- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#27
ii.
Sudah sekitar dua minggu kami tinggal di pesisir pantai ini, tidak banyak yang kubisa katakan setelah tinggal selama itu disini, suara ombak yang dari pagi hingga malam masuk ke telingaku semakin kudengar semakin bosan saja ku tinggal disini, ditambah lagi dengan sengatan matahari yang tentu saja tidak begitu panas bagiku namun mungkin warna kulitku yang semakin gelap ini akan berkata lain soal itu. Banyak sekali hal yang sebenarnya ingin sekali kulakukan seperti memotong rambutku yang sudah mulai melewati alis dan membeli baju ke pasar malam yang ada tiap minggu di pesisir pantai beberapa kilometer dari sini. Namun Dito terlalu menjaga kami seperti orang tua yang mengurung anaknya saat melihat iklan mainan baru di TV, semua kegiatan kami di luar kawasan hotel tidak diperbolehkan sama sekali, bahkan ingin ke supermarket pun tidak dibolehkan. Ini sama saja seperti tahanan yang sedang menjalani masa liburan, kau bebas namun kau tidak bebas sama sekali.
Dalam beberapa hal, aku mencoba untuk berusaha sebisa mungkin menikmati masa masa ini dengan berlatih tiap pagi dengan Ardi dan malamnya melihat Dito bertarung dengan Ardi, hanya dua hal itu yang menjadi hiburanku disini selain membuka internet yang semakin hari semakin tidak jelas saja apa isinya. Bicara soal bertarung, aku sekarang bisa semakin lues dan gerakanku semakin terasah dan mulus karena latihan ini, berbeda dari sebelumnya yang dimana aku mempelajari gerakan yang kaku, latihan ini memang untuk pertarungan sebenarnya dan seperti yang dikatakan Dito waktu itu kepadaku bahwa belajar bela diri itu 30% sementara 70%nya adalah improvisasi gerakan dan insting, dia bilang begitu pun aku tidak bisa protes karena melihat teknik bertarungnya yang bisa dibilang pas dengan badan gorilanya itu, aku tidak tahu sama sekali gerakan macam apa yang dia lakukan namun satu satunya jawaban yang pernah kudapat saat bertanya ke Ardi tentang masalah itu, dia hanya menjawab kalau Dito dulu aktif di Fighting Club, saat aku bertanya ke Dito, dia tidak menjawab sama sekali, mungkin memang peraturan tidak boleh membicarakan tentang itu.
Namun aku tidak peduli tentang cerita masa lalunya, melainkan bagaimana dia bisa melatih badan seperti itu agar bisa bergerak dengan leluasa saat bertarung lah yang membuatku penasaran, aku selalu mengira jika orang orang dengan otot yang besar di sekujur tubuhnya akan membuat orang itu layaknya bakso daging dan urat yang berjalan layaknya sebuah robot, namun Dito menepis pemikiranku itu saat dia bertarung dengan Ardi. Memang aku bisa dengan jelas melihat badannya yang berusaha dipaksa agar bergerak cepat untuk mengimbangi gerakan Ardi yang mengalir dengan lancar walau tidak bisa dipungkiri kadang gerakannya cukup kaku setelah melempar serangan dan seperti sudah terbaca yang bahkan Ardi bisa menghindar dengan matanya yang tertutup itu.
Aku ingat saat malam dimana Dito mengalahkan Ardi yang sebenarnya Ardi tidak pernah menang sekalipun melawan Dito pertarungan malam ini, tapi waktu itu aku terkesima saat bagaimana kecerdikannya yang membuat dia selalu menang dan gerakan yang tidak terduga lah yang selalu membuat ia bisa dengan mudah menutupi kekurangannya itu. Seperti saat di malam yang gelap gulita dan hanya diterangi cahaya bulan yang baru muncul bersama bintang di langit hitam, di awal pertarungan Dito melompat kecil terus menerus berirama dengan tangan sudah membentuk perisai di depan, gerakannya memercikan pasir di kakinya, suara itu cukup terdengar hingga ombak saja mengalah dengan suara gerakan kaki itu. Aku tidak paham awal dari gerakannya itu, apakah ingin mengecoh atau malah justru membantu Ardi dengan memberi tahu posisinya di tengah kegelapan yang Ardi juga tidak masalah dengan kegelapan.
“Apa yang kau lakukan Dito?” tanya Ardi yang belum bersiap dan masih menyisir lalu mengikat rambutnya yang panjang itu.
“Tidak ada apa apa … saya cumang sedang berada di mood yang bagus,” balas Dito sambil memasang kuda kudanya dan melakukan hal kesukaannya yaitu menarik rambutnya yang pendek ke belakang dengan mengangkat sedikit dagunya sambil memberi wajah sombong, yang kalau aku pikir juga percuma saja kau meledeknya.
“Apa kau siap Dito?”
“Tentu saja aku siap dari tadi … Nadya, kali perhatikan baik baik, ini jurus turun temurun kita!” sahut Dito bersemangat.
Nadya yang sedang duduk bersamaku di atas pasir sedang yang dari wajahnya yang fokus dan serius sedang berusaha keras membuka bungkus kacang langsung kaget saat mendengar kata kata barusan. “Seriusan?! kak Ardi bisa langsung mati loh.”
“Santai saja … gak bakal sampe mati kok,”
“Hey hey … ini kan latihan,” ucap Ardi memundurkan wajahnya, tubuhnya sepertinya sudah bersiap menghadapi serangan.
Dito memasang kuda kuda menyamping dengan kaki kiri di depan menghadap lurus ke Ardi, matanya menajam sambil menyodorkan tangan kirinya ke depan seperti orang menadah, ia pun mengambil nafas dalam dalam hingga dadanya terangkat lalu. “TIDAK ADA WAKTUNYA LATIHAN! SEKARANG WAKTUNYA KAU MATI!”
Ardi yang kaget dengan teriakan keras itu tiba tiba mengambil langkah mundur sedikit tidak sampai selangkah, lalu tangan kanan Dito melayang diudara, memutar dan mengarah langsung ke tangan kirinya yang sedang menadah tadi, lalu suara tepukan yang memecah ombak muncul dari tangannya itu. Kami semua kaget dan yang paling kaget lagi adalah reaksi Ardi mendengarnya sampai kuda kudanya dijatuhkan. Melihat itu, Dito lalu melompat ke arah Ardi dengan tangannya yang terangkat di atas kepalanya sedang mencakar udara. Sebelum langkah kakinya menyentuh tanah, tangan Dito menggapai kepala Ardi dan langsung menekannya sekuat tenaga, memendamkan wajah Ardi menuju pasir dan dia pun tersungkur dengan posisi merunduk namun kali ini dia terlalu jauh merunduk hingga mencium pasir.
Melihat Ardi yang sudah tenggelam dan tersungkur membuat Dito berputar balik arah dengan cepat lalu lari. “TIDAK ADA WAKTU LATIHAN! SEKARANG WAKTUNYA NONTON FILM!” Teriak Dito menghiraukan Ardi yang dengan kedua tangannya berusaha mengangkat tubuhnya lalu bangkit.
Ardi yang sudah berdiri tegap berusaha membersihkan wajahnya kemudian menyisir bajunya dengan tangannya. “Biasanya aku berusaha untuk tetap tenang dalam kondisi apapun namun kali ini baik KAU DITO, MALAM INI KAU AKAN MATI.”
Aku dan Nadya yang sudah menyaksikan hal hal tidak terduga barusan sekarang ini bertahan untuk menutup mulut kami agar tidak tertawa, namun sepertinya Nadya bukan orang yang tepat dalam keahlian ini melihat matanya melotot sambil menutup mulutnya itu tidak kuat dan akhirnya kelepasan dan suara tawa kecil menyembul dari mulutnya. Ardi langsung memalingkan ke arah Nadya dan berhenti untuk beberapa saat. Nadya yang melihat itu pun tidak kuat lagi dan akhirnya lompat, mengangkat tubuhnya dan berlari sambil tertawa kecikikan.
Hanya aku dan Ardi yang tersisa sekarang dan dia tidak berhenti memompa paru parunya, suara nafas mengebul kencang dari hidungnya sambil mengepalkan tangannya erat erat. Aku yang dari tadi berusaha menahan rasa yang tawa tiba tiba hilang dan mencoba menenangkan Ardi. “Ah … aku kali ini tidak akan komentar apa apa masalah ini.”
Ardi kemudian berhenti marah. “Sebaiknya begitu.”
iii.
Sambil menunggu kerisku jadi, mataku menatap monitor laptop dan mencari beberapa bentuk keris keris yang ada dari dulu hingga sekarang dari keris para raja raja hindu budha terdahulu hingga keris milik sultan sultan, seperti ana kecil yang melihat gambar dinosaurus di buku bergambar saat kecil. Tapi kadang rasa sabar itu ingin sekali meledakan diri karena sampai sekarang aku tidak paham kenapa membuat benda itu sampai sebegitu lamanya, tidak banyak yang ku bisa cari di internet tentang masalah itu karena ya bisa dibilang orang orang sudah mulai lupa dengan benda semacam itu.
Terutama untuk masalah darah yang dibutuhkan dalam pembuatan keris, aku tidak paham sama sekali apa kaitannya dan apa fungsinya, hal yang ada di kepalaku hanyalah hal hal mistis yang sepertinya harus kusingkirkan dari pikiranku. Namun ya aku sangat sadar bahwa tidak ada salahnya aku bertanya dan mungkin saja ini saat yang tepat untuk menanyakan itu pada Dito, berhubung katanya tadi dia sedang dalam mood yang bagus maka aku akhirnya memberanikan diri.
