- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1801
Seremoni Bersejarah
Saat ini, gue dan Emi berhubungan hampir diseluruh kegiatan yang kami lakukan. Dari mulai kuliah S2, ngeband, sampai pacaran yang isinya membahas segala macam hal, dari mulai hal remeh temeh ngeledekin orang yang ada di Mall, sampai obrolan serius soal perekonomian global.
Perjalanan band gue yang sekarang dibesut Emi mengalami pergerakan yang sangat signifikan. Band kami dengan cepat mendapatkan nama baik walaupun belum sebesar nama band yang dulu, setidaknya pekerjaan Emi didukung kemampuan bermusik kami yang semakin hari semakin matang membuat paduan yang sangat baik. Tetapi ketika pendekatan secara personal ke masing-masing personil tidak baik dan akurat, tentunya nggak akan membuat band ini mau nurut begitu saja dengan kemauan Emi.
Para personil di band ini udah layaknya sahabat yang telah kenal sejak lama dengan Emi. Terutama Drian dan Arko. Dua sahabat gue ini akrabnya ke Emi sama dengan gue ke mereka setelah membina persahabatan sekian belas tahun lamanya.
Ini yang membuat band ini kian solid dari hari ke hari. Emi memiliki konsep yang sangat orisinil dan belum pernah ada dikomunitas sebelumnya. Band ini disulap menjadi band dengan penampilan yang sangat eye catching tanpa harus berdandan ribet ala band visual kei. Dandanan kami pun mengikuti dengan lagu yang kami bawakan ketika manggung.
Dengan kedekatan dan kesolidan kami seperti ini, sempat muncul kekhawatiran dari dalam diri gue. Apa mungkin nanti ada tikungan tajam dari sahabat-sahabat gue sendiri? Sepertinya kalau Arko sulit walaupun dia terlihat sangat dekat dengan Emi melebihi Drian. Nah, Drian ini yang perlu dipertimbangkan.
Drian kita tahu adalah seorang anak dari keluarga mampu yang memiliki paras luar biasa. Jualan utama band gue yang dulu dan sekarang masih tetap sama, ya dia ini. Drian pun terlihat sangat akrab dengan Emi. gue nggak masalah, tapi bukan berarti gue nggak khawatir terjadi sesuatu.
Kenapa begitu? ya gue mengingat kelakuan gue sendiri. Gue pun seperti itu di beberapa hubungan gue dengan mantan atau dengan cewek lainnya. Ada permainan dibelakang hubungan resmi yang walaupun hanya sekali atau dua, tapi tetap aja itu tidak dibenarkan. Kekhawatiran gue akan hal ini selalu menghantui gue.
Tapi pada akhirnya gue hanya bisa pasrah saja, karena gue menganggap itu sebagai balasan atas apa yang telah gue lakukan dimasa lalu. Gue mungkin bukan orang yang terbaik yang bisa berada di sisi cewek yang sangat luar biasa bagi cowok-cowok yang melihat dan kenal dekat dengannya.
Hingga pada suatu malam, Arko menelpon gue dan mengobrol. Gue biasa ngobrol dengan Arko dari dulu via telepon semenjak kami berpisah dari SMA. Apalagi sejak band kami vakum, kami lebih banyak menelpon ketimbang ngobrol langsung karena memang waktu bertemunya pun sangat terbatas.
“Bro kayaknya rada repot nih gue urusan band-bandan.” Katanya.
“Lah kenapa bro? susah ngatur waktu apa gimana?” tanya gue.
“Bukan masalah waktunya. Tapi ini soal bini gue. Kayaknya dia jealous deh itu.”
“Jealous? Wahaha. Kan dia juga udah tau kalau Emi itu pacar gue, dan hubungan lo sama Emi kan ya manajer ke player.”
“Nah justru itu bro. gue juga bingung. Emang sih gue kan kadang suka random telpon Emi juga kayak gue telponan sama lo gini. Nah kayaknya itu yang bikin dia jadi kurang nyaman. Padahal juga ngomongnya yang dibahas ya band-bandan aja. nggak aneh-aneh. Gue baru nemu cewek seseru Emi. ya emang kayak lo versi cewek bro. hahaha.”
“Haha sebegitunya ya bini lo? hhmmm… kalo emang begitu mending dikurangin aja bro. daripada ntar efek jeleknya lo nggak boleh latian band, terus nggak bisa manggung kan. Lebih repot lagi.”
“Iya sih, tapi gimana? Gue asyik banget ngobrol sama dia. haha.”
“Nah lo tau kan gimana gue bisa sayang banget sama Emi? klop banget. apalagi bahasan gue dan dia itu bener-bener nggak pernah abis. Ada aja bahasan yang bisa kami obrolin. Udah gitu dia juga bisa bantu pekerjaan gue, minimal bantuin mikir, ngurus band pun bisa, berasa kan efek kemampuan dia manajerin kayak gimana. Liat band kita sekarang? Udah cukup punya dan jadwal manggung pun lumayan banyak, minimal sebulan sekali ada panggungan.”
“Iya bener. makanya itu, lo nggak salah udah milih dia. Utamanya, dia mau diajak untuk gabung sama pertemanan kita sih bro. Kalau mantan-mantan lo yang dulu kan agak kurang bisa diajak tuh. Punya kehidupan sendiri kayaknya kalau lagi diajak manggung. Beda banget emang sama Emi. terus lagi, menurut gue pribadi, dengan rentang waktu yang singkat ini band kita bisa sejauh ini, gue rasa kemampuan manajerial Emi jauh diatas Ara sih. Apalagi sebelumnya dia nggak pernah ngurusin band apapun, dia cuma suka jejepangan aja kan?”
“Emang iya bro. Makanya itu dia itu precious. Cuma satu ini yang gue takut banget bro. gue cuma takut jenuh. Karena hampir disetiap aspek kehidupan gue, gue selalu ketemu dan berinteraksi dengan dia. baik dari kehidupan percintaan sampai dengan hobi kayak ngeband ini. Bener-bener barengan terus gue. emang sih gue nggak pernah kehabisan bahasan, tapi tetep aja gue takut itu kejadian. Gue nggak tau lagi sebenernya bisa nyari yang kayak dia lagi apa nggak. Gue rasa malah nggak ada lagi orang kayak Emi ini, Ko.”
“Ya makanya coba diomongin baik-baik lah. Soalnya gue dan juga Drian itu melihat lo itu cocok banget, klop udah sama dia. Drian juga kayaknya diam-diam suka tuh sama si Emi. haha. Dia kan seleranya sama kayak lo Ja.”
“Haha. Itu udah gue sadarin sih bro, tapi gue yakin kok Drian nggak bakalan nikung. Jadi gue tenang-tenang aja.”
Gue membohongi diri gue sendiri dan perasaan gue. Bohong kalau gue nggak khawatir dengan Drian. Tapi gue selalu berusaha positive think aja. Teman-teman terbaik gue nggak mungkin untuk mengecewakan gue. Yang ada adalah mungkin gue yang mengecewakan mereka, termasuk Emi.
--
Suatu malam gue sedang diruang tengah ketika Mama bilang kalau tahun ini beliau tidak bisa mudik kerumah Kakek gue di salah satu kota kecil di Jawa Timur sana karena alokasi dananya untuk pernikahan adik gue. Om gue yang juga merupakan adik satu-satunya dari Mama nggak bisa mudik karena urusan kantornya yang padat.
Saat itu juga gue kepikiran ide gila. Ide untuk mudik ke rumah Kakek gue dengan menggunakan motor. Ya sepeda motor, bukan mobil. Kenapa begitu? karena yang gue ajak untuk mudik ini Emi. Emi dan gue lebih enjoy untuk jalan-jalan dengan menggunakan motor. Tapi ini kan mudik? Ya kenapa nggak dicoba dulu kan.
Memang ini ide yang sangat gila menurut gue. Tetapi gue nggak akan mundur karena menurut gue ini adalah hal bersejarah yang bisa gue dan Emi lakukan, dan tentunya, kami kenang selamanya. Hal ini mungkin hanya bisa kami lakukan satu kali saja seumur hidup, jadi menurut gue ini ide yang seru sih.
Gue juga sempat concern dengan adik gue yang mau menikah dengan calonnya. Pacar yang dipertemukan oleh sahabatnya dikantornya saat ini. Kebetulan ketika kemarin perkenalan keluarga, ternyata adik pacarnya Dania ini satu almamater dengan gue.
Gilanya lagi, sahabat Dania ini mengenal dengan baik Dee. Suatu kebetulan yang lucu sih. Dulunya dia sempat satu kostan dengan Dee dikostan lama Dee sebelum pindah. Dia satu angkatan dengan Dee, tapi dia ada di Fakultas A. sungguh sempit sekali kehidupan ya.
Sementara calonnya Dania adalah seorang pria yang cukup rupawan, berkulit sawo matang, bertinggi badan sama dengan gue, berusia satu tahun dibawah gue. Logat sundanya kental sekali. Anaknya sangat sopan, dan nggak banyak bicara.
Tapi dibalik itu semua, ternyata dia punya selera musik yang hampir sama dengan gue dan Emi. Dia sangat menyukai grup musik metalcore asal inggris, Bring Me The Horizon. Pengetahuannya tentang skena metal pun cukup mumpuni.
Gue berpikir, kalau dia jadi mantu nyokap gue, bakal banyak bahasan nih. Dia juga penyuka sepak bola, sama kayak gue. Selain itu dia hidup satu masa dengan gue, jadi ada beberapa bahasan yang nggak dimengerti oleh anak-anak angkatan Emi.
“Dan, gue nggak nyangka lo bakalan nikah. Hahaha.” Kata gue.
“Iya kak, Alhamdulillah banget Adit mau serius sama gue. Padahal gue sama dia belum sampai setahun. Ya itu nunjukin keseriusan dia sih.” Kata Dania.
“Yah itu berarti lo harus bersyukur. Itu namanya dia mau tanggung jawab kan, daripada lama-lama juga buat apa. lo juga kan makin nambah umur Dan.”
“Iya bener kak. Lo juga lah. Ngapain sih lama-lama pacaran. Buruan kalo emang serius, ya kayak gue, beraniin diri untuk melangkah maju.”
“Hahaha, gue sama Emi itu sedang proses saling mengenal satu sama lain. Emang lo udah bener-bener kenal sama Adit itu? Pacaran kalian aja LDR kan. Lo disini dia di Bandung.”
“Ya, utamanya komunikasi sih kak.”
Komunikasi. Hahahaha. Gue agak ragu dengan pernyataan adik gue yang satu ini terkait dengan komunikasi. Tapi nggak tau juga ya gimana cara berkomunikasinya. Ketika perkenalan keluarga kemarin ini, gue sama sekali nggak melihat adanya komunikasi yang baik diantara mereka. Bahkan beberapa gue menenangkan Dania karena mispersepsi dengan pasangannya ini.
Sangat berbeda dengan gue dan Emi. Tanpa banyak cingcong kalau kami entah kenapa selalu bisa membaca pikiran masing-masing pasangan. Mungkin dalam hubungan kami, kami mempelajari seluk beluk pasangan masing-masing sampai detail. Itulah sebabnya ketika gue bersikap agak berbeda, seperti ada yang disembunyikan, Emi pasti langsung tau.
--
Ada beberapa event yang akan gue jalani bersama Emi. Yang pertama tentu saja seremoni wisuda Emi. Tapi sayangnya gue nggak berada dalam level kebugaran yang maksimal. Walaupun gue tengah sakit, gue tetap berangkat ke wisuda Emi.
Sepanjang perjalanan, hidung gue gatal dan batuk terus. Mana ketika gue melewati daerah rumah Emi, baru saja terjadi kecelakaan yang ternyata melibatkan salah satu tetangga Emi. tetangga Emi tewas terlindas bus yang ugal-ugalan dijalan. Mana anak-anaknya si ibu tersebut masih kecil-kecil.
Gue mengetahui ini semua ketika gue sampai dikampus dan bertemu duluan dengan Bapaknya Emi. Si Om berbicara kalau ternyata ada tetangganya yang baru saja meninggal karena kecelakaan nggak jauh dari komplek rumah.
Setelah gue konfirmasi, ternyata benar saja yang gue lihat langsung tadi ketika lewat adalah tetangga Emi. berkendara dengan menggunakan kendaraan roda dua memang lebih riskan. Gue juga sempat berpikir bahayanya kalau mengemudikan motor jarak jauh di medan jalan yang sebelumnya selalu gue lewati dengan kendaraan roda empat. Tapi namanya berniat baik, mudah-mudahan dimudahkan.
Emi sudah berada didalam gedung tempat wisuda berlangsung. Ketika itu prosesinya sudah berbeda dengan gue. dulu penyerahan ijazah dan penggeseran tali topi toga dilakukan oleh dekan dan digedung fakultas masing-masing. Kalau sekarang, semuanya dilakukan oleh rektor, mulai dari D3 sampai S3. Ditambah penganugerahan gelar profesor pun dilakukan ditempat yang sama.
Menurut gue ini sangat membosankan dan tidak efektif. Ternyata wisuda sekarang juga dibatasi. Ini lebih karena biar tidak mengganggu proses belajar mengajar di kampus. kampus kami adalah kampus yang memiliki gedung untuk wisuda sendiri, sehingga tidak perlu keluar kampus untuk melaksanakan prosesi wisuda ini.
Konsekuensinya adalah, kampus akan semakin ramai kedatangan orang dari masing-masing wisudawan. Apalagi saat Emi kuliah ini, kampus gue sudah mulai berubah dari awalnya kampus rakyat menjadi kampus untuk orang-orang yang orang tuanya mampu. Sejalan dengan itu, volume kendaraan roda empat ketika wisuda pun akan membludak.
Untuk itulah makanya semua dibatasi. Gue merasa jadinya wisuda saat itu menjadi kurang greget karena nggak ramai. Mungkin memang sudah jamannya seperti itu sekarang. Nggak masalah juga sebenarnya.
Gue nggak masuk kedalam karena sudah ada bapak ibunya Emi yang menempati jatah keluarga, yakni dua tempat duduk untuk masing-masing wisudawan. Gue juga nggak sengaja bertemu dengan kawan lama gue, Dwina.
“Kak, kamu apa kabar? Udah lama kita nggak kontak loh. Haha.” Katanya senang sekali melihat gue.
“Haiii Dwina, baik. Kamu gimana?” kata gue, lalu melirik gandengannya, dia menggandeng anak kecil usia sekitar satu setengah tahun.
“Iya nih, suamiku wisuda S2 hari ini. Kamu ngapain disini Kak?”
“Pacarku wisuda S1 hari ini disini juga. hehehe. Eh ini anakmu? Aduh lucu bener.”
“Iya ini anak pertama aku. Kamu kapan?”
“Hahaha aku masih asyik pacaran kok. tapi emang udah ada pemikiran kesana juga sih. Suamimu ngambil jurusan apaan emang disini?”
“Sama kayak kamu kak, tapi S2 nya. Hehehe.”
“Wah, dunia sempit bener. hahaha. Terus nanti abis ini mau lanjut lagi doktoralnya?”
“Kayaknya begitu. dia cita-cita mau jadi dosen sih.”
“Hahhaa. Mau jadi dosen di jurusanku? Teman-temanku aja pada ngantri bertahun-tahun nggak ada yang masuk sejauh ini, makanya mereka mental-mental kemana tau tuh jadi dosennya, diluar kampus ini.”
“Yah mana tau kak. Nyobain aja dulu kan. Ikhtiar. Hehehe.”
“Iya sih bener, ikhtiar sambil doa. Mungkin temen-temenku kurang doa kali ya. hehehe.”
“Haha nggak tau kak.”
Pertemuan dan obrolan singkat membuat gue kontak lagi dengan Dwina, seorang yang sudah lama hilang dari kehidupan gue. dia terlihat lebih gemuk dari sebelumnya. Badannya jadi gede banget mengingat posturnya yang tinggi, setinggi gue.
Disaat itu pulalah, seorang yang juga sudah lama gue agak jauhi karena terlalu agresif, menghubungi gue kembali.
“Kang, lo kemana aja selama ini? Abis gue kasih info kostan kosong, lo malah menghilang dan nggak pernah balas chat atau angkat telpon gue.”
Perjalanan band gue yang sekarang dibesut Emi mengalami pergerakan yang sangat signifikan. Band kami dengan cepat mendapatkan nama baik walaupun belum sebesar nama band yang dulu, setidaknya pekerjaan Emi didukung kemampuan bermusik kami yang semakin hari semakin matang membuat paduan yang sangat baik. Tetapi ketika pendekatan secara personal ke masing-masing personil tidak baik dan akurat, tentunya nggak akan membuat band ini mau nurut begitu saja dengan kemauan Emi.
Para personil di band ini udah layaknya sahabat yang telah kenal sejak lama dengan Emi. Terutama Drian dan Arko. Dua sahabat gue ini akrabnya ke Emi sama dengan gue ke mereka setelah membina persahabatan sekian belas tahun lamanya.
Ini yang membuat band ini kian solid dari hari ke hari. Emi memiliki konsep yang sangat orisinil dan belum pernah ada dikomunitas sebelumnya. Band ini disulap menjadi band dengan penampilan yang sangat eye catching tanpa harus berdandan ribet ala band visual kei. Dandanan kami pun mengikuti dengan lagu yang kami bawakan ketika manggung.
Dengan kedekatan dan kesolidan kami seperti ini, sempat muncul kekhawatiran dari dalam diri gue. Apa mungkin nanti ada tikungan tajam dari sahabat-sahabat gue sendiri? Sepertinya kalau Arko sulit walaupun dia terlihat sangat dekat dengan Emi melebihi Drian. Nah, Drian ini yang perlu dipertimbangkan.
Drian kita tahu adalah seorang anak dari keluarga mampu yang memiliki paras luar biasa. Jualan utama band gue yang dulu dan sekarang masih tetap sama, ya dia ini. Drian pun terlihat sangat akrab dengan Emi. gue nggak masalah, tapi bukan berarti gue nggak khawatir terjadi sesuatu.
Kenapa begitu? ya gue mengingat kelakuan gue sendiri. Gue pun seperti itu di beberapa hubungan gue dengan mantan atau dengan cewek lainnya. Ada permainan dibelakang hubungan resmi yang walaupun hanya sekali atau dua, tapi tetap aja itu tidak dibenarkan. Kekhawatiran gue akan hal ini selalu menghantui gue.
Tapi pada akhirnya gue hanya bisa pasrah saja, karena gue menganggap itu sebagai balasan atas apa yang telah gue lakukan dimasa lalu. Gue mungkin bukan orang yang terbaik yang bisa berada di sisi cewek yang sangat luar biasa bagi cowok-cowok yang melihat dan kenal dekat dengannya.
Hingga pada suatu malam, Arko menelpon gue dan mengobrol. Gue biasa ngobrol dengan Arko dari dulu via telepon semenjak kami berpisah dari SMA. Apalagi sejak band kami vakum, kami lebih banyak menelpon ketimbang ngobrol langsung karena memang waktu bertemunya pun sangat terbatas.
“Bro kayaknya rada repot nih gue urusan band-bandan.” Katanya.
“Lah kenapa bro? susah ngatur waktu apa gimana?” tanya gue.
“Bukan masalah waktunya. Tapi ini soal bini gue. Kayaknya dia jealous deh itu.”
“Jealous? Wahaha. Kan dia juga udah tau kalau Emi itu pacar gue, dan hubungan lo sama Emi kan ya manajer ke player.”
“Nah justru itu bro. gue juga bingung. Emang sih gue kan kadang suka random telpon Emi juga kayak gue telponan sama lo gini. Nah kayaknya itu yang bikin dia jadi kurang nyaman. Padahal juga ngomongnya yang dibahas ya band-bandan aja. nggak aneh-aneh. Gue baru nemu cewek seseru Emi. ya emang kayak lo versi cewek bro. hahaha.”
“Haha sebegitunya ya bini lo? hhmmm… kalo emang begitu mending dikurangin aja bro. daripada ntar efek jeleknya lo nggak boleh latian band, terus nggak bisa manggung kan. Lebih repot lagi.”
“Iya sih, tapi gimana? Gue asyik banget ngobrol sama dia. haha.”
“Nah lo tau kan gimana gue bisa sayang banget sama Emi? klop banget. apalagi bahasan gue dan dia itu bener-bener nggak pernah abis. Ada aja bahasan yang bisa kami obrolin. Udah gitu dia juga bisa bantu pekerjaan gue, minimal bantuin mikir, ngurus band pun bisa, berasa kan efek kemampuan dia manajerin kayak gimana. Liat band kita sekarang? Udah cukup punya dan jadwal manggung pun lumayan banyak, minimal sebulan sekali ada panggungan.”
“Iya bener. makanya itu, lo nggak salah udah milih dia. Utamanya, dia mau diajak untuk gabung sama pertemanan kita sih bro. Kalau mantan-mantan lo yang dulu kan agak kurang bisa diajak tuh. Punya kehidupan sendiri kayaknya kalau lagi diajak manggung. Beda banget emang sama Emi. terus lagi, menurut gue pribadi, dengan rentang waktu yang singkat ini band kita bisa sejauh ini, gue rasa kemampuan manajerial Emi jauh diatas Ara sih. Apalagi sebelumnya dia nggak pernah ngurusin band apapun, dia cuma suka jejepangan aja kan?”
“Emang iya bro. Makanya itu dia itu precious. Cuma satu ini yang gue takut banget bro. gue cuma takut jenuh. Karena hampir disetiap aspek kehidupan gue, gue selalu ketemu dan berinteraksi dengan dia. baik dari kehidupan percintaan sampai dengan hobi kayak ngeband ini. Bener-bener barengan terus gue. emang sih gue nggak pernah kehabisan bahasan, tapi tetep aja gue takut itu kejadian. Gue nggak tau lagi sebenernya bisa nyari yang kayak dia lagi apa nggak. Gue rasa malah nggak ada lagi orang kayak Emi ini, Ko.”
“Ya makanya coba diomongin baik-baik lah. Soalnya gue dan juga Drian itu melihat lo itu cocok banget, klop udah sama dia. Drian juga kayaknya diam-diam suka tuh sama si Emi. haha. Dia kan seleranya sama kayak lo Ja.”
“Haha. Itu udah gue sadarin sih bro, tapi gue yakin kok Drian nggak bakalan nikung. Jadi gue tenang-tenang aja.”
Gue membohongi diri gue sendiri dan perasaan gue. Bohong kalau gue nggak khawatir dengan Drian. Tapi gue selalu berusaha positive think aja. Teman-teman terbaik gue nggak mungkin untuk mengecewakan gue. Yang ada adalah mungkin gue yang mengecewakan mereka, termasuk Emi.
--
Suatu malam gue sedang diruang tengah ketika Mama bilang kalau tahun ini beliau tidak bisa mudik kerumah Kakek gue di salah satu kota kecil di Jawa Timur sana karena alokasi dananya untuk pernikahan adik gue. Om gue yang juga merupakan adik satu-satunya dari Mama nggak bisa mudik karena urusan kantornya yang padat.
Saat itu juga gue kepikiran ide gila. Ide untuk mudik ke rumah Kakek gue dengan menggunakan motor. Ya sepeda motor, bukan mobil. Kenapa begitu? karena yang gue ajak untuk mudik ini Emi. Emi dan gue lebih enjoy untuk jalan-jalan dengan menggunakan motor. Tapi ini kan mudik? Ya kenapa nggak dicoba dulu kan.
Memang ini ide yang sangat gila menurut gue. Tetapi gue nggak akan mundur karena menurut gue ini adalah hal bersejarah yang bisa gue dan Emi lakukan, dan tentunya, kami kenang selamanya. Hal ini mungkin hanya bisa kami lakukan satu kali saja seumur hidup, jadi menurut gue ini ide yang seru sih.
Gue juga sempat concern dengan adik gue yang mau menikah dengan calonnya. Pacar yang dipertemukan oleh sahabatnya dikantornya saat ini. Kebetulan ketika kemarin perkenalan keluarga, ternyata adik pacarnya Dania ini satu almamater dengan gue.
Gilanya lagi, sahabat Dania ini mengenal dengan baik Dee. Suatu kebetulan yang lucu sih. Dulunya dia sempat satu kostan dengan Dee dikostan lama Dee sebelum pindah. Dia satu angkatan dengan Dee, tapi dia ada di Fakultas A. sungguh sempit sekali kehidupan ya.
Sementara calonnya Dania adalah seorang pria yang cukup rupawan, berkulit sawo matang, bertinggi badan sama dengan gue, berusia satu tahun dibawah gue. Logat sundanya kental sekali. Anaknya sangat sopan, dan nggak banyak bicara.
Tapi dibalik itu semua, ternyata dia punya selera musik yang hampir sama dengan gue dan Emi. Dia sangat menyukai grup musik metalcore asal inggris, Bring Me The Horizon. Pengetahuannya tentang skena metal pun cukup mumpuni.
Gue berpikir, kalau dia jadi mantu nyokap gue, bakal banyak bahasan nih. Dia juga penyuka sepak bola, sama kayak gue. Selain itu dia hidup satu masa dengan gue, jadi ada beberapa bahasan yang nggak dimengerti oleh anak-anak angkatan Emi.
“Dan, gue nggak nyangka lo bakalan nikah. Hahaha.” Kata gue.
“Iya kak, Alhamdulillah banget Adit mau serius sama gue. Padahal gue sama dia belum sampai setahun. Ya itu nunjukin keseriusan dia sih.” Kata Dania.
“Yah itu berarti lo harus bersyukur. Itu namanya dia mau tanggung jawab kan, daripada lama-lama juga buat apa. lo juga kan makin nambah umur Dan.”
“Iya bener kak. Lo juga lah. Ngapain sih lama-lama pacaran. Buruan kalo emang serius, ya kayak gue, beraniin diri untuk melangkah maju.”
“Hahaha, gue sama Emi itu sedang proses saling mengenal satu sama lain. Emang lo udah bener-bener kenal sama Adit itu? Pacaran kalian aja LDR kan. Lo disini dia di Bandung.”
“Ya, utamanya komunikasi sih kak.”
Komunikasi. Hahahaha. Gue agak ragu dengan pernyataan adik gue yang satu ini terkait dengan komunikasi. Tapi nggak tau juga ya gimana cara berkomunikasinya. Ketika perkenalan keluarga kemarin ini, gue sama sekali nggak melihat adanya komunikasi yang baik diantara mereka. Bahkan beberapa gue menenangkan Dania karena mispersepsi dengan pasangannya ini.
Sangat berbeda dengan gue dan Emi. Tanpa banyak cingcong kalau kami entah kenapa selalu bisa membaca pikiran masing-masing pasangan. Mungkin dalam hubungan kami, kami mempelajari seluk beluk pasangan masing-masing sampai detail. Itulah sebabnya ketika gue bersikap agak berbeda, seperti ada yang disembunyikan, Emi pasti langsung tau.
--
Ada beberapa event yang akan gue jalani bersama Emi. Yang pertama tentu saja seremoni wisuda Emi. Tapi sayangnya gue nggak berada dalam level kebugaran yang maksimal. Walaupun gue tengah sakit, gue tetap berangkat ke wisuda Emi.
Sepanjang perjalanan, hidung gue gatal dan batuk terus. Mana ketika gue melewati daerah rumah Emi, baru saja terjadi kecelakaan yang ternyata melibatkan salah satu tetangga Emi. tetangga Emi tewas terlindas bus yang ugal-ugalan dijalan. Mana anak-anaknya si ibu tersebut masih kecil-kecil.
Gue mengetahui ini semua ketika gue sampai dikampus dan bertemu duluan dengan Bapaknya Emi. Si Om berbicara kalau ternyata ada tetangganya yang baru saja meninggal karena kecelakaan nggak jauh dari komplek rumah.
Setelah gue konfirmasi, ternyata benar saja yang gue lihat langsung tadi ketika lewat adalah tetangga Emi. berkendara dengan menggunakan kendaraan roda dua memang lebih riskan. Gue juga sempat berpikir bahayanya kalau mengemudikan motor jarak jauh di medan jalan yang sebelumnya selalu gue lewati dengan kendaraan roda empat. Tapi namanya berniat baik, mudah-mudahan dimudahkan.
Emi sudah berada didalam gedung tempat wisuda berlangsung. Ketika itu prosesinya sudah berbeda dengan gue. dulu penyerahan ijazah dan penggeseran tali topi toga dilakukan oleh dekan dan digedung fakultas masing-masing. Kalau sekarang, semuanya dilakukan oleh rektor, mulai dari D3 sampai S3. Ditambah penganugerahan gelar profesor pun dilakukan ditempat yang sama.
Menurut gue ini sangat membosankan dan tidak efektif. Ternyata wisuda sekarang juga dibatasi. Ini lebih karena biar tidak mengganggu proses belajar mengajar di kampus. kampus kami adalah kampus yang memiliki gedung untuk wisuda sendiri, sehingga tidak perlu keluar kampus untuk melaksanakan prosesi wisuda ini.
Konsekuensinya adalah, kampus akan semakin ramai kedatangan orang dari masing-masing wisudawan. Apalagi saat Emi kuliah ini, kampus gue sudah mulai berubah dari awalnya kampus rakyat menjadi kampus untuk orang-orang yang orang tuanya mampu. Sejalan dengan itu, volume kendaraan roda empat ketika wisuda pun akan membludak.
Untuk itulah makanya semua dibatasi. Gue merasa jadinya wisuda saat itu menjadi kurang greget karena nggak ramai. Mungkin memang sudah jamannya seperti itu sekarang. Nggak masalah juga sebenarnya.
Gue nggak masuk kedalam karena sudah ada bapak ibunya Emi yang menempati jatah keluarga, yakni dua tempat duduk untuk masing-masing wisudawan. Gue juga nggak sengaja bertemu dengan kawan lama gue, Dwina.
“Kak, kamu apa kabar? Udah lama kita nggak kontak loh. Haha.” Katanya senang sekali melihat gue.
“Haiii Dwina, baik. Kamu gimana?” kata gue, lalu melirik gandengannya, dia menggandeng anak kecil usia sekitar satu setengah tahun.
“Iya nih, suamiku wisuda S2 hari ini. Kamu ngapain disini Kak?”
“Pacarku wisuda S1 hari ini disini juga. hehehe. Eh ini anakmu? Aduh lucu bener.”
“Iya ini anak pertama aku. Kamu kapan?”
“Hahaha aku masih asyik pacaran kok. tapi emang udah ada pemikiran kesana juga sih. Suamimu ngambil jurusan apaan emang disini?”
“Sama kayak kamu kak, tapi S2 nya. Hehehe.”
“Wah, dunia sempit bener. hahaha. Terus nanti abis ini mau lanjut lagi doktoralnya?”
“Kayaknya begitu. dia cita-cita mau jadi dosen sih.”
“Hahhaa. Mau jadi dosen di jurusanku? Teman-temanku aja pada ngantri bertahun-tahun nggak ada yang masuk sejauh ini, makanya mereka mental-mental kemana tau tuh jadi dosennya, diluar kampus ini.”
“Yah mana tau kak. Nyobain aja dulu kan. Ikhtiar. Hehehe.”
“Iya sih bener, ikhtiar sambil doa. Mungkin temen-temenku kurang doa kali ya. hehehe.”
“Haha nggak tau kak.”
Pertemuan dan obrolan singkat membuat gue kontak lagi dengan Dwina, seorang yang sudah lama hilang dari kehidupan gue. dia terlihat lebih gemuk dari sebelumnya. Badannya jadi gede banget mengingat posturnya yang tinggi, setinggi gue.
Disaat itu pulalah, seorang yang juga sudah lama gue agak jauhi karena terlalu agresif, menghubungi gue kembali.
“Kang, lo kemana aja selama ini? Abis gue kasih info kostan kosong, lo malah menghilang dan nggak pernah balas chat atau angkat telpon gue.”
itkgid dan 13 lainnya memberi reputasi
14