- Beranda
- Stories from the Heart
[cinta. horror. roman] - The Second
...
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
![[cinta. horror. roman] - The Second](https://s.kaskus.id/images/2019/11/14/10479605_20191114110217.jpg)
“Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
***
Chapter 1 – Awal Kisah
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen. Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
Jemariku terus mengetik hingga mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.
“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.
***
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.
Indah.
Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
[bersambung]
INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality
Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2
Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...
Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#296
Chapter 36 – Pending
Aku terpana dan bergemuruh.
Wajah itu sangat aku kenal.
Rhea.
Itu memang wajah Rhea.
Rhea ada dihadapanku, berjarak 10 meter dan kini mulai semakin dekat seiring Mya berjalan menghampiriku.
“Hallo kang Hamid...” sapa Mya sambil mengulurkan tangannya. Tak ada keterkejutan dari raut mukanya saat memandang wajahku. Dia memang pernah bilang, bahwa di mimpinya ia tak bisa melihat dengan jelas wajah dari sosok Danang. Jadi ia pasti tak mengenaliku sebagai pria di mimpinya.
“Hallo Mya ya..” jawabku dengan mati-matian menahan rasa gugup. Pertemuan ini sungguh mengguncang. Walau sebelumnya aku sudah menduga bahwa Mya ada hubungan dengan Rhea, tapi aku tetap saja gagal menahan gejolak debar jantungku saat bertatap muka dengan sosok Mya yang memiliki fisik amat sangat mirip Rhea.
“Iyalah Mya masa Meong? Heheh.. tapi kalau mau panggil Tania silahkan aja..” katanya santai, “tangan kang Hamid dingin banget..”
Tania. Nama Rhea aku ganti menjadi Tania di novelku, aku tersenyum, “Ah.. Mya lebih lucu..” kataku membahas tentang nama, sekaligus mengalihkan topik tentang tangan dingin. Aku tak mau ketahuan sedang grogi.
“Atau Rhea? Mau panggil aku Rhea?”
Aku terdiam.
“Lupa ya? aku tuh dipanggil Rhea di mimpi-mimpiku..” terangnya. Ia mengira aku lupa. Padahal aku sedang merinding sesaat dia meminta aku memanggilnya sebagai Rhea.
“Oh iya ya.. Rhea ya.. keren juga itu nama...” gumamku pelan dengan sedikit sandiwara
Firdaus hanya tersenyum mendengar percakapan aku dan Mya. Tapi tampaknya ia kurang mengerti tentang percakapan kami, “Maaf kang Hamid, apa ada koper yang harus kami ambil?”
Aku mendadak teringat Emon, “Eh iya ada.. manajerku yang urus... mana ya?” aku menoleh ke belakang dan mencari Emon. Ada untungnya juga dia mengenakan kostum ajaib dengan warna ngejreng. Mata senjaku pun bisa menemukan dengan mudah, “itu dia...”
“Eh lelaki yang pakai jas itu?” tanya Firdaus memastikan. Ada lelaki berwajah oritental di samping Emon. Sedang membawa dua koper dan Firdaus menyangka lelaki itulah manajerku. Sayang sekali prasangka baiknya itu salah.
“Bukaaan.. itu yang pakai topi lebar...” jawabku sambil menunjuk, “Emoooon sini...”
Firdaus dan Mya melebar bola matanya demi melihat sosok Emon. Mungkin tak menyangka sosok yang mirip alay itu adalah seorang manajer. Aku tersenyum melihat keterpanaan mereka.
Emon tampak senang menemukan aku, dan segera berjalan cepat menghampiriku sambil menarik dua koper. Koper yang pertama berukuran kecil milikku, sementara satu lagi koper berdimensi raksasa milik Emon, “aduuuh Yey kemana aja siih, eike cariin dari tadi...”
“Mon kenalin ini mas Firdaus dari KBRI Rabat...”
Emon dengan sigap menjulurkan tangan kanannya saat menyadari ada lelaki tampan dan rapi dihadapannya. Firdaus tampak sedikit ragu, tapi demi profesional jabatan dia pun menyambutnya jabatan tangan Emon.
“Firdaus...”
“Monalisa...” jawab Emon centil
“Hayahhh... Emon! Nama lu Emoon!” tukasku, “udah jangan lama-lama salaman.. kasian tangan mas Firdaus nanti karatan..”
Kami semua tertawa walau candaan itu masih jauh dari lucu. Tapi cukuplah untuk sekedar ice breaking.
***
Sudah hampir tiga puluh menit kami menyusuri jalan yang akan membawa kami menuju Rabat. Butuh waktu sekitar satu jam dari bandara Casablanca ke Ibukota Maroko. Mobil yang membawa kami adalah mobil kedutaan dengan plat CD (Corps Diplomatic), Mercy berjenis Van keluaran terbaru dengan segala kemewahannya. Firdaus duduk didepan bersama driver warga negara setempat. Sementara Mya di bangku sebelah kiri dan aku disebelah kanan. Emon dibaris belakang. Mobil mewah ini melaju kencang dengan mantap. Terasa berat seolah menempel di aspal tetapi sekaligus melejit kencang. Tanpa suara mesin yang meraung.
Aku sedang sibuk memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengajak Mya dinner di restoran hotel tempat aku menginap. Restoran legendaris yang dulu menjadi ajang pertemuanku dengan Rhea di dunia mimpiku. Bukan sekedar dinner tetapi juga bicara lebih jauh tentang mimpi-mimpi Mya. Ngomong gimana ya...
“Oh iya kang Hamid... sekarang kan kita langsung menuju ke Hotel. Tapi nanti malam pak KUAI mengundang Kang Hamid untuk makan malam di Kedutaan..”
“Pak siapa?”
“KUAI.. atau Kuasa Usaha Ad Interm, semacam pengganti Duta Besar, untuk sementara karena Pak Dubes sedang berada di Indonesia”
Owh istilah diplomatik toh, aku kira namanya Kuai, batinku, “Oh oke.. terima kasih sekali atas undangan beliau. Jam berapa acaranya?”
“Nanti kami jemput jam 19.00 ya kang..”
Gagal sudah rencanaku malam ini mau bicara dengan Mya, harus dipending berarti, entah kapan...“Sip... ada dress code kah?”
“Gak ada Kang.. bebas rapi saja..”
“Oke.. oiya, mas Firdaus dari bagian apa ya?”
“Saya dari bidang Pensosbud kang...”
Mahluk apa pula itu?, “Pen... apa mas?”
“Pensosbud alias bidang penerangan, sosial dan budaya.. nanti acara bedah buku dan training menulis kang Hamid ada bawah tanggung jawab kami..”
Training menulis? Mmmm... bagus! Gak Cuma bedah buku dan jumpa penggemar ternyata Emon juga memasukkan acara training menulis. Aku melirik dengan sebal ke Emon, sementara Emon yang sedari tadi mendengar percakapan kami pura-pura asyik melihat pemandangan luar. Padahal diluar sana hanya ada ladang yang terhampar luas. Menyebalkan!
“Oh iya kang Hamid... apa perlu Mya pesankan table di restoran yang ada di hotel?” tanya Mya tiba-tiba sambil sedikit berbisik, Suaranya sedikit tenggelam dengan suara musik yang mengalun di dalam mobil, “siapa tahu mau menikmati suasana seperti di novel The Second”
Aha! Pucuk dicinta ulam tiba! “Mau dong.. table for two ya. dinner. Mungkin untuk besok malam kali.. eh bentar..” jawabku sambil berbisik pula, “Maaf Mas Firdaus.. apa besok malam saya ada jadwal di KBRI?”
“Untuk besok malam gak ada kang... hanya dari pagi sampai siang, sore dan malam kosong..”
“Oke.. besok malam ya..” kataku memberi tahu Mya
“Siip.... “ jawab Mya sambil mengedipkan satu mata, “buat dinner sama Emon ya.. hihih..”
“Haha... becandaan kamu nyeremin..” bisikku, “bukan sama Emon, ini buat dinner sama kamu..”
Mya sedikit terkejut mendengarnya dan kemudian cepat memalingkan wajahnya melihat keluar jendela. Tapi aku sempat melihat semburat rona merah di pipinya.
Tampaknya ia malu.
