nafas dan berusaha menghilangkan suara semaksimal mungkin, hingga yang tersisa hanyalah suara di pikiranku dan suara detak jantungku yang semakin berdebar debar. Tidak ada suara sama sekali, mungkin orang ini datang sendirian. Tanganku perlahan meraih gagang pintu dan tangan satunya lagi sudah bersiap dan memasang tinju tepat di samping kepalaku.
“Kau ini terlalu penakut …” sebuah suara pelan dan halus masuk ke telingaku, dia sudah mengetahui keberadaanku.
Tanganku langsung memutar gagang pintu dengan cepat dan menariknya sekencang kencangnya. Pukulan maut yang sudah kusiapkan sekarang melaju dengan kecepatan tinggi, rencanaku berhasil.
Namun yang aku dengar malah suara tepakan tangan yang keras, dan setelahnya suara gagang pintu yang menabrak tembok kayu dengan keras, lebih keras dari suara pukulanku. Mataku melotot saat melihat pukulanku telah berhasil ditangkap dengan sempurna dengan sebuah tangan, jantungku sudah terbanjiri dengan aliran darah dan sudah tidak ada perasaan lagi yang bisa aku ucapkan selain putus asa.
Tidak ada balasan yang masuk ke tubuhku atau benda apapun, hanya tangan itu dan kami berdua akhirnya saling menatap, namun kali ini dia tidak membalas tatapanku yang sudah ketakutan setengah- bukan, malah nyaris tewas.
“Santai saja Jaya,” ucap Ardi dengan seringainya.
“Santai - santai matamu … kenapa harus mengetuk kamar orang sambil mengeluarkan aura setan begitu,” kataku kesal.
“Ya … sekalian ngetes, apa kau sudah siap?”
Ardi melepaskan tanganku, aku melihat dia yang sudah berpakaian rapi dengan rambut terikat dan mengkilap, baju pantai bercelana pendek, tubuh kekar besarnya itu menurutku aneh. “Sejak semalam aku tidak bisa tidur dan bahkan melipat baju saja sampai kesulitan,” keluhku.
Ardi tidak berkata apa apa.
Mataku menyipit. “Iya aku sudah siap.”
“Baiklah kalau begitu, waktunya pulang.”
aripinastiko612 dan krisnafebriyant memberi reputasi
2