Smartband menunjukan sekarang pukul 8 sore, ya bisa juga orang bilang malam. Tanganku membuka pintu dengan perlahan dan mengambil langkah mengendap endap yang walau suaranya tidak bisa kuhindari karena pasir ini, Tujuanku kali ini sudah berada di depanku. Rumah pantai ini memang didesain dengan pondasi batu yang tinggi, tingginya bahkan sekiranya sampai di atas kepalaku, mungkin saja ini untuk berjaga jaga jika ada ombak besar atau semacamnya, aku sama sekali tidak peduli tentang hal itu.
Sebelum berusaha masuk, aku mengintip dari bawah, tepatnya di depan jendela kamar yang ditutupi gorden, kepalaku berusaha mencari posisi yang tepat untuk mengintip namun sela sela bagian bawahnya sedikit menolongku dan menampilkan Dito yang sedang berjalan mondar mandir di depan sofanya dengan tv menyala namun sepertinya dia menghentikan sementara filmnya. Langkahnya kecil namun cepat, aku jarang sekali melihat Dito melakukan itu kecuali dia sedang berpikir keras, mungkin itu yang saat ini dia lakukan.Aku berusaha mendekatkan kepalaku ke depan jendela yang panjang sampai kebawah itu, cahaya lampu dari dalam menembus keluar, namun tidak mencapai ujung rambutku.
“Apa maksudmu mereka ingin melakukan hal itu,” ucapan Dito yang keras bisa terdengar keluar.
“Tanpa persetujuan saya?! Apa mereka gila … saya sudah lama sekali melarang hal itu bukan … Hah?! prototype?! bagaimana caranya … itu bukan prototype lagi namanya, itu sudah sempurna ... Bajingan, tidak akan saya biarkan,” siluet Dito akhirnya hilang namun langkah terburu buru muncul dan kemudian suara pintu terbuka dengan kencang muncul dari depan rumahnya. Aku memperhatikan Dito yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana levis, bersembunyi dan berusaha untuk tetap di bawah bayangan dan tetap tidak terlihat olehnya. Dia membuka pintu mobilnya yang terparkir di depan rumahnya, lampu mobil menyala, suara mesin keluar cukup keras, mobil itu berputar menuju gerbang keluar lalu kemudian melaju dengan kencang di jalanan.
Suara pintu lainnya terbuka juga dengan kencang merespon suara mesin mobil, Nadya keluar dari kamarnya dengan baju tidur, wajahnya berusaha dari mana suara itu menghilang dan kemudian berlari tanpa mengenakan sendal menuju rumah Dito, kemudian dia berhenti sejenak melihat mobil kakaknya yang hilang dan berusaha menggedor pintu rumah Dito dengan kencang.
“KAKAK! KAKAK!” teriak Nadya memanggil Dito.
Aku yang tidak tega melihatnya seperti itu akhirnya keluar dari persembunyianku. “Dito tadi pergi, sepertinya dia sedang terburu buru,” jelasku.
“Lalu kenapa kau disitu?”
Tanganku meraih rambut belakangku, menggaruknya sambil menunduk ke bawah malu. “Ah … tadi aku ingin bicara sesuatu ke Dito tapi dia malah pergi.”
“Kenapa kau seperti itu?”
Wajahku kembali datar menghadap Nadya. “Bukan apa apa kok,”
“Apa kau yakin?” tanya Nadya dengan matanya yang meruncing.
“Iya … aku hanya ingin menanyakan pertanyaan bodoh saja,”
iv.
Sudah lima jam berlalu semenjak Dito pergi, kami bertiga berkumpul di kamar rumah Ardi, duduk di sofa sambil melihat Nadya yang panik berusaha menelepon Dito yang sejak dari tadi tidak menjawab panggilan Nadya semenjak dia pergi.
“Aku sangat khawatir kenapa kakak tidak menjawab dari tadi.”
“Aku sangat tidak peduli apa yang dia lakukan,” ucapku sambil berusaha menahan ngantuk.
“Aku malah heran kenapa kalian malah berkumpul di rumahku, apa tidak ada tempat lain?” kata Ardi kesal.
“Masalahnya kakak menghilang,” ucap Nadya melirih.
“Aku tidak peduli mau dia hilang lalu mobilnya meledak atau semacamnya, aku ingin tidur,” balas Ardi yang masih jengkel.
“Ah … baiklah sambil kita menunggu, aku ingin menonton tv sebentar, siapa tahu dia mematikan smartbandnya agar fokus,” kataku sambil menekan remot dan berusaha mencari siaran yang menarik malam ini, kemudian aku berhenti pada siaran berita, ya karena aku suka berita malam hari, terutama breaking news.
“Sebuah mobil terbakar hebat di sawah, polisi memperkirakan bahwa mobil tersebut melaju dengan kecepatan tinggi lalu oleng kemudian terpental lalu berguling ke arah bahu jalan hingga 15 meter. Petugas pemadam telah berhasil memadamkan api namun nahas jasad pengemudi mobil diperkirakan hangus terbakar dan hanya menyisakan abu. namun Polisi menemukan gigi untuk dilakukan tes DNA langsung. Korban teridentifikasi berinisial H.A.H dengan plat nomor kendaraan B 16 BOS. Itu saja breaking news malam ini, selamat malam sampai jumpa.”
Belum aku sampai terkekeh mengangkat pipiku melihat berita itu, Nadya kemudian berteriak kencang, dia menjerit jerit, berdiri sambil menaruh kedua tangannya di depan bibirnya, matanya berkaca kaca dan kemudian menangis histeris. Aku yang melihat itu kemudian memperhatikan Ardi yang juga sedang menunduk memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Aku sempat berpikir untuk bertanya pada Nadya kenapa dia menangis kejar begitu, namun aku menyadari sesuatu tentang plat nomor yang disebutkan tadi, itu adalah plat nomor mobil Dito, oh sial, benar benar sial.
Suasana sekarang berubah, kesal, sedih, bingung dan tidak percaya hal barusan sekarang berada di pikiran kami semua. Aku akhirnya berusaha mengangkat tubuh Nadya yang sudah bersujud di atas karpet, dia sangat lemas, wajahnya sudah sangat merah, tangisan dan keringat sudah mengalir membasahi wajahnya, bahkan mulutnya tidak bisa terangkat lagi untuk berhenti mengeluarkan suara tangisan. Aku mengangkat kedua bahunya dan menaruhnya di atas sofa, dia kemudian memelukku dengan erat dan sekarang bajuku malah jadi basah karena target tangisannya.
“Ini semua salah kak Ardi … INI SALAHMU” rintih Nadya yang masih memelukku, kesal menyalahkan Ardi.
“Jangan salahkan aku kalau dia mati karena aku menyumpahinya, tapi aku tidak pernah menyangka dari sekian banyak doaku, malah yang satu itu malah yang terkabul paling cepat.” balas Ardi yang tahu alasan dari kata kata Nadya barusan.
Aku hanya bisa menyengir mendengarkannya, aku tidak tahu kenapa aku tidak sedih sama sekali, ini malah membuatku merasa sangat bersalah bisa tersenyum di depan orang orang yang berduka.
“Sudah sudah Nadya … jangan bersedih … pasti Dito akan kesal jika melihat kita sedih semua sekarang kalau dia mati … mungkin dia malah akan menyuruh kita tertawa terbahak bahak sekarang,” ucapku berusaha menenangkan nadya sambil menepuk nepuk punggungnya, tapi sepertinya aku baru sadar ucapanku tadi salah.
Dan benar saja bukannya malah mereda, Nadya masalah semakin menangis dengan kencang, dia meremas kedua lenganku dengan sangat erat dan semakin memendamkan wajahnya ke dadaku.
Suasana berkabung sekarang menyelimuti kami semua, aku ikut menundukan kepalaku, berusaha mengingat sosok Dito, tidak bisa dipercaya itu terjadi begitu cepat, aku bahkan seperti merasa bahwa Dito tidak mati, dia baru saja berada disini, bercengkrama bersama kami. Sudah beberapa tahun berlalu dia nememani kami, walau terasa sebentar bagiku.
Kemudian suara ketukan pintu membuatku kehilangan fokusnya, merasa satu satunya yang bisa meraih pintu saat ini disaat yang lain sedang bersedih adalah kewajibanku untuk membukakan pintu, Nadya sudah lemas tidak berdaya, Ardi sedang menundukan kepalanya tanpa terangkat sedikit pun ataupun merespon. Aku lalu menyenderkan Nadya di ujung sofa dan menaruh bantal besar untuk dia peluk lalu menyelimutinya. Suara ketukan itu muncul lagi.
“Sebentar …” ucapku membalasnya, sambil menahan kesal kenapa dia orang itu tidak sabaran sama sekali.
Kemudian aku berjalan perlahan ke depan pintu, aku sedikit mengintip dari lubang pintu, tidak menemukan siapa siapa, lalu dengan was was aku memegang katup pintu perlahan lalu membukanya. Setelah pintu terbuka, penampakan yang di depanku membuatku tertawa sangat keras saat itu juga, aku sangat yakin mungkin ini kali terakhirnya aku bisa tertawa sekeras itu seumur hidupku, hal ini benar benar di luar perkiraanku dan juga sekaligus membuatku ingin sekali menghajar orang ini, aku benar benar harus menghajarnya tanpa ampun suatu saat nanti, aku berjanji.
Sudah sekitar dua minggu kami tinggal di pesisir pantai ini, tidak banyak yang kubisa katakan setelah tinggal selama itu disini, suara ombak yang dari pagi hingga malam masuk ke telingaku semakin kudengar semakin bosan saja ku tinggal disini, ditambah lagi dengan sengatan matahari yang tentu saja tidak begitu panas bagiku namun mungkin warna kulitku yang semakin gelap ini akan berkata lain soal itu. Banyak sekali hal yang sebenarnya ingin sekali kulakukan seperti memotong rambutku yang sudah mulai melewati alis dan membeli baju ke pasar malam yang ada tiap minggu di pesisir pantai beberapa kilometer dari sini. Namun Dito terlalu menjaga kami seperti orang tua yang mengurung anaknya saat melihat iklan mainan baru di TV, semua kegiatan kami di luar kawasan hotel tidak diperbolehkan sama sekali, bahkan ingin ke supermarket pun tidak dibolehkan. Ini sama saja seperti tahanan yang sedang menjalani masa liburan, kau bebas namun kau tidak bebas sama sekali.
Dalam beberapa hal, aku mencoba untuk berusaha sebisa mungkin menikmati masa masa ini dengan berlatih tiap pagi dengan Ardi dan malamnya melihat Dito bertarung dengan Ardi, hanya dua hal itu yang menjadi hiburanku disini selain membuka internet yang semakin hari semakin tidak jelas saja apa isinya. Bicara soal bertarung, aku sekarang bisa semakin lues dan gerakanku semakin terasah dan mulus karena latihan ini, berbeda dari sebelumnya yang dimana aku mempelajari gerakan yang kaku, latihan ini memang untuk pertarungan sebenarnya dan seperti yang dikatakan Dito waktu itu kepadaku bahwa belajar bela diri itu 30% sementara 70%nya adalah improvisasi gerakan dan insting, dia bilang begitu pun aku tidak bisa protes karena melihat teknik bertarungnya yang bisa dibilang pas dengan badan gorilanya itu, aku tidak tahu sama sekali gerakan macam apa yang dia lakukan namun satu satunya jawaban yang pernah kudapat saat bertanya ke Ardi tentang masalah itu, dia hanya menjawab kalau Dito dulu aktif di Fighting Club, saat aku bertanya ke Dito, dia tidak menjawab sama sekali, mungkin memang peraturan tidak boleh membicarakan tentang itu.
Namun aku tidak peduli tentang cerita masa lalunya, melainkan bagaimana dia bisa melatih badan seperti itu agar bisa bergerak dengan leluasa saat bertarung lah yang membuatku penasaran, aku selalu mengira jika orang orang dengan otot yang besar di sekujur tubuhnya akan membuat orang itu layaknya bakso daging dan urat yang berjalan layaknya sebuah robot, namun Dito menepis pemikiranku itu saat dia bertarung dengan Ardi. Memang aku bisa dengan jelas melihat badannya yang berusaha dipaksa agar bergerak cepat untuk mengimbangi gerakan Ardi yang mengalir dengan lancar walau tidak bisa dipungkiri kadang gerakannya cukup kaku setelah melempar serangan dan seperti sudah terbaca yang bahkan Ardi bisa menghindar dengan matanya yang tertutup itu.
Aku ingat saat malam dimana Dito mengalahkan Ardi yang sebenarnya Ardi tidak pernah menang sekalipun melawan Dito pertarungan malam ini, tapi waktu itu aku terkesima saat bagaimana kecerdikannya yang membuat dia selalu menang dan gerakan yang tidak terduga lah yang selalu membuat ia bisa dengan mudah menutupi kekurangannya itu. Seperti saat di malam yang gelap gulita dan hanya diterangi cahaya bulan yang baru muncul bersama bintang di langit hitam, di awal pertarungan Dito melompat kecil terus menerus berirama dengan tangan sudah membentuk perisai di depan, gerakannya memercikan pasir di kakinya, suara itu cukup terdengar hingga ombak saja mengalah dengan suara gerakan kaki itu. Aku tidak paham awal dari gerakannya itu, apakah ingin mengecoh atau malah justru membantu Ardi dengan memberi tahu posisinya di tengah kegelapan yang Ardi juga tidak masalah dengan kegelapan.
“Apa yang kau lakukan Dito?” tanya Ardi yang belum bersiap dan masih menyisir lalu mengikat rambutnya yang panjang itu.
“Tidak ada apa apa … saya cumang sedang berada di mood yang bagus,” balas Dito sambil memasang kuda kudanya dan melakukan hal kesukaannya yaitu menarik rambutnya yang pendek ke belakang dengan mengangkat sedikit dagunya sambil memberi wajah sombong, yang kalau aku pikir juga percuma saja kau meledeknya.
“Apa kau siap Dito?”
“Tentu saja aku siap dari tadi … Nadya, kali perhatikan baik baik, ini jurus turun temurun kita!” sahut Dito bersemangat.
Nadya yang sedang duduk bersamaku di atas pasir sedang yang dari wajahnya yang fokus dan serius sedang berusaha keras membuka bungkus kacang langsung kaget saat mendengar kata kata barusan. “Seriusan?! kak Ardi bisa langsung mati loh.”
“Santai saja … gak bakal sampe mati kok,”
“Hey hey … ini kan latihan,” ucap Ardi memundurkan wajahnya, tubuhnya sepertinya sudah bersiap menghadapi serangan.
Dito memasang kuda kuda menyamping dengan kaki kiri di depan menghadap lurus ke Ardi, matanya menajam sambil menyodorkan tangan kirinya ke depan seperti orang menadah, ia pun mengambil nafas dalam dalam hingga dadanya terangkat lalu. “TIDAK ADA WAKTUNYA LATIHAN! SEKARANG WAKTUNYA KAU MATI!”
Ardi yang kaget dengan teriakan keras itu tiba tiba mengambil langkah mundur sedikit tidak sampai selangkah, lalu tangan kanan Dito melayang diudara, memutar dan mengarah langsung ke tangan kirinya yang sedang menadah tadi, lalu suara tepukan yang memecah ombak muncul dari tangannya itu. Kami semua kaget dan yang paling kaget lagi adalah reaksi Ardi mendengarnya sampai kuda kudanya dijatuhkan. Melihat itu, Dito lalu melompat ke arah Ardi dengan tangannya yang terangkat di atas kepalanya sedang mencakar udara. Sebelum langkah kakinya menyentuh tanah, tangan Dito menggapai kepala Ardi dan langsung menekannya sekuat tenaga, memendamkan wajah Ardi menuju pasir dan dia pun tersungkur dengan posisi merunduk namun kali ini dia terlalu jauh merunduk hingga mencium pasir.
Melihat Ardi yang sudah tenggelam dan tersungkur membuat Dito berputar balik arah dengan cepat lalu lari. “TIDAK ADA WAKTU LATIHAN! SEKARANG WAKTUNYA NONTON FILM!” Teriak Dito menghiraukan Ardi yang dengan kedua tangannya berusaha mengangkat tubuhnya lalu bangkit.
Ardi yang sudah berdiri tegap berusaha membersihkan wajahnya kemudian menyisir bajunya dengan tangannya. “Biasanya aku berusaha untuk tetap tenang dalam kondisi apapun namun kali ini baik KAU DITO, MALAM INI KAU AKAN MATI.”
Aku dan Nadya yang sudah menyaksikan hal hal tidak terduga barusan sekarang ini bertahan untuk menutup mulut kami agar tidak tertawa, namun sepertinya Nadya bukan orang yang tepat dalam keahlian ini melihat matanya melotot sambil menutup mulutnya itu tidak kuat dan akhirnya kelepasan dan suara tawa kecil menyembul dari mulutnya. Ardi langsung memalingkan ke arah Nadya dan berhenti untuk beberapa saat. Nadya yang melihat itu pun tidak kuat lagi dan akhirnya lompat, mengangkat tubuhnya dan berlari sambil tertawa kecikikan.
Hanya aku dan Ardi yang tersisa sekarang dan dia tidak berhenti memompa paru parunya, suara nafas mengebul kencang dari hidungnya sambil mengepalkan tangannya erat erat. Aku yang dari tadi berusaha menahan rasa yang tawa tiba tiba hilang dan mencoba menenangkan Ardi. “Ah … aku kali ini tidak akan komentar apa apa masalah ini.”
Ardi kemudian berhenti marah. “Sebaiknya begitu.”
iii.
Sambil menunggu kerisku jadi, mataku menatap monitor laptop dan mencari beberapa bentuk keris keris yang ada dari dulu hingga sekarang dari keris para raja raja hindu budha terdahulu hingga keris milik sultan sultan, seperti ana kecil yang melihat gambar dinosaurus di buku bergambar saat kecil. Tapi kadang rasa sabar itu ingin sekali meledakan diri karena sampai sekarang aku tidak paham kenapa membuat benda itu sampai sebegitu lamanya, tidak banyak yang ku bisa cari di internet tentang masalah itu karena ya bisa dibilang orang orang sudah mulai lupa dengan benda semacam itu.
Terutama untuk masalah darah yang dibutuhkan dalam pembuatan keris, aku tidak paham sama sekali apa kaitannya dan apa fungsinya, hal yang ada di kepalaku hanyalah hal hal mistis yang sepertinya harus kusingkirkan dari pikiranku. Namun ya aku sangat sadar bahwa tidak ada salahnya aku bertanya dan mungkin saja ini saat yang tepat untuk menanyakan itu pada Dito, berhubung katanya tadi dia sedang dalam mood yang bagus maka aku akhirnya memberanikan diri.
Smartband menunjukan sekarang pukul 8 sore, ya bisa juga orang bilang malam. Tanganku membuka pintu dengan perlahan dan mengambil langkah mengendap endap yang walau suaranya tidak bisa kuhindari karena pasir ini, Tujuanku kali ini sudah berada di depanku. Rumah pantai ini memang didesain dengan pondasi batu yang tinggi, tingginya bahkan sekiranya sampai di atas kepalaku, mungkin saja ini untuk berjaga jaga jika ada ombak besar atau semacamnya, aku sama sekali tidak peduli tentang hal itu.
Sebelum berusaha masuk, aku mengintip dari bawah, tepatnya di depan jendela kamar yang ditutupi gorden, kepalaku berusaha mencari posisi yang tepat untuk mengintip namun sela sela bagian bawahnya sedikit menolongku dan menampilkan Dito yang sedang berjalan mondar mandir di depan sofanya dengan tv menyala namun sepertinya dia menghentikan sementara filmnya. Langkahnya kecil namun cepat, aku jarang sekali melihat Dito melakukan itu kecuali dia sedang berpikir keras, mungkin itu yang saat ini dia lakukan.Aku berusaha mendekatkan kepalaku ke depan jendela yang panjang sampai kebawah itu, cahaya lampu dari dalam menembus keluar, namun tidak mencapai ujung rambutku.
“Apa maksudmu mereka ingin melakukan hal itu,” ucapan Dito yang keras bisa terdengar keluar.
“Tanpa persetujuan saya?! Apa mereka gila … saya sudah lama sekali melarang hal itu bukan … Hah?! prototype?! bagaimana caranya … itu bukan prototype lagi namanya, itu sudah sempurna ... Bajingan, tidak akan saya biarkan,” siluet Dito akhirnya hilang namun langkah terburu buru muncul dan kemudian suara pintu terbuka dengan kencang muncul dari depan rumahnya. Aku memperhatikan Dito yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana levis, bersembunyi dan berusaha untuk tetap di bawah bayangan dan tetap tidak terlihat olehnya. Dia membuka pintu mobilnya yang terparkir di depan rumahnya, lampu mobil menyala, suara mesin keluar cukup keras, mobil itu berputar menuju gerbang keluar lalu kemudian melaju dengan kencang di jalanan.
Suara pintu lainnya terbuka juga dengan kencang merespon suara mesin mobil, Nadya keluar dari kamarnya dengan baju tidur, wajahnya berusaha dari mana suara itu menghilang dan kemudian berlari tanpa mengenakan sendal menuju rumah Dito, kemudian dia berhenti sejenak melihat mobil kakaknya yang hilang dan berusaha menggedor pintu rumah Dito dengan kencang.
“KAKAK! KAKAK!” teriak Nadya memanggil Dito.
Aku yang tidak tega melihatnya seperti itu akhirnya keluar dari persembunyianku. “Dito tadi pergi, sepertinya dia sedang terburu buru,” jelasku.
“Lalu kenapa kau disitu?”
Tanganku meraih rambut belakangku, menggaruknya sambil menunduk ke bawah malu. “Ah … tadi aku ingin bicara sesuatu ke Dito tapi dia malah pergi.”
“Kenapa kau seperti itu?”
Wajahku kembali datar menghadap Nadya. “Bukan apa apa kok,”
“Apa kau yakin?” tanya Nadya dengan matanya yang meruncing.
“Iya … aku hanya ingin menanyakan pertanyaan bodoh saja,”
iv.
Sudah lima jam berlalu semenjak Dito pergi, kami bertiga berkumpul di kamar rumah Ardi, duduk di sofa sambil melihat Nadya yang panik berusaha menelepon Dito yang sejak dari tadi tidak menjawab panggilan Nadya semenjak dia pergi.
“Aku sangat khawatir kenapa kakak tidak menjawab dari tadi.”
“Aku sangat tidak peduli apa yang dia lakukan,” ucapku sambil berusaha menahan ngantuk.
“Aku malah heran kenapa kalian malah berkumpul di rumahku, apa tidak ada tempat lain?” kata Ardi kesal.
“Masalahnya kakak menghilang,” ucap Nadya melirih.
“Aku tidak peduli mau dia hilang lalu mobilnya meledak atau semacamnya, aku ingin tidur,” balas Ardi yang masih jengkel.
“Ah … baiklah sambil kita menunggu, aku ingin menonton tv sebentar, siapa tahu dia mematikan smartbandnya agar fokus,” kataku sambil menekan remot dan berusaha mencari siaran yang menarik malam ini, kemudian aku berhenti pada siaran berita, ya karena aku suka berita malam hari, terutama breaking news.
“Sebuah mobil terbakar hebat di sawah, polisi memperkirakan bahwa mobil tersebut melaju dengan kecepatan tinggi lalu oleng kemudian terpental lalu berguling ke arah bahu jalan hingga 15 meter. Petugas pemadam telah berhasil memadamkan api namun nahas jasad pengemudi mobil diperkirakan hangus terbakar dan hanya menyisakan abu. namun Polisi menemukan gigi untuk dilakukan tes DNA langsung. Korban teridentifikasi berinisial H.A.H dengan plat nomor kendaraan B 16 BOS. Itu saja breaking news malam ini, selamat malam sampai jumpa.”
Belum aku sampai terkekeh mengangkat pipiku melihat berita itu, Nadya kemudian berteriak kencang, dia menjerit jerit, berdiri sambil menaruh kedua tangannya di depan bibirnya, matanya berkaca kaca dan kemudian menangis histeris. Aku yang melihat itu kemudian memperhatikan Ardi yang juga sedang menunduk memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Aku sempat berpikir untuk bertanya pada Nadya kenapa dia menangis kejar begitu, namun aku menyadari sesuatu tentang plat nomor yang disebutkan tadi, itu adalah plat nomor mobil Dito, oh sial, benar benar sial.
Suasana sekarang berubah, kesal, sedih, bingung dan tidak percaya hal barusan sekarang berada di pikiran kami semua. Aku akhirnya berusaha mengangkat tubuh Nadya yang sudah bersujud di atas karpet, dia sangat lemas, wajahnya sudah sangat merah, tangisan dan keringat sudah mengalir membasahi wajahnya, bahkan mulutnya tidak bisa terangkat lagi untuk berhenti mengeluarkan suara tangisan. Aku mengangkat kedua bahunya dan menaruhnya di atas sofa, dia kemudian memelukku dengan erat dan sekarang bajuku malah jadi basah karena target tangisannya.
“Ini semua salah kak Ardi … INI SALAHMU” rintih Nadya yang masih memelukku, kesal menyalahkan Ardi.
“Jangan salahkan aku kalau dia mati karena aku menyumpahinya, tapi aku tidak pernah menyangka dari sekian banyak doaku, malah yang satu itu malah yang terkabul paling cepat.” balas Ardi yang tahu alasan dari kata kata Nadya barusan.
Aku hanya bisa menyengir mendengarkannya, aku tidak tahu kenapa aku tidak sedih sama sekali, ini malah membuatku merasa sangat bersalah bisa tersenyum di depan orang orang yang berduka.
“Sudah sudah Nadya … jangan bersedih … pasti Dito akan kesal jika melihat kita sedih semua sekarang kalau dia mati … mungkin dia malah akan menyuruh kita tertawa terbahak bahak sekarang,” ucapku berusaha menenangkan nadya sambil menepuk nepuk punggungnya, tapi sepertinya aku baru sadar ucapanku tadi salah.
Dan benar saja bukannya malah mereda, Nadya masalah semakin menangis dengan kencang, dia meremas kedua lenganku dengan sangat erat dan semakin memendamkan wajahnya ke dadaku.
Suasana berkabung sekarang menyelimuti kami semua, aku ikut menundukan kepalaku, berusaha mengingat sosok Dito, tidak bisa dipercaya itu terjadi begitu cepat, aku bahkan seperti merasa bahwa Dito tidak mati, dia baru saja berada disini, bercengkrama bersama kami. Sudah beberapa tahun berlalu dia nememani kami, walau terasa sebentar bagiku.
Kemudian suara ketukan pintu membuatku kehilangan fokusnya, merasa satu satunya yang bisa meraih pintu saat ini disaat yang lain sedang bersedih adalah kewajibanku untuk membukakan pintu, Nadya sudah lemas tidak berdaya, Ardi sedang menundukan kepalanya tanpa terangkat sedikit pun ataupun merespon. Aku lalu menyenderkan Nadya di ujung sofa dan menaruh bantal besar untuk dia peluk lalu menyelimutinya. Suara ketukan itu muncul lagi.
“Sebentar …” ucapku membalasnya, sambil menahan kesal kenapa dia orang itu tidak sabaran sama sekali.
Kemudian aku berjalan perlahan ke depan pintu, aku sedikit mengintip dari lubang pintu, tidak menemukan siapa siapa, lalu dengan was was aku memegang katup pintu perlahan lalu membukanya. Setelah pintu terbuka, penampakan yang di depanku membuatku tertawa sangat keras saat itu juga, aku sangat yakin mungkin ini kali terakhirnya aku bisa tertawa sekeras itu seumur hidupku, hal ini benar benar di luar perkiraanku dan juga sekaligus membuatku ingin sekali menghajar orang ini, aku benar benar harus menghajarnya tanpa ampun suatu saat nanti, aku berjanji.
aripinastiko612 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