Dan sepertinya aku sudah kehilangan rasa malu.
“Cie cieee...” bisik suara dari belakang.
Bukan jin bukan setan.
Itu Emon.
Anjrit! Ke gap!
[Bersambung]
Aku terpana dan bergemuruh.
Wajah itu sangat aku kenal.
Rhea.
Itu memang wajah Rhea.
Rhea ada dihadapanku, berjarak 10 meter dan kini mulai semakin dekat seiring Mya berjalan menghampiriku.
“Hallo kang Hamid...” sapa Mya sambil mengulurkan tangannya. Tak ada keterkejutan dari raut mukanya saat memandang wajahku. Dia memang pernah bilang, bahwa di mimpinya ia tak bisa melihat dengan jelas wajah dari sosok Danang. Jadi ia pasti tak mengenaliku sebagai pria di mimpinya.
“Hallo Mya ya..” jawabku dengan mati-matian menahan rasa gugup. Pertemuan ini sungguh mengguncang. Walau sebelumnya aku sudah menduga bahwa Mya ada hubungan dengan Rhea, tapi aku tetap saja gagal menahan gejolak debar jantungku saat bertatap muka dengan sosok Mya yang memiliki fisik amat sangat mirip Rhea.
“Iyalah Mya masa Meong? Heheh.. tapi kalau mau panggil Tania silahkan aja..” katanya santai, “tangan kang Hamid dingin banget..”
Tania. Nama Rhea aku ganti menjadi Tania di novelku, aku tersenyum, “Ah.. Mya lebih lucu..” kataku membahas tentang nama, sekaligus mengalihkan topik tentang tangan dingin. Aku tak mau ketahuan sedang grogi.
“Atau Rhea? Mau panggil aku Rhea?”
Aku terdiam.
“Lupa ya? aku tuh dipanggil Rhea di mimpi-mimpiku..” terangnya. Ia mengira aku lupa. Padahal aku sedang merinding sesaat dia meminta aku memanggilnya sebagai Rhea.
“Oh iya ya.. Rhea ya.. keren juga itu nama...” gumamku pelan dengan sedikit sandiwara
Firdaus hanya tersenyum mendengar percakapan aku dan Mya. Tapi tampaknya ia kurang mengerti tentang percakapan kami, “Maaf kang Hamid, apa ada koper yang harus kami ambil?”
Aku mendadak teringat Emon, “Eh iya ada.. manajerku yang urus... mana ya?” aku menoleh ke belakang dan mencari Emon. Ada untungnya juga dia mengenakan kostum ajaib dengan warna ngejreng. Mata senjaku pun bisa menemukan dengan mudah, “itu dia...”
“Eh lelaki yang pakai jas itu?” tanya Firdaus memastikan. Ada lelaki berwajah oritental di samping Emon. Sedang membawa dua koper dan Firdaus menyangka lelaki itulah manajerku. Sayang sekali prasangka baiknya itu salah.
“Bukaaan.. itu yang pakai topi lebar...” jawabku sambil menunjuk, “Emoooon sini...”
Firdaus dan Mya melebar bola matanya demi melihat sosok Emon. Mungkin tak menyangka sosok yang mirip alay itu adalah seorang manajer. Aku tersenyum melihat keterpanaan mereka.
Emon tampak senang menemukan aku, dan segera berjalan cepat menghampiriku sambil menarik dua koper. Koper yang pertama berukuran kecil milikku, sementara satu lagi koper berdimensi raksasa milik Emon, “aduuuh Yey kemana aja siih, eike cariin dari tadi...”
“Mon kenalin ini mas Firdaus dari KBRI Rabat...”
Emon dengan sigap menjulurkan tangan kanannya saat menyadari ada lelaki tampan dan rapi dihadapannya. Firdaus tampak sedikit ragu, tapi demi profesional jabatan dia pun menyambutnya jabatan tangan Emon.
“Firdaus...”
“Monalisa...” jawab Emon centil
“Hayahhh... Emon! Nama lu Emoon!” tukasku, “udah jangan lama-lama salaman.. kasian tangan mas Firdaus nanti karatan..”
Kami semua tertawa walau candaan itu masih jauh dari lucu. Tapi cukuplah untuk sekedar ice breaking.
***
Sudah hampir tiga puluh menit kami menyusuri jalan yang akan membawa kami menuju Rabat. Butuh waktu sekitar satu jam dari bandara Casablanca ke Ibukota Maroko. Mobil yang membawa kami adalah mobil kedutaan dengan plat CD (Corps Diplomatic), Mercy berjenis Van keluaran terbaru dengan segala kemewahannya. Firdaus duduk didepan bersama driver warga negara setempat. Sementara Mya di bangku sebelah kiri dan aku disebelah kanan. Emon dibaris belakang. Mobil mewah ini melaju kencang dengan mantap. Terasa berat seolah menempel di aspal tetapi sekaligus melejit kencang. Tanpa suara mesin yang meraung.
Aku sedang sibuk memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengajak Mya dinner di restoran hotel tempat aku menginap. Restoran legendaris yang dulu menjadi ajang pertemuanku dengan Rhea di dunia mimpiku. Bukan sekedar dinner tetapi juga bicara lebih jauh tentang mimpi-mimpi Mya. Ngomong gimana ya...
“Oh iya kang Hamid... sekarang kan kita langsung menuju ke Hotel. Tapi nanti malam pak KUAI mengundang Kang Hamid untuk makan malam di Kedutaan..”
“Pak siapa?”
“KUAI.. atau Kuasa Usaha Ad Interm, semacam pengganti Duta Besar, untuk sementara karena Pak Dubes sedang berada di Indonesia”
Owh istilah diplomatik toh, aku kira namanya Kuai, batinku, “Oh oke.. terima kasih sekali atas undangan beliau. Jam berapa acaranya?”
“Nanti kami jemput jam 19.00 ya kang..”
Gagal sudah rencanaku malam ini mau bicara dengan Mya, harus dipending berarti, entah kapan...“Sip... ada dress code kah?”
“Gak ada Kang.. bebas rapi saja..”
“Oke.. oiya, mas Firdaus dari bagian apa ya?”
“Saya dari bidang Pensosbud kang...”
Mahluk apa pula itu?, “Pen... apa mas?”
“Pensosbud alias bidang penerangan, sosial dan budaya.. nanti acara bedah buku dan training menulis kang Hamid ada bawah tanggung jawab kami..”
Training menulis? Mmmm... bagus! Gak Cuma bedah buku dan jumpa penggemar ternyata Emon juga memasukkan acara training menulis. Aku melirik dengan sebal ke Emon, sementara Emon yang sedari tadi mendengar percakapan kami pura-pura asyik melihat pemandangan luar. Padahal diluar sana hanya ada ladang yang terhampar luas. Menyebalkan!
“Oh iya kang Hamid... apa perlu Mya pesankan table di restoran yang ada di hotel?” tanya Mya tiba-tiba sambil sedikit berbisik, Suaranya sedikit tenggelam dengan suara musik yang mengalun di dalam mobil, “siapa tahu mau menikmati suasana seperti di novel The Second”
Aha! Pucuk dicinta ulam tiba! “Mau dong.. table for two ya. dinner. Mungkin untuk besok malam kali.. eh bentar..” jawabku sambil berbisik pula, “Maaf Mas Firdaus.. apa besok malam saya ada jadwal di KBRI?”
“Untuk besok malam gak ada kang... hanya dari pagi sampai siang, sore dan malam kosong..”
“Oke.. besok malam ya..” kataku memberi tahu Mya
“Siip.... “ jawab Mya sambil mengedipkan satu mata, “buat dinner sama Emon ya.. hihih..”
“Haha... becandaan kamu nyeremin..” bisikku, “bukan sama Emon, ini buat dinner sama kamu..”
Mya sedikit terkejut mendengarnya dan kemudian cepat memalingkan wajahnya melihat keluar jendela. Tapi aku sempat melihat semburat rona merah di pipinya.
Tampaknya ia malu.
Dan sepertinya aku sudah kehilangan rasa malu.
“Cie cieee...” bisik suara dari belakang.
Bukan jin bukan setan.
Itu Emon.
Anjrit! Ke gap!
[Bersambung]
namakuve dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup