- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#101
Spoiler for Episode 19:
"Baik Mas Adrian. Perkenakan nama saya Rahmayanti, panggil aja Rara..."
Menjelang siang ini aku sedang mengadakan interviewdengan kandidat terkuat yang sudah kami pilih. Beberapa pertanyaan ringan mulai ku lontarkan, Rara cukup lihai menjawab semua pertanyaanku. Sesekali aku menatap Ferdi dan Bella yang juga menatapku, aku memberikan isyarat bahwa semua baik-baik saja.
"Oke kalau begitu, ada pertanyaan lain?" Tanyaku.
"Untuk saat ini belum ada Mas." Jawab Rara.
"Kalau begitu, kamu bisa nunggu sampai jam makan siang. Setelah itu biar Bella yang jelasin tugas-tugas yang ada di sini. Oke, kalau begitu selamat datang di keluarga kedai ini." Kataku.
Aku menjabat tangannya, kemudian aku berlalu menuju tempat Ferdi dan Bella berada. Aku meminta Bella untuk mebuatkan minuman untuk Rara.
"Aman nih berarti?" Tanya Ferdi.
"Aman. Nanti abis kamu istrahat jelasin aja Bel apa aja tugas-tugas di sini, kayak dulu aku ngasih tau kamu aja." Kataku.
"Oke Mas, akhirnya aku punya temen cewe juga di sini." Kata Bella.
Bella pun mengantarkan minuman untuk Rara, aku berjalan menuju mesin kopi untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Ferdi mendekat ke arahku lalu menyenggol tanganku dengan sikunya.
"Scoring berapa cuk?" Tanya Ferdi.
"Enam dari sepuluh." Jawabku tanpa mengalihkan pandangan.
"Lebih dari Bella?" Tanyanya lagi.
"Iya, seenggaknya dia punya hobi ngopi. Beberapa kedai udah pernah dia datengin, termasuk juga ke sini..." aku menatap Ferdi, "katanya sih dulu dia pernah ke sini beberapa bulan pas kita baru buka."
"Serius? Kok gue ngga pernah liat ya?" Kata Ferdi.
"Ya lu hebat banget sih kalau bisa inget semua pelanggan perempuan di kedai kita." Kataku.
Waktu berlalu hingga jam makan siang selesai, Bella sedang menjelaskan kepada Rara apa saja tugas-tugas yang harus ia lakukan, dari urutan pertama hingga ke urutan terakhir, bagaimana prioritas bisa didahulukan, dan bagaimana untuk berkomunikasi dengan pelanggan.
"Mas Adrian..." Rara mendekat ke arahku bersama Bella, "aku boleh coba pas Mas Adrian istirahat?"
Aku menatap ke arah Bella yang berada di belakang Rara, ia memberikan isyarat "OK" dengan tangan kanannya. Aku kembali menatap Rara, "Boleh, biar besok ngga kaget juga."
Aku pun berlalu menuju Bella, "Aku percaya sama kamu Bel."
Bella tersenyum kepadaku, dan aku pun memutuskan untuk istirahat di halaman belakang. Sebelum aku menutup pintu, aku mencoba untuk melihat ke arah mereka sekali lagi. Bella bisa diandalkan, dilihat dari bagaimana ia mengarahkan Rara secara pelan tapi pasti. Aku merasa puas dengan semuanya, lalu aku menutup pintu dan mulai duduk di kursi biasa.
"Gimana Ra, udah jelas semuanya?" Tanya Ferdi.
"Udah Bang Fer, Bella ngejelasin semuanya enak banget jadi gampang ngerti. Oh iya, kalau soal kopi apa aku nanti diajarin sama Mas Adrian? Atau ngga?" Ucap Rara.
"Soal diajarin sih pasti, cuma yang bisa nentuin kapannya ya Adrian sendiri. Anggep aja begini, kita semua bilang kalau kamu udah siap buat pegang kopi. Tapi kalau monster terakhir belum bisa dikalahkan alias Adrian, ya ngga bakalan bisa sampai nanti dia setuju." Jelas Ferdi.
"Monster? Mas Adrian seserem itu ya?" Tanya Rara.
"Jujur aja, aku orangnya suka ngebentak kalau emang ada kesalahan, tapi beda sama Adrian. Dia orangnya kalem dan akan selalu bilang nggapapa, jangan diulangin lagi. Kalau kamu pernah ngeliat Adrian marah sekali aja, berarti kamu orang yang antara beruntung atau apes. Kamu liat kan dia orangnya kayak gimana? Tapi sekalinya dia marah, wah udah deh mending sujud aja di depan dia. Bella pernah ngalamin tuh." Kata Ferdi.
"Kayak koin aja Ra punya dua sisi. Mas Adrian selalu nunjukin satu sisi koinnya aja, dia mencoba sekuat mungkin untuk ngga ngeliatin sisi koin yang satunya. Tapi kalau udah mulai diliatin sisi yang satunya, aku pun nangis seada-adanya Ra." Jelas Bella.
"Nangis Bel? Serius?" Tanya Rara penasaran.
Bella menganggukkan kepalanya, "Mas Adrian itu ibaratnya orang paling baik yang ada di sini, tapi dia juga bisa jadi yang paling jahat. Makanya kalau kamu kerjanya oke, you'll never see the devil inside Mas Adrian."
Rara mengangukkan kepalanya beberapa kali, kemudian mereka mulai melakukan tugasnya masing-masing. Bella memperhatikan dengan seksama bagaimana Rara melakukan tugasnya, karena ini baru perkenalan maka wajar jika ia masih kurang cekatan.
Semakin lama ia sudah mulai terbiasa dengan semuanya, ia sudah mulai memahami apa saja yang bisa dilakukan dan apa saja yang bisa ditinggalkan untuk dikerjakan nanti.
"Kayaknya kamu udah mulai biasa nih Ra." Kata Bella.
"Aku termotivasi sama cerita kamu tadi Bel." Jawab Rara.
"Termotivasi?" Tanya Bella.
"Iya, aku termotivasi untuk beradaptasi secepat mungkin supaya aku ngga perlu ngeliat sisi lain Mas Adrian." Jawabnya lagi.
Ferdi yang mendengar akan hal itu pun tertawa, "Boleh juga tuh Ra jadi motivasi. Ngga salah deh emang punya temen kayak Adrian."
"Eh tapi Mas Adrian ngga masalah kalau dibahas soal monster-monster itu Bang?" Tanya Rara.
"Coba kamu tanya tuh sama orangnya..."
Rara membalikan badannya, ia terkejut ketika melihat aku sudah berdiri di belakangnya. Bella dan Ferdi hanya bisa tertawa melihat apa yang terjadi pada Rara.
"Mas Adrian, maaf maaf..."
"Udah nggapapa..." aku tersenyum padanya, "emang mereka begitu tuh suka ngejelek-jelekin orang di belakang, bilang aku monster lah ini lah."
"Apaan! Emang lu beneran monster kalau udah marah. Bella sampai nangis waktu itu, gue sampai ngompol." Kata Ferdi.
Kami pun tertawa mendengar apa yang Ferdi katakan, entah bagaimana kebenarannya aku pun tidak tau. Aku pun cukup puas dengan usaha Rara untuk beradaptasi, karena sedari aku beristirahat di belakang aku mengintip lewat celah pintu.
"Eh iya Ra, kamu kalau mau pulang sekarang nggapapa kok. Kan kamu mulainya besok." Kataku.
"Kalau aku mau bantuin sampai tutup gimana Mas? Boleh kan?" Tanyanya.
Aku melihat ke arah Bella dan Ferdi, mereka pun setuju. Aku pun memperbolehkan ia untuk ikut membantu sampai kedai ini tutup. Aku memutuskan untuk memeriksa barang-barang yang ada di gudang, karena Bella yang menjaga mesin kopi dan Rara yang menjadi pelayan.
"Satu, dua, tiga..." aku mencatat jumlah di kertas, "aman berarti."
"Eh cuk!..." aku menoleh ke arah Ferdi, "ada yang nyariin tuh, katanya bilang aja dari Ari."
"Ari? Oh oke bentar, tanggung nih." Kataku.
Setelah menyelesaikan semuanya, aku pun keluar dari gudang. Aku melihat Ari berdiri di hadapan etalase makanan, aku pun menghampirinya.
"Eh Ri, send..."
"Bang Adrian..." ia memotong pembicaraanku, "aku percaya sama Bang Adrian."
Aku menatapnya heran, "Maksudnya gimana Ri?"
"Janji dulu, Bang Adrian ngga akan berubah karena aku percaya sama Bang Adrian." Katanya.
"Ya maksudnya gimana..."
"Bang..." Ari kembali memotong pembicaraanku, "janji."
Aku melihat ke arah luar, di sana terparkir mobil yang pernah ku lihat di rumahnya namun bukan mobil Ari. Aku pun berjalan keluar diikuti olehnya, ada orang lain yang dapat ku lihat duduk di kursi belakang dengan samar. Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalam mobil tersebut.
"Mas Adrian masuk ke mobil siapa itu Bel? Tanya Rara.
"Mungkin Bang Ferdi bisa jawab." Kata Bella.
"Kalau ini sih abu-abu, aku juga ngga tau itu siapa." Kata Ferdi.
Meninggalkan rasa penasaran mereka, aku sudah duduk bersampingan dengan seseorang yang ku kenal. Aku terdiam menatap wajahnya, ia pun tersenyum kepadaku.
Entah sudah berapa lama, akhirnya aku keluar dari dalam mobil. Di sampingku sudah berdiri Ari yang sudah menunggu, aku menganggukkan kepalaku kemudian tersenyum. Ari pun membalas senyumku lalu menjabat tanganku, akhirnya ia kembali masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil itu pun pergi meninggalkan tempat ini. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam, tentu saja mata ketiga orang yang penasaran ini mengikuti kemana aku melangkah.
"Siapa tuh tadi?" Tanya Ferdi.
"Itu adiknya Renata." Jawabku singkat.
"Kalau boleh tau Renata itu siapa?" Tanya Rara.
"Ka Renata itu..."
"Pacarku Ra..." aku memotong perkataan Bella, "nanti kamu juga bakalan kenal kok sama dia, biasanya dia suka ke sini juga."
Rara menganggukkan kepalanya sementara Bella dan Ferdi hanya saling menatap. Kami pun memutuskan untuk kembali melakukan tugas, dan tak terasa malam pun tiba. Kami pun berbincang di anak tangga, kegiatan yang biasa kami lakukan seperti biasa.
"Mas, Bang, Bel, aku pulang duluan ya." Ucap Rara.
"Oke, besok jangan kesiangan..." Ferdi memberikan uang kepadanya, "buat hari ini. Setelahnya berlaku gaji perbulan."
Rara bingung setelah menerima uang tersebut, "Loh kan aku mulai kerjanya besok Bang, tapi kok sekarang udah dibayar?"
"Kalau kata Mas Adrian sih terima aja apa yang udah di kasih ke kamu, ngga baik kalau nolak rezeki. Bener kan Mas?" Kata Bella.
Aku mengangukkan kepala, Rara pun menerima uang tersebut. Kemudian ia pergi menggunakan motornya meninggalkan tempat ini. Aku pun menyalakan sebatang rokok, disusul Bella dan Ferdi.
"Eh, emang beneran?" Tanya Ferdi.
"Apanya yang beneran?" Tanyaku bingung.
"Lu akhirnya pacaran sama Renata? Tadi kan lu bilang ke Rara kalau Renata itu pacar lu." Jelas Ferdi.
"Gue nembok aja biar Rara ngga penasaran, masa iya dia baru sehari di sini udah tau kisah gue. Terlalu cepet lah, makanya gue nembok aja bilang kalau Renata pacar gue " Jawabku.
"Ngomong-ngomong tadi pas adiknya Ka Renata dateng, Mas Adrian masuk ke dalem mobil. Ketemu siapa emangnya Mas?" Tanya Bella.
"Oh itu, di dalem mobil itu ada Papanya Renata. Dia mau ngomongin soal bisnis, semenjak dia ke sini tuh kayaknya dia tertarik dengan bisnis kopi. Berhubung di luar penuh makanya ngobrol di mobil aja deh." Jelasku.
"Weh, kalau ngomongin cuan sih gue siap buat nampung." Ucap Ferdi.
"Mata lu cuan! Baru juga omongan biasa belum yang serius banget." Kataku.
Beberapa menit kami habiskan untuk berbincang dengan santai, akhirnya kami pun berpisah di parkiran. Aku melajukan motor dengan santai, hingga akhirnya aku pun tiba. Aku berjalan beberapa langkah lalu duduk seorang diri.
"Kang, jahe merah satu ya." Kataku.
"Siap A, ngga makan sekalian?" Tanyanya.
"Nanti aja Kang." Jawabku.
Aku sedang berada di sebuah warung kopi yang letaknya tidak jauh dari rumahku, entah kenapa aku memilih untuk tidak langsung pulang seperti biasa dan beruntungnya ada tempat untuk ku singgahi.
Ku nyalakan sebatang rokok, ku minum jahe merah secara perlahan, ku buka tas yang ku bawa. Aku kembali membuka buku yang belakangan ini selalu ku bawa di dalam tas, buku pemberian seseorang yang bahkan tidak ku kenal. Sebuah buku yang mungkin saja menyimpan jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini aku pikirkan, dan aku pun kembali membaca buku tersebut.
Beberapa halaman sudah ku baca, masih banyak yang tersisa dan aku pun belum mendapatkan jawabannya. Aku memutuskan untuk memasukkan buku itu ke dalam tas lalu aku meninggalkan tempat ini.
Aku kembali tiba di rumah, ku letakkan sepatuku di tempat biasa lalu aku berjalan menyusuri ruang tamu menuju dapur. Ku ambil minuman botolan seperti biasa lalu aku membawanya naik menuju kamarku.
Krek! Aku sempat meminum sambil menaiki anak tangga, kemudian aku berjalan menuju kamarku. Ku buka pintu kamar dan aku terdiam.
"Adrian..." Renata mengusap matanya beberapa kali, "kamu baru pulang?"
"..."
Renata membangunkan tubuhnya lalu ia duduk di atas kasur, "Adrian, kamu kenapa?"
Aku berjalan menuju Renata, ku letakkan botol minuman yang ku bawa di atas meja. Kemudian aku duduk menghadap Renata, entah kenapa aku tersenyum menatapnya.
"Adrian, kamu..."
Renata menghentikan perkataannya, ia pun terdiam dalam kebingungan. Mungkin ia kebingungan setelah bangun dari tidur, atau mungkin ia kebingungan begitu aku memeluknya. Ku hela nafas cukup panjang dan kemudian ia membalas pelukanku, sesekali ia mengusap-usap pelan punggungku.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Tanyanya pelan.
Beberapa saat aku masih terdiam hingga kemudian aku menggelengkan kepala.
Masalah? Apakah bisa disebut sebuah masalah? Apa syarat untuk menentukan bahwa itu adalah sebuah masalah? Jika memang itu adalah sebuah masalah, kenapa bisa timbul sebuah masalah? Lalu bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?
*
"Meja 2 ya Ra." Kata Bella.
"Oke Bel..." Rara melewatiku, "permisi Mas Adrian."
Aku memandanginya dan mengamati bagaimana ia berinteraksi dengan pelanggan, Rara sudah membiasakan dirinya dan tidak terlihat canggung.
"Cuk..." Ferdi mendekat ke arahku, "Rara udah kalem banget kayaknya."
"Kalem?" Tanyaku.
"Iya, maksud gue udah ngga kaku gitu loh. Padahal baru kemaren perkenalan tapi ini udah luwes banget, jadi heran gue." Jelas Ferdi.
"Ngga paham sih kenapa dia bisa cepet adaptasi, tapi bagus lah berarti pilihan kita bertiga." Kataku.
"Oh iya..." Bella mendekati kami, "apa berarti Rara bakalan diajarin lebih cepet dari aku Mas?"
Aku menatap Bella, "Kalau itu sih kayaknya ngga Bel, biarin aja dia seneng dulu sama semuanya. Kalau dia udah ngeluarin satu pertanyaan pamungkas baru deh aku ajarin kayak kamu dulu."
"Bambang kali ah pamungkas." Ucap Ferdi.
Bella tertawa sejenak, "Pertanyaan pamungkas? Maksudnya?"
"Kamu ngga inget dulu kamu nanya apa sampai akhirnya aku baru mau ngajarin kamu?" Tanyaku.
"Hmm..." sejenak Bella berpikir, "oh kayaknya aku inget, kalau ngga salah aku nanya gampang apa ngga buat kopi."
"Nah, aku bakalan nunggu Rara nanya pertanyaan yang sama." Kataku.
Rara berjalan membawa gelas kotor, secara bersamaan kami menatapnya sambil mengacungkan ibu jari kepadanya dan membuatnya salah tingkah.
Pelanggan terakhir pun telah meninggalkan tempat ini, kami pun memutuskan untuk menutup kedai sambil menyelesaikan tugas kami masing-masing.
Kling! Mata kami tertuju pada pintu, kami semua dapat melihat Renata yang masuk ke dalam.
"Hai Ka Ren, tumben dateng pas udah tutup." Kata Bella.
Renata berjalan mendekat ke arahku.
"Eh Ren, kenalin ini..."
Plak!
Ya, Renata menampar pipiku. Ferdi, Bella dan Rara mematung menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Terlebih Ferdi dan Bella yang tidak menyangka Renata akan melakukan hal tersebut.
"Adrian, kamu jahat!"
***
Menjelang siang ini aku sedang mengadakan interviewdengan kandidat terkuat yang sudah kami pilih. Beberapa pertanyaan ringan mulai ku lontarkan, Rara cukup lihai menjawab semua pertanyaanku. Sesekali aku menatap Ferdi dan Bella yang juga menatapku, aku memberikan isyarat bahwa semua baik-baik saja.
"Oke kalau begitu, ada pertanyaan lain?" Tanyaku.
"Untuk saat ini belum ada Mas." Jawab Rara.
"Kalau begitu, kamu bisa nunggu sampai jam makan siang. Setelah itu biar Bella yang jelasin tugas-tugas yang ada di sini. Oke, kalau begitu selamat datang di keluarga kedai ini." Kataku.
Aku menjabat tangannya, kemudian aku berlalu menuju tempat Ferdi dan Bella berada. Aku meminta Bella untuk mebuatkan minuman untuk Rara.
"Aman nih berarti?" Tanya Ferdi.
"Aman. Nanti abis kamu istrahat jelasin aja Bel apa aja tugas-tugas di sini, kayak dulu aku ngasih tau kamu aja." Kataku.
"Oke Mas, akhirnya aku punya temen cewe juga di sini." Kata Bella.
Bella pun mengantarkan minuman untuk Rara, aku berjalan menuju mesin kopi untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Ferdi mendekat ke arahku lalu menyenggol tanganku dengan sikunya.
"Scoring berapa cuk?" Tanya Ferdi.
"Enam dari sepuluh." Jawabku tanpa mengalihkan pandangan.
"Lebih dari Bella?" Tanyanya lagi.
"Iya, seenggaknya dia punya hobi ngopi. Beberapa kedai udah pernah dia datengin, termasuk juga ke sini..." aku menatap Ferdi, "katanya sih dulu dia pernah ke sini beberapa bulan pas kita baru buka."
"Serius? Kok gue ngga pernah liat ya?" Kata Ferdi.
"Ya lu hebat banget sih kalau bisa inget semua pelanggan perempuan di kedai kita." Kataku.
Waktu berlalu hingga jam makan siang selesai, Bella sedang menjelaskan kepada Rara apa saja tugas-tugas yang harus ia lakukan, dari urutan pertama hingga ke urutan terakhir, bagaimana prioritas bisa didahulukan, dan bagaimana untuk berkomunikasi dengan pelanggan.
"Mas Adrian..." Rara mendekat ke arahku bersama Bella, "aku boleh coba pas Mas Adrian istirahat?"
Aku menatap ke arah Bella yang berada di belakang Rara, ia memberikan isyarat "OK" dengan tangan kanannya. Aku kembali menatap Rara, "Boleh, biar besok ngga kaget juga."
Aku pun berlalu menuju Bella, "Aku percaya sama kamu Bel."
Bella tersenyum kepadaku, dan aku pun memutuskan untuk istirahat di halaman belakang. Sebelum aku menutup pintu, aku mencoba untuk melihat ke arah mereka sekali lagi. Bella bisa diandalkan, dilihat dari bagaimana ia mengarahkan Rara secara pelan tapi pasti. Aku merasa puas dengan semuanya, lalu aku menutup pintu dan mulai duduk di kursi biasa.
"Gimana Ra, udah jelas semuanya?" Tanya Ferdi.
"Udah Bang Fer, Bella ngejelasin semuanya enak banget jadi gampang ngerti. Oh iya, kalau soal kopi apa aku nanti diajarin sama Mas Adrian? Atau ngga?" Ucap Rara.
"Soal diajarin sih pasti, cuma yang bisa nentuin kapannya ya Adrian sendiri. Anggep aja begini, kita semua bilang kalau kamu udah siap buat pegang kopi. Tapi kalau monster terakhir belum bisa dikalahkan alias Adrian, ya ngga bakalan bisa sampai nanti dia setuju." Jelas Ferdi.
"Monster? Mas Adrian seserem itu ya?" Tanya Rara.
"Jujur aja, aku orangnya suka ngebentak kalau emang ada kesalahan, tapi beda sama Adrian. Dia orangnya kalem dan akan selalu bilang nggapapa, jangan diulangin lagi. Kalau kamu pernah ngeliat Adrian marah sekali aja, berarti kamu orang yang antara beruntung atau apes. Kamu liat kan dia orangnya kayak gimana? Tapi sekalinya dia marah, wah udah deh mending sujud aja di depan dia. Bella pernah ngalamin tuh." Kata Ferdi.
"Kayak koin aja Ra punya dua sisi. Mas Adrian selalu nunjukin satu sisi koinnya aja, dia mencoba sekuat mungkin untuk ngga ngeliatin sisi koin yang satunya. Tapi kalau udah mulai diliatin sisi yang satunya, aku pun nangis seada-adanya Ra." Jelas Bella.
"Nangis Bel? Serius?" Tanya Rara penasaran.
Bella menganggukkan kepalanya, "Mas Adrian itu ibaratnya orang paling baik yang ada di sini, tapi dia juga bisa jadi yang paling jahat. Makanya kalau kamu kerjanya oke, you'll never see the devil inside Mas Adrian."
Rara mengangukkan kepalanya beberapa kali, kemudian mereka mulai melakukan tugasnya masing-masing. Bella memperhatikan dengan seksama bagaimana Rara melakukan tugasnya, karena ini baru perkenalan maka wajar jika ia masih kurang cekatan.
Semakin lama ia sudah mulai terbiasa dengan semuanya, ia sudah mulai memahami apa saja yang bisa dilakukan dan apa saja yang bisa ditinggalkan untuk dikerjakan nanti.
"Kayaknya kamu udah mulai biasa nih Ra." Kata Bella.
"Aku termotivasi sama cerita kamu tadi Bel." Jawab Rara.
"Termotivasi?" Tanya Bella.
"Iya, aku termotivasi untuk beradaptasi secepat mungkin supaya aku ngga perlu ngeliat sisi lain Mas Adrian." Jawabnya lagi.
Ferdi yang mendengar akan hal itu pun tertawa, "Boleh juga tuh Ra jadi motivasi. Ngga salah deh emang punya temen kayak Adrian."
"Eh tapi Mas Adrian ngga masalah kalau dibahas soal monster-monster itu Bang?" Tanya Rara.
"Coba kamu tanya tuh sama orangnya..."
Rara membalikan badannya, ia terkejut ketika melihat aku sudah berdiri di belakangnya. Bella dan Ferdi hanya bisa tertawa melihat apa yang terjadi pada Rara.
"Mas Adrian, maaf maaf..."
"Udah nggapapa..." aku tersenyum padanya, "emang mereka begitu tuh suka ngejelek-jelekin orang di belakang, bilang aku monster lah ini lah."
"Apaan! Emang lu beneran monster kalau udah marah. Bella sampai nangis waktu itu, gue sampai ngompol." Kata Ferdi.
Kami pun tertawa mendengar apa yang Ferdi katakan, entah bagaimana kebenarannya aku pun tidak tau. Aku pun cukup puas dengan usaha Rara untuk beradaptasi, karena sedari aku beristirahat di belakang aku mengintip lewat celah pintu.
"Eh iya Ra, kamu kalau mau pulang sekarang nggapapa kok. Kan kamu mulainya besok." Kataku.
"Kalau aku mau bantuin sampai tutup gimana Mas? Boleh kan?" Tanyanya.
Aku melihat ke arah Bella dan Ferdi, mereka pun setuju. Aku pun memperbolehkan ia untuk ikut membantu sampai kedai ini tutup. Aku memutuskan untuk memeriksa barang-barang yang ada di gudang, karena Bella yang menjaga mesin kopi dan Rara yang menjadi pelayan.
"Satu, dua, tiga..." aku mencatat jumlah di kertas, "aman berarti."
"Eh cuk!..." aku menoleh ke arah Ferdi, "ada yang nyariin tuh, katanya bilang aja dari Ari."
"Ari? Oh oke bentar, tanggung nih." Kataku.
Setelah menyelesaikan semuanya, aku pun keluar dari gudang. Aku melihat Ari berdiri di hadapan etalase makanan, aku pun menghampirinya.
"Eh Ri, send..."
"Bang Adrian..." ia memotong pembicaraanku, "aku percaya sama Bang Adrian."
Aku menatapnya heran, "Maksudnya gimana Ri?"
"Janji dulu, Bang Adrian ngga akan berubah karena aku percaya sama Bang Adrian." Katanya.
"Ya maksudnya gimana..."
"Bang..." Ari kembali memotong pembicaraanku, "janji."
Aku melihat ke arah luar, di sana terparkir mobil yang pernah ku lihat di rumahnya namun bukan mobil Ari. Aku pun berjalan keluar diikuti olehnya, ada orang lain yang dapat ku lihat duduk di kursi belakang dengan samar. Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalam mobil tersebut.
"Mas Adrian masuk ke mobil siapa itu Bel? Tanya Rara.
"Mungkin Bang Ferdi bisa jawab." Kata Bella.
"Kalau ini sih abu-abu, aku juga ngga tau itu siapa." Kata Ferdi.
Meninggalkan rasa penasaran mereka, aku sudah duduk bersampingan dengan seseorang yang ku kenal. Aku terdiam menatap wajahnya, ia pun tersenyum kepadaku.
Entah sudah berapa lama, akhirnya aku keluar dari dalam mobil. Di sampingku sudah berdiri Ari yang sudah menunggu, aku menganggukkan kepalaku kemudian tersenyum. Ari pun membalas senyumku lalu menjabat tanganku, akhirnya ia kembali masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil itu pun pergi meninggalkan tempat ini. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam, tentu saja mata ketiga orang yang penasaran ini mengikuti kemana aku melangkah.
"Siapa tuh tadi?" Tanya Ferdi.
"Itu adiknya Renata." Jawabku singkat.
"Kalau boleh tau Renata itu siapa?" Tanya Rara.
"Ka Renata itu..."
"Pacarku Ra..." aku memotong perkataan Bella, "nanti kamu juga bakalan kenal kok sama dia, biasanya dia suka ke sini juga."
Rara menganggukkan kepalanya sementara Bella dan Ferdi hanya saling menatap. Kami pun memutuskan untuk kembali melakukan tugas, dan tak terasa malam pun tiba. Kami pun berbincang di anak tangga, kegiatan yang biasa kami lakukan seperti biasa.
"Mas, Bang, Bel, aku pulang duluan ya." Ucap Rara.
"Oke, besok jangan kesiangan..." Ferdi memberikan uang kepadanya, "buat hari ini. Setelahnya berlaku gaji perbulan."
Rara bingung setelah menerima uang tersebut, "Loh kan aku mulai kerjanya besok Bang, tapi kok sekarang udah dibayar?"
"Kalau kata Mas Adrian sih terima aja apa yang udah di kasih ke kamu, ngga baik kalau nolak rezeki. Bener kan Mas?" Kata Bella.
Aku mengangukkan kepala, Rara pun menerima uang tersebut. Kemudian ia pergi menggunakan motornya meninggalkan tempat ini. Aku pun menyalakan sebatang rokok, disusul Bella dan Ferdi.
"Eh, emang beneran?" Tanya Ferdi.
"Apanya yang beneran?" Tanyaku bingung.
"Lu akhirnya pacaran sama Renata? Tadi kan lu bilang ke Rara kalau Renata itu pacar lu." Jelas Ferdi.
"Gue nembok aja biar Rara ngga penasaran, masa iya dia baru sehari di sini udah tau kisah gue. Terlalu cepet lah, makanya gue nembok aja bilang kalau Renata pacar gue " Jawabku.
"Ngomong-ngomong tadi pas adiknya Ka Renata dateng, Mas Adrian masuk ke dalem mobil. Ketemu siapa emangnya Mas?" Tanya Bella.
"Oh itu, di dalem mobil itu ada Papanya Renata. Dia mau ngomongin soal bisnis, semenjak dia ke sini tuh kayaknya dia tertarik dengan bisnis kopi. Berhubung di luar penuh makanya ngobrol di mobil aja deh." Jelasku.
"Weh, kalau ngomongin cuan sih gue siap buat nampung." Ucap Ferdi.
"Mata lu cuan! Baru juga omongan biasa belum yang serius banget." Kataku.
Beberapa menit kami habiskan untuk berbincang dengan santai, akhirnya kami pun berpisah di parkiran. Aku melajukan motor dengan santai, hingga akhirnya aku pun tiba. Aku berjalan beberapa langkah lalu duduk seorang diri.
"Kang, jahe merah satu ya." Kataku.
"Siap A, ngga makan sekalian?" Tanyanya.
"Nanti aja Kang." Jawabku.
Aku sedang berada di sebuah warung kopi yang letaknya tidak jauh dari rumahku, entah kenapa aku memilih untuk tidak langsung pulang seperti biasa dan beruntungnya ada tempat untuk ku singgahi.
Ku nyalakan sebatang rokok, ku minum jahe merah secara perlahan, ku buka tas yang ku bawa. Aku kembali membuka buku yang belakangan ini selalu ku bawa di dalam tas, buku pemberian seseorang yang bahkan tidak ku kenal. Sebuah buku yang mungkin saja menyimpan jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini aku pikirkan, dan aku pun kembali membaca buku tersebut.
Beberapa halaman sudah ku baca, masih banyak yang tersisa dan aku pun belum mendapatkan jawabannya. Aku memutuskan untuk memasukkan buku itu ke dalam tas lalu aku meninggalkan tempat ini.
Aku kembali tiba di rumah, ku letakkan sepatuku di tempat biasa lalu aku berjalan menyusuri ruang tamu menuju dapur. Ku ambil minuman botolan seperti biasa lalu aku membawanya naik menuju kamarku.
Krek! Aku sempat meminum sambil menaiki anak tangga, kemudian aku berjalan menuju kamarku. Ku buka pintu kamar dan aku terdiam.
"Adrian..." Renata mengusap matanya beberapa kali, "kamu baru pulang?"
"..."
Renata membangunkan tubuhnya lalu ia duduk di atas kasur, "Adrian, kamu kenapa?"
Aku berjalan menuju Renata, ku letakkan botol minuman yang ku bawa di atas meja. Kemudian aku duduk menghadap Renata, entah kenapa aku tersenyum menatapnya.
"Adrian, kamu..."
Renata menghentikan perkataannya, ia pun terdiam dalam kebingungan. Mungkin ia kebingungan setelah bangun dari tidur, atau mungkin ia kebingungan begitu aku memeluknya. Ku hela nafas cukup panjang dan kemudian ia membalas pelukanku, sesekali ia mengusap-usap pelan punggungku.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Tanyanya pelan.
Beberapa saat aku masih terdiam hingga kemudian aku menggelengkan kepala.
Masalah? Apakah bisa disebut sebuah masalah? Apa syarat untuk menentukan bahwa itu adalah sebuah masalah? Jika memang itu adalah sebuah masalah, kenapa bisa timbul sebuah masalah? Lalu bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?
*
"Meja 2 ya Ra." Kata Bella.
"Oke Bel..." Rara melewatiku, "permisi Mas Adrian."
Aku memandanginya dan mengamati bagaimana ia berinteraksi dengan pelanggan, Rara sudah membiasakan dirinya dan tidak terlihat canggung.
"Cuk..." Ferdi mendekat ke arahku, "Rara udah kalem banget kayaknya."
"Kalem?" Tanyaku.
"Iya, maksud gue udah ngga kaku gitu loh. Padahal baru kemaren perkenalan tapi ini udah luwes banget, jadi heran gue." Jelas Ferdi.
"Ngga paham sih kenapa dia bisa cepet adaptasi, tapi bagus lah berarti pilihan kita bertiga." Kataku.
"Oh iya..." Bella mendekati kami, "apa berarti Rara bakalan diajarin lebih cepet dari aku Mas?"
Aku menatap Bella, "Kalau itu sih kayaknya ngga Bel, biarin aja dia seneng dulu sama semuanya. Kalau dia udah ngeluarin satu pertanyaan pamungkas baru deh aku ajarin kayak kamu dulu."
"Bambang kali ah pamungkas." Ucap Ferdi.
Bella tertawa sejenak, "Pertanyaan pamungkas? Maksudnya?"
"Kamu ngga inget dulu kamu nanya apa sampai akhirnya aku baru mau ngajarin kamu?" Tanyaku.
"Hmm..." sejenak Bella berpikir, "oh kayaknya aku inget, kalau ngga salah aku nanya gampang apa ngga buat kopi."
"Nah, aku bakalan nunggu Rara nanya pertanyaan yang sama." Kataku.
Rara berjalan membawa gelas kotor, secara bersamaan kami menatapnya sambil mengacungkan ibu jari kepadanya dan membuatnya salah tingkah.
Pelanggan terakhir pun telah meninggalkan tempat ini, kami pun memutuskan untuk menutup kedai sambil menyelesaikan tugas kami masing-masing.
Kling! Mata kami tertuju pada pintu, kami semua dapat melihat Renata yang masuk ke dalam.
"Hai Ka Ren, tumben dateng pas udah tutup." Kata Bella.
Renata berjalan mendekat ke arahku.
"Eh Ren, kenalin ini..."
Plak!
Ya, Renata menampar pipiku. Ferdi, Bella dan Rara mematung menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Terlebih Ferdi dan Bella yang tidak menyangka Renata akan melakukan hal tersebut.
"Adrian, kamu jahat!"
***
oktavp dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas