Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#589
Part 8
Lelaki itu terus menatap lurus sejauh mata memandang. Kosong, dengan wajah yang memang tak berekspresi. Matanya sembab, bahkan pandangannya tampak kabur. Orang yang lalu-lalang memperhatikannya di sepanjang koridor Rumah Sakit, sama sekali tak membuatnya segan dan malu.

Tak jauh di sisinya, tampak gerak bibir seorang wanita paruh baya yang terus berlekuk ke sana- ke mari, seolah sedang menyanyikan nada-nada sumbang tanpa henti. Lelaki itu tak tahan, ingin rasanya hengkang. Namun, tak ada yang bisa dilakukan. Di lain sisi, ia merasa pantas diadili.

"Mulai sekarang, biar ibu yang nunggu toko. Setelah empat puluh harinya anakmu, kamu sudah harus pergi cari kerja di luar sana! Semua ini salahmu. Istrimu tentu banyak memikirkan beban selama ini atas ulahmu berpangku tangan." Wanita paruh baya itu terus bersuara. Terisak. Menahan pedih bersama puluhan tangis yang luruh sedari beberapa menit lalu. Dia bahkan tak tahu, bahwa anak lelakinya jauh begitu sedih atas semua yang terjadi.

"Maafkan aku, Ibu." Hanya itu balasnya. Lirih, sambil menelan sedikit ludah. Disusul satu butiran bening yang kembali menetes membasahi pipi.

Tak berselang lama, dari kejauhan, terdengar suara anak kecil memanggil, mengalihkan perhatian kedua insan tersebut ke arahnya.

"Diah, rene, Nduk! (Kemari)" Ibu melambai sosok yang berdiri lima meter di depannya, dengan sedikit membungkukkan badan. Cepat-cepat Dani bergegas menuju ibunya, khawatir ibu pingsan. Akan tetapi, tangan Dani langsung ditampik mentah-mentah oleh sang ibu.

"Diaaaahhh, ponakanmu ngguanteng, Diah. Bersih, irunge mbangir (hidungnya mancung) ...." Belum sempat ibu melanjutkan omongan, Mbak Diah sudah menyahut, "Sudah, sudah! Semua kehendak Allah, Bu. Ibu nggak boleh seperti ini."

Ucapan anak sulungnya sama sekali tak menggoyahkan hati sang ibu. Wanita paruh baya itu malah semakin tersedu tak karuan di pelukan anak perempuannya. Sedangkan Dani hanya bisa menundukkan pandang. Ia sedih kehilangan anak pertamanya. Ia bahkan tak tahu bagaimana perasaan Sefti setelah ini. Sang istri masih tak sadarkan diri.

Tak ingin larut dalam keadaan, Dani pun memilih pergi.

****

Semua berlangsung begitu saja. Hari berganti Minggu, dan Minggu-Minggu setelahnya telah berjalan ... Sefti tampak sangat biasa saja. Ia masih bisa tersenyum. Malah, ia yang berkali-kali menguatkan hati ibu dan suaminya. Ia berusaha tegar, meski tak seorang pun tahu bahwa hatinya rapuh dalam tangis. Perempuan itu ingin menunjukkan dirinya baik-baik saja. Ia ingin suasana rumah kembali seperti biasanya.

"Kopi, Mas." Suara Sefti membuat Dani terperangah, yang kala itu sedang duduk seorang diri, di teras rumah.

Masih menunjukkan perhatiannya, sebuah kopi yang masih mengepul disodorkan ke meja oleh Sefti. Dani semakin merasa bersalah kembali, mengingat sang istri baru saja enakan, tapi langsung memberikan pelayanan padanya seperti dulu. Satu lagi yang membuatnya kaget, tumben istrinya memanggil dengakln kata 'Mas'?

"Kamu benar, sudah tak apa?"

"Nggak apa, Mas. Dari kemarin-kemarin sebenarnya udah nggak apa. Cuma aku nurutin apa kata ibu aja, daripada ibu sedih kalo nggak diturutin. He he ...."

Dani terdiam memandang Sefti.

"Lagian, pegel badan suruh rebahan dan duduk terus. Nggak enak, nggak gerak."

"Ya kamu tidur di kamar sendiri saja, lho. Jangan di kamar ibu lagi."

"Heeiiiii, nanti ibu marah."

"Lah, apa salahnya?"

"Aku diwanti-wanti, nggak boleh bukain gawang dulu. Makanya, disuruh tidur di kamar beliau. Ha ha ha ...."

Mendengar itu, Dani sontak turut melepas tawa. Tentu Sefti tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kemudian, ia coba membuka pembicaraan. Masih mengenai masalah yang sama, tentang salah paham waktu lalu, tentang ibu, juga tentang Mbak Diah. Sefti meminta Dani untuk tidak menyahut penjelasannya terlebih dulu, dan Dani menyanggupi. Setelahnya, baru ia berkata panjang lebar, membuat Dani tertegun. Kemudian tak bisa berkata-kata. Ia menyadari semua kesalahannya.

"Seharusnya kamu mengerti, Mas, di sini yang banyak salah pahamnya selalu ibu. Kamu tinggal dengan ibu lebih lama dariku. Kamu paham betul ibu suka berasumsi negatif, dan memang menurut dokter seperti itu salah satu karakternya. Kita di sini harus bersama saling menjaga, saling menguatkan, dan saling menyeimbangkan. Jangan sampai pikiran buruk ibu ikut memperburuk kondisi kejiwaannya."

Dani bergeming sesaat, kemudian menyandarkan kepalanya ke lengan sang istri yang duduk di tangan kursi. Ia kecup lengan istrinya, lalu bersandar lagi. Berkali-kali bibirnya mengutarakan permintaan maaf. Sampai kemudian, ibu mengagetkannya dari ambang pintu.

"Lho, lho, nemplok-nemplok? Ayo turu, Sep. Wis bengi (tidur, Sef. Udah malam)"

Seruan dari ibu pun mengantarkan Sefti masuk ke rumah. Ditinggalkannya sang suami sendiri di teras sana. Padahal, tadinya Dani ingin menjawab pertanyaan Sefti tentang sikap Mbak Diah yang dingin pada sang istri. Eh, nggak jadi. Kini ia kembali terpaku di tempat duduk, dengan pandangan mata menatap jalanan depan yang ramai kendaraan.

Sejak peristiwa keguguran itu, Dani tergiring omongan ibunya bahwa salah satu penyebab janinnya tak kuat adalah, karena asap rokok yang terhirup hidung Sefti. Dani pun bertekad untuk berhenti merokok. Ia ingin hidup sehat, agar Sefti senantiasa hanya menghirup aroma dirinya. Bukan aroma tembakau basah, melainkan udara yang bersih demi kesehatan dirinya, Sefti dan bakal anaknya kelak.

Namun, selalu saja ada kejadian yang membuatnya suntuk dan menggiringnya melanggar tekad untuk berhenti merokok. Terlebih saat tak kuat mendengar sindiran-sindiran sang ibu yang terus menyudutkan. Sebagai jalan tengah, Dani merokok sembunyi sembunyi. Apalagi di kepalanya masih bersemayam pendapat bahwa, 'Rokok adalah satu-satunya hiburan di kala suntuk. Mana mungkin jika dihentikan?'

Uh, benar-benar paradox dengan tekadnya sendiri!

Akibatnya, Dani sering salah tingkah dikarenakan rasa bersalah. Ia sering sembunyi sembunyi bila merokok. Meski sebatang-dua batang yang ia beli di toko sebelah.

Saat berulang kali terpergok sang istri, ia cepat-cepat membuangnya sambil berkata, "Tadi dipaksa Yanto pas ketemu di depan, gak enak kalau gak ikut ngerokok."

"Tahlilan tadi disuguhi rokok, sungkan menolaknya,"

"Ini teman tadi lagi coba rokok yang biasa kubeli, ternyata nggak doyan. Dikasih aku."

Dan masih banyak lagi alasan yang lain. Bermacam-macam, padahal Sefti sama sekali tak menanyakan. Bahkan melarang. Sebab ia mengenal Dani dari awal, ya, memang seorang perokok.

"C*k!" Dani mengumpat spontan.
Ia langsung melempar rokok yang terbakar sampai filternya, lali mengibas-kibaskan tangannya karena panas, sampai-sampai terbatuk keselek asap pembakaran busa filter. Terasa serik di tenggorokan. Namun, ia masih tak kapok, kembali diambilnya puntung rokok di asbak yang masih bisa dimanfaatkan. Dibakarnya dan dihisapnya dalam dalam. Ia merasa, hanya rokok yang bisa menenangkan hatinya yang gundah.

Siang ini, ia bersembunyi di dalam tokonya. Semenjak kematian anaknya, sampai kini ia masih belum buka toko. Begitupun toko Sefti. Semua kegiatan ia liburkan, rencana sampai empat puluh hari kematian anaknya.

Ia masih duduk di kursi, di dalam toko. Matanya masih menatap kosong rak-rak dagangan onderdilnya yang mulai berdebu. Barangnya pun mulai jarang-jarang. Dari depan memang terlihat penuh, karena barang itu dijajar di etalase menutupi ruang kosong di belakangnya. Kenyataannya, berkurang, dan bahkan menipis. Sudah lama pula ia tak kulak barang.

Penjualan memang semakin sepi. Apalagi setelah ditutup begini. Jelas ke depannya bertambah sepi. Ia menyadari beberapa bulan belakangan, para montir di beberapa bengkel yang menjadi langganannya, satu per satu sudah pindah ke toko onderdil baru di pasar.

Dulu, sebelum insiden air ketuban Sefti pecah dan anaknya jadi tak tertolong, pernah sekali, Dani mencoba beli barang di sana, ingin membuktikan informasi Pakdhe Narto, apakah benar toko tersebut menjual produk murah, jauh dengan harga yang dipatok ditokonya? Padahal, Dani sendiri mengambil untung sangatlah tipis, dibanding toko onderdil yang lain.

Lantas, ia coba menanyakan harga salah satu produk original aki motor. Pegawai toko yang melayaninya menjawab, harga jual Rp. 135.000,-. Tentu Dani tergagap. Pantas saja dirinya tidak laku laku menjual aki, karena selama ini, ia menjual dengan harga Rp. 170.000,-. Harga itu sesuai saran supplyer onderdil yang menjual kepadanya Rp. 147.500,- per unit. Sedikit aneh dan tak masuk akal. Masa' harga yang diberi supplyer saja bisa kalah dengan harga jual toko itu. Mengherankan!

Laba yang didapat toko tersebut darimana??

Sejak itu, Dani semakin kalut. Ia menyerah bila harus bersaing dengan toko baru tersebut. Dari segi modal maupun harga, Dani yakin toko itu bagian dari jaringan besar, sehingga bisa menekan harga sedemikian rupa. Tentu saja karena harganya terkesan tak wajar!

Namun, kerap kali ketika Dani mengutarakan niatnya untuk mencari pekerjaan lain, Sefti selalu saja menolak dan mempertahankan toko onderdil keluarganya. Kini, ketika ibu seringkali mengomel di telinga Dani, baru Sefti mengizinkannya cari pekerjaan. Ah, benar-benar membuat Dani sedikit sakit hati.

Lama terdiam, lelaki tersebut kemudian beranjak membuang sisa-sisa pembakaran rokok ke asbak. Ia lelah berjam-jam berkutat di dalam toko. Ah, agaknya ia kembali saja masuk ke rumah. Sefti dan ibu jelas mencari-cari keberadaannya.

Namun, saat ia menutup pintu toko. Ia dikejutkan oleh kedatangan dua orang karyawan Sefti. Dua perempuan itu menghampirinya sambil mengulurkan tangan.

"Lho, lho? Ada apa?" tanya Dani keheranan.

"Mau pamit, Pak. Kami berdua mau resign kerja," jawab salah seorang di antaranya.

Lho?

Mata Dani sontak membelalak mendengar itu.

****

Enver memelorotkan kacamatanya, menatap tajam pada sosok di sebelah istrinya yang baru saja datang. Seorang perempuan berbalut jilbab turqoise, berkaca mata, dengan tubuh lebih pendek kisaran tiga puluh cm dari istrinya, tampak tersenyum simpul menatap.

"Wow, wow, apa kau membawakan madu untukku?" Enver beranjak girang dengan mimik muka setengah menggoda menghampiri keduanya.

"Pertahankan sikap konyolmu, dan kau akan kudepak dari rumah ini!" balas Adel tegas. Matanya menyorot tajam pada sosok suami.

"Heeeeiiii? Aku 'kan cuma bertanya. Jawab, ya atau tidak, selesai. Kenapa sinis begitu?" Senyum Enver menganga, senang memancing amarah perempuan di depannya itu. Keduanya saling beradu pandang. Satu menatap sengit, dan satu menatap lucu.

"Ehm, perkenalkan, Saya Fatimah Qudsyi." Perempuan berjilbab terang itu mengulurkan tangannya pada Enver. Langsung saja lelaki itu menjabat tangan si perempuan. Hal itu semakin memancing kegeraman Adel sampai-sampai ia melepas paksa jabatan tangan keduanya, sambil berkata, "Dia sekarang jadi asisten. Kau jangan macam-macam padanya."

"Ooohh, asisten? Asisten Rumah Tangga secantik ini?" Mata Enver mulai berlarian dari atas ke bawah, lalu kembali lagi.

"BUKAN ASISTEN RUMAH TANGGA!! JANGAN NGAWUR!!!" Suara tinggi Adel terasa melengking di telinga dua orang di depannya. Gadis itu benar-benar ingin menggigit telinga lelaki itu. Kesal tiba-tiba.

"Dia membantuku mengurus anggaran perusahaan. Mengerti?" ucapnya lagi. Sengit.

"Lho? Mengurus anggaran perusahaan namanya asisten kah? Wahahahahaha ... baru paham saya, Bos." Selagi Enver tertawa lebar padanya, Adel mulai menstabilkan rongga dada karena kesal yang tak kunjung usai. Ia tahu, Enver selalu mengejeknya. Ia menarik napas sejenak, kemudian berkata, "Jelas aku menyebutnya begitu, karena tak hanya berhubungan dengan perusahaan saja pekerjaannya."

Mendengar itu, Enver mendadak terdiam. Ia menunggu perkataan apa yang selanjutnya terlontar dari mulut Adel. Namun, Adel tak jua mengatakannya. Malah berganti menertawakannya, lantas berpesan pada gadis berjilbab tersebut, "Nanti suruh supir bawa masuk koper-kopermu. Sekarang kutunjukkan dimana kamarmu!"

Seusai berkata demikian, dengan segera, Adel pergi meninggalkan tempat. Tentu diikuti perempuan bernama Fatimah tersebut. Sementara Enver, masih bergeming dan bertanya-tanya dalam hati.

Rencana apa yang akan diperbuat oleh perempuan ini?

(Bersambung ya)
Diubah oleh shirazy02 20-03-2020 21:06
g.gowang
husnamutia
erman123
erman123 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.