- Beranda
- Stories from the Heart
Cerbung Gadis yang Dijuluki Penyihir
...
TS
lin680
Cerbung Gadis yang Dijuluki Penyihir
Part 1

"Awas dia datang, tuh!" Gadis berbandana merah muda memajukan mulut, mengarah pada seorang siswi yang berjalan menunduk, melewati mereka di halaman.
Kepala gadis berkacamata yang disebut itu makin menekuk, pandanganya hanya tertuju pada sekitar ujung kakinya. Bola mata kanan bergerak liar melihat sekitar dari ujung mata, sementara mata kirinya tertutup rambut yang menjuntai pada separuh wajah.
"Kell, kapan, ya, anehnya anak itu hilang?"
"Jangan ngarep, loe. Sampe kiamat juga bakal kek gitu terus. Coba deh ajak ngomong, pasti gagap, hahaa." Shashi, yang tengah mengisap permen tangkai menjawab pertanyaan Jessica pada Kelly.
Tiga gadis itu sahabat se-geng, gadis berpita bernama Kelly-lah pemimpinnya, mereka bagai lem dan perangko, yang tak terpisah, pun tak pernah melewati kesempatan mengejek gadis pemalu itu.
Langkah Tatiana dipercepat saat mendekati kelas.
"Ups, sorry, jangan sihir gue, ya!" Siswa bertubuh gempal mengangkat dua tangan, ia yang akan keluar kelas hampir menubruk gadis itu.
Gerak Tatiana terhenti sejenak, lantas menyela Rendra, terburu-buru masuk. Ia duduk di bangku deretan tengah belakang.
"Takut juga loe disihir, Ren? Cemen." Sashi muncul, menyahut ucapan Rendra sembari melempar tangkai permennya sembarang.
"Ya, iyalah, gue manusia. Emang elo, biasa temenan sama dedemit." Rendra kabur saat pukulan keras gadis itu, mengenai lengannya.
"Hai, Tatiana," sapa seorang lelaki berkacamata yang menyimpan tas pada bangku sebelahnya. Ia Adi, teman sebangku Tatiana, sifatnya sebelas duabelas. Hanya Adi masih bisa menyapa, meski lebih banyak diam.
"Ha-hai." Suara gadis berbibir tipis itu serak, seperti tercekat di tenggorokan.
"Hahahaa," tawa kencang langsung muncul dari gadis berkuncir satu, diikuti beberapa siswa lain yang ada di kelas.
"Loe harus belajar ngomong, Tiana. Kebanyakan diem, jadi susah, kan, bersuara." Sashi tak melewatkan menghibur pagi dengan menertawakannya.
"Oi, guys. Kalian kayak baru liat. Biasa aja kali. Banyak bahan candaan lain yang enak didenger." Ucapan siswa tinggi, berwajah manis itu sekejap mengheningkan suara. Itu Bagas, ketua kelas ini, banyak diidolakan para siswi. Selain kapten baru di tim basket, ia juga aktif di ekskul Bahasa, baru dilantik sebagai anggota tim kreatif majalah sekolah.
Tatiana berpura tak mendengar semua, ia terus menunduk, melihat buku sembarang yang dikeluarkan dari tas. Dua tangan bertaut di bawah meja, jemarinya berkeringat saling meremas kasar.
Sudah semester kedua bersekolah di sini, tapi ia masih merasa seperti siswi baru. Olokan teman-teman membuat dirinya makin menutup diri.
Hadir mendekati jam pelajaran dimulai tak juga membantunya menghindari bully. Satu-satunya harapan, guru segera datang, itu akan membuatnya sedikit tenang.
Ia menarik napas lega saat bel berbunyi, semua yang ribut terdiam di tempat duduk masing-masing. Guru sekarang adalah Pak Danu, seorang yang sangat tegas dan disiplin.
Usai salam dan doa sebelum pelajaran, pandangannya tegas ke setiap murid.
"Keluarkan tugas, silakan bersiap presentasi di depan."
Di awal mulai saja semua terlihat gugup. Lelaki empat puluh tahun itu tanpa menunggu, memanggil nama murid yang maju pertama.
Tugas membuat biografi para tokoh nasional, yang siap menerima tiga pertanyaan dari siswa lain. Tatiana langsung berkeringat dingin, selain ia membenci maju dan bicara di depan, buku tugas pelajaran Pak Danu pun ketinggalan.
"Tatiana!" Dua kali nama itu dipanggil, tak digubris.
Lelaki bertubuh besar itu mendekat, memukul meja Tatiana dengan penggaris kayu. Gadis itu terlonjak berdiri. Mata dan mulutnya membulat sempurna.
"Mana tugasnya?" Nada suara Pak Danu melemah, tapi tegas.
"K-ke-tingg-"
"Ketinggalan?!" putus lelaki itu, keras dan mengagetkan.
Tubuh Tatiana kian menegang. Kelas pun sunyi, sebagian yang akan menyembur tawa melihat reaksi gadis itu, segera menangkup mulut. Mereka tak berani main-main kalau guru satu ini sedang marah.
"Kalian tau, apa akibat berani meremehkan pelajaran saya?"
Hening, semua berpura menatap buku masing-masing.
Tatiana masih berdiri di tempat. Teman sebangku menarik-narik roknya, mengisyaratkan ia untuk duduk.
"Jangan duduk!" Belum pantatnya menyentuh bangku, gadis itu kembali cepat berdiri. "Bersihkan WC selama jam pelajaran ini. Sekarang!!"
"Ada lagi yang tidak mengerjakan? Atau bukunya ketinggalan, silakan bersama Tatiana," lanjut Pak Danu sembari menyapu pandangan ke seluruh siswa.
Saat tak ada yang melanggar lagi, ia kembali melanjutkan pelajaran, setelah memerintah Tatiana mengerjakan hukumannya.
Gadis itu melangkah gontai keluar.
"Aww!" Tubuhnya menubruk meja, saat hampir tersungkur. Seorang siswi memasang kaki begitu ia lewat tadi.
"Jatuh sendiri, Pak," elak Sashi saat Pak Danu melihat padanya.
Gemuruh tawa mengantar gadis kikuk itu keluar. Tatiana menyapu air mata yang luruh, terus menunduk hingga beberapa tetes jatuh ke dada seragam putihnya. Langkahnya berjalan cepat menuju toilet yang terletak di sudut kelas XII.
Satu jam berlalu ....
Ruang berpintu lima itu telah bersih, beraroma karbol. Tubuh Tatiana bermandi peluh, ia duduk bersandar pada dinding toilet kelima--yang terakhir dibersihkan.
"Loe pake, kan, Kell?"
"Iyalah, gila kalau enggak, bisa putus sekolah gue."
"Hahahaa, loe liciknya nggak bisa dilawan."
"Iya dong. Kelly gitu, loh. Gak pinter ngeles habis gue dibully."
"Sampe dikeluarin sekolah, bakal parah!!"
Suara dua orang siswi terdengar seru, sesekali menceritakan sesuatu yang tak pantas, membuat Tatiana menutup telinga.
Tiba-tiba pintu di tempatnya terdorong kencang. Tatiana sontak berdiri, tangannya bergetar memperbaiki letak kacamata yang melorot.
"Hei, ngapain loe di sini? Ngupingin kita, ya?!" Kelly menarik leher seragamnya. Tatiana makin tak berani memandang.
"Bahaya, Kell, dia pasti denger semua," timpal Jessica tak tenang.
"Engg-enggak de-dengar."
"Bohong! Telinga loe masih berfungsi, kan?" Gadis berkulit putih itu mengambil kacamata Tatiana, menjatuhkan dan menginjaknya hingga retak.
"Awas loe, Penyihir. Berani bilang-bilang, akan lebih parah dari ini!" Kelly mengajak Jessica kembali ke kelas.
"Sebentar, Kell. Gue kebelet." Jessica setengah berlari masuk ke toilet sebelah.
"Buruan, hilang, nih, mood gue!" Kelly meneriaki temannya, lalu ia kembali mendekati Tatiana yang berjongkok, tangan gadis itu gemetar merayap lantai, berusaha memungut kacamatanya.
"Awas loe berani macem-macem! Pikirin aja cara ngerubah wajah jelek loe itu." Kelly mengentakkan kaki ke lantai, tepat di sisi tubuh Tatiana. Gertakan yang membuat gadis itu makin takut.
Tawa kemenangan dua gadis menawan kemudian menggema, terdengar sampai mereka keluar lorong.
Tatiana menyibak rambut ke belakang telinga, terlihat tanda hitam cukup besar di antara alis dan mata kirinya. Tangannya gemetar mengangkat kacamata silinder itu mendekat ke wajah.
Pandangannya membayang, seakan objek lebih dari dua, membuat jarinya sulit menyentuh dengan tepat. Air matanya masih turun deras, tanpa suara. Ia ingin sekali pulang, menelungkupkan wajah di bantal, tempat ternyaman saat jiwanya perih begini.
Cerita by me (Revisi Tatiana)
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5

"Awas dia datang, tuh!" Gadis berbandana merah muda memajukan mulut, mengarah pada seorang siswi yang berjalan menunduk, melewati mereka di halaman.
Kepala gadis berkacamata yang disebut itu makin menekuk, pandanganya hanya tertuju pada sekitar ujung kakinya. Bola mata kanan bergerak liar melihat sekitar dari ujung mata, sementara mata kirinya tertutup rambut yang menjuntai pada separuh wajah.
"Kell, kapan, ya, anehnya anak itu hilang?"
"Jangan ngarep, loe. Sampe kiamat juga bakal kek gitu terus. Coba deh ajak ngomong, pasti gagap, hahaa." Shashi, yang tengah mengisap permen tangkai menjawab pertanyaan Jessica pada Kelly.
Tiga gadis itu sahabat se-geng, gadis berpita bernama Kelly-lah pemimpinnya, mereka bagai lem dan perangko, yang tak terpisah, pun tak pernah melewati kesempatan mengejek gadis pemalu itu.
Langkah Tatiana dipercepat saat mendekati kelas.
"Ups, sorry, jangan sihir gue, ya!" Siswa bertubuh gempal mengangkat dua tangan, ia yang akan keluar kelas hampir menubruk gadis itu.
Gerak Tatiana terhenti sejenak, lantas menyela Rendra, terburu-buru masuk. Ia duduk di bangku deretan tengah belakang.
"Takut juga loe disihir, Ren? Cemen." Sashi muncul, menyahut ucapan Rendra sembari melempar tangkai permennya sembarang.
"Ya, iyalah, gue manusia. Emang elo, biasa temenan sama dedemit." Rendra kabur saat pukulan keras gadis itu, mengenai lengannya.
"Hai, Tatiana," sapa seorang lelaki berkacamata yang menyimpan tas pada bangku sebelahnya. Ia Adi, teman sebangku Tatiana, sifatnya sebelas duabelas. Hanya Adi masih bisa menyapa, meski lebih banyak diam.
"Ha-hai." Suara gadis berbibir tipis itu serak, seperti tercekat di tenggorokan.
"Hahahaa," tawa kencang langsung muncul dari gadis berkuncir satu, diikuti beberapa siswa lain yang ada di kelas.
"Loe harus belajar ngomong, Tiana. Kebanyakan diem, jadi susah, kan, bersuara." Sashi tak melewatkan menghibur pagi dengan menertawakannya.
"Oi, guys. Kalian kayak baru liat. Biasa aja kali. Banyak bahan candaan lain yang enak didenger." Ucapan siswa tinggi, berwajah manis itu sekejap mengheningkan suara. Itu Bagas, ketua kelas ini, banyak diidolakan para siswi. Selain kapten baru di tim basket, ia juga aktif di ekskul Bahasa, baru dilantik sebagai anggota tim kreatif majalah sekolah.
Tatiana berpura tak mendengar semua, ia terus menunduk, melihat buku sembarang yang dikeluarkan dari tas. Dua tangan bertaut di bawah meja, jemarinya berkeringat saling meremas kasar.
Sudah semester kedua bersekolah di sini, tapi ia masih merasa seperti siswi baru. Olokan teman-teman membuat dirinya makin menutup diri.
Hadir mendekati jam pelajaran dimulai tak juga membantunya menghindari bully. Satu-satunya harapan, guru segera datang, itu akan membuatnya sedikit tenang.
Ia menarik napas lega saat bel berbunyi, semua yang ribut terdiam di tempat duduk masing-masing. Guru sekarang adalah Pak Danu, seorang yang sangat tegas dan disiplin.
Usai salam dan doa sebelum pelajaran, pandangannya tegas ke setiap murid.
"Keluarkan tugas, silakan bersiap presentasi di depan."
Di awal mulai saja semua terlihat gugup. Lelaki empat puluh tahun itu tanpa menunggu, memanggil nama murid yang maju pertama.
Tugas membuat biografi para tokoh nasional, yang siap menerima tiga pertanyaan dari siswa lain. Tatiana langsung berkeringat dingin, selain ia membenci maju dan bicara di depan, buku tugas pelajaran Pak Danu pun ketinggalan.
"Tatiana!" Dua kali nama itu dipanggil, tak digubris.
Lelaki bertubuh besar itu mendekat, memukul meja Tatiana dengan penggaris kayu. Gadis itu terlonjak berdiri. Mata dan mulutnya membulat sempurna.
"Mana tugasnya?" Nada suara Pak Danu melemah, tapi tegas.
"K-ke-tingg-"
"Ketinggalan?!" putus lelaki itu, keras dan mengagetkan.
Tubuh Tatiana kian menegang. Kelas pun sunyi, sebagian yang akan menyembur tawa melihat reaksi gadis itu, segera menangkup mulut. Mereka tak berani main-main kalau guru satu ini sedang marah.
"Kalian tau, apa akibat berani meremehkan pelajaran saya?"
Hening, semua berpura menatap buku masing-masing.
Tatiana masih berdiri di tempat. Teman sebangku menarik-narik roknya, mengisyaratkan ia untuk duduk.
"Jangan duduk!" Belum pantatnya menyentuh bangku, gadis itu kembali cepat berdiri. "Bersihkan WC selama jam pelajaran ini. Sekarang!!"
"Ada lagi yang tidak mengerjakan? Atau bukunya ketinggalan, silakan bersama Tatiana," lanjut Pak Danu sembari menyapu pandangan ke seluruh siswa.
Saat tak ada yang melanggar lagi, ia kembali melanjutkan pelajaran, setelah memerintah Tatiana mengerjakan hukumannya.
Gadis itu melangkah gontai keluar.
"Aww!" Tubuhnya menubruk meja, saat hampir tersungkur. Seorang siswi memasang kaki begitu ia lewat tadi.
"Jatuh sendiri, Pak," elak Sashi saat Pak Danu melihat padanya.
Gemuruh tawa mengantar gadis kikuk itu keluar. Tatiana menyapu air mata yang luruh, terus menunduk hingga beberapa tetes jatuh ke dada seragam putihnya. Langkahnya berjalan cepat menuju toilet yang terletak di sudut kelas XII.
Satu jam berlalu ....
Ruang berpintu lima itu telah bersih, beraroma karbol. Tubuh Tatiana bermandi peluh, ia duduk bersandar pada dinding toilet kelima--yang terakhir dibersihkan.
"Loe pake, kan, Kell?"
"Iyalah, gila kalau enggak, bisa putus sekolah gue."
"Hahahaa, loe liciknya nggak bisa dilawan."
"Iya dong. Kelly gitu, loh. Gak pinter ngeles habis gue dibully."
"Sampe dikeluarin sekolah, bakal parah!!"
Suara dua orang siswi terdengar seru, sesekali menceritakan sesuatu yang tak pantas, membuat Tatiana menutup telinga.
Tiba-tiba pintu di tempatnya terdorong kencang. Tatiana sontak berdiri, tangannya bergetar memperbaiki letak kacamata yang melorot.
"Hei, ngapain loe di sini? Ngupingin kita, ya?!" Kelly menarik leher seragamnya. Tatiana makin tak berani memandang.
"Bahaya, Kell, dia pasti denger semua," timpal Jessica tak tenang.
"Engg-enggak de-dengar."
"Bohong! Telinga loe masih berfungsi, kan?" Gadis berkulit putih itu mengambil kacamata Tatiana, menjatuhkan dan menginjaknya hingga retak.
"Awas loe, Penyihir. Berani bilang-bilang, akan lebih parah dari ini!" Kelly mengajak Jessica kembali ke kelas.
"Sebentar, Kell. Gue kebelet." Jessica setengah berlari masuk ke toilet sebelah.
"Buruan, hilang, nih, mood gue!" Kelly meneriaki temannya, lalu ia kembali mendekati Tatiana yang berjongkok, tangan gadis itu gemetar merayap lantai, berusaha memungut kacamatanya.
"Awas loe berani macem-macem! Pikirin aja cara ngerubah wajah jelek loe itu." Kelly mengentakkan kaki ke lantai, tepat di sisi tubuh Tatiana. Gertakan yang membuat gadis itu makin takut.
Tawa kemenangan dua gadis menawan kemudian menggema, terdengar sampai mereka keluar lorong.
Tatiana menyibak rambut ke belakang telinga, terlihat tanda hitam cukup besar di antara alis dan mata kirinya. Tangannya gemetar mengangkat kacamata silinder itu mendekat ke wajah.
Pandangannya membayang, seakan objek lebih dari dua, membuat jarinya sulit menyentuh dengan tepat. Air matanya masih turun deras, tanpa suara. Ia ingin sekali pulang, menelungkupkan wajah di bantal, tempat ternyaman saat jiwanya perih begini.
Cerita by me (Revisi Tatiana)
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Diubah oleh lin680 21-03-2020 16:32
yorryanda dan 20 lainnya memberi reputasi
21
3.5K
34
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
lin680
#14
Bagian 5
"Belum dijemput?"
Tiba-tiba Bagas menghentikan motor di dekat Tatiana, ia baru keluar dari parkiran siswa.
Gadis itu cepat menunduk.
"Wahh, cowok cakep, Tiana," gumam Jenny melesat mengelilingi Bagas. "Ayo, jangan ditolak!"
Gemas melihat gadis itu hanya diam, Jenny menyeretnya mendekati Bagas.
Pemuda terkejut, Tatiana mendadak maju hingga tak sampai semeter di depannya, tapi aneh, gadis itu hanya melihat ke tanah.
'Emang absurd ni orang,' pikirnya.
"Eh, ngg, ayo naik, gue antar." Sudah terlanjur menawarkan, ia juga tak enak kalau tiba-tiba membatalkannya.
Gadis berwajah indo itu meragu, tapi Jenny terus mendorongnya untuk naik. Bagas hanya menganga melihat Tatiana seperti kebingungan sendiri.
"Loe, ngomong sama siapa?"
"Eh, in-ini-" Tatiana makin bingung menjelaskan, Jenny yang terus saja mendorong ia cepat naik ke boncengan, membuatnya kesal.
"Tenang aja, rumah gue, kan, lewat depan rumah loe, jadi skalian. Ayo naik, makin sepi, nih. Loe nggak mau kan jadi korban penculikan, semua tau bokap loe pengusaha, hee."
Tawa Bagas terdengar maksa. Ia cukup bingung menghadapi gadis yang seakan punya dunianya sendiri, sangat sulit interaksi dengan orang lain.
Kaki kanan Tatiana mulai menginjak, tapi kemudian turun lagi. Terlihat memikirkan cara naik ke motor Bagas, yang bagian boncengannya cukup tinggi.
"Ayo, lambat amat!" Tatiana memukul tangan Jenny yang mendesaknya. Hantu satu ini mengesalkan, selain cerewet ia juga makhluk yang tak sabaran.
"Kaki kiri dulu, pegang bahu gue, langkahin baru duduk, taruh kaki di injakannya," pandu Bagas diikuti gadis itu dengan gerakan kagok.
"Maaf, ya. Skali-kali naik motor nggak pa-pa, kan?"
Bagas menarik napas panjang. 'Butuh sabar ngadepin ni gadis.'
Tatiana mengikuti instruksi Bagas.
Baru sekarang merasakan sejuknya diterpa angin saat duduk di boncengan. Terlupa olehnya tanda yang selama ini ia tutupi, terlihat jelas oleh pengendara di dekat mereka.
Matanya bersinar, ada kesenangan tersendiri mendapatkan pengalaman seperti ini. Jenny kembali menghilang, tanpa pamit, makhluk itu bersikap semaunya, tapi Tatiana merasa cukup senang dengan kehadirannya.
Seseorang di sebuah mobil meminta supir memperlambat laju. Ia mengarahkan kamera ponsel pada pengendara motor city sport, mengarah ke sepasang siswa berseragam putih abu-abu.
Dalam gerakan cepat jarinya mengetik, lalu mengirim pesan. "Tau rasa tuh si jelek. Muka kayak nenek sihir, berani deketin Bagas!" gumamnya.
Roar-nya Katty Perry terdengar dari ponsel gadis berponi. Ia baru sampai di rumah, membelalak melihat foto yang dikirimkan Kelly.
Ia membalas cepat.
[ini beneran, bukan editan loe, kan?]
[Iyaa, nih gue VC loe ya, liat sendiri!]
Kelly mengarahkan layar langsung pada Bagas dan Tatiana, yang melaju di tepi trotoar. Pemuda bertubuh tinggi itu tampak tertawa lebar, seakan bicara sesuatu yang lucu meski gadis di belakangnya terihat kikuk.
[Loe percayakan?!]
[Ihh, makin berani tuh penyihir. Besok tau rasa dia!]
Shashi menampakkan wajah marah di layar Kelly. Ia menghentakkan kaki masuk kamar.
[Ya pasti itu, kita bikin rencana biar tu ugly kapok.] Kelly ikut memanasi suasana.
[okey nanti gue hubungi loe lagi!] Shashi memutuskan panggilan. Mulutnya maju lima senti.
[Okey. See u ....]
Melewati arah belokan berbeda Kelly mengetuk-ngetuk ponsel ke dagu. Ia merasa makin tak suka dengan gadis aneh itu. Sejak awal masuk, ia berharap Tatiana tak betah di sekolah.
Meski dari prestasi gadis itu tak masuk sepuluh besar, ia hanya merasa Tatiana seperti kotoran, entah kenapa terselip malu, jika di sekolah pavoritnya ada orang ajaib, yang merusak pemandangan.
Ia menjentikkan jari, senyum lebar saat turun dari mobil sambil mengetik pesan untuk Shashi. Membayangkan besok, serunya melihat reaksi gadis aneh itu atas rencana barunya.
***
Malam hari, pesan masuk di ponsel Tatiana, chat dari kontak My Daddy.
[Amalya, hanya alergi. Kamu baik di situ?]
Senyum tersirat di bibir tipisnya. Papanya itu jarang bicara dan terkesan tak punya waktu untuk di rumah, tapi tetap memberi perhatian kecil padanya. rasa hangat menjalar berulan kali dibaca baru jarinya bergerak mengetik balasan.
[Syukurlah, Pa. Tiana baik.]
[Ok]
Detik kemudian jawaban singkat lelaki itu mengakhiri chat, yang sebenarnya ia harap bisa berlanjut.
Andrew Usmanev, lelaki lulusan perbankan Universitas Bisnis Internasional di Moskow. Sebelumnya menetap dan berbisnis di Singapura, ia jatuh cinta pada Indonesia dan menetap di Jakarta, setelah menikahi Mariana, wanita asli Bandung. Rentang usia dengan mamanya terpaut limabelas tahun.
"Kenapa tho melamun?" Mbok Darmi mendekati, menyentuh pundaknya.
Terlihat gadis itu mengusap sudut mata yang basah.
"Non Tatiana nyari teman, ya? Di rumah Mbok selalu rame. Kalau Non mau, boleh main ke sana, tapi ya tempatnya sederhana, gitu," terang wanita itu memancing Tatiana bicara.
Ia kasihan melihat gadis ini semakin larut dalam kebisuan, padahal semasa kecilnya cukup ceria.
Gadis itu terus menunduk, memainkan jari yang saling bertumpu.
Mbok teringat saat kelas tiga sekolah dasar, gadis ini menangis, ditelepon guru kelas untuk segera dijemput. Sampai di rumah, nyonya-nya yang sedang mengambil libur malah kembali memukul dan menyiram hingga kuyup, lalu gadis itu dikunci di kamar mandi belakang, hingga petang.
Sebagai pembantu Mbok Darmi tak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu menggigil, dalam dingin dan kelaparan diserahkan padanya untuk diurus. Tatiana sampai meriang dan mengigau sampai dua hari.
Itu awal gadis cantik, di matanya ini menjadi pendiam dan penakut. Hingga masa remaja, Mbok Darmi selalu menemaninya tidur malam, sampai awal masuk SMA, Tatiana sendiri yang mengatakan bisa tidur sendiri.
"Anak dan cucu Mbok suka ngumpul di rumah, seumuran Non Tiana ada tiga orang, yang sudah kerja juga ada. Mereka Alhamdulillah, baik, Non, biasa berteman sama siapa aja," lanjutnya.
"I-iya, M-mbok," sahut Tatiana pelan membuat wanita itu girang. Meski sudah lama bekerja di rumah, ia jak tak pernah melihat gadis itu menikmati masa remajanya yang ceria. Kamar, satu-satunya tempat ia membuat dunianya sendiri.
"Alhamdulillahh. Iya, Non. Kalau Non Tiana ke sana, Mbok akan bikin rujak Juhi, spesial dimakan rame-rame," seru Mbok Darmi semangat.
Bahu Tatiana dirangkulnya penuh sayang.
***
Tumben, pagi ini Tatiana lancar saat melewati lapangan. Gerombolan Kelly dan lainnya tak ditemuinya. Sesampai di kelas ia menggantung tas ke punggung kursi, lalu duduk. Semua bersiap menanti bel masuk.
"Tatiana!" Shashi muncul di pintu. "Dipanggil ke kantor!" serunya singkat seraya pergi.
'Kenapa pagi-pagi dipanggil?' benak Tatiana bertanya.
Saat mencoba bangun, roknya terasa lengket pada alas bangku. Berapakali dicoba, sampai tangan meraba sisinya.
LEM?!
Mulut Tatiana menganga, ia merasa bodoh tak menyadari ada perekat menyebar di alas duduknya.
Sudah bisa dikira, ini pasti ulah Sashi yang menjebaknya. Mata Tatiana memanas, bagaimana ia tak bergerak sampai pulang nanti? Dadanya menyesak kembali tertunduk.
"Maleficent, loe dipanggil tuh, nggak denger, ya?!"
Sekarang suara Kelly disambung Jessica. Nama penyihir jahat di film itu sesekali disebut sebagai panggilannya. Ketiga cs itu berbisik-bisik.
"Ngapain, loe bertiga?" Rendra jengah melihat kelakuan tiga sisiwi itu.
"Suka-suka, dong. Emang elo, nggak ada kerjaan." Kelly keluarkan lidah mengejek. Ia berharap Tatiana bangkit dari tempat duduknya, tapi gadis itu malah sibuk memandangi jarinya di balik meja.
"Tatiana, cepetan, Loe dipanggil, Bu Rat-"
"Bu, siapaan? Tuh Bu Ratna ke sini. Udah jangan usil!" tegur Bagas menghentikan gerakan mulut Shashi, wajah gadis berkuncir itu langsung memerah.
Ia cepat ke tempat duduknya, pun dengan Kelly dan Jessica menunduk kecil pada wali kelas Tatiana itu, lalu segera menuju kelasnya di sebelah, bertepatan saat bel berbunyi.
Bersambung ....
"Belum dijemput?"
Tiba-tiba Bagas menghentikan motor di dekat Tatiana, ia baru keluar dari parkiran siswa.
Gadis itu cepat menunduk.
"Wahh, cowok cakep, Tiana," gumam Jenny melesat mengelilingi Bagas. "Ayo, jangan ditolak!"
Gemas melihat gadis itu hanya diam, Jenny menyeretnya mendekati Bagas.
Pemuda terkejut, Tatiana mendadak maju hingga tak sampai semeter di depannya, tapi aneh, gadis itu hanya melihat ke tanah.
'Emang absurd ni orang,' pikirnya.
"Eh, ngg, ayo naik, gue antar." Sudah terlanjur menawarkan, ia juga tak enak kalau tiba-tiba membatalkannya.
Gadis berwajah indo itu meragu, tapi Jenny terus mendorongnya untuk naik. Bagas hanya menganga melihat Tatiana seperti kebingungan sendiri.
"Loe, ngomong sama siapa?"
"Eh, in-ini-" Tatiana makin bingung menjelaskan, Jenny yang terus saja mendorong ia cepat naik ke boncengan, membuatnya kesal.
"Tenang aja, rumah gue, kan, lewat depan rumah loe, jadi skalian. Ayo naik, makin sepi, nih. Loe nggak mau kan jadi korban penculikan, semua tau bokap loe pengusaha, hee."
Tawa Bagas terdengar maksa. Ia cukup bingung menghadapi gadis yang seakan punya dunianya sendiri, sangat sulit interaksi dengan orang lain.
Kaki kanan Tatiana mulai menginjak, tapi kemudian turun lagi. Terlihat memikirkan cara naik ke motor Bagas, yang bagian boncengannya cukup tinggi.
"Ayo, lambat amat!" Tatiana memukul tangan Jenny yang mendesaknya. Hantu satu ini mengesalkan, selain cerewet ia juga makhluk yang tak sabaran.
"Kaki kiri dulu, pegang bahu gue, langkahin baru duduk, taruh kaki di injakannya," pandu Bagas diikuti gadis itu dengan gerakan kagok.
"Maaf, ya. Skali-kali naik motor nggak pa-pa, kan?"
Bagas menarik napas panjang. 'Butuh sabar ngadepin ni gadis.'
Tatiana mengikuti instruksi Bagas.
Baru sekarang merasakan sejuknya diterpa angin saat duduk di boncengan. Terlupa olehnya tanda yang selama ini ia tutupi, terlihat jelas oleh pengendara di dekat mereka.
Matanya bersinar, ada kesenangan tersendiri mendapatkan pengalaman seperti ini. Jenny kembali menghilang, tanpa pamit, makhluk itu bersikap semaunya, tapi Tatiana merasa cukup senang dengan kehadirannya.
Seseorang di sebuah mobil meminta supir memperlambat laju. Ia mengarahkan kamera ponsel pada pengendara motor city sport, mengarah ke sepasang siswa berseragam putih abu-abu.
Dalam gerakan cepat jarinya mengetik, lalu mengirim pesan. "Tau rasa tuh si jelek. Muka kayak nenek sihir, berani deketin Bagas!" gumamnya.
Roar-nya Katty Perry terdengar dari ponsel gadis berponi. Ia baru sampai di rumah, membelalak melihat foto yang dikirimkan Kelly.
Ia membalas cepat.
[ini beneran, bukan editan loe, kan?]
[Iyaa, nih gue VC loe ya, liat sendiri!]
Kelly mengarahkan layar langsung pada Bagas dan Tatiana, yang melaju di tepi trotoar. Pemuda bertubuh tinggi itu tampak tertawa lebar, seakan bicara sesuatu yang lucu meski gadis di belakangnya terihat kikuk.
[Loe percayakan?!]
[Ihh, makin berani tuh penyihir. Besok tau rasa dia!]
Shashi menampakkan wajah marah di layar Kelly. Ia menghentakkan kaki masuk kamar.
[Ya pasti itu, kita bikin rencana biar tu ugly kapok.] Kelly ikut memanasi suasana.
[okey nanti gue hubungi loe lagi!] Shashi memutuskan panggilan. Mulutnya maju lima senti.
[Okey. See u ....]
Melewati arah belokan berbeda Kelly mengetuk-ngetuk ponsel ke dagu. Ia merasa makin tak suka dengan gadis aneh itu. Sejak awal masuk, ia berharap Tatiana tak betah di sekolah.
Meski dari prestasi gadis itu tak masuk sepuluh besar, ia hanya merasa Tatiana seperti kotoran, entah kenapa terselip malu, jika di sekolah pavoritnya ada orang ajaib, yang merusak pemandangan.
Ia menjentikkan jari, senyum lebar saat turun dari mobil sambil mengetik pesan untuk Shashi. Membayangkan besok, serunya melihat reaksi gadis aneh itu atas rencana barunya.
***
Malam hari, pesan masuk di ponsel Tatiana, chat dari kontak My Daddy.
[Amalya, hanya alergi. Kamu baik di situ?]
Senyum tersirat di bibir tipisnya. Papanya itu jarang bicara dan terkesan tak punya waktu untuk di rumah, tapi tetap memberi perhatian kecil padanya. rasa hangat menjalar berulan kali dibaca baru jarinya bergerak mengetik balasan.
[Syukurlah, Pa. Tiana baik.]
[Ok]
Detik kemudian jawaban singkat lelaki itu mengakhiri chat, yang sebenarnya ia harap bisa berlanjut.
Andrew Usmanev, lelaki lulusan perbankan Universitas Bisnis Internasional di Moskow. Sebelumnya menetap dan berbisnis di Singapura, ia jatuh cinta pada Indonesia dan menetap di Jakarta, setelah menikahi Mariana, wanita asli Bandung. Rentang usia dengan mamanya terpaut limabelas tahun.
"Kenapa tho melamun?" Mbok Darmi mendekati, menyentuh pundaknya.
Terlihat gadis itu mengusap sudut mata yang basah.
"Non Tatiana nyari teman, ya? Di rumah Mbok selalu rame. Kalau Non mau, boleh main ke sana, tapi ya tempatnya sederhana, gitu," terang wanita itu memancing Tatiana bicara.
Ia kasihan melihat gadis ini semakin larut dalam kebisuan, padahal semasa kecilnya cukup ceria.
Gadis itu terus menunduk, memainkan jari yang saling bertumpu.
Mbok teringat saat kelas tiga sekolah dasar, gadis ini menangis, ditelepon guru kelas untuk segera dijemput. Sampai di rumah, nyonya-nya yang sedang mengambil libur malah kembali memukul dan menyiram hingga kuyup, lalu gadis itu dikunci di kamar mandi belakang, hingga petang.
Sebagai pembantu Mbok Darmi tak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu menggigil, dalam dingin dan kelaparan diserahkan padanya untuk diurus. Tatiana sampai meriang dan mengigau sampai dua hari.
Itu awal gadis cantik, di matanya ini menjadi pendiam dan penakut. Hingga masa remaja, Mbok Darmi selalu menemaninya tidur malam, sampai awal masuk SMA, Tatiana sendiri yang mengatakan bisa tidur sendiri.
"Anak dan cucu Mbok suka ngumpul di rumah, seumuran Non Tiana ada tiga orang, yang sudah kerja juga ada. Mereka Alhamdulillah, baik, Non, biasa berteman sama siapa aja," lanjutnya.
"I-iya, M-mbok," sahut Tatiana pelan membuat wanita itu girang. Meski sudah lama bekerja di rumah, ia jak tak pernah melihat gadis itu menikmati masa remajanya yang ceria. Kamar, satu-satunya tempat ia membuat dunianya sendiri.
"Alhamdulillahh. Iya, Non. Kalau Non Tiana ke sana, Mbok akan bikin rujak Juhi, spesial dimakan rame-rame," seru Mbok Darmi semangat.
Bahu Tatiana dirangkulnya penuh sayang.
***
Tumben, pagi ini Tatiana lancar saat melewati lapangan. Gerombolan Kelly dan lainnya tak ditemuinya. Sesampai di kelas ia menggantung tas ke punggung kursi, lalu duduk. Semua bersiap menanti bel masuk.
"Tatiana!" Shashi muncul di pintu. "Dipanggil ke kantor!" serunya singkat seraya pergi.
'Kenapa pagi-pagi dipanggil?' benak Tatiana bertanya.
Saat mencoba bangun, roknya terasa lengket pada alas bangku. Berapakali dicoba, sampai tangan meraba sisinya.
LEM?!
Mulut Tatiana menganga, ia merasa bodoh tak menyadari ada perekat menyebar di alas duduknya.
Sudah bisa dikira, ini pasti ulah Sashi yang menjebaknya. Mata Tatiana memanas, bagaimana ia tak bergerak sampai pulang nanti? Dadanya menyesak kembali tertunduk.
"Maleficent, loe dipanggil tuh, nggak denger, ya?!"
Sekarang suara Kelly disambung Jessica. Nama penyihir jahat di film itu sesekali disebut sebagai panggilannya. Ketiga cs itu berbisik-bisik.
"Ngapain, loe bertiga?" Rendra jengah melihat kelakuan tiga sisiwi itu.
"Suka-suka, dong. Emang elo, nggak ada kerjaan." Kelly keluarkan lidah mengejek. Ia berharap Tatiana bangkit dari tempat duduknya, tapi gadis itu malah sibuk memandangi jarinya di balik meja.
"Tatiana, cepetan, Loe dipanggil, Bu Rat-"
"Bu, siapaan? Tuh Bu Ratna ke sini. Udah jangan usil!" tegur Bagas menghentikan gerakan mulut Shashi, wajah gadis berkuncir itu langsung memerah.
Ia cepat ke tempat duduknya, pun dengan Kelly dan Jessica menunduk kecil pada wali kelas Tatiana itu, lalu segera menuju kelasnya di sebelah, bertepatan saat bel berbunyi.
Bersambung ....
key.99 dan 3 lainnya memberi reputasi
4