- Beranda
- Stories from the Heart
SeKamar Kos Dengan "Dia"
...
TS
afryan015
SeKamar Kos Dengan "Dia"

Halo agan agan sekalian, selamat datang di thread terbaru ane, dimana ini bisa disebut kisah atau lanjutan dari thread ane yang sebelumnya.
Mungkin bisa agan agan yang belun baca thread ane silahkan dibaca dulu thread ane sebelumnya
"Hidup Berdampingan Dengan Mereka'
Nah monggo yang belum baca silahkan dibaca dulu
oh iya bagi yang belum kenal ane, kenalin nama ane ryan, pemuda biasa yang berasal dari jawa tengah
Seperti biasa tempat nama dan lokasi bakal ane ganti, untuk kenyamanan bersama
Ok langsung aja menuju ceritanya,oh iya ane bakal ganti sebutan kata ane jadi aku hehehe soalnya aneh rasanya
Mungkin bisa agan agan yang belun baca thread ane silahkan dibaca dulu thread ane sebelumnya
"Hidup Berdampingan Dengan Mereka'
Nah monggo yang belum baca silahkan dibaca dulu
oh iya bagi yang belum kenal ane, kenalin nama ane ryan, pemuda biasa yang berasal dari jawa tengah
Seperti biasa tempat nama dan lokasi bakal ane ganti, untuk kenyamanan bersama
Ok langsung aja menuju ceritanya,oh iya ane bakal ganti sebutan kata ane jadi aku hehehe soalnya aneh rasanya
Quote:
Awal Mula Ngekos
Cerita ini bermula saat aku mulai memasuki bangku kuliah, disini aku masuk ke sebuah kampus swasta ternama di provinsi ***ja, kampus ku berada dipinggir jalan **** road *****, saat itu aku bersama kakaku mencari tempat kos di daerah dekat kampus, tapi sayangnya ongkos yang di perlukan untuk sewa kos di dekat kampus merogoh kocek yang lumayan menguras isi dompet.
Akhirnya kakaku menyarankan untuk menyewa kos dimana dulu kakaku pernah ngekos disana, yah walaupun jarak dari kos itu sampai ke kampus memerlukan waktu 5 - 10 menit untuk sampai, kupikir nggak masalah lah.
Langsung aku dan kakaku mengendarai motor mulai berangkat ke alamat kos tersebut, setelah beberapa menit kami berjalan akhirnya kita sampai di lokasi kos yang dulu pernah tinggal.
Quote:
Ya memang waktu itu harga segitu sangatlah murah dengan fasilitas sudah termasuk listrik dan air,
Aku dan kakak ku menunggu orang yang keluar dari dalam rumah kos.
Nggak membutuhkan waktu lama kemudian keluarlah seorang cewek dari dalam rumah kos itu
Quote:
Setelah masuk,kakaku menjelaskan kalo dia sedang mencari untuk aku adiknya, kemudian mbak dera mengajak kami untuk berkeliling melihat kamar kos yang masih tersedia.
Kos disini berjumlah 12 kamar 2 kamar mandi, posisinya 5 kamar dan 1 kamar mandi di lantai bawah, kemudian 7 kamardan 1 kamarmandi di lantai 2, oh iya posisi rumah menghadap ke arah timur dengan di sampingkanan rumah ada 1 rumah yang cukup luas dan jarang di tinggali dan di samping kiri ada rumah sekaligus tempat penjual makan yang kami sebut burjonan
Untuk kamar bawah sudaj terisi semua, makanya kita langsung di arahkan ke lantai 2, disana sudah ada 1 kamar yang di tempati,tepatnya pas di tengah tengah.
Dan disitu mbak dera mempersilahkan untuk Memilij kira kira mana yang menurutku nyaman untuk dipakai
Quote:
Aku mulai melihat satu persatu kamar yang masih kosong itu, aku memasuki salah satu kamar disamping kanan kamar yang sudah ada yang pakai itu, didalam ane ngelihat ada sebuah lukisan yang menurut ane kuno, dan lukisan itu adalah lukisan seseorang yang kalau di perhatikan ada aura yang sedikit membuat bulu kuduku berdiri saat melihatnya.
Walau kondisi kamar serasa nyaman tapi aku tetap merasa ada yang aneh dengan kamar itu, sehingga aku memutuskan untuk tidak menempati kamar itu, dan aku pikir untuk langsung keluar dari kamar itu,
Aku mulai keliling lagi kali ini aku memasuki kamar di sebelah kiri kamar yang sudah ada penghininya itu, kondisi kamar cukup luas dibandingkan dengan kamar kamar yang lain, untuk akses turun pun enak soalnya tangga untuk turun tepat di depan kamar ini dan dari sekian banyak kamar,hanya kamar ini saja yang memiliki 2 jendela,yang satu di depan berjejer dengan pintu masuk kamar dan satunya berada di sisi belakang,
Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk memilih kamar itu untuk di sewa
Quote:
Nah disini kita langsung deal dan kita langsung mau pamit pulang dan buat besok bawa barang barang untuk di letakan di kos,
Dan kita langsung pamit pulang, posisi kita masih di lantai 2.
tapi setelah aku membalikan badan dan mulai melangkah turun, samar samar aku melihat ada sesuatu masuk dan berjalan di samping ku, sesosok makhluk berwarna abu abu, tidak terlalu tinggi tapi gerakannya lumayan cepat jadinya aku hanya bisa melihatnya sekejap tapi belum jelas wujud apa itu.
Aku cuek aja dengan apa yang barusan kewat, lanjut kita jalan keluar, dari bawah kita bisa melihat keatas dan melihat kamar kamar yang ada di atas,
Iseng ane lihat keatas buat ngliat kamar ku nanti yang akan menjadi tempat istirahat selama aku di kota ini.
Waktu aku ngliat ke atas, aku ngliat ada cewek berambut panjang dengan pakaian santai, wajahnya cantik, hanya saja dia seperti orang sakit dengan wajah sedikit pucat, sosok cewek itu tersenyum kepadaku.
Quote:
Oh iya di sini aku udah nggak bisa ngrasain itu hantu atau bukan,soalnya kepala ku yang biasanya terasa pusing jika akan menemui hal seperti itu sudah tidak terasa lagi sejak akhir Ujian SMK waktu itu, ntah karna konlet kebanyakan mikir atau giman aku juga kurang tau.
Aku cuek saja dengan sosok cewek di lantai 2 itu dan aku tetap berjalan keluar untuk pulang. Dan di jalan aku menanyakan hal pada kakak ku
Quote:
Tapi di perjalanan aku merasa jadi bimbang gimana kalo itu bukan orang, dan gimana kalo iti beneran dan dia mau ganggu aku terus disana.
Sempat terfikir buat membatalkan ngekos si sana, tapi mau gimana lagi kita terlanjur sidah deal dan kita juga sudah membayar uang kosnya, jadi kalo mau di minta lagi yang jelas nggak enak apalagi mas bono udah kenal akhrab dengan pemiliknya
Akhirnya aku nggak kehilangan akal, buat nyari temen kos, dan ternyata ada satu temen kos ku yang mencari kos dan aku ajak dia buat ngekos disana. Dan syukurnya dia mau buat ngekos disana.
Aman batinku, ada temen yang bisa aku mintai tolong kalo bener akan terjadi sesuatu disana. Dan dia ku kirimi alamat buat dia kesana dan melihat kamarnya.
Keesokan harinya dia memberi kabar kalo dia jadi ngekos disana dan posisi kamarnya tepat di samping kamar ku. Lega rasanya kalo ada temen.
Dan 2 hari kemudian aku mulai menempati kamar itu, dan temenku yang ngekos di sebelahku kayanya sore hari baru dia sampai di kos kosan.
Karna hari waktu itu terasa panas, jam menunjukan pukul 1 siang, aku putuskan buat mandi karna merasa gerah, yah maklum aja daerahku di pegunungan jadi mungkin tubuh ini merasa kaget dan belum terbiasa, suasana membuat tubuhku penuh kringat,
Aku langsung berjalan menuju kamar mandi, dan langsung ane melaksanakan kegiatan mandi,
Sesuai dugaan ku kemarin pasti akan ada gangguan disini, waktu aku mandi tiba tiba ....
Bersambung.....
Diubah oleh afryan015 17-10-2023 13:21
3.maldini dan 311 lainnya memberi reputasi
288
493.7K
5.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
afryan015
#1842
Pulang
Selama beberapa jam aku terus mengobrol dengan Sinta hingga akhirnya Sinta tahu kalau aku sudah mulai mengantuk. Sinta menyudahi perbincangan kami. Dia menyuruhku untuk segera berangkat tidur supaya esok pagi aku tidak ketinggalan salat Subuh. Aku sempat berpikir dua kali untuk berangkat tidur karena aku tidak mau momen ini akan berakhir. Dan kata-kata Sinta tadi yang mengatakan dia akan mulai di sisiku terus itu hanya sebagai pelega atas jawabanku saja.
“Udah sana tidur daripada besok kesiangan.”
“Enggak, Ta, nanti aja. Aku masih nyaman dengan momen ini. Aku enggak mau ini berakhir hari ini.”
“Kan tadi aku udah bilang, Yan. Aku sudah diizinkan untuk menemanimu lagi. Jadi, enggak usah khawatir kalau aku enggak ada di sampingmu besok pagi. Aku bakal ada saat kamu membuka mata dan terbangun dari tidurmu.”
“Enggak, Ta. Aku masih takut kamu pergi lagi.”
“Nah, mulai ‘kan ngeyelnya. Kapan aku bohongin kamu? Buktinya sekarang aku ada lagi dampingin kamu. Udah sana tidur. Kalau enggak, aku benaran enggak mau nemuin kamu lagi.”
“Lah, lah, malah lebih galak sekarang.”
“Emang kenapa kalau aku galak? Lagian cowok kok banyak banget alasannya. Udah mau tidur sekarang atau aku tinggal lagi?”
“Iya, iya, ah. Tapi, janji besok pagi kamu udah di sini. Aku pengin pas aku buka mata dan bangun kamu udah ada di sini.”
“Iya, cowok crewet. Udah sono tidur!” Sinta menonyol kepalaku hingga aku tertidur tepat di bantalku.
Akhirnya, aku pun ditidurkan paksa oleh Sinta. Memang tujuannya bagus, tapi apa harus dengan cara itu? Seolah aku tak punya harga diri saja ditonyol kepalanya sama cewek. Namun, apa yang dilakukan Sinta berhasil dan aku tertidur dengan pulas. Aku sama sekali tidak bermimpi, yang aku rasa hanya aku terpejam saat tangan Sinta mulai menonyol kepalaku dan aku tergeletak sambil terpejam. Kemudian, aku samar-samar mendengar suara azan yang menandakan waktu salat Subuh sudah tiba. Perlahan aku membuka mataku dan benar apa yang dikatakan Sinta, dia sudah ada di kamarku dan dia sudah berdiri di depan jendela dengan posisi jendela sudah terbuka.
“Eh, Ryan, udah bangun kamu.”
“Kamu nih, ya, enggak ada romantisnya sama sekali. Nyuruh aku tidur kok kepalaku ditonyol. Kaya enggak ada harga diri aja aku tu.”
“Lah suruh siapa crewet pakai ada acara enggak percaya pula.” Ekspresi manyunnya mulai dia tunjukkan.
“Lah, namanya juga takut dibohongi sama kamu.”
“Kapan ... kapan aku bohongin kamu? Emang aku tega biarin cowok penakut kaya kamu sendirian dan digangguin makhluk-makhluk itu.”
Sinta berjalan mendekatiku yang masih dalam posisi tiduran. Dia bergerak mendekatiku dan berdiri tepat di atas tubuhku dengan kakinya berada di antara tubuhku.
“Sinta, jangan di situ, ah. Aku ‘kan jadi ...” Belum selesai aku mengatakan kata-kataku, tiba-tiba Sinta menduduki tubuhku tepat di perutku. Bruukkk.
“Coba jawab kapan aku bohong sama kamu? Ha, jawab!” Sinta yang duduk di atas perutku sambil bertanya marah.
Namun, saat Sinta duduk di atas perutku, rasanya sungguh luar biasa berat. Memang aneh dengan bentuk fisik Sinta yang tidak besar, tapi memiliki berat yang sangat membuatku susah bernapas dan tak bisa bergerak sama sekali. Rasanya seperti orang ketindihan, tak bisa berkata dan tak bisa bergerak sedikit pun. Aku hanya bisa terdiam karena memang tak bisa melakukan apa pun.
“Jawab coba! Kapan aku bohongin kamu cowok penakut?” Raut muka Sinta yang tadinya marah berubah seperti menahan sesuatu dengan air matanya yang sedikit mulai menetes.
“Be-be-berat, Ta. Gi-gimana a-aku ma-mau ja-ja-jawab.” Aku berkata sambil tersendat-sendat karena menahan napas dan berat yang kurasakan.
Sinta perlahan mulai bangun dari posisi duduk di atas perutku dan beranjak sedikit menjauh ke arah jendela dan menghadap keluar.
“Ta, kamu marah? Aku bertanya sambil mengatur napasku yang kembang kempis karena menahan berat yang tadi kurasakan.
Kali ini gantian Sinta yang terdiam tak menjawab pertanyaanku.
“Iya, Ta, maaf deh kalau kamu marah. Aku cuma takut pisah lagi sama kamu kok. Makanya aku semalam enggak mau tidur.”
“Iya, sudah lupakan saja, enggak apa-apa. Udah sana kamu salat dulu sana sudah saatnya, ‘kan.”
“Tapi, Ta, jangan marah, ya.”
“Iya, Ryan, aku enggak marah kok. Aku tahu maksud kamu semalam.” Sinta berbalik menghadapku dan tersenyum.
Aku pun akhirnya bangkit dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamar untuk mengambil air wudu di kamar mandi. Sambil berjalan, aku juga memikirkan kata-kata Sinta. Memang selama ini dia tidak pernah berbohong padaku. Kata-kata yang dia ucapkan selalu dia tepati. Setelah selesai mengambil air wudu, aku kembali ke kamar dan segera menjalankan kewajibanku.
***
Beberapa hari setelah Bapak Kos meninggal, aku berencana pulang ke rumah. Memang sudah kebiasaanku pulang kampung setiap satu minggu sekali. Aku pulang juga dalam rangka akan mendatangi saudaraku yang akan mengadakan acara nikahan. Aku pulang ke kotaku tidak bersama Via. Dia tidak bisa pulang karena di kerjaannya masih membutuhkan tenaga dia. Dari tempat dia kerja pun tidak memberika izin walau hanya beberapa hari saja. Akhirnya, aku berangkat sendiri pada Jumat pagi. Sejak aku menginjak semester akhir, aku bisa pulang lebih awal karena memang tidak ada jadwal kelas lagi pada hari itu. Seperti biasa, kalau tidak ada Via yang menemani, aku selalu ditemani oleh Sinta lagi walaupun aku bilang tidak usah menjagaku saat hari masih terang. Soalnya sangat jarang aku mendapat gangguan di siang hari. Namun, dia tetep bersikeras untuk terus menjagaku setiap waktu. Setiap aku larang, pasti ada saja ekspresi yang digunakan yang membuatku tidak tega dengan mukanya itu.
Sesuai yang aku katakan, di perjalanan tidak ada gangguan apa pun. Aku sampai di rumah sekitar jam sebelas sebelum waktu salat Jumat dimulai. Di rumah sudah ada bapakku yang sedang bersiap mandi sebelum berangkat ke masjid untuk salat Jumat. Aku salami kedua orang tuaku setelah aku sampai di rumah. Seteleh bapakku selesai mandi dan berpakaian rapi untuk berangkat ke masjid sekitar jam 11.30, kami pun berangkat salat Jumat bersama.
Setelah salat Jumat, kedua orang tuaku dan aku berencana pergi ke tempat saudaraku yang akan melangsungkan pernikahan itu. Kami berangkat dari rumah sekitar jam tiga sore. Tempat saudaraku itu di daerah Karang Malang. Perjalanan sekitar 30 menit. Perjalanannya hampir sama dengan jarak dari rumahku ke rumah Via, hanya saja ini beda kecamatan. Aku seperti biasa memboncengkan bapakku karena memang sejak dulu bapakku tidak suka mengendarai motor sendiri, sedangkan ibuku mengendarai motor sendiri. Dalam perjalanan aku sedikit khawatir akan turun hujan karena suasana langit sudah mendung dan sangat gelap. Aku mempercepat laju sepeda motorku supaya tidak kehujanan di jalan. Dan setelah beberapa menit di jalan, akhirnya kami pun sampai di tujuan. Benar saja, tak berselang lama hujan lebat pun turun ditambah dengan angin yang sangat kencang.
Aku dan kedua orang tuaku tidak langsung ke rumah di mana saudarku yang akan menikah itu berada. Namun, aku dan kedua orang tuaku mampir di rumah almarhum kakek dan nenekku dulu tinggal, tepatnya kakek dan nenek dari ibuku yang sejak kecil, bahkan sejak aku masih dalam kandungan mereka berdua sudah tidak ada. Oleh sebab itu, aku tidak pernah mengenal mereka dan hanya tahu dari fotonya saja. Kakek dari ibuku ini dulu dikenal orang yang sakti dan orang terpandang di desanya ini. Setiap orang pasti mengenal jika disebut namanya. Tidak hanya di desanya, tapi nama kakekku ini sudah terkenal hingga desa-desa yang cukup jauh dari desa ini.
Kami mampir di rumah almarhum kakek-nenekku yang sekarang sudah ditinggali oleh kakak dari ibuku yang aku sebut Pakde Din. Di sana aku disambut sangat hangat karena memang sudah lama aku tidak berkunjung kemari. Pakde menanyakan segala hal tentangku, tentang kuliahku, pendamping, dan beberapa pertanyaan lain yang beliau tanyakan padaku. Hingga akhirnya Pakde Din dan kedua orang tuaku berniat untuk menuju ke rumah saudaraku yang akan nikahan itu. Memang tidak jauh dari rumah ini. Namun, karena hujan lebat yang masih turun, aku malas untuk ikut bersama mereka. Di sisi lain, aku juga merasa sangat capek karena baru pulang dari kota di mana aku kuliah dan langsung berangkat ke sini.
Aku kemudian ditinggal sendirian di rumah Pakde Din. Mereka semua pergi ke rumah saudaraku itu. Anggota keluarga Pakde Din sudah pergi sejak tadi untuk bantu-bantu di sana. Aku hanya ditemani TV yang berada di ruang tengah dan kebetulan juga ada sofa panjang yang bisa aku gunakan untuk rebahan. Aku beristirahat sambil menonton TV hingga pada akhirnya aku mendengar suara. Jedarrrr. Suara petir seperti menyambar salah satu trafo yang ada di desa ini yang membuat listrik padam saat itu. Karena bingung mau apa, aku putuskan untuk tidur saja sambil melepas lelahku. Sinta juga dari tadi sejak sampai rumah tidak nongol sama sekali. Entah pergi ke mana dia.
Setelah aku terlelap, beberapa menit kemudian aku terbangun dengan keadaan ruangan dan rumah masih gelap gulita. Ternyata, listrik belum menyala kembali. Maklum saja, desa ini termasuk desa yang jauh dari kota. Jadi, mungkin akan memerlukan waktu cukup lama untuk listrik kembali menyala. Dalam gelapnya ruangan ditambah di luar rumah hujan masih turun dengan lebatnya, aku melihat ke arah dapur yang kebetulan dapat aku lihat dengan jelas walau sedikit tertutup gorden sebagai pembatas ruang tengah dengan dapur. Perlahan aku melihat seperti ada setitik cahaya yang datang dari arah sana dan berhenti di atas kulkas. Kemudian ada lagi satu titik cahaya datang dan mengarah ke arah dekat kompor. Aku masih dalam keadaan setengah sadar dan masih bingung.
“Udah sana tidur daripada besok kesiangan.”
“Enggak, Ta, nanti aja. Aku masih nyaman dengan momen ini. Aku enggak mau ini berakhir hari ini.”
“Kan tadi aku udah bilang, Yan. Aku sudah diizinkan untuk menemanimu lagi. Jadi, enggak usah khawatir kalau aku enggak ada di sampingmu besok pagi. Aku bakal ada saat kamu membuka mata dan terbangun dari tidurmu.”
“Enggak, Ta. Aku masih takut kamu pergi lagi.”
“Nah, mulai ‘kan ngeyelnya. Kapan aku bohongin kamu? Buktinya sekarang aku ada lagi dampingin kamu. Udah sana tidur. Kalau enggak, aku benaran enggak mau nemuin kamu lagi.”
“Lah, lah, malah lebih galak sekarang.”
“Emang kenapa kalau aku galak? Lagian cowok kok banyak banget alasannya. Udah mau tidur sekarang atau aku tinggal lagi?”
“Iya, iya, ah. Tapi, janji besok pagi kamu udah di sini. Aku pengin pas aku buka mata dan bangun kamu udah ada di sini.”
“Iya, cowok crewet. Udah sono tidur!” Sinta menonyol kepalaku hingga aku tertidur tepat di bantalku.
Akhirnya, aku pun ditidurkan paksa oleh Sinta. Memang tujuannya bagus, tapi apa harus dengan cara itu? Seolah aku tak punya harga diri saja ditonyol kepalanya sama cewek. Namun, apa yang dilakukan Sinta berhasil dan aku tertidur dengan pulas. Aku sama sekali tidak bermimpi, yang aku rasa hanya aku terpejam saat tangan Sinta mulai menonyol kepalaku dan aku tergeletak sambil terpejam. Kemudian, aku samar-samar mendengar suara azan yang menandakan waktu salat Subuh sudah tiba. Perlahan aku membuka mataku dan benar apa yang dikatakan Sinta, dia sudah ada di kamarku dan dia sudah berdiri di depan jendela dengan posisi jendela sudah terbuka.
“Eh, Ryan, udah bangun kamu.”
“Kamu nih, ya, enggak ada romantisnya sama sekali. Nyuruh aku tidur kok kepalaku ditonyol. Kaya enggak ada harga diri aja aku tu.”
“Lah suruh siapa crewet pakai ada acara enggak percaya pula.” Ekspresi manyunnya mulai dia tunjukkan.
“Lah, namanya juga takut dibohongi sama kamu.”
“Kapan ... kapan aku bohongin kamu? Emang aku tega biarin cowok penakut kaya kamu sendirian dan digangguin makhluk-makhluk itu.”
Sinta berjalan mendekatiku yang masih dalam posisi tiduran. Dia bergerak mendekatiku dan berdiri tepat di atas tubuhku dengan kakinya berada di antara tubuhku.
“Sinta, jangan di situ, ah. Aku ‘kan jadi ...” Belum selesai aku mengatakan kata-kataku, tiba-tiba Sinta menduduki tubuhku tepat di perutku. Bruukkk.
“Coba jawab kapan aku bohong sama kamu? Ha, jawab!” Sinta yang duduk di atas perutku sambil bertanya marah.
Namun, saat Sinta duduk di atas perutku, rasanya sungguh luar biasa berat. Memang aneh dengan bentuk fisik Sinta yang tidak besar, tapi memiliki berat yang sangat membuatku susah bernapas dan tak bisa bergerak sama sekali. Rasanya seperti orang ketindihan, tak bisa berkata dan tak bisa bergerak sedikit pun. Aku hanya bisa terdiam karena memang tak bisa melakukan apa pun.
“Jawab coba! Kapan aku bohongin kamu cowok penakut?” Raut muka Sinta yang tadinya marah berubah seperti menahan sesuatu dengan air matanya yang sedikit mulai menetes.
“Be-be-berat, Ta. Gi-gimana a-aku ma-mau ja-ja-jawab.” Aku berkata sambil tersendat-sendat karena menahan napas dan berat yang kurasakan.
Sinta perlahan mulai bangun dari posisi duduk di atas perutku dan beranjak sedikit menjauh ke arah jendela dan menghadap keluar.
“Ta, kamu marah? Aku bertanya sambil mengatur napasku yang kembang kempis karena menahan berat yang tadi kurasakan.
Kali ini gantian Sinta yang terdiam tak menjawab pertanyaanku.
“Iya, Ta, maaf deh kalau kamu marah. Aku cuma takut pisah lagi sama kamu kok. Makanya aku semalam enggak mau tidur.”
“Iya, sudah lupakan saja, enggak apa-apa. Udah sana kamu salat dulu sana sudah saatnya, ‘kan.”
“Tapi, Ta, jangan marah, ya.”
“Iya, Ryan, aku enggak marah kok. Aku tahu maksud kamu semalam.” Sinta berbalik menghadapku dan tersenyum.
Aku pun akhirnya bangkit dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamar untuk mengambil air wudu di kamar mandi. Sambil berjalan, aku juga memikirkan kata-kata Sinta. Memang selama ini dia tidak pernah berbohong padaku. Kata-kata yang dia ucapkan selalu dia tepati. Setelah selesai mengambil air wudu, aku kembali ke kamar dan segera menjalankan kewajibanku.
***
Beberapa hari setelah Bapak Kos meninggal, aku berencana pulang ke rumah. Memang sudah kebiasaanku pulang kampung setiap satu minggu sekali. Aku pulang juga dalam rangka akan mendatangi saudaraku yang akan mengadakan acara nikahan. Aku pulang ke kotaku tidak bersama Via. Dia tidak bisa pulang karena di kerjaannya masih membutuhkan tenaga dia. Dari tempat dia kerja pun tidak memberika izin walau hanya beberapa hari saja. Akhirnya, aku berangkat sendiri pada Jumat pagi. Sejak aku menginjak semester akhir, aku bisa pulang lebih awal karena memang tidak ada jadwal kelas lagi pada hari itu. Seperti biasa, kalau tidak ada Via yang menemani, aku selalu ditemani oleh Sinta lagi walaupun aku bilang tidak usah menjagaku saat hari masih terang. Soalnya sangat jarang aku mendapat gangguan di siang hari. Namun, dia tetep bersikeras untuk terus menjagaku setiap waktu. Setiap aku larang, pasti ada saja ekspresi yang digunakan yang membuatku tidak tega dengan mukanya itu.
Sesuai yang aku katakan, di perjalanan tidak ada gangguan apa pun. Aku sampai di rumah sekitar jam sebelas sebelum waktu salat Jumat dimulai. Di rumah sudah ada bapakku yang sedang bersiap mandi sebelum berangkat ke masjid untuk salat Jumat. Aku salami kedua orang tuaku setelah aku sampai di rumah. Seteleh bapakku selesai mandi dan berpakaian rapi untuk berangkat ke masjid sekitar jam 11.30, kami pun berangkat salat Jumat bersama.
Setelah salat Jumat, kedua orang tuaku dan aku berencana pergi ke tempat saudaraku yang akan melangsungkan pernikahan itu. Kami berangkat dari rumah sekitar jam tiga sore. Tempat saudaraku itu di daerah Karang Malang. Perjalanan sekitar 30 menit. Perjalanannya hampir sama dengan jarak dari rumahku ke rumah Via, hanya saja ini beda kecamatan. Aku seperti biasa memboncengkan bapakku karena memang sejak dulu bapakku tidak suka mengendarai motor sendiri, sedangkan ibuku mengendarai motor sendiri. Dalam perjalanan aku sedikit khawatir akan turun hujan karena suasana langit sudah mendung dan sangat gelap. Aku mempercepat laju sepeda motorku supaya tidak kehujanan di jalan. Dan setelah beberapa menit di jalan, akhirnya kami pun sampai di tujuan. Benar saja, tak berselang lama hujan lebat pun turun ditambah dengan angin yang sangat kencang.
Aku dan kedua orang tuaku tidak langsung ke rumah di mana saudarku yang akan menikah itu berada. Namun, aku dan kedua orang tuaku mampir di rumah almarhum kakek dan nenekku dulu tinggal, tepatnya kakek dan nenek dari ibuku yang sejak kecil, bahkan sejak aku masih dalam kandungan mereka berdua sudah tidak ada. Oleh sebab itu, aku tidak pernah mengenal mereka dan hanya tahu dari fotonya saja. Kakek dari ibuku ini dulu dikenal orang yang sakti dan orang terpandang di desanya ini. Setiap orang pasti mengenal jika disebut namanya. Tidak hanya di desanya, tapi nama kakekku ini sudah terkenal hingga desa-desa yang cukup jauh dari desa ini.
Kami mampir di rumah almarhum kakek-nenekku yang sekarang sudah ditinggali oleh kakak dari ibuku yang aku sebut Pakde Din. Di sana aku disambut sangat hangat karena memang sudah lama aku tidak berkunjung kemari. Pakde menanyakan segala hal tentangku, tentang kuliahku, pendamping, dan beberapa pertanyaan lain yang beliau tanyakan padaku. Hingga akhirnya Pakde Din dan kedua orang tuaku berniat untuk menuju ke rumah saudaraku yang akan nikahan itu. Memang tidak jauh dari rumah ini. Namun, karena hujan lebat yang masih turun, aku malas untuk ikut bersama mereka. Di sisi lain, aku juga merasa sangat capek karena baru pulang dari kota di mana aku kuliah dan langsung berangkat ke sini.
Aku kemudian ditinggal sendirian di rumah Pakde Din. Mereka semua pergi ke rumah saudaraku itu. Anggota keluarga Pakde Din sudah pergi sejak tadi untuk bantu-bantu di sana. Aku hanya ditemani TV yang berada di ruang tengah dan kebetulan juga ada sofa panjang yang bisa aku gunakan untuk rebahan. Aku beristirahat sambil menonton TV hingga pada akhirnya aku mendengar suara. Jedarrrr. Suara petir seperti menyambar salah satu trafo yang ada di desa ini yang membuat listrik padam saat itu. Karena bingung mau apa, aku putuskan untuk tidur saja sambil melepas lelahku. Sinta juga dari tadi sejak sampai rumah tidak nongol sama sekali. Entah pergi ke mana dia.
Setelah aku terlelap, beberapa menit kemudian aku terbangun dengan keadaan ruangan dan rumah masih gelap gulita. Ternyata, listrik belum menyala kembali. Maklum saja, desa ini termasuk desa yang jauh dari kota. Jadi, mungkin akan memerlukan waktu cukup lama untuk listrik kembali menyala. Dalam gelapnya ruangan ditambah di luar rumah hujan masih turun dengan lebatnya, aku melihat ke arah dapur yang kebetulan dapat aku lihat dengan jelas walau sedikit tertutup gorden sebagai pembatas ruang tengah dengan dapur. Perlahan aku melihat seperti ada setitik cahaya yang datang dari arah sana dan berhenti di atas kulkas. Kemudian ada lagi satu titik cahaya datang dan mengarah ke arah dekat kompor. Aku masih dalam keadaan setengah sadar dan masih bingung.
Diubah oleh afryan015 27-10-2021 17:21
itkgid dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Tutup