- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#93
Spoiler for Episode 18B:
Aku mulai berdiskusi dengan Renata tentang bagaimana ide tulisanku akan berkembang, mulai dari latar belakangnya hingga ke alur cerita yang akan berjalan. Inilah yang ku sebut dengan membunuh waktu, dimana aku melakukan sebuah kegiatan dan tak terasa waktu sudah berjalan cukup lama.
Drrt! Drrt!Renata melihat ke arah handphonenya, ia menjawab panggilan yang masuk. Kemudian ia berjalan keluar sambil tetap menjawab panggilan tersebut.
Ferdi menghampiriku, "Eh besok ada yang mau dateng buat interview."
"Loh cepet banget? Bukannya baru diumumin hari ini?" Tanyaku.
"Sengaja gue bagi aja, ntar kalau emang besok di antara mereka ngga ada yang cocok baru deh kita cari lagi. Buka e-mail aja ntar lu baca-baca." Kata Ferdi.
Aku mengangguk, Ferdi kembali ke tempatnya. Renata kembali masuk, tidak sendirian melainkan dengan satu orang lain. Setelah memesan, Renata mengajak orang tersebut ke tempat dimana aku duduk. Mataku tertuju pada Renata dan orang tersebut.
"Adrian, kenalin ini Mama aku..."
Dengan cepat aku berdiri hingga membuat Mamanya Renata sedikit terkejut. Aku mulai memperkenalkan diriku sesopan mungkin, sambutan hangat pun diberikan oleh Mamanya Renata.
"Bang Fer, itu siapa ya?" Tanya Bella.
"Hmm..." Ferdi mengamati, "kalau diliat-liat dari kelakuan Adrian kayak gitu berarti yang sama Renata itu orang penting. Mungkin nyokapnya Renata."
"Kelakuan Mas Adrian?" Tanya Bella.
"Kamu liat ngga tadi dia berdiri sigap banget?..." Bella menganggukkan kepalanya, "itu salah satu sikap Adrian kalau ketemu orang yang dia hormatin. Dalam artian gini, semua orang pasti dia hormatin. Tapi ada beberapa orang yang akan dapat perlakuan kayak gitu dari Adrian."
Bella menganggukkan kepalanya, "Aku paham sekarang."
Meninggalkan Bella dan Ferdi di sana, di hadapanku kali ini sudah ada orang yang berperan penting bagi Renata. Seperti biasa, aku mulai menegakkan posisi dudukku. Renata yang mengetahui akan hal itu menepuk tanganku beberapa kali dengan isyarat agar aku tidak terlalu kaku.
"Nak Adrian, ini usaha kamu yang diceritain Renata?" Tanya Mamanya Renata.
"Iya Tante, ini punya saya sama yang lagi jaga kasir." Kataku.
"Tante seneng anak muda kayak kamu udah bisa bisnis dan hidup mandiri." Katanya.
Perbincangan kami berlanjut. Jika aku boleh membandingkan, pembicaraanku dengan Mamanya Renata lebih ke arah gaya hidup anak muda. Bagaimana soal pekerjaan, hobi, dan cita-cita. Berbeda ketika aku berbincang dengan Papanya, lebih ke arah bisnis atau mungkin memang karena ia juga seorang pebisnis. Kali ini aku jauh bisa lebih santai.
Tak terasa hari semakin gelap, akhirnya Renata dan Mamanya berpamitan untuk pulang. Aku hanya bisa mengantarkan sampai parkiran, kemudian mereka melaju hingga hilang dari pandanganku. Aku kembali masuk ke dalam, tidak kembali ke kursi melainkan menuju Bella dan Ferdi.
"Emang yang tadi itu Mamanya Ka Renata ya Mas?" Tanya Bella.
"Loh hebat kamu Bel bisa tau." Kataku cukup terkejut.
"Aku dikasih tau sama Bang Ferdi." Ucapnya.
"Hebat lu udah dipertemukan aja sama nyokapnya." Ferdi mendekat.
"Udah ngga usah dibahas, mana gue pinjem laptop dong mau liat yang tadi lu kasih tau." Kataku.
Ferdi mengeluarkan laptop dari dalam tasnya, kemudian ia menyerahkannya kepadaku. Aku mulai membuka e-mail dan membaca pesan yang masuk perihal penambahan karyawan untuk kedai ini.
"Gue sama Bella udah punya kuncian masing-masing, tapi sama-sama belum tau siapa. Nah abis lu tentuin kuncian lu, baru kita debatin." Jelas Ferdi.
Aku mengangguk, kemudian aku membawa laptop ke halaman belakang. Ku nyalakan sebatang rokok lalu aku mulai membaca pesan-pesan tersebut. Ada sekitar 20 pelamar yang tentu saja membuatku terkejut karena lowongan ini dibuka kurang dari 24 jam. Satu per satu aku mulai membaca apa saja yang mereka tuliskan, tentang latar belakang, motivasi dan sebagainya.
"Edan semua ini mah." Kataku seorang diri.
Aku pun selesai membaca semuanya, beberapa menit yang aku butuhkan untuk berpikir hingga akhirnya aku bisa memilih dua orang sebagai kuncian untukku. Aku kembali membaca tentang dua orang yang menarik perhatianku secara seksama.
Setelah merasa cukup, aku kembali ke dalam menuju tempat Bella dan Ferdi berada. Aku menyerahkan kembali laptop milik Ferdi, Bella pun mendekat ke arahku.
"Gimana Mas? Ada yang cocok?" Tanya Bella.
Aku mengangguk, "Tapi kayaknya pilihanku sama Ferdi sama."
"Yakin lu sama?..." Ferdi memberikan kertas dan pulpen, "coba tulis dua nama kuncian kalian."
Kami bertiga mulai menulis pilihan kami bersama-sama, secara bersamaan kami menunjukkan tulisan kami satu sama lain. Kami cukup terkejut dengan hasilnya, aku pun membulatkan nama dengan pulpen.
"Ngga ada settingan kan? Kok dari dua pilihan kita masing-masing ada nama yang sama?" Tanyaku heran.
"Aku merinding loh Mas ngeliat hasilnya." Kata Bella.
"Kalau aku sama Adrian bisa aja sama, soalnya visi misi kita soal nyari pegawai masih sama. Nah kalau kamu Bel, kok bisa samaan juga?" Ucap Ferdi.
"Win-win solution..."
Ferdi menatap Bella, "Maksudnya gimana Bel?"
"Kalau aku narik garis ke belakang ada alasan kenapa aku bisa diterima di sini, padahal aku ngga punya basic apa-apa. Ternyata emang aku diajarin bener-bener dari awal banget, terlebih pas Mas Adrian nawarin untuk belajar kopi secara gratis. Padahal pas aku tau biaya belajarnya Mas Adrian soal kopi tuh aku langsung kaget, kok Mas Adrian mau ngajarin aku gratis. Ternyata ya win-win solution jawabannya..."
Aku tersenyum mendengar apa yang Bella ucapkan.
"Dan untuk orang yang sama-sama kita pilih, itu juga win-win solution buat kita dan juga buat dia. Motivasi dan kemauan yang kuat akan didukung sama kita, dari mulai yang basic sampai mungkin bisa jadi kayak aku gini. Bener kan Mas Adrian?" Ucap Bella.
Aku bertepuk tangan pelan beberapa kali, aku menjabat tangan Bella lalu aku memeluknya. Setelah itu aku menatap Ferdi, "Akhirnya ada yang paham sama konsep hidup gue. Nah sekarang giliran lu, gue tau tipikal yang lu mau buat karyawan. Tapi kenapa lu juga bisa milih nama itu? Coba liat nama yang satu lagi, dia orang yang paling punya pengalaman dari semuanya."
"Ya jawaban singkatnya sih gue berkaca sama Bella. Orang itu punya potensi yang perlu kita asah aja, hasilnya gimana ya belum ada yang tau. Tapi balik lagi ke Bella, dia contoh yang berhasil. Jadi itu kenapa gue milih dia juga." Jelas Ferdi.
"Jadi sepakat nih? Kalau gitu kontak orangnya, besok atau lusa dia bisa dateng ke sini buat interview." Kataku.
Ferdi pun menyetujuinya, ia mencoba untuk menghubungi orang tersebut. Malam pun tiba, kami memutuskan untuk tutup setelah tidak ada lagi pelanggan yang tersisa.
Ferdi memasukkan handphone ke dalam saku kemejanya, "Eh Bel, aku duluan ya. Ada panggilan mendadak nih, nggapapa kan ya?"
"Iya nggapapa Bang Fer." Jawab Bella.
Ferdi masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan aku dan Bella di sini. Bella membalikan badannya ke arahku, ia nampak terkejut mengetahui aku duduk di tangga memandanginya dengan heran.
"Mas Adrian kenapa?" Tanyanya.
"Nggapapa kok..." aku menepuk lantai beberapa kali, "sini duduk."
Bella pun duduk di sampingku, kami menyalakan rokok kami masing-masing.
"Jadi gimana Bel?" Tanyaku.
"Ya gitu deh Mas, masih gini-gini aja belum ada perkembangan yang melesat banget. Aku suka ngga ngerti aja kenapa Bang Ferdi tuh lama banget mikirnya, padahal udah aku kasih kode-kode..."
Bella menatapku, aku pun menatapnya dengan heran.
"Bentar, jadi kamu beneran..."
"Mas Adrian!..." Bella menutup mulutku, "please jangan kasih tau Bang Ferdi."
Aku mengacungkan ibu jari tanganku padanya, ia pun menjauhkan tangannya dari mulutku. Aku pun bisa tersenyum dan berhasil membuat Bella salah tingkah.
"Dari kapan Bel?" Tanyaku.
"Hmm, inget ngga dulu pas aku sama Mas Adrian ngebahas kedekatannya Bang Ferdi sama Ka Vero?" Tanya Bella.
Aku menganggukkan kepala dan Bella menghisap rokoknya, "Nah sebenernya aku kaget banget pas Mas Adrian ngomong jangan cemburu gitu deh, aku kayak mencoba sekuat mungkin ngga ketauan. Sampai Mas Adrian sendiri bilang hati orang siapa yang tau, di situ tuh kena banget. Meskipun waktu itu aku kayak mikir Bang Ferdi ngedeketin Ka Vero, tapi aku tetep percaya aja kalau emang jodoh ngga akan kemana."
"Hati orang siapa yang tau... Ya aku inget ngomong itu ke kamu. Nah terus sekarang nunggu apa berarti?" Kataku.
"Aku bukan tipikal orang yang suka mulai duluan Mas, tau kan ada alasan apa?" Kata Bella.
Aku mengangukkan kepalaku lagi, "Intinya gini sih, kamu harus bisa memposisikan antara kerjaan dan pribadi. Apalagi Ferdi ya rekan kerja kamu juga, apapun yang terjadi harus tetep profesional. Urusan kalian gimana nantinya ya sebisa mungkin tetep profesional."
Bella menganggukkan kepalanya beberapa kali, rokok kami pun habis. Aku memutuskan untuk mengantar Bella pulang ke rumahnya.
"Eh ngga usah Mas, bentar lagi sampai kok." Katanya.
"Sampai? Maksudnya?" Tanyaku heran.
Sebuah motor mendekat ke arah kami, aku lihat itu adalah Bellin saudari kembarnya Bella. Bellin sedikit bercerita bagaimana akhirnya ia memutuskan untuk membeli motor untuk bekerja, jadi jika sempat ia akan menjemput Bella.
"Mas Adrian, pamit ya. Dah." Kata mereka bersamaan.
Mereka pun menjauh dan menghilang, "Edan bisa barengan kayak gitu ngomongnya, emang kembar identik sih."
Aku pun memutuskan untuk pulang menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, aku membuka pintu depan sambil memegang sepatu di tangan kanan.
"Astagfirullah!"
"Adrian kamu kenapa?" Tanya Renata.
Ternyata Renata yang sedang berdiri di dapur. Rambutnya yang terurai panjang dengan bajunya yang berwarna putih di antara remang lampu dapur. Aku mencoba untuk memastikan sekali lagi apakah itu benar Renata atau bukan.
"Kamu beneran Renata?" Tanyaku.
"Adrian apa sih! Jangan nakut-nakutin aku ah!" Katanya.
"Kalau kamu beneran Renata, berarti kamu tau kalung apa yang aku pakai." Kataku.
"Adrian Prawira..." Renata mendekat ke arahku, "kalung tali hitam dengan kunci Sora Kingdom Hearts."
"Nah beneran Renata berarti, soalnya cuma kamu doang yang pernah aku kasih liat kalung ini." Kataku.
Kami pun naik ke kamarku di lantai atas, Renata ternyata sedang menonton sebuah film. Setelah meletakkan semua barang di tempat biasa, aku pun duduk bersebelahan di sofa.
"Eh iya gimana soal karyawan baru?" Tanya Renata.
"Besok atau lusa interview di kedai." Jawabku.
Renata menganggukkan kepalanya, kemudian ia mengeluarkan permen dari dalam tasnya.
"Kamu mau permen?" Tanya Renata.
Aku menggelengkan kepalaku, ia mulai memakan permen tersebut. Aku melihat ke arah handphone karena ada pesan masuk dari Ferdi, ia memberitahukan bahwa kandidat satu-satunya untuk karyawan baru menyanggupi untuk datang esok hari.
"Tapi kayaknya kalau yang ini kamu bakalan suka, aku tau caranya gimana kamu bisa suka sama permen." Kata Renata.
Ku letakkan handphone di atas meja lalu aku mengernyitkan dahiku, "Gimana caranya?"
Renata memegang permen di tangannya, kemudian ia mencium bibirku cukup lama. Setelah itu ia menjauh, "Suka kan sama permennya?"
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Kalau itu kayaknya sebuah pengecualian."
Ia pun ikut tersenyum dan kembali memakan permen tersebut. Renata menyenderkan kepalanya di pundakku dan kami pun melanjutkan menonton film di TV.
Dalam hati aku berkata, "Bukan suka permennya, aku suka sama kamu."
***
Drrt! Drrt!Renata melihat ke arah handphonenya, ia menjawab panggilan yang masuk. Kemudian ia berjalan keluar sambil tetap menjawab panggilan tersebut.
Ferdi menghampiriku, "Eh besok ada yang mau dateng buat interview."
"Loh cepet banget? Bukannya baru diumumin hari ini?" Tanyaku.
"Sengaja gue bagi aja, ntar kalau emang besok di antara mereka ngga ada yang cocok baru deh kita cari lagi. Buka e-mail aja ntar lu baca-baca." Kata Ferdi.
Aku mengangguk, Ferdi kembali ke tempatnya. Renata kembali masuk, tidak sendirian melainkan dengan satu orang lain. Setelah memesan, Renata mengajak orang tersebut ke tempat dimana aku duduk. Mataku tertuju pada Renata dan orang tersebut.
"Adrian, kenalin ini Mama aku..."
Dengan cepat aku berdiri hingga membuat Mamanya Renata sedikit terkejut. Aku mulai memperkenalkan diriku sesopan mungkin, sambutan hangat pun diberikan oleh Mamanya Renata.
"Bang Fer, itu siapa ya?" Tanya Bella.
"Hmm..." Ferdi mengamati, "kalau diliat-liat dari kelakuan Adrian kayak gitu berarti yang sama Renata itu orang penting. Mungkin nyokapnya Renata."
"Kelakuan Mas Adrian?" Tanya Bella.
"Kamu liat ngga tadi dia berdiri sigap banget?..." Bella menganggukkan kepalanya, "itu salah satu sikap Adrian kalau ketemu orang yang dia hormatin. Dalam artian gini, semua orang pasti dia hormatin. Tapi ada beberapa orang yang akan dapat perlakuan kayak gitu dari Adrian."
Bella menganggukkan kepalanya, "Aku paham sekarang."
Meninggalkan Bella dan Ferdi di sana, di hadapanku kali ini sudah ada orang yang berperan penting bagi Renata. Seperti biasa, aku mulai menegakkan posisi dudukku. Renata yang mengetahui akan hal itu menepuk tanganku beberapa kali dengan isyarat agar aku tidak terlalu kaku.
"Nak Adrian, ini usaha kamu yang diceritain Renata?" Tanya Mamanya Renata.
"Iya Tante, ini punya saya sama yang lagi jaga kasir." Kataku.
"Tante seneng anak muda kayak kamu udah bisa bisnis dan hidup mandiri." Katanya.
Perbincangan kami berlanjut. Jika aku boleh membandingkan, pembicaraanku dengan Mamanya Renata lebih ke arah gaya hidup anak muda. Bagaimana soal pekerjaan, hobi, dan cita-cita. Berbeda ketika aku berbincang dengan Papanya, lebih ke arah bisnis atau mungkin memang karena ia juga seorang pebisnis. Kali ini aku jauh bisa lebih santai.
Tak terasa hari semakin gelap, akhirnya Renata dan Mamanya berpamitan untuk pulang. Aku hanya bisa mengantarkan sampai parkiran, kemudian mereka melaju hingga hilang dari pandanganku. Aku kembali masuk ke dalam, tidak kembali ke kursi melainkan menuju Bella dan Ferdi.
"Emang yang tadi itu Mamanya Ka Renata ya Mas?" Tanya Bella.
"Loh hebat kamu Bel bisa tau." Kataku cukup terkejut.
"Aku dikasih tau sama Bang Ferdi." Ucapnya.
"Hebat lu udah dipertemukan aja sama nyokapnya." Ferdi mendekat.
"Udah ngga usah dibahas, mana gue pinjem laptop dong mau liat yang tadi lu kasih tau." Kataku.
Ferdi mengeluarkan laptop dari dalam tasnya, kemudian ia menyerahkannya kepadaku. Aku mulai membuka e-mail dan membaca pesan yang masuk perihal penambahan karyawan untuk kedai ini.
"Gue sama Bella udah punya kuncian masing-masing, tapi sama-sama belum tau siapa. Nah abis lu tentuin kuncian lu, baru kita debatin." Jelas Ferdi.
Aku mengangguk, kemudian aku membawa laptop ke halaman belakang. Ku nyalakan sebatang rokok lalu aku mulai membaca pesan-pesan tersebut. Ada sekitar 20 pelamar yang tentu saja membuatku terkejut karena lowongan ini dibuka kurang dari 24 jam. Satu per satu aku mulai membaca apa saja yang mereka tuliskan, tentang latar belakang, motivasi dan sebagainya.
"Edan semua ini mah." Kataku seorang diri.
Aku pun selesai membaca semuanya, beberapa menit yang aku butuhkan untuk berpikir hingga akhirnya aku bisa memilih dua orang sebagai kuncian untukku. Aku kembali membaca tentang dua orang yang menarik perhatianku secara seksama.
Setelah merasa cukup, aku kembali ke dalam menuju tempat Bella dan Ferdi berada. Aku menyerahkan kembali laptop milik Ferdi, Bella pun mendekat ke arahku.
"Gimana Mas? Ada yang cocok?" Tanya Bella.
Aku mengangguk, "Tapi kayaknya pilihanku sama Ferdi sama."
"Yakin lu sama?..." Ferdi memberikan kertas dan pulpen, "coba tulis dua nama kuncian kalian."
Kami bertiga mulai menulis pilihan kami bersama-sama, secara bersamaan kami menunjukkan tulisan kami satu sama lain. Kami cukup terkejut dengan hasilnya, aku pun membulatkan nama dengan pulpen.
"Ngga ada settingan kan? Kok dari dua pilihan kita masing-masing ada nama yang sama?" Tanyaku heran.
"Aku merinding loh Mas ngeliat hasilnya." Kata Bella.
"Kalau aku sama Adrian bisa aja sama, soalnya visi misi kita soal nyari pegawai masih sama. Nah kalau kamu Bel, kok bisa samaan juga?" Ucap Ferdi.
"Win-win solution..."
Ferdi menatap Bella, "Maksudnya gimana Bel?"
"Kalau aku narik garis ke belakang ada alasan kenapa aku bisa diterima di sini, padahal aku ngga punya basic apa-apa. Ternyata emang aku diajarin bener-bener dari awal banget, terlebih pas Mas Adrian nawarin untuk belajar kopi secara gratis. Padahal pas aku tau biaya belajarnya Mas Adrian soal kopi tuh aku langsung kaget, kok Mas Adrian mau ngajarin aku gratis. Ternyata ya win-win solution jawabannya..."
Aku tersenyum mendengar apa yang Bella ucapkan.
"Dan untuk orang yang sama-sama kita pilih, itu juga win-win solution buat kita dan juga buat dia. Motivasi dan kemauan yang kuat akan didukung sama kita, dari mulai yang basic sampai mungkin bisa jadi kayak aku gini. Bener kan Mas Adrian?" Ucap Bella.
Aku bertepuk tangan pelan beberapa kali, aku menjabat tangan Bella lalu aku memeluknya. Setelah itu aku menatap Ferdi, "Akhirnya ada yang paham sama konsep hidup gue. Nah sekarang giliran lu, gue tau tipikal yang lu mau buat karyawan. Tapi kenapa lu juga bisa milih nama itu? Coba liat nama yang satu lagi, dia orang yang paling punya pengalaman dari semuanya."
"Ya jawaban singkatnya sih gue berkaca sama Bella. Orang itu punya potensi yang perlu kita asah aja, hasilnya gimana ya belum ada yang tau. Tapi balik lagi ke Bella, dia contoh yang berhasil. Jadi itu kenapa gue milih dia juga." Jelas Ferdi.
"Jadi sepakat nih? Kalau gitu kontak orangnya, besok atau lusa dia bisa dateng ke sini buat interview." Kataku.
Ferdi pun menyetujuinya, ia mencoba untuk menghubungi orang tersebut. Malam pun tiba, kami memutuskan untuk tutup setelah tidak ada lagi pelanggan yang tersisa.
Ferdi memasukkan handphone ke dalam saku kemejanya, "Eh Bel, aku duluan ya. Ada panggilan mendadak nih, nggapapa kan ya?"
"Iya nggapapa Bang Fer." Jawab Bella.
Ferdi masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan aku dan Bella di sini. Bella membalikan badannya ke arahku, ia nampak terkejut mengetahui aku duduk di tangga memandanginya dengan heran.
"Mas Adrian kenapa?" Tanyanya.
"Nggapapa kok..." aku menepuk lantai beberapa kali, "sini duduk."
Bella pun duduk di sampingku, kami menyalakan rokok kami masing-masing.
"Jadi gimana Bel?" Tanyaku.
"Ya gitu deh Mas, masih gini-gini aja belum ada perkembangan yang melesat banget. Aku suka ngga ngerti aja kenapa Bang Ferdi tuh lama banget mikirnya, padahal udah aku kasih kode-kode..."
Bella menatapku, aku pun menatapnya dengan heran.
"Bentar, jadi kamu beneran..."
"Mas Adrian!..." Bella menutup mulutku, "please jangan kasih tau Bang Ferdi."
Aku mengacungkan ibu jari tanganku padanya, ia pun menjauhkan tangannya dari mulutku. Aku pun bisa tersenyum dan berhasil membuat Bella salah tingkah.
"Dari kapan Bel?" Tanyaku.
"Hmm, inget ngga dulu pas aku sama Mas Adrian ngebahas kedekatannya Bang Ferdi sama Ka Vero?" Tanya Bella.
Aku menganggukkan kepala dan Bella menghisap rokoknya, "Nah sebenernya aku kaget banget pas Mas Adrian ngomong jangan cemburu gitu deh, aku kayak mencoba sekuat mungkin ngga ketauan. Sampai Mas Adrian sendiri bilang hati orang siapa yang tau, di situ tuh kena banget. Meskipun waktu itu aku kayak mikir Bang Ferdi ngedeketin Ka Vero, tapi aku tetep percaya aja kalau emang jodoh ngga akan kemana."
"Hati orang siapa yang tau... Ya aku inget ngomong itu ke kamu. Nah terus sekarang nunggu apa berarti?" Kataku.
"Aku bukan tipikal orang yang suka mulai duluan Mas, tau kan ada alasan apa?" Kata Bella.
Aku mengangukkan kepalaku lagi, "Intinya gini sih, kamu harus bisa memposisikan antara kerjaan dan pribadi. Apalagi Ferdi ya rekan kerja kamu juga, apapun yang terjadi harus tetep profesional. Urusan kalian gimana nantinya ya sebisa mungkin tetep profesional."
Bella menganggukkan kepalanya beberapa kali, rokok kami pun habis. Aku memutuskan untuk mengantar Bella pulang ke rumahnya.
"Eh ngga usah Mas, bentar lagi sampai kok." Katanya.
"Sampai? Maksudnya?" Tanyaku heran.
Sebuah motor mendekat ke arah kami, aku lihat itu adalah Bellin saudari kembarnya Bella. Bellin sedikit bercerita bagaimana akhirnya ia memutuskan untuk membeli motor untuk bekerja, jadi jika sempat ia akan menjemput Bella.
"Mas Adrian, pamit ya. Dah." Kata mereka bersamaan.
Mereka pun menjauh dan menghilang, "Edan bisa barengan kayak gitu ngomongnya, emang kembar identik sih."
Aku pun memutuskan untuk pulang menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, aku membuka pintu depan sambil memegang sepatu di tangan kanan.
"Astagfirullah!"
"Adrian kamu kenapa?" Tanya Renata.
Ternyata Renata yang sedang berdiri di dapur. Rambutnya yang terurai panjang dengan bajunya yang berwarna putih di antara remang lampu dapur. Aku mencoba untuk memastikan sekali lagi apakah itu benar Renata atau bukan.
"Kamu beneran Renata?" Tanyaku.
"Adrian apa sih! Jangan nakut-nakutin aku ah!" Katanya.
"Kalau kamu beneran Renata, berarti kamu tau kalung apa yang aku pakai." Kataku.
"Adrian Prawira..." Renata mendekat ke arahku, "kalung tali hitam dengan kunci Sora Kingdom Hearts."
"Nah beneran Renata berarti, soalnya cuma kamu doang yang pernah aku kasih liat kalung ini." Kataku.
Kami pun naik ke kamarku di lantai atas, Renata ternyata sedang menonton sebuah film. Setelah meletakkan semua barang di tempat biasa, aku pun duduk bersebelahan di sofa.
"Eh iya gimana soal karyawan baru?" Tanya Renata.
"Besok atau lusa interview di kedai." Jawabku.
Renata menganggukkan kepalanya, kemudian ia mengeluarkan permen dari dalam tasnya.
"Kamu mau permen?" Tanya Renata.
Aku menggelengkan kepalaku, ia mulai memakan permen tersebut. Aku melihat ke arah handphone karena ada pesan masuk dari Ferdi, ia memberitahukan bahwa kandidat satu-satunya untuk karyawan baru menyanggupi untuk datang esok hari.
"Tapi kayaknya kalau yang ini kamu bakalan suka, aku tau caranya gimana kamu bisa suka sama permen." Kata Renata.
Ku letakkan handphone di atas meja lalu aku mengernyitkan dahiku, "Gimana caranya?"
Renata memegang permen di tangannya, kemudian ia mencium bibirku cukup lama. Setelah itu ia menjauh, "Suka kan sama permennya?"
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Kalau itu kayaknya sebuah pengecualian."
Ia pun ikut tersenyum dan kembali memakan permen tersebut. Renata menyenderkan kepalanya di pundakku dan kami pun melanjutkan menonton film di TV.
Dalam hati aku berkata, "Bukan suka permennya, aku suka sama kamu."
***
Diubah oleh beavermoon 18-03-2020 20:23
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas