- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1787
Rencana Mahal
Bandung memberikan warna baru bagi pengalaman yang kami lewati bersama. Sayang aja ada beberapa kejadian yang membuat gue dan Emi kecewa. Kami memang sama-sama orang Indonesia. Tapi bukan berarti kami yang merupakan pendatang disana lalu dikecewakan. Terutama soal kuliner. Ini tidak mendiskreditkan Bandung secara global, tapi hanya beberapa gelintir saja.
Namun dari beberapa gelintir inilah yang bisa merusak nama Bandung itu sendiri. Dari mulai kami makan didekat salah satu kampus paling terkenal disana, dan juga di negeri ini tentunya, kami mendapati kalau harga makanan ditembak habis-habisan. Masa gue dan Emi makan dipinggir jalan habisnya seratus ribu lebih?
Gue dan Emi sempat berpikir apa ini karena logat kami dan plat nomor motor gue yang berbeda? Gue langsung suudzon, mungkin aja begitu. karena nggak cuma di Bandung aja yang seperti ini, di beberapa tempat di nusantara yang kebetulan pernah gue kunjungi pun hampir sama perilakunya.
Inilah yang berbahaya. Kita disini diperlakukan seperti ini, apalagi kalau wisatawan mancanegara? Bisa rusak nama negara kita hanya karena segelintir orang seperti ini. Banyak yang sudah mengusahakan keramahan khas nusantara demi mendongkrak pariwisata daerah, tapi ujung-ujung hancur dalam sekejap karena ulah beberapa orang.
Gue menginap semalaman di Bandung dan besoknya jalan-jalan lagi. Kami datang ke ITB, sebuah ritual yang biasanya gue lakukan kalau datang ke kota orang. Jika gue keluar kota, gue biasanya menyempatkan untuk datang ke salah satu universitas negeri di kota tersebut. Dan ternyata Emi nggak masalah soal itu dan malah ikutan senang dengan kebiasaan gue ini.
“Biasanya, kalau negeri gini tuh suka konservatif deh mahasiswanya, sama kayak di kampus kita, ya nggak sih Zy?” tanya Emi.
“Iya benar. tapi emang yang konservatifnya rada rese ya kampus kita. Aku denger kampus ini juga, tapi nggak jelas sih, karena nggak pernah ngejalanin hidup dikampus ini kan. Haha.” Jawab gue.
“Menurut pengalaman kamu gimana?”
“Kalau lagi berkunjung ke kampus-kampus gitu sih nggak terlalu keliatan ya, ini konservatif apa nggak. Yang jelas sekarang pertumbuhan pemakai kerudung di kalangan mahasiswa universitas negeri sudah meningkat banget. yang swasta juga begitu sih. Tapi sayang, aku ngeliatnya lebih banyak buat aksesori bukan dari hati. Nggak tau ya dalam hati masing-masing pemakainya, kan aku cuma liat dari sudut pandang aku sendiri.”
“Hmm. Iya sih. Aku juga ngerasa gitu Zy. Dikampus kