istijabahAvatar border
TS
istijabah
Perempuan di Bawah Pohon Besar Itu
Cerpen Horor


Pertengahan bulan April di tahun 2012 setelah mendapat sebulan dari hari pernikahan, aku pertama menginjakkan kaki di tanah Borneo, tepatnya di kota Sampit, Kalimantan Tengah.

Itu adalah kali pertama aku keluar dari pulau Jawa dan jauh dari keluarga. Berat? Pasti, tapi demi bakti pada suami, ya tetap harus dijalani.

Hari ke tiga berada di kota Sampit, suami mengajakku melihat rumahnya — rumah yang memang dia persiapkan saat berumah tangga — di sebuah kompleks yang dulunya adalah perkampungan kecil.

Sampai di sana aku disambut oleh banyaknya rumput liar juga pohon-pohon besar di sekeliling luas tanah tempat rumah itu berdiri, terlihat angker karena kami berdua datangnya sore hari. Kebetulan tanah sepanjang 150 meter itu adalah milik keluarga suami, jadi tidak ada bangunan lain selain rumah suamiku itu.

"Rumahnya belum jadi seratus persen, Dek. Entar selama penyempurnaan rumah ini, kita akan tinggal di rumah kakak," ucapnya saat sudah berada di dalam rumahnya.

"Belum ada kamar mandinya, ya, By?" tanyaku saat menyusuri bagian belakang bangunan itu.

"Belum, ini sekalian mau ngukur tanahnya dulu, cukup apa gak buat kamar mandi," jawabnya sembari merogoh tas kecil yang ada di pinggangnya. "Ambilkan, meteran di belakang pintu masuk itu, Dek!" suruhnya kemudian.

Aku bergegas menuju tempat yang disebut suami tadi dan sebelum mengambilnya aku melihat keluar rumah. Di sana, di depan — agak sebelah timur — rumah ada seorang perempuan yang berbaju kebaya tengah menatapku sembari menyunggingkan senyum. Aku pun membalas senyum itu lalu kembali ke dalam.

Sembari menunggu suami mengukur tanah, aku berkeliling, saat sampai di samping rumah, ada sekelebat bayangan putih yang melintas di antara pohon besar di sana. Aku tertegun sejenak, kemudian berbalik mendatangi suami saat merasakan bulu kudukku meremang.

"By, ada perempuan tadi lewat di sana, siapa ya? tanyaku dengan menunjuk tempat bayangan tadi.

"Oh, mungkin istrinya Kurdi, itu rumahnya." Suamiku menunjuk satu rumah di ujung timur rumah kami. Kemudian suami mengajak pulang setelah kujawab dengan anggukan.


***

Tujuh bulan sudah usia pernikahan kami dan aku tengah hamil enam bulan. Kami sudah mempati rumah sendiri, tidak lagi tinggal di rumah kakak ipar.

Semenjak pindah aku tidak menemukan hal-hal aneh di rumah ini, meski kadang ditinggal sendirian sama suami. Aku sering melihat perempuan yang dulu tersenyum ke arahku itu duduk di bawah pohon yang terbilang besar jika dibandingkan yang lain. Kadang dia seperti merenung, kadang tersenyum juga, tapi saat ingin aku datangi dia segera bergegas pergi.


Aku tidak merasa aneh sih, karena aku pikir dia hanya perempuan yang tidak suka bersosialisasi saja. Namun, di suatu malam suamiku mengajakku ke rumah Kurdi, saat itu aku tidak masak untuk makan malam, makanya dia mengajak makan soto saja di rumah Kurdi. Kebetulan kata suami, istri Kurdi  baru membuka warung soto di rumahnya, sebelumnya saat aku pertama pindah dan bersilaturahmi ke sana aku tidak bertemu dengan istrinya itu.


Sesampainya di sana aku sangat kaget karena istri Kurdi itu perempuan modern dan glamor, berbeda dengan perempuan yang aku lihat setiap sore di bawah pohon itu. Lalu siapa yang aku lihat itu? Otakku mulai berpikir yang aneh-aneh karena menyadari bahwa selama tinggal di kompleks ini aku belum menemukan perempuan yang berdandan ala jaman dulu, kecuali perempuan itu.


***

Tepat akhir bulan Desember aku melahirkan, desas-desus tentang adanya hantu kuyang yang mengincar perempuan yang baru melahirkan pun sempat aku dengar dari cerita tetangga saat berbelanja. Makanya aku tak mau ditinggal sendirian lagi.

Saat bayiku berusia satu bulan, untuk yang pertama kalinya anakku rewel, sering menangis berjam-jam. Anehnya, dia hanya menangis pas waktu masuk sholat Maghrib dan bila dibawa keluar dari kamar dia akan semakin histeris sampai wajahnya membiru. 

Hal itu berlanjut sampai satu pekan, sampai anakku kurus. Kata bidan anakku itu kolik, tapi karena masih sering nangis tanpa sebab kami membawanya ke dokter spesialis anak, tapi dokternya bilang tidak ada ciri-ciri kolik pada anakku.


"Coba dibawa ke rumah ustadz Imam, Mbak." Saran tetangga belakang rumahku yang kebetulan berkunjung. Orang-orang biasanya mendatangi rumah ustadz Imam itu saat anaknya rewel, untuk minta air barokah katanya.


***

"Minumkan setiap masuk adzan maghrib, insya Allah akan membaik," kata Ustadz Imam itu sembari menyerahkan air yang sebelumnya sudah dibacakan doa olehnya.


Bayi yang seharusnya hanya minum ASI saat dikasih minum air tentunya perutnya akan kembung. Bukannya berhenti menangis yang ada anakku semakin menjadi, semalaman menangis sampai suaranya serak. Menjelang subuh anakku baru bisa tidur setelah kubacakan beberapa ayat Al-Qur'an dan meniupkan di atas ubun-ubunnya.


***


"Dek, Nanti malam aku kumpulan di kompleks barat, agak lama mungkin karena sekalian baca tahlil," ucap suamiku sesaat setelah makan siang.

Setiap malam Jum'at, suamiku memang biasanya ikut acara sholawat bersama yang diadakan ketua kompleks. Kompleks barat kebetulan lumayan jauh dari rumah kami, aku hanya meng-iyakan karena aku lahiran pun sudah lewat dari 40 hari.

Malamnya, setelah sholat isya' suami berangkat dan aku mengisi waktu sendiri dengan membaca novel. Belakangan anakku sudah mulai tidak menangis histeris lagi, hanya kadang-kadang saja. Lelah mencari obat, kami memilih berikhtiar sendiri dengan membacakan ayat-ayat khusus yang ditiupkan ke ubun-ubunnya.

Tak terasa novel yang aku baca sudah sampai halaman akhir. Kulirik jam di dinding, ternyata sudah hampir jam sebelas malam dan suamiku juga belum datang.

"Sepi sekali," gumamku saat membuka tirai jendela kamar. Tak ingin bangun kesiangan, aku berniat tidur duluan. Toh, suami bawa kunci cadangan, tapi sesaat setelah memejamkan mata, rasanya ada yang menggelitik kakiku, seperti ada sesuatu yang digesek-gesekkan.

Kucoba membuka mata, di antara penglihatanku yang masih remang-remang aku melihat ada orang berbaju putih. Kupikir itu suami, tapi saat mencoba bangun dan mataku terbuka sempurna, badanku terasa kaku.

Di sana, di ujung kasur ada perempuan yang biasanya duduk di bawah pohon itu tengah menatap anakku yang tengah terlelap di sampingku dengan penuh minat. Matanya lebar dengan rambut panjang tergerai kusut, bajunya bukan lagi kebaya, tapi seperti jubah putih lebar yang kebesaran di tubuhnya.

Aku tak bisa berkata-kata, ingin berteriak minta tolong, tapi tenggorokanku rasanya terkunci. Keringat mulai bercucuran, badan gemetar, kepala pun pening seketika yang kemudian merenggut kesadaranku. Ya, aku memang sepenakut itu.

***

 Saat terbangun, aku langsung menangis histeris mencari anakku yang tidak ada di sampingku.


"Apa, Dek? Ini tengah malam!" Tiba-tiba suamiku datang dengan anakku dalam gendongannya.


"Ya Allah, ya Allah … anakku!" Aku langsung mengambilnya dan menciumi seluruh wajahnya.

Setelah tenang, suamiku bertanya ada apa, kok aku sampai histeris begitu dan saat tadi dia katanya anakku lagi menangis keras. Sedang aku terlelap di sampingnya, tidak terusik sedikit pun meski tubuhku sudah diguncang-guncang. Akhirnya, dia yang menggendongnya dan membawanya keluar kamar.

Akupun akhirnya menceritakan apa yang terlihat tadi secara detail, meski rasanya dadaku masih berdebar keras.


"Jadi dari tadi aku bangunin orang pingsan?" tanya suamiku sambil terkekeh.


"Jangan tertawa, By! Setelah ini aku gak mau tinggal sendirian di rumah!" seruku sambil mencubit perutnya.


"Pantas tadi habib menyuruhku segera pulang," ucap suamiku setelah tawanya mereda dan berganti dengan wajah serius menatapku.


"Habib siapa?" tanyaku kemudian menaruh anakku ke tempat tidur.


Suamiku pun menceritakan bahwa saat mau pulang, di jalan dia bertemu dengan seorang habib, dia seorang musafir yang berniat ziarah ke Banjarmasin. Namun, masih menumpang bermalam di rumah temannya di kompleks barat. Habib tersebut langsung bilang kalau anak kami tengah diincar oleh mahluk halus. Padahal suamiku tak menceritakan apa-apa, setelah itu habib tersebut langsung menyuruh suami segera pulang.


"Ini apa, By?" tanyaku setelah menerima kertas yang diulurkan suami.


"Habib itu menyuruh membaca ayat-ayat di kertas itu, kemudian meniupkan ke segelas air, airnya diteteskan ke bibir dan diusapkan ke seluruh tubuh bayi kita, sisanya dipercikkan ke sekeliling rumah ini," jelasnya yang langsung kuangguki.


Sumber: Pinterest



Ternyata sebelum tragedi di kota ini, tanah yang dibangun rumah kami ini adalah kebun rambutan milik keluarga suami. Begitu pun tanah-tanah di sekeliling, dulu di sini cuma ada beberapa rumah penduduk yang semuanya adalah para petani rambutan.

Komplek perumahan yang ada di belakang rumah kami, dulunya adalah kuburan seorang perempuan yang meninggal saat melahirkan. Pohon besar tempat biasanya aku lihat penampakan perempuan duduk di bawahnya itu adalah rumahnya.

Memang salah satu perumahan di komplek belakang itu ada yang terlihat sangat suram dan angker. Yang punya rumah pun cuma datang sesekali, entah karena alasan apa, yang pernah kudengar orangnya tidak betah. Begitu saja.

***

Sejak malam itu, anakku tumbuh seperti bayi biasa pada umumnya. Menangis, tapi tidak pernah histeris, pohon besar itu pun akhirnya ditebang habis oleh suami.

Hanya saja, menurut desas-desus tetangga, kini di perumahan yang ada di belakang rumah kami itu setiap malam terdengar suara isak tangis seorang wanita. Akan tetapi tidak ada yang tahu dari rumah yang mana.

Aku suka sekali film atau cerita horor, tapi tidak pernah terpikir sekalipun bahwa hal semacam itu benar-benar ada dan mengganggu manusia. Hingga aku mengalaminya sendiri.

Tamat.

KASKUSProduct02
darmawati040
pulaukapok
pulaukapok dan 20 lainnya memberi reputasi
21
2.8K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Tampilkan semua post
triwinartiAvatar border
triwinarti
#10
Quote:


iya mbk
istijabah
embunsuci
embunsuci dan istijabah memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.