- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1799
Pengumuman Penting
Dua minggu berlalu dan tes penerimaan S2 berjalan dengan baik dan gue bersiap untuk menunggu hasil tesnya. Semoga ada hasil yang baik. Gue juga memutuskan untuk tidak masuk kekantor dulu demi menunggu kabar dari hasil tes tersebut. Hasil tesnya tidak diumumkan secara online melainkan dikirim melalui sepucuk surat via pos.
“Kamu nggak kerja kak?” tanya Mama.
“Nggak, lagi nggak enak badan. Jadi mau tiduran dulu dirumah istirahat.” Jawab gue.
“Makanya kamu itu jangan kerjaannya pacaran melulu, pulang malem terus, kerja juga berangkat siang-siang. Niat kerja nggak kamu itu? Katanya mau jadi pengusaha sukses kayak Papa. Tapi kalau kamu begini gimana mau jadi kayak Papa?”
Mendengar ocehan seperti ini tentu aja gue sangat nggak senang. Gue memang nggak memberitahu apa yang terjadi dipekerjaan gue. Yang mama tau gue kerja dengan salah satu orang yang pernah kerja di perusahaan Papa di masa lalu. Bidang pekerjaannya tetap sama, tapi nggak tau kalau ternyata gue adalah freelancer dikantor tersebut yang nggak melulu harus datang ke kantor tepat waktu.
“Lah, aku sakit masa dipaksain masuk? Lagian nggak rugi juga kan perusahaan kalau karyawannya nggak masuk sehari doang? Terus apa urusannya juga sama mau jadi kayak Papa? Aku mau jadi kayak Papa bukan berarti harus ngikutin cara Papa dulu buat sukses kan? Jamannya udah beda sekarang sama dulu.” Sahut gue ketus.
“Ya terserah kamulah. Hidup ya hidup kamu sendiri. Soalnya Mama ngeliat semenjak kamu sama Emi kamu tu jadi makin nggak jelas kehidupannya. Bangun siang, kerja suka-sukanya, kadang nggak pulang, jalan-jalan terus keluar jarang dirumah dan sebagainya itu. Kamu yang bener lah. Dulu kamu nggak gini waktu jaman sama Dee dan Keket loh, Ja.”
“Nggak usah ngebandingin Emi sama yang lain ya Ma. Nggak penting juga. Yang jalanin hubungan aku dan Emi. Mama kan nggak tau selama ini hubungan aku sama Emi kayak gimana. Jadi ya nggak usah bilang kalau gara-gara Emi aku jadi kayak gini sekarang. Aku punya gaya menjalani kehidupan sendiri, aku udah gede, jadi ya nggak perlu kalau ada perubahan didiri aku, malah nyalahin orang lain karena aku jadi nggak sesuai sama yang Mama mau sekarang.”
Mama hanya diam saja mendengar pernyataan gue. Memang gue nggak banyak bercerita soal pekerjaan gue dan kehidupan cinta gue dengan Emi. Karena bagi gue itu adalah hal yang sama sekali nggak penting. Yang paling penting adalah Mama tau anaknya sehat-sehat aja dan nggak kekurangan satu apapun.
Salah satu hal yang gue kurang suka ketika pulang adalah hal ini. Gue seperti selalu ingin mencari keributan dengan Ibu gue sendiri. Gue dianggap seperti pemuda yang nggak jelas pekerjaannya, sering keluyuran, dan yang paling utama adalah nggak punya masa depan yang jelas. Kebetulan pula, Emi datang disaat seperti ini. Jadilah Emi seperti dijadikan kambing hitam dengan perubahan gue ini. Gue membayangkan ini sampai akhirnya ketiduran dikasur gue sendiri.
Enth sudah berapa gue tidur, Mama tiba-tiba mengetuk kamar gue dengan cukup keras dan terburu-buru. Gue pun kaget dan sedikit pusing. Gue melihat jam ternyata sudah jam 16.00 sore.
“Kak, kok kamu nggak cerita dan ngabarin Mama soal ini?” tanya Mama, terlihat raut wajah ceria disana.
“Hah? Cerita apaan ya Ma?” gue masih sedikit bingung dan pusing.
“Ini…..”
Mama menyerahkan sepucuk surat beramplop putih yang masih rapi belum terbuka. Disana ada lambang almamater kampus gue, dan juga lambang sekolah pascasarjana. Tertera pula nama lengkap, nomor ujian dan alamat rumah gue.
“Oh ini.. Makasih ya Ma.” Kata gue singkat.
“Kamu jadinya mau ambil S2? Ya Allah. Mama seneng liatnya Kak.”
“Iya makasih Ma.”
“Terus ini nanti udah keterima apa belum?”
“Belum tau Ma. Belum juga dibuka. Aku mau buka nanti aja.”
“Kamu tu nungguin ini toh daritadi pagi?”
“Iya, sampai akhirnya aku jadi nggak enak badan karena mikirin ini.”
“Oh pantesan. Ini cita-cita kamu dari dulu ya Kak. Malahan sepupu kamu yang udah duluan masuk S2-nya.”
“Hahaha. Nggak usah dibandingin sama Si Emir. Dia mah orang tuanya punya uang dan masih lengkap, kalau kita kan nggak Ma. Dan aku nggak mau nyusahin Mama. Lagian dikeluarga besar Papa, apa-apa yang dibanggain kan si Emir melulu, mana pernah aku sama Dania diomongin. Padahal yang jauh lebih berprestasi kan aku sama Dania dibanding dia. Bahkan adiknya dia aja, si Ricky, nggak pernah juga dibanggain. Padahal kita tau kalau dia masuk kampus negeri berjaket kuning itu dengan full beasiswa, sekarang aja dia kerja diperusahaan yang sangat bonafid dan terkenal pula, aku aja nggak keterima ngelamar disana. Hahaha.”
“Yaudah itu berarti rejeki dia. kamu nggak usah kecil hati. Terus kamu nanti bayarnya gimana? Bukannya bayar S2 itu mahal?”
“Aku nggak kecil hati. Cuma ya emang dikeluarga kan yang dibanggain si Emir itu. Yang lain nggak perlu dan nggak dilihat. Yaudah nggak usah dipikirin, yang jelas aku bisa bayar sekolah aku sendiri.”
“Alhamdulillah kalau gitu. Udah kamu juga nggak usah ngomongin urusan keluarga besar Papa ya.”
Gue hanya mengangguk. Gue deg-degan dengan amplop yang ada didepan gue. Akhirnya gue memberanikan diri untuk membuka. Disana ada beberapa kalimat pembuka dan kemudian gue lewati saja, karena gue langsung fokus ke bagian tengah kertas surat yang bertuliskan nama lengkap gue dan ucapan selamat. Gue keterima masuk sekolah pascasarjana. Sesuatu yang sangat menyenangkan gue, dan tentunya, Mama serta Emi.
Kemudian gue memberitahu Mama perihal suksesnya gue melewati tes masuk S2 ini. Mama tentu saja senang karena mungkin berpikir anaknya nggak seblangsak itu hidupnya. Setelah itu gue mandi dan bilang mau latihan band. Padahal gue mau ke kostan Emi.
Gue sangat bersemangat untuk mengabari Emi tentang semua ini. Harusnya dia juga ikutan excited. Tapi ya seperti biasa, gue memasang muka nggak enak dulu ketika datang kekostannya dia.
“Hasil tesnya udah keluar, Zy?” tanyanya ketika membukakan pintu untuk gue.
“Udah.” Jawab gue singkat.
“Terus gimana hasilnya? Kenapa muka lo lecek gitu kayak cucian belum disetrika?”
“Nih. Suratnya baru aja diterima tadi pagi sama nyokap gue.”
Gue menyerahkan amplop yang sudah terbuka ke Emi biar dia membacanya sendiri.
“Kenapa nggak dikasih tau langsung aja ke gue? Begini bikin gue deg-degan, Su.”
“Anj*ng intinya mah. T*i.”
Gue melihat ekspresi cemas luar biasa dari Emi. Ingin rasanya gue tertawa, tapi jangan dulu. Biarin aja dulu Emi keliatan tegang kayak kanebo kering.
“WAAAA! SELAMAT ANDA DITERIMA SEBAGAI MAHASISWA S2! WHAAA!!!!”
Emi menunjukkan ekspresi girang luar biasa. Langsung berubah moodnya melihat kabar ini. Dia loncat-loncat nggak karuan didepan gue, memeluk gue dan menciumi muka gue berulang kali.
“PINTER JUGA OTAK LO BISA LOLOS TESNYA! HAHAHA.”
“Yee, Su! Gue juga kan S1 di kampus yang sama kayak lo! Emang lo doang yang pinter? Hahaha. Lagian, pas lo baru lahir, gue udah SD! Jadi gue lebih banyak ilmunya kali daripada lo! Hahaha.”
“Aaaaahhhh… Gue seneng banget ini! Gue pacaran sama calon Master Manajemen! Hahaha.”
“Lo bangga bener pacar lo S2? Kalau gue nggak S2 lo masih tetep sebangga ini nggak?”
“Lo pingin banget dibangga-banggain yak? Kok nanya begitu?”
“Banyak cewek yang ngedukung pacarnya S2 demi prestige dia sendiri bisa ngegandeng pacar yang S2.”
“Gue nggak bangga kalau lo baru aja jadi mahasiswa S2. Apalagi kalau ternyata nanti saat lo lulus nanti, lo lulus TANPA bantuan gue sama sekali. Gue makin nggak bangga sama diri gue. Gue nggak punya kontribusi apapun, kenapa gue harus bangga? Tanpa lo harus S2 atau lo jadi SPV di kantor, gue bisa tetep bangga sama lo kok. Selama lo mau bertahan sama gue, memperjuangkan gue, saling menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lainnya, dan mau berubah. Gue bangga akan diri lo yang begitu.”
“Gue nggak tau mau ngejawab apa untuk itu semua. Gue cuman ngerasa bersyukur aja lo mau mikir begitu.”
“Punya pacar vocalist band, biasa. Punya pacar SPV di kantornya, biasa. Punya pacar mahasiswa S2, biasa. Punya pacar yang mau berjuang, mau bertahan bersama, mau menerima apa adanya bukan adanya apa, dan mau saling mendukung untuk sama-sama berubah itu susah banget ditemuinnya jaman sekarang. Karena susah ditemuinnya, kalau suatu saat gue bisa nemuinnya, gue jadi lebih bangga karena itu.”
“Kamu nggak kerja kak?” tanya Mama.
“Nggak, lagi nggak enak badan. Jadi mau tiduran dulu dirumah istirahat.” Jawab gue.
“Makanya kamu itu jangan kerjaannya pacaran melulu, pulang malem terus, kerja juga berangkat siang-siang. Niat kerja nggak kamu itu? Katanya mau jadi pengusaha sukses kayak Papa. Tapi kalau kamu begini gimana mau jadi kayak Papa?”
Mendengar ocehan seperti ini tentu aja gue sangat nggak senang. Gue memang nggak memberitahu apa yang terjadi dipekerjaan gue. Yang mama tau gue kerja dengan salah satu orang yang pernah kerja di perusahaan Papa di masa lalu. Bidang pekerjaannya tetap sama, tapi nggak tau kalau ternyata gue adalah freelancer dikantor tersebut yang nggak melulu harus datang ke kantor tepat waktu.
“Lah, aku sakit masa dipaksain masuk? Lagian nggak rugi juga kan perusahaan kalau karyawannya nggak masuk sehari doang? Terus apa urusannya juga sama mau jadi kayak Papa? Aku mau jadi kayak Papa bukan berarti harus ngikutin cara Papa dulu buat sukses kan? Jamannya udah beda sekarang sama dulu.” Sahut gue ketus.
“Ya terserah kamulah. Hidup ya hidup kamu sendiri. Soalnya Mama ngeliat semenjak kamu sama Emi kamu tu jadi makin nggak jelas kehidupannya. Bangun siang, kerja suka-sukanya, kadang nggak pulang, jalan-jalan terus keluar jarang dirumah dan sebagainya itu. Kamu yang bener lah. Dulu kamu nggak gini waktu jaman sama Dee dan Keket loh, Ja.”
“Nggak usah ngebandingin Emi sama yang lain ya Ma. Nggak penting juga. Yang jalanin hubungan aku dan Emi. Mama kan nggak tau selama ini hubungan aku sama Emi kayak gimana. Jadi ya nggak usah bilang kalau gara-gara Emi aku jadi kayak gini sekarang. Aku punya gaya menjalani kehidupan sendiri, aku udah gede, jadi ya nggak perlu kalau ada perubahan didiri aku, malah nyalahin orang lain karena aku jadi nggak sesuai sama yang Mama mau sekarang.”
Mama hanya diam saja mendengar pernyataan gue. Memang gue nggak banyak bercerita soal pekerjaan gue dan kehidupan cinta gue dengan Emi. Karena bagi gue itu adalah hal yang sama sekali nggak penting. Yang paling penting adalah Mama tau anaknya sehat-sehat aja dan nggak kekurangan satu apapun.
Salah satu hal yang gue kurang suka ketika pulang adalah hal ini. Gue seperti selalu ingin mencari keributan dengan Ibu gue sendiri. Gue dianggap seperti pemuda yang nggak jelas pekerjaannya, sering keluyuran, dan yang paling utama adalah nggak punya masa depan yang jelas. Kebetulan pula, Emi datang disaat seperti ini. Jadilah Emi seperti dijadikan kambing hitam dengan perubahan gue ini. Gue membayangkan ini sampai akhirnya ketiduran dikasur gue sendiri.
Enth sudah berapa gue tidur, Mama tiba-tiba mengetuk kamar gue dengan cukup keras dan terburu-buru. Gue pun kaget dan sedikit pusing. Gue melihat jam ternyata sudah jam 16.00 sore.
“Kak, kok kamu nggak cerita dan ngabarin Mama soal ini?” tanya Mama, terlihat raut wajah ceria disana.
“Hah? Cerita apaan ya Ma?” gue masih sedikit bingung dan pusing.
“Ini…..”
Mama menyerahkan sepucuk surat beramplop putih yang masih rapi belum terbuka. Disana ada lambang almamater kampus gue, dan juga lambang sekolah pascasarjana. Tertera pula nama lengkap, nomor ujian dan alamat rumah gue.
“Oh ini.. Makasih ya Ma.” Kata gue singkat.
“Kamu jadinya mau ambil S2? Ya Allah. Mama seneng liatnya Kak.”
“Iya makasih Ma.”
“Terus ini nanti udah keterima apa belum?”
“Belum tau Ma. Belum juga dibuka. Aku mau buka nanti aja.”
“Kamu tu nungguin ini toh daritadi pagi?”
“Iya, sampai akhirnya aku jadi nggak enak badan karena mikirin ini.”
“Oh pantesan. Ini cita-cita kamu dari dulu ya Kak. Malahan sepupu kamu yang udah duluan masuk S2-nya.”
“Hahaha. Nggak usah dibandingin sama Si Emir. Dia mah orang tuanya punya uang dan masih lengkap, kalau kita kan nggak Ma. Dan aku nggak mau nyusahin Mama. Lagian dikeluarga besar Papa, apa-apa yang dibanggain kan si Emir melulu, mana pernah aku sama Dania diomongin. Padahal yang jauh lebih berprestasi kan aku sama Dania dibanding dia. Bahkan adiknya dia aja, si Ricky, nggak pernah juga dibanggain. Padahal kita tau kalau dia masuk kampus negeri berjaket kuning itu dengan full beasiswa, sekarang aja dia kerja diperusahaan yang sangat bonafid dan terkenal pula, aku aja nggak keterima ngelamar disana. Hahaha.”
“Yaudah itu berarti rejeki dia. kamu nggak usah kecil hati. Terus kamu nanti bayarnya gimana? Bukannya bayar S2 itu mahal?”
“Aku nggak kecil hati. Cuma ya emang dikeluarga kan yang dibanggain si Emir itu. Yang lain nggak perlu dan nggak dilihat. Yaudah nggak usah dipikirin, yang jelas aku bisa bayar sekolah aku sendiri.”
“Alhamdulillah kalau gitu. Udah kamu juga nggak usah ngomongin urusan keluarga besar Papa ya.”
Gue hanya mengangguk. Gue deg-degan dengan amplop yang ada didepan gue. Akhirnya gue memberanikan diri untuk membuka. Disana ada beberapa kalimat pembuka dan kemudian gue lewati saja, karena gue langsung fokus ke bagian tengah kertas surat yang bertuliskan nama lengkap gue dan ucapan selamat. Gue keterima masuk sekolah pascasarjana. Sesuatu yang sangat menyenangkan gue, dan tentunya, Mama serta Emi.
Kemudian gue memberitahu Mama perihal suksesnya gue melewati tes masuk S2 ini. Mama tentu saja senang karena mungkin berpikir anaknya nggak seblangsak itu hidupnya. Setelah itu gue mandi dan bilang mau latihan band. Padahal gue mau ke kostan Emi.
Gue sangat bersemangat untuk mengabari Emi tentang semua ini. Harusnya dia juga ikutan excited. Tapi ya seperti biasa, gue memasang muka nggak enak dulu ketika datang kekostannya dia.
“Hasil tesnya udah keluar, Zy?” tanyanya ketika membukakan pintu untuk gue.
“Udah.” Jawab gue singkat.
“Terus gimana hasilnya? Kenapa muka lo lecek gitu kayak cucian belum disetrika?”
“Nih. Suratnya baru aja diterima tadi pagi sama nyokap gue.”
Gue menyerahkan amplop yang sudah terbuka ke Emi biar dia membacanya sendiri.
“Kenapa nggak dikasih tau langsung aja ke gue? Begini bikin gue deg-degan, Su.”
“Anj*ng intinya mah. T*i.”
Gue melihat ekspresi cemas luar biasa dari Emi. Ingin rasanya gue tertawa, tapi jangan dulu. Biarin aja dulu Emi keliatan tegang kayak kanebo kering.
“WAAAA! SELAMAT ANDA DITERIMA SEBAGAI MAHASISWA S2! WHAAA!!!!”
Emi menunjukkan ekspresi girang luar biasa. Langsung berubah moodnya melihat kabar ini. Dia loncat-loncat nggak karuan didepan gue, memeluk gue dan menciumi muka gue berulang kali.
“PINTER JUGA OTAK LO BISA LOLOS TESNYA! HAHAHA.”
“Yee, Su! Gue juga kan S1 di kampus yang sama kayak lo! Emang lo doang yang pinter? Hahaha. Lagian, pas lo baru lahir, gue udah SD! Jadi gue lebih banyak ilmunya kali daripada lo! Hahaha.”
“Aaaaahhhh… Gue seneng banget ini! Gue pacaran sama calon Master Manajemen! Hahaha.”
“Lo bangga bener pacar lo S2? Kalau gue nggak S2 lo masih tetep sebangga ini nggak?”
“Lo pingin banget dibangga-banggain yak? Kok nanya begitu?”
“Banyak cewek yang ngedukung pacarnya S2 demi prestige dia sendiri bisa ngegandeng pacar yang S2.”
“Gue nggak bangga kalau lo baru aja jadi mahasiswa S2. Apalagi kalau ternyata nanti saat lo lulus nanti, lo lulus TANPA bantuan gue sama sekali. Gue makin nggak bangga sama diri gue. Gue nggak punya kontribusi apapun, kenapa gue harus bangga? Tanpa lo harus S2 atau lo jadi SPV di kantor, gue bisa tetep bangga sama lo kok. Selama lo mau bertahan sama gue, memperjuangkan gue, saling menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lainnya, dan mau berubah. Gue bangga akan diri lo yang begitu.”
“Gue nggak tau mau ngejawab apa untuk itu semua. Gue cuman ngerasa bersyukur aja lo mau mikir begitu.”
“Punya pacar vocalist band, biasa. Punya pacar SPV di kantornya, biasa. Punya pacar mahasiswa S2, biasa. Punya pacar yang mau berjuang, mau bertahan bersama, mau menerima apa adanya bukan adanya apa, dan mau saling mendukung untuk sama-sama berubah itu susah banget ditemuinnya jaman sekarang. Karena susah ditemuinnya, kalau suatu saat gue bisa nemuinnya, gue jadi lebih bangga karena itu.”
Diubah oleh yanagi92055 21-03-2020 16:53
itkgid dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup