sofiyuenAvatar border
TS
sofiyuen
Pancuran di Belakang Sekolah




Kisah ini bermula ketika ane kelas tiga SMP. Sebuah kejadian mistis yang coba ane ceritakan dalam bentuk cerpen.

======

Desas-desus tentang anak baru yang baru sebulan pindah ke sekolah ini semakin hangat. Bahkan sepagi Senin ini, bukannya menyiapkan diri untuk upacara bendera, tiga gadis di lokalku sibuk ngerumpi.


"Kasihan dia. Digangguin terus sama penunggu pancuran belakang sekolah. Untung aku nggak pernah ke sana."


"Iya. Harusnya dia jangan dulu pergi ke tempat-tempat 'salah' kek gitu. Dia kan baru pindah. Belum terbiasa di sini."


Tiga teman cewek sedang bercerita dekat meja di depanku. Aku memasang telinga, tapi belum berkomentar.


"Udah tiga hari lho, ya, katanya di rumah pun dia digangguin sama makhluk halus itu. Malam-malam dia sering menjerit, ketakutan." Dena, salah satu dari cewek itu melanjutkan informasinya. Sebagai tetangga Anna- si anak baru-, setiap kata dari bibirnya seperti firman Tuhan. Dipercayai dan diaminkan oleh penggemarnya.


Anna pindahan dari Palembang. Wajah cantik dan pintar membuat dia jadi primadona sekolah kami. Untunglah statusnya sebagai adik kelas membuatku tak harus melihat mata teman-teman cowokku jadi juling selama dalam lokal. Sekalipun baru SMP, nampaknya virus-virus merah jambu sudah menghampiri kami semua.


Segala sesuatu tentangnya menjadi semakin sering dibahas ketika Jumat lalu sekitar jam sepuluh dia pingsan sekembali dari pancuran.


"Eh, Rasti bukannya sering ke pancuran itu ya?" Dena beralih padaku yang merapikan topi di kepala. Sebentar lagi upacara dimulai. Hari ini aku bertugas sebagai pembaca undang-undang.


"Lumayan. BAB di sana jauh lebih nyaman dari pada di toilet sekolah yang baunya awet kayak Molto," ujarku santai. Bukan rahasia umum lagi kalau WC siswa adalah tempat paling horor selain kuburan. Baunya nggak nahan.


"Terus, ada yang aneh nggak? Kamu merinding nggak?"


"Biasa aja. Selama ini aman-aman, kok. Tapi sekarang agak ngeri juga aku mau ke sana." Jujur saja, selama sekolah di sini, baru kali ini ada kasus kesurupan. Dan aku tak bisa untuk tidak merinding.


Pancuran yang dimaksud berjarak lima puluh meter dari pagar sekolah. Sebuah jalan tikus seringkali kami manfaatkan untuk melipir ke sana bila ingin buang hajat. Airnya yang deras dan bersih membuat kami tak peduli dengan semak-semak di sekitarnya. Lagian pancuran itu juga dipakai oleh beberapa warga yang bermukim tak jauh dari sana.


Entah memang Anna 'kena' di sana, atau kebetulan karena ia baru pulang dari sana, pancuran kini menjadi buah bibir di lingkungan sekolah. Lokasi sekolah yang memang bekas rimba belantara membuat banyak kisah mistis berembus di sana.


"Ayok, Ras! kita ke lapangan. Gladi bersih dulu." Satria melambaikan tangan dari pintu. Aku bergegas meninggalkan lokal meski terlihat Dena ingin bertanya lagi.


Upacara pagi ini berjalan lancar. Hanya saja menjelang dibubarkan terjadi keributan di barisan kelas tujuh. Sekilas aku melihat seseorang digotong oleh tim PMR ke kantor guru.


"Siapa sih yang pingsan?" Aku menghampiri Satria yang bertugas sebagai pemimpin begitu barisan dibubarkan. Dari tempatnya berdiri pastilah jelas siapa yang ditandu menuju UKS.


"Anna. Kayaknya sakitnya kumat. Ayok, bantuin aku ngambil buku latihan Fisika di meja Bu Ridha," ajaknya.


"Ih, aku takut," tolakku. Anna tadi dibawa ke kantor guru, kan? Kalau iya, seram dong. Pasti sekarang makhluk halus yang gangguin Anna juga ada di sana.


"Ayolah. Aku juga takut ini, makanya ngajak kamu." Satria menarik lengan bajuku. Mau tak mau aku mengikuti langkahnya.


Lamat-lamat terdengar teriakan dan tangisan dari dalam ruang guru. Aku dan Satria berpandangan. Ngeri, tapi berusaha berani.


Setelah dorong-dorongan sejenak, Satria berhasil masuk duluan. Aku mengekor di belakangnya. Tampak Anna dibaringkan di sofa panjang. Beberapa siswi memeganginya. Dua orang guru berjilbab lebar tampak komat-kamit membacakan sesuatu.


"Dia datang ... dia datang ... Tidak. Jangan mendekat!" Jeritan histeris Anna membuatku tersentak kaget. Matanya nyalang dan menunjuk ke pintu. Ke tempatku berdiri.


"Kakinya penuh darah ... tubuhnya besar ... rambutnya panjang ... aaa ... jangan mendekat. Aku takut. Jangaaan ...!" Tangannya kembali menunjukku yang bergerak masuk.


Aku beringsut ke pinggir ruangan. Ketakutan setengah mati. Rasanya aku yang dibilang Anna sebagai hantu penuh darah dan berambut panjang. Satria cepat menuju meja Bu Ridha di belakang sofa panjang dan mengambil buku.


"Jangan ikuti aku lagi ... aku mohon. Aku nggak tahu apa salahku ... tolong keluar dari sini. Aku takut."

Anna menangis terisak-isak. Matanya masih menuju ke arahku. Aku mengkeret ke dinding dan segera melipir begitu Satria berhasil mendapatkan setumpuk buku lokal kami.


"Jangan ikuti dia." Suara Bu Asni membuatku menoleh. Mata beliau menatap ke arahku tapi terlihat fokusnya bukan padaku.


"Cukup hanya Anna yang kamu ganggu. Pergilah ke asalmu dan tenanglah di sana!"


Hening. Ruangan terasa sedingin es. Bulu kudukku sudah meremang tak karuan.


"Diamlah kembali ke rumahmu. Jangan mengganggu anak-anak kami atau siapapun lagi." Tegas dan dalam suara Bu Asni. Matanya tak bergeming menatap sesuatu yang kasat mata.


Dalam detik yang menegangkan itu Anna kembali bersuara pelan.


"Dia nggak mau ... dia ke sini lagi. Tidaaaak! Huhuhuhu ...."


Aku sudah melompat keluar ruangan. Tak mau lagi mendengar apapun itu yang bisa membuatku jatuh pingsan.


#####


Dua tahun kemudian.


Aku mengepak barang-barang ke kamar sebelah. Kepulangan saudara ibu kost membuatku harus pindah kamar ke ujung yang selama ini jadi kamar kosong. Biasanya aku tinggal serumah dengan beliau, sekarang aku harus beda pintu meski masih satu atap.


Nina pulang kampung menjemput uang belanja. Tinggalah aku Sabtu malam ini sendirian. Hujan di luar mengantarkan udara dingin yang lebih kuat. Aku bergulung dalam selimut dan memutuskan tidur lebih awal.



sumber gambar: klik


Menjelang tengah malam, antara sadar dan tidak aku mendengar ketukan di pintu. Kubiarkan saja karena berpikir itu hanyalah orang iseng. Setengah jam kemudian, mataku kembali kembali terbuka paksa karena ada kesiuran angin menerpa wajah.


Mataku terbeliak.


Beberapa meter di depan wajahku yang tidur tanpa dipan, sosok besar berambut panjang dengan wajah tak jelas menjulurkan tangan. Kedua tungkainya berayun di kayu loteng yang sudah jebol. Sontak aku kehilangan napas.


Kakinya penuh darah!


####


"Aku mau pindah kost," ceritaku pada Satria di kantin sekolah. Kami sudah duduk di bangku kelas sebelas. Hingga hari ini kami masih jadi sahabat dekat.


"Kenapa? Bukankah Sabtu kemarin kamu masih semangat mau pindah kamar, bukannya pindah kost?" Cowok berbulu mata lebat itu menatapku heran.


Kualihkan pandang sesaat pada jalan raya yang dilintasi satu dua kendaraan. Ingatanku melayang pada malam jahanam yang membuat aku nyaris mati ketakutan sambil memeluk Alqur'an. Bahkan semalam aku harus menumpang tidur di kamar kost teman meski Nina sudah pulang.


Cerita perlahan mengalir dari mulutku.


"Kamu nggak cerita sama ibu kost?" tanyanya lagi.


"Wajahnya langsung berubah dan mendadak jadi ketus. Karena itulah aku ingin pindah saja."


Hening. Aku memutar sedotan di tangan. Satu hal yang sangat menganggu baru kusadari sejak malam itu.


"Sat ...," panggilku ragu.


"Ya?"


"Kejadian dua tahun lalu, waktu kita masih SMP. Kamu masih ingat Anna pindahan dari Palembang yang katanya kesurupan karena hantu pancuran?"


"Ya ... kenapa emangnya? Bukankah tak lama setelah peristiwa dia pingsan di sekolah itu dia dibawa lagi sama orang tuanya pulang kampung?"


"Ternyata bukan hantu pancuran, Sat ... tapi ...." Ragu aku menatap matanya sejenak.


"Ya?" Sorot mata Satria mendesak, tak sabar menanti kelanjutan kalimatku.


"Mungkin saja itu adalah awa. Penampakan malam itu begitu jelas seperti yang diceracaukan Anna. Bukan hantu pancuran yang mengganggunya. Melainkan penunggu rumah kost-ku. Ciri-cirinya persis seperti yang sering diceritakan nenekku waktu kami kecil. Tubuh besar, wajah tak jelas, rambut panjang, berjuntai di kayu rumah, dan ... kakinya berdarah. Aku baru tahu kalau rumah itu adalah tempat Anna dulu tinggal bersama orang tuanya dari ibu kost pagi kemarin. Setelah itu mukanya langsung masam dan pergi gitu aja."


Ya. Seandainya saja Dena melanjutkan SMA di pusat kecamatan seperti kami, mungkin sudah jauh-jauh hari ia mengoceh tentang rumah kost-ku dan kisah Anna.


"Rasti ...."


Aku menoleh ketika Satria menggenggam tanganku secara tiba-tiba.


"Segeralah pindah sebelum hantu itu berhasil menempelimu. Aku bantu mengepak barangmu nanti sepulang sekolah!"


End.


Note

Awa adalah hantu perempuan yang biasanya menghuni loteng-loteng rumah tua di daerahku, Solok, Sumbar. Beberapa versi dari daerah lain di Sumbar mungkin berbeda. Kisah ini
terjadi tahun 2006 dan 2008.


Kabar terakhir yang ane dapat, Anna sudah sembuh setelah di rukyiah oleh orang tuanya di kampung halamannya, Palembang. Dia kembali melanjutkan sekolah meski sempat tertunda selama satu tahun.


TK, 17 Maret 2020.
Diubah oleh sofiyuen 18-03-2020 09:24
Yunie87
RobotElektrik
aa115prass
aa115prass dan 22 lainnya memberi reputasi
21
1.8K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.8KThread82.3KAnggota
Tampilkan semua post
jualbelibelutAvatar border
jualbelibelut
#7
aihh kok serem
sofiyuen
Yunie87
Yunie87 dan sofiyuen memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.