- Beranda
- Stories from the Heart
Cerbung Gadis yang Dijuluki Penyihir
...
TS
lin680
Cerbung Gadis yang Dijuluki Penyihir
Part 1

"Awas dia datang, tuh!" Gadis berbandana merah muda memajukan mulut, mengarah pada seorang siswi yang berjalan menunduk, melewati mereka di halaman.
Kepala gadis berkacamata yang disebut itu makin menekuk, pandanganya hanya tertuju pada sekitar ujung kakinya. Bola mata kanan bergerak liar melihat sekitar dari ujung mata, sementara mata kirinya tertutup rambut yang menjuntai pada separuh wajah.
"Kell, kapan, ya, anehnya anak itu hilang?"
"Jangan ngarep, loe. Sampe kiamat juga bakal kek gitu terus. Coba deh ajak ngomong, pasti gagap, hahaa." Shashi, yang tengah mengisap permen tangkai menjawab pertanyaan Jessica pada Kelly.
Tiga gadis itu sahabat se-geng, gadis berpita bernama Kelly-lah pemimpinnya, mereka bagai lem dan perangko, yang tak terpisah, pun tak pernah melewati kesempatan mengejek gadis pemalu itu.
Langkah Tatiana dipercepat saat mendekati kelas.
"Ups, sorry, jangan sihir gue, ya!" Siswa bertubuh gempal mengangkat dua tangan, ia yang akan keluar kelas hampir menubruk gadis itu.
Gerak Tatiana terhenti sejenak, lantas menyela Rendra, terburu-buru masuk. Ia duduk di bangku deretan tengah belakang.
"Takut juga loe disihir, Ren? Cemen." Sashi muncul, menyahut ucapan Rendra sembari melempar tangkai permennya sembarang.
"Ya, iyalah, gue manusia. Emang elo, biasa temenan sama dedemit." Rendra kabur saat pukulan keras gadis itu, mengenai lengannya.
"Hai, Tatiana," sapa seorang lelaki berkacamata yang menyimpan tas pada bangku sebelahnya. Ia Adi, teman sebangku Tatiana, sifatnya sebelas duabelas. Hanya Adi masih bisa menyapa, meski lebih banyak diam.
"Ha-hai." Suara gadis berbibir tipis itu serak, seperti tercekat di tenggorokan.
"Hahahaa," tawa kencang langsung muncul dari gadis berkuncir satu, diikuti beberapa siswa lain yang ada di kelas.
"Loe harus belajar ngomong, Tiana. Kebanyakan diem, jadi susah, kan, bersuara." Sashi tak melewatkan menghibur pagi dengan menertawakannya.
"Oi, guys. Kalian kayak baru liat. Biasa aja kali. Banyak bahan candaan lain yang enak didenger." Ucapan siswa tinggi, berwajah manis itu sekejap mengheningkan suara. Itu Bagas, ketua kelas ini, banyak diidolakan para siswi. Selain kapten baru di tim basket, ia juga aktif di ekskul Bahasa, baru dilantik sebagai anggota tim kreatif majalah sekolah.
Tatiana berpura tak mendengar semua, ia terus menunduk, melihat buku sembarang yang dikeluarkan dari tas. Dua tangan bertaut di bawah meja, jemarinya berkeringat saling meremas kasar.
Sudah semester kedua bersekolah di sini, tapi ia masih merasa seperti siswi baru. Olokan teman-teman membuat dirinya makin menutup diri.
Hadir mendekati jam pelajaran dimulai tak juga membantunya menghindari bully. Satu-satunya harapan, guru segera datang, itu akan membuatnya sedikit tenang.
Ia menarik napas lega saat bel berbunyi, semua yang ribut terdiam di tempat duduk masing-masing. Guru sekarang adalah Pak Danu, seorang yang sangat tegas dan disiplin.
Usai salam dan doa sebelum pelajaran, pandangannya tegas ke setiap murid.
"Keluarkan tugas, silakan bersiap presentasi di depan."
Di awal mulai saja semua terlihat gugup. Lelaki empat puluh tahun itu tanpa menunggu, memanggil nama murid yang maju pertama.
Tugas membuat biografi para tokoh nasional, yang siap menerima tiga pertanyaan dari siswa lain. Tatiana langsung berkeringat dingin, selain ia membenci maju dan bicara di depan, buku tugas pelajaran Pak Danu pun ketinggalan.
"Tatiana!" Dua kali nama itu dipanggil, tak digubris.
Lelaki bertubuh besar itu mendekat, memukul meja Tatiana dengan penggaris kayu. Gadis itu terlonjak berdiri. Mata dan mulutnya membulat sempurna.
"Mana tugasnya?" Nada suara Pak Danu melemah, tapi tegas.
"K-ke-tingg-"
"Ketinggalan?!" putus lelaki itu, keras dan mengagetkan.
Tubuh Tatiana kian menegang. Kelas pun sunyi, sebagian yang akan menyembur tawa melihat reaksi gadis itu, segera menangkup mulut. Mereka tak berani main-main kalau guru satu ini sedang marah.
"Kalian tau, apa akibat berani meremehkan pelajaran saya?"
Hening, semua berpura menatap buku masing-masing.
Tatiana masih berdiri di tempat. Teman sebangku menarik-narik roknya, mengisyaratkan ia untuk duduk.
"Jangan duduk!" Belum pantatnya menyentuh bangku, gadis itu kembali cepat berdiri. "Bersihkan WC selama jam pelajaran ini. Sekarang!!"
"Ada lagi yang tidak mengerjakan? Atau bukunya ketinggalan, silakan bersama Tatiana," lanjut Pak Danu sembari menyapu pandangan ke seluruh siswa.
Saat tak ada yang melanggar lagi, ia kembali melanjutkan pelajaran, setelah memerintah Tatiana mengerjakan hukumannya.
Gadis itu melangkah gontai keluar.
"Aww!" Tubuhnya menubruk meja, saat hampir tersungkur. Seorang siswi memasang kaki begitu ia lewat tadi.
"Jatuh sendiri, Pak," elak Sashi saat Pak Danu melihat padanya.
Gemuruh tawa mengantar gadis kikuk itu keluar. Tatiana menyapu air mata yang luruh, terus menunduk hingga beberapa tetes jatuh ke dada seragam putihnya. Langkahnya berjalan cepat menuju toilet yang terletak di sudut kelas XII.
Satu jam berlalu ....
Ruang berpintu lima itu telah bersih, beraroma karbol. Tubuh Tatiana bermandi peluh, ia duduk bersandar pada dinding toilet kelima--yang terakhir dibersihkan.
"Loe pake, kan, Kell?"
"Iyalah, gila kalau enggak, bisa putus sekolah gue."
"Hahahaa, loe liciknya nggak bisa dilawan."
"Iya dong. Kelly gitu, loh. Gak pinter ngeles habis gue dibully."
"Sampe dikeluarin sekolah, bakal parah!!"
Suara dua orang siswi terdengar seru, sesekali menceritakan sesuatu yang tak pantas, membuat Tatiana menutup telinga.
Tiba-tiba pintu di tempatnya terdorong kencang. Tatiana sontak berdiri, tangannya bergetar memperbaiki letak kacamata yang melorot.
"Hei, ngapain loe di sini? Ngupingin kita, ya?!" Kelly menarik leher seragamnya. Tatiana makin tak berani memandang.
"Bahaya, Kell, dia pasti denger semua," timpal Jessica tak tenang.
"Engg-enggak de-dengar."
"Bohong! Telinga loe masih berfungsi, kan?" Gadis berkulit putih itu mengambil kacamata Tatiana, menjatuhkan dan menginjaknya hingga retak.
"Awas loe, Penyihir. Berani bilang-bilang, akan lebih parah dari ini!" Kelly mengajak Jessica kembali ke kelas.
"Sebentar, Kell. Gue kebelet." Jessica setengah berlari masuk ke toilet sebelah.
"Buruan, hilang, nih, mood gue!" Kelly meneriaki temannya, lalu ia kembali mendekati Tatiana yang berjongkok, tangan gadis itu gemetar merayap lantai, berusaha memungut kacamatanya.
"Awas loe berani macem-macem! Pikirin aja cara ngerubah wajah jelek loe itu." Kelly mengentakkan kaki ke lantai, tepat di sisi tubuh Tatiana. Gertakan yang membuat gadis itu makin takut.
Tawa kemenangan dua gadis menawan kemudian menggema, terdengar sampai mereka keluar lorong.
Tatiana menyibak rambut ke belakang telinga, terlihat tanda hitam cukup besar di antara alis dan mata kirinya. Tangannya gemetar mengangkat kacamata silinder itu mendekat ke wajah.
Pandangannya membayang, seakan objek lebih dari dua, membuat jarinya sulit menyentuh dengan tepat. Air matanya masih turun deras, tanpa suara. Ia ingin sekali pulang, menelungkupkan wajah di bantal, tempat ternyaman saat jiwanya perih begini.
Cerita by me (Revisi Tatiana)
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5

"Awas dia datang, tuh!" Gadis berbandana merah muda memajukan mulut, mengarah pada seorang siswi yang berjalan menunduk, melewati mereka di halaman.
Kepala gadis berkacamata yang disebut itu makin menekuk, pandanganya hanya tertuju pada sekitar ujung kakinya. Bola mata kanan bergerak liar melihat sekitar dari ujung mata, sementara mata kirinya tertutup rambut yang menjuntai pada separuh wajah.
"Kell, kapan, ya, anehnya anak itu hilang?"
"Jangan ngarep, loe. Sampe kiamat juga bakal kek gitu terus. Coba deh ajak ngomong, pasti gagap, hahaa." Shashi, yang tengah mengisap permen tangkai menjawab pertanyaan Jessica pada Kelly.
Tiga gadis itu sahabat se-geng, gadis berpita bernama Kelly-lah pemimpinnya, mereka bagai lem dan perangko, yang tak terpisah, pun tak pernah melewati kesempatan mengejek gadis pemalu itu.
Langkah Tatiana dipercepat saat mendekati kelas.
"Ups, sorry, jangan sihir gue, ya!" Siswa bertubuh gempal mengangkat dua tangan, ia yang akan keluar kelas hampir menubruk gadis itu.
Gerak Tatiana terhenti sejenak, lantas menyela Rendra, terburu-buru masuk. Ia duduk di bangku deretan tengah belakang.
"Takut juga loe disihir, Ren? Cemen." Sashi muncul, menyahut ucapan Rendra sembari melempar tangkai permennya sembarang.
"Ya, iyalah, gue manusia. Emang elo, biasa temenan sama dedemit." Rendra kabur saat pukulan keras gadis itu, mengenai lengannya.
"Hai, Tatiana," sapa seorang lelaki berkacamata yang menyimpan tas pada bangku sebelahnya. Ia Adi, teman sebangku Tatiana, sifatnya sebelas duabelas. Hanya Adi masih bisa menyapa, meski lebih banyak diam.
"Ha-hai." Suara gadis berbibir tipis itu serak, seperti tercekat di tenggorokan.
"Hahahaa," tawa kencang langsung muncul dari gadis berkuncir satu, diikuti beberapa siswa lain yang ada di kelas.
"Loe harus belajar ngomong, Tiana. Kebanyakan diem, jadi susah, kan, bersuara." Sashi tak melewatkan menghibur pagi dengan menertawakannya.
"Oi, guys. Kalian kayak baru liat. Biasa aja kali. Banyak bahan candaan lain yang enak didenger." Ucapan siswa tinggi, berwajah manis itu sekejap mengheningkan suara. Itu Bagas, ketua kelas ini, banyak diidolakan para siswi. Selain kapten baru di tim basket, ia juga aktif di ekskul Bahasa, baru dilantik sebagai anggota tim kreatif majalah sekolah.
Tatiana berpura tak mendengar semua, ia terus menunduk, melihat buku sembarang yang dikeluarkan dari tas. Dua tangan bertaut di bawah meja, jemarinya berkeringat saling meremas kasar.
Sudah semester kedua bersekolah di sini, tapi ia masih merasa seperti siswi baru. Olokan teman-teman membuat dirinya makin menutup diri.
Hadir mendekati jam pelajaran dimulai tak juga membantunya menghindari bully. Satu-satunya harapan, guru segera datang, itu akan membuatnya sedikit tenang.
Ia menarik napas lega saat bel berbunyi, semua yang ribut terdiam di tempat duduk masing-masing. Guru sekarang adalah Pak Danu, seorang yang sangat tegas dan disiplin.
Usai salam dan doa sebelum pelajaran, pandangannya tegas ke setiap murid.
"Keluarkan tugas, silakan bersiap presentasi di depan."
Di awal mulai saja semua terlihat gugup. Lelaki empat puluh tahun itu tanpa menunggu, memanggil nama murid yang maju pertama.
Tugas membuat biografi para tokoh nasional, yang siap menerima tiga pertanyaan dari siswa lain. Tatiana langsung berkeringat dingin, selain ia membenci maju dan bicara di depan, buku tugas pelajaran Pak Danu pun ketinggalan.
"Tatiana!" Dua kali nama itu dipanggil, tak digubris.
Lelaki bertubuh besar itu mendekat, memukul meja Tatiana dengan penggaris kayu. Gadis itu terlonjak berdiri. Mata dan mulutnya membulat sempurna.
"Mana tugasnya?" Nada suara Pak Danu melemah, tapi tegas.
"K-ke-tingg-"
"Ketinggalan?!" putus lelaki itu, keras dan mengagetkan.
Tubuh Tatiana kian menegang. Kelas pun sunyi, sebagian yang akan menyembur tawa melihat reaksi gadis itu, segera menangkup mulut. Mereka tak berani main-main kalau guru satu ini sedang marah.
"Kalian tau, apa akibat berani meremehkan pelajaran saya?"
Hening, semua berpura menatap buku masing-masing.
Tatiana masih berdiri di tempat. Teman sebangku menarik-narik roknya, mengisyaratkan ia untuk duduk.
"Jangan duduk!" Belum pantatnya menyentuh bangku, gadis itu kembali cepat berdiri. "Bersihkan WC selama jam pelajaran ini. Sekarang!!"
"Ada lagi yang tidak mengerjakan? Atau bukunya ketinggalan, silakan bersama Tatiana," lanjut Pak Danu sembari menyapu pandangan ke seluruh siswa.
Saat tak ada yang melanggar lagi, ia kembali melanjutkan pelajaran, setelah memerintah Tatiana mengerjakan hukumannya.
Gadis itu melangkah gontai keluar.
"Aww!" Tubuhnya menubruk meja, saat hampir tersungkur. Seorang siswi memasang kaki begitu ia lewat tadi.
"Jatuh sendiri, Pak," elak Sashi saat Pak Danu melihat padanya.
Gemuruh tawa mengantar gadis kikuk itu keluar. Tatiana menyapu air mata yang luruh, terus menunduk hingga beberapa tetes jatuh ke dada seragam putihnya. Langkahnya berjalan cepat menuju toilet yang terletak di sudut kelas XII.
Satu jam berlalu ....
Ruang berpintu lima itu telah bersih, beraroma karbol. Tubuh Tatiana bermandi peluh, ia duduk bersandar pada dinding toilet kelima--yang terakhir dibersihkan.
"Loe pake, kan, Kell?"
"Iyalah, gila kalau enggak, bisa putus sekolah gue."
"Hahahaa, loe liciknya nggak bisa dilawan."
"Iya dong. Kelly gitu, loh. Gak pinter ngeles habis gue dibully."
"Sampe dikeluarin sekolah, bakal parah!!"
Suara dua orang siswi terdengar seru, sesekali menceritakan sesuatu yang tak pantas, membuat Tatiana menutup telinga.
Tiba-tiba pintu di tempatnya terdorong kencang. Tatiana sontak berdiri, tangannya bergetar memperbaiki letak kacamata yang melorot.
"Hei, ngapain loe di sini? Ngupingin kita, ya?!" Kelly menarik leher seragamnya. Tatiana makin tak berani memandang.
"Bahaya, Kell, dia pasti denger semua," timpal Jessica tak tenang.
"Engg-enggak de-dengar."
"Bohong! Telinga loe masih berfungsi, kan?" Gadis berkulit putih itu mengambil kacamata Tatiana, menjatuhkan dan menginjaknya hingga retak.
"Awas loe, Penyihir. Berani bilang-bilang, akan lebih parah dari ini!" Kelly mengajak Jessica kembali ke kelas.
"Sebentar, Kell. Gue kebelet." Jessica setengah berlari masuk ke toilet sebelah.
"Buruan, hilang, nih, mood gue!" Kelly meneriaki temannya, lalu ia kembali mendekati Tatiana yang berjongkok, tangan gadis itu gemetar merayap lantai, berusaha memungut kacamatanya.
"Awas loe berani macem-macem! Pikirin aja cara ngerubah wajah jelek loe itu." Kelly mengentakkan kaki ke lantai, tepat di sisi tubuh Tatiana. Gertakan yang membuat gadis itu makin takut.
Tawa kemenangan dua gadis menawan kemudian menggema, terdengar sampai mereka keluar lorong.
Tatiana menyibak rambut ke belakang telinga, terlihat tanda hitam cukup besar di antara alis dan mata kirinya. Tangannya gemetar mengangkat kacamata silinder itu mendekat ke wajah.
Pandangannya membayang, seakan objek lebih dari dua, membuat jarinya sulit menyentuh dengan tepat. Air matanya masih turun deras, tanpa suara. Ia ingin sekali pulang, menelungkupkan wajah di bantal, tempat ternyaman saat jiwanya perih begini.
Cerita by me (Revisi Tatiana)
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Diubah oleh lin680 21-03-2020 16:32
yorryanda dan 20 lainnya memberi reputasi
21
3.5K
34
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
lin680
#10
Part 4
Setiap pagi begini, melihat gerbang sekolah, adrenalin Tatiana kembali terpacu. Sebelum keluar dari mobil ia menata napas untuk tetap tenang. Jauh di lubuk hati, ia mencintai belajar dan sekolah, hanya suasana sekolahnya yang sekarang sangat tak bersahabat. Sekolah elit yang dipilihkan mamanya dan ia tak boleh menolak.
Harapannya tetap bisa menyelesaikan pendidikan, agar bisa dihargai sebagai manusia seutuhnya suatu hari kelak. Sungguh, itu terlihat berat dengan rasa percaya dirinya yang terlanjur drop. Semua dirasa hanya akan mengejek dan merendahkannya.
"Kesurupan lagi, nggak?" Celetukan sudah menyambutnya begitu melewati pinggir lapangan.
Ia sengaja menghindari selasar yang padat siswa, mereka tampak membuat grup dalam serunya obrolan masing-masing. Jika lewat di sana ada saja orang yang akan menyepak kakinya, entah apa yang mereka suka dari menertawakan kekikukannya.
"Emang kapan si kacamata kesurupan?"
Pertanyaan itu mengundang jawaban panjang siswi, yang tak ingin dilihat oleh Tatiana siapa pemiliknya. Sepertinya ia teman sekelas.
Cerita bercampur tambahan yang membuat orang sekitar berteriak, "What?! Sereemmm!" Lalu tawa ramai bermunculan, seolah ada sebuah lelucon hebat.
Bel berbunyi, tanda aman untuk Tatiana di kelas, guru segera masuk mengisi pelajaran dan ia tak melanggar apa pun hari ini, karena tadi malam semua telah dicek kembali.
Semua lancar hingga jam istirahat.
"Hey, loe!"
Tatiana mengeluarkan bekal roti berlapis selai yang dimasukan Mbok ke dalam tasnya.
"Loe, budek, ya?!" Tersentak ia saat seseorang menepis roti di tangannya. Gadis itu mendengar panggilan, hanya dikira bukan padanya.
Tatiana mengangkat sedikit wajah. Tampak Kelly dan Jessica berdiri melipat tangan di dada, mata mereka memicing ke arahnya.
"Loe bilang apa sama Bu Dian?"
Tatiana menggeleng kepala cepat, sambil melihat ke lembaran rotinya diinjak oleh gadis berambut gelombang itu.
"Gue dipanggil ke ruang BP, jangan-jangan loe-?"
"Iya, Kell, nggak ada orang tau selain dia, pasti, deh, mulutnya itu yang bocor!" putus Jessica cepat.
"Awas, loe, ya. Gue dalam masalah, loe pulang sekolah nggak bakal aman!" Kedua siswi itu bergegas keluar, memenuhi panggilan guru BP yang meminta Kelly segera ke sana. Ruang yang menjadi momok semua siswa.
Tatiana memungut selai cokelat yang mengotori keramik putih. "Jangan diambil, sudah kotor itu," tegur seseorang yang masuk.
Dari ekor mata, ia melihat Bagas mengambil tissu dari meja guru, membantunya membersihkan sisa kotoran di lantai.
Gadis itu memilih menghindar, ia kembali duduk diam di bangkunya.
Tadi, saat Mbok menawarkan sekotak susu cair, ia malah meninggalkannya di meja makan, tak tau akan begini jadinya.
Uang bekal selalu utuh di saku, ia tak ingin bersesakan di kantin. Selama sekolah di sini, hanya sekali, saat awal masuk dan memilih makan bekal saja daripada menerima tatapan aneh orang padanya.
"Ini makan aja. Gue beli lagi yang baru," kata Bagas cepat, meninggalkan sekotak makanan di mejanya.
Mulut gadis bermata coklat itu menganga, hendak melarang, tapi pemuda tinggi itu sudah keluar kelas.
Kotak kertas warna hijau itu ternyata berisi pisang goreng keju, di atasnya diberi siraman susu cokelat. Isi perutnya tak sabar ingin menikmati.
"Penyihir jelek, awas loe, ya!" Ia melihat Jessica kembali berdiri di pintu mengacung kepalan ke arahnya. Ada Sashi juga yang ikut memajukan mulut dan memelototi.
Gadis itu lekas menunduk, berpura tak melihat, meski jantungnya mulai berlomba. Ia menarik kotak mendekat dada, memakan lahap bagian yang banyak cokelatnya. Uhmm! Tatiana cepat menghabiskan semua. Ini makanan kesukaan, seperti obat penenang untuk hatinya.
Ia malas memikirkan, apa lagi yang akan Kelly cs lakukan padanya nanti. Di pintu, dua gadis yang juga selalu bergaya ala diktator itu juga sudah pergi.
***
Langkah Tatiana percepat menuju gerbang, selain takut ancaman Kelly, hari juga akan hujan, Mang Dirman pasti sudah menunggu di depan gerbang.
"Bawa dia ke belakang," desis seseorang yang tiba-tiba ada di dekatnya.
Setengah berlari Tatiana mencoba menghindar, tapi dua orang menjejeri langkahnya lebih gesit. Mereka menggamit, setengah menyeretnya ke sudut belakang. Tak ada yang curiga karena dua remaja itu berlagak sambil mengajaknya bicara.
Sesampai di tempat sepi itu mereka memepetinya pada tembok.
"Bu Dian bilang ada murid yang nelpon bilangin gue sering ke klub, itu pasti loe, kan?!" Kelly menunjuk wajah pasi itu.
"Percuma loe nanya, dia kan gak bisa ngomong, Kell?" Shashi mendorong pundak gadis tertunduk itu.
"Bisa aja pura-pura, kalau sudah di rumah mana kita tau." Jessica menimpali.
"Dengar, ya. Loe si ugly. Berani-berani sama gue, enggak bakal tahan loe sekolah di sini, ya nggak?" Kalimat gadis yang suka memakai bandana kain ini diiyakan oleh yang lain, jarinya menyodok pipi Tatiana dengan telunjuk.
Keusilannya muncul melihat tanda hitam di wajah gadis itu terlihat.
"Liat gue!" Ia mengangkat dagu gadis gemetar itu, disibaknya rambut tebal dari wajah Tatiana. Mata bulat itu menyorot pada tanda hitam, yang tampak berbercak jika dilihat sedekat ini.
"Kasian banget, sih, nasib, elo," decaknya mengerling, terlihat jelas memandang kecil orang di depannya. "Gue tau, semua orang gak berani liat penampakan loe ini. Makanya jaga tu mulut! Sana pergi!"
Tatiana mengusap peluh yang menetes di dahi, tas yang merosot ke lengan kembali digendong, begitu Kelly dan teman-teman memberinya jarak, ia segera melangkah. Namun, tubuhnya terjungkal saat Kelly menghalang kakinya cepat.
Dadanya hampir membentur paving, kalau tak sempat menjaga dengan tapak tangan.
Cekikikan membahana, menertawakan keberhasilan mereka menakutinya.
Tatiana menahan sakit di telapaknya, ia duduk memandang goresan merah di sana. Matanya sudah basah, bukan oleh peluh, tapi tangis akibat nyeri hati, diperlakukan sebagai makhluk yang tak layak hidup.
Bayangan gadis berseragam putih melesat datang, terisap ke tanda lahirnya.
'Coba ngerasa sakitnya diketawain!' Kata itu muncul seketika di hatinya.
"Hahahaa, Kell, rambut loe kenapa?"
Di lapangan beberapa siswa yang berjalan ke gerbang tak bisa menahan tawa. Rambut bagian atas Kelly berdiri, seperti disasak akan dibuat jambul tinggi.
"Ih, apaa, sih! Kenapa ini?!" Kelly berusaha menyisir rambut dengan jari.
"Lah, kok, bisa gitu?" Jessica dan Shashi kebingungan, tapi juga tak bisa menahan tawa.
"Mau sanggulan, nggak jadi," celetuk siswa lain yang lewat, segera diacungi tinju oleh Kelly. Wajahnya memerah, baru sekarang ia merasa diremehkan.
Dua temannya merasa bersalah sudah ikut tertawa, sekarang sibuk membantu merapikan rambut ketua genk-nya itu.
Gadis seputih salju keluar dari kening Tatiana, melesat ke dekat tiga gadis. Ia terpingkal memegangi perut, perempuan berlagak sok cantik itu tampak seperti badut.
Tatiana berjalan ke depan, ia hanya ingin cepat pulang.
"Tunggu! Kita berteman, kan? Aku Jinny, eh, Jenny." Ia terbang memepeti langkah Tatiana.
"Kamu diam, berarti setuju, ya?" Wajahnya menyengir, menaik-turunkan alis, melayang di depan gadis itu.
Saat melewati tiga gadis yang masih kerepotan mengurus rambut gimbal. Jenny mengeluarkan lidah panjang, mengolok mereka yang tak melihatnya. Tatiana pun tak bisa menyembunyikan senyum yang muncul, makhluk aneh itu tampak lucu.
"Loe berdua cepat, halangin penyihir itu pulang!" Kelly membisikkan sesuatu pada Jessica dan Shashi, tampak segera dilakukan oleh keduanya.
Mereka berlari ke gerbang yang masih dua puluh meter ke depan. Menemui seseorang dalam sedan hitam, lalu mobil itu melaju.
'Mang Dirman?' Tatiana berlari, hendak menghentikan supirnya yang kembali pulang.
Terlambat, mobil itu makin menjauh.
Tos dan tawa lebar Shashi dan Jessica, menyambut Kelly yang memberi selamat pada keduanya. Sebelum masuk ke mobil jemputan masing-masing, Kelly sempat melambaikan tangan, mengejek Tatiana.
"Marah, dong, marah!!" Jenny melesat, mengitari depan Tatiana.
Gadis yang disuruh marah hanya menyandarkan badan pada tembok gapura.
"Sorry, aku nggak bisa bantu ...," sesal makhluk cantik itu. kepalanya terkulai memandang ke bawah.
"Ke-kena-pa?"
Dalam gerak cepat wajah pucatnya mengarah pada Tiana, membuat gadis itu tersentak mundur.
"Bagus kalau mau bertanya." Ia kembali menyengir lebar, perlihatkan semua giginya. "Aku ... nggak bisa bantu kalau bukan kamu yang mau," lanjut Jenny mengedip-ngedip, bola mata hitam itu memindai Tatiana.
Kemudian telapak tangannya membuka, sekejap muncul apel merah, ia mengigitnya.
"Nih." Diberikan ke tangan Tatiana. "Makan."
Ragu-ragu Tatiana menurut, ia menggigit buah itu, tapi keras tak bisa digigit.
"Itu tandanya dunia kita beda. Kamu manusia, aku bukan, hehee," tawanya lepas, sembari merebut kembali apel itu dan menikmatinya lahap.
Tatiana melotot, memperhatikan saksama gadis di sebelahnya ini. Kulit jemari Jenny seputih salju dan berkuku hitam cukup panjang.
'Apa dia benar-benar hantu?' benaknya, tanpa berani bertanya. Tatiana memeluk tangan, menanti Mang Dirman kembali menjemput.
Jenny seketika berpindah ke depannya. Tak pedulikan gadis itu terkejut dan membeliak melihatnya.
"Dengar, Tatiana. Kalau berteman, semua bisa kita lakukan. Pasti menyenangkan, kan?" Wajah Jenny mendekat, bagai membesar dalam pandangan Tatiana, bibir putih itu menyeringai lebar.
Sungguh, makin lama 'makhluk' itu membuat bulunya mulai bergidik.
Bersambung ....
Setiap pagi begini, melihat gerbang sekolah, adrenalin Tatiana kembali terpacu. Sebelum keluar dari mobil ia menata napas untuk tetap tenang. Jauh di lubuk hati, ia mencintai belajar dan sekolah, hanya suasana sekolahnya yang sekarang sangat tak bersahabat. Sekolah elit yang dipilihkan mamanya dan ia tak boleh menolak.
Harapannya tetap bisa menyelesaikan pendidikan, agar bisa dihargai sebagai manusia seutuhnya suatu hari kelak. Sungguh, itu terlihat berat dengan rasa percaya dirinya yang terlanjur drop. Semua dirasa hanya akan mengejek dan merendahkannya.
"Kesurupan lagi, nggak?" Celetukan sudah menyambutnya begitu melewati pinggir lapangan.
Ia sengaja menghindari selasar yang padat siswa, mereka tampak membuat grup dalam serunya obrolan masing-masing. Jika lewat di sana ada saja orang yang akan menyepak kakinya, entah apa yang mereka suka dari menertawakan kekikukannya.
"Emang kapan si kacamata kesurupan?"
Pertanyaan itu mengundang jawaban panjang siswi, yang tak ingin dilihat oleh Tatiana siapa pemiliknya. Sepertinya ia teman sekelas.
Cerita bercampur tambahan yang membuat orang sekitar berteriak, "What?! Sereemmm!" Lalu tawa ramai bermunculan, seolah ada sebuah lelucon hebat.
Bel berbunyi, tanda aman untuk Tatiana di kelas, guru segera masuk mengisi pelajaran dan ia tak melanggar apa pun hari ini, karena tadi malam semua telah dicek kembali.
Semua lancar hingga jam istirahat.
"Hey, loe!"
Tatiana mengeluarkan bekal roti berlapis selai yang dimasukan Mbok ke dalam tasnya.
"Loe, budek, ya?!" Tersentak ia saat seseorang menepis roti di tangannya. Gadis itu mendengar panggilan, hanya dikira bukan padanya.
Tatiana mengangkat sedikit wajah. Tampak Kelly dan Jessica berdiri melipat tangan di dada, mata mereka memicing ke arahnya.
"Loe bilang apa sama Bu Dian?"
Tatiana menggeleng kepala cepat, sambil melihat ke lembaran rotinya diinjak oleh gadis berambut gelombang itu.
"Gue dipanggil ke ruang BP, jangan-jangan loe-?"
"Iya, Kell, nggak ada orang tau selain dia, pasti, deh, mulutnya itu yang bocor!" putus Jessica cepat.
"Awas, loe, ya. Gue dalam masalah, loe pulang sekolah nggak bakal aman!" Kedua siswi itu bergegas keluar, memenuhi panggilan guru BP yang meminta Kelly segera ke sana. Ruang yang menjadi momok semua siswa.
Tatiana memungut selai cokelat yang mengotori keramik putih. "Jangan diambil, sudah kotor itu," tegur seseorang yang masuk.
Dari ekor mata, ia melihat Bagas mengambil tissu dari meja guru, membantunya membersihkan sisa kotoran di lantai.
Gadis itu memilih menghindar, ia kembali duduk diam di bangkunya.
Tadi, saat Mbok menawarkan sekotak susu cair, ia malah meninggalkannya di meja makan, tak tau akan begini jadinya.
Uang bekal selalu utuh di saku, ia tak ingin bersesakan di kantin. Selama sekolah di sini, hanya sekali, saat awal masuk dan memilih makan bekal saja daripada menerima tatapan aneh orang padanya.
"Ini makan aja. Gue beli lagi yang baru," kata Bagas cepat, meninggalkan sekotak makanan di mejanya.
Mulut gadis bermata coklat itu menganga, hendak melarang, tapi pemuda tinggi itu sudah keluar kelas.
Kotak kertas warna hijau itu ternyata berisi pisang goreng keju, di atasnya diberi siraman susu cokelat. Isi perutnya tak sabar ingin menikmati.
"Penyihir jelek, awas loe, ya!" Ia melihat Jessica kembali berdiri di pintu mengacung kepalan ke arahnya. Ada Sashi juga yang ikut memajukan mulut dan memelototi.
Gadis itu lekas menunduk, berpura tak melihat, meski jantungnya mulai berlomba. Ia menarik kotak mendekat dada, memakan lahap bagian yang banyak cokelatnya. Uhmm! Tatiana cepat menghabiskan semua. Ini makanan kesukaan, seperti obat penenang untuk hatinya.
Ia malas memikirkan, apa lagi yang akan Kelly cs lakukan padanya nanti. Di pintu, dua gadis yang juga selalu bergaya ala diktator itu juga sudah pergi.
***
Langkah Tatiana percepat menuju gerbang, selain takut ancaman Kelly, hari juga akan hujan, Mang Dirman pasti sudah menunggu di depan gerbang.
"Bawa dia ke belakang," desis seseorang yang tiba-tiba ada di dekatnya.
Setengah berlari Tatiana mencoba menghindar, tapi dua orang menjejeri langkahnya lebih gesit. Mereka menggamit, setengah menyeretnya ke sudut belakang. Tak ada yang curiga karena dua remaja itu berlagak sambil mengajaknya bicara.
Sesampai di tempat sepi itu mereka memepetinya pada tembok.
"Bu Dian bilang ada murid yang nelpon bilangin gue sering ke klub, itu pasti loe, kan?!" Kelly menunjuk wajah pasi itu.
"Percuma loe nanya, dia kan gak bisa ngomong, Kell?" Shashi mendorong pundak gadis tertunduk itu.
"Bisa aja pura-pura, kalau sudah di rumah mana kita tau." Jessica menimpali.
"Dengar, ya. Loe si ugly. Berani-berani sama gue, enggak bakal tahan loe sekolah di sini, ya nggak?" Kalimat gadis yang suka memakai bandana kain ini diiyakan oleh yang lain, jarinya menyodok pipi Tatiana dengan telunjuk.
Keusilannya muncul melihat tanda hitam di wajah gadis itu terlihat.
"Liat gue!" Ia mengangkat dagu gadis gemetar itu, disibaknya rambut tebal dari wajah Tatiana. Mata bulat itu menyorot pada tanda hitam, yang tampak berbercak jika dilihat sedekat ini.
"Kasian banget, sih, nasib, elo," decaknya mengerling, terlihat jelas memandang kecil orang di depannya. "Gue tau, semua orang gak berani liat penampakan loe ini. Makanya jaga tu mulut! Sana pergi!"
Tatiana mengusap peluh yang menetes di dahi, tas yang merosot ke lengan kembali digendong, begitu Kelly dan teman-teman memberinya jarak, ia segera melangkah. Namun, tubuhnya terjungkal saat Kelly menghalang kakinya cepat.
Dadanya hampir membentur paving, kalau tak sempat menjaga dengan tapak tangan.
Cekikikan membahana, menertawakan keberhasilan mereka menakutinya.
Tatiana menahan sakit di telapaknya, ia duduk memandang goresan merah di sana. Matanya sudah basah, bukan oleh peluh, tapi tangis akibat nyeri hati, diperlakukan sebagai makhluk yang tak layak hidup.
Bayangan gadis berseragam putih melesat datang, terisap ke tanda lahirnya.
'Coba ngerasa sakitnya diketawain!' Kata itu muncul seketika di hatinya.
"Hahahaa, Kell, rambut loe kenapa?"
Di lapangan beberapa siswa yang berjalan ke gerbang tak bisa menahan tawa. Rambut bagian atas Kelly berdiri, seperti disasak akan dibuat jambul tinggi.
"Ih, apaa, sih! Kenapa ini?!" Kelly berusaha menyisir rambut dengan jari.
"Lah, kok, bisa gitu?" Jessica dan Shashi kebingungan, tapi juga tak bisa menahan tawa.
"Mau sanggulan, nggak jadi," celetuk siswa lain yang lewat, segera diacungi tinju oleh Kelly. Wajahnya memerah, baru sekarang ia merasa diremehkan.
Dua temannya merasa bersalah sudah ikut tertawa, sekarang sibuk membantu merapikan rambut ketua genk-nya itu.
Gadis seputih salju keluar dari kening Tatiana, melesat ke dekat tiga gadis. Ia terpingkal memegangi perut, perempuan berlagak sok cantik itu tampak seperti badut.
Tatiana berjalan ke depan, ia hanya ingin cepat pulang.
"Tunggu! Kita berteman, kan? Aku Jinny, eh, Jenny." Ia terbang memepeti langkah Tatiana.
"Kamu diam, berarti setuju, ya?" Wajahnya menyengir, menaik-turunkan alis, melayang di depan gadis itu.
Saat melewati tiga gadis yang masih kerepotan mengurus rambut gimbal. Jenny mengeluarkan lidah panjang, mengolok mereka yang tak melihatnya. Tatiana pun tak bisa menyembunyikan senyum yang muncul, makhluk aneh itu tampak lucu.
"Loe berdua cepat, halangin penyihir itu pulang!" Kelly membisikkan sesuatu pada Jessica dan Shashi, tampak segera dilakukan oleh keduanya.
Mereka berlari ke gerbang yang masih dua puluh meter ke depan. Menemui seseorang dalam sedan hitam, lalu mobil itu melaju.
'Mang Dirman?' Tatiana berlari, hendak menghentikan supirnya yang kembali pulang.
Terlambat, mobil itu makin menjauh.
Tos dan tawa lebar Shashi dan Jessica, menyambut Kelly yang memberi selamat pada keduanya. Sebelum masuk ke mobil jemputan masing-masing, Kelly sempat melambaikan tangan, mengejek Tatiana.
"Marah, dong, marah!!" Jenny melesat, mengitari depan Tatiana.
Gadis yang disuruh marah hanya menyandarkan badan pada tembok gapura.
"Sorry, aku nggak bisa bantu ...," sesal makhluk cantik itu. kepalanya terkulai memandang ke bawah.
"Ke-kena-pa?"
Dalam gerak cepat wajah pucatnya mengarah pada Tiana, membuat gadis itu tersentak mundur.
"Bagus kalau mau bertanya." Ia kembali menyengir lebar, perlihatkan semua giginya. "Aku ... nggak bisa bantu kalau bukan kamu yang mau," lanjut Jenny mengedip-ngedip, bola mata hitam itu memindai Tatiana.
Kemudian telapak tangannya membuka, sekejap muncul apel merah, ia mengigitnya.
"Nih." Diberikan ke tangan Tatiana. "Makan."
Ragu-ragu Tatiana menurut, ia menggigit buah itu, tapi keras tak bisa digigit.
"Itu tandanya dunia kita beda. Kamu manusia, aku bukan, hehee," tawanya lepas, sembari merebut kembali apel itu dan menikmatinya lahap.
Tatiana melotot, memperhatikan saksama gadis di sebelahnya ini. Kulit jemari Jenny seputih salju dan berkuku hitam cukup panjang.
'Apa dia benar-benar hantu?' benaknya, tanpa berani bertanya. Tatiana memeluk tangan, menanti Mang Dirman kembali menjemput.
Jenny seketika berpindah ke depannya. Tak pedulikan gadis itu terkejut dan membeliak melihatnya.
"Dengar, Tatiana. Kalau berteman, semua bisa kita lakukan. Pasti menyenangkan, kan?" Wajah Jenny mendekat, bagai membesar dalam pandangan Tatiana, bibir putih itu menyeringai lebar.
Sungguh, makin lama 'makhluk' itu membuat bulunya mulai bergidik.
Bersambung ....
key.99 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup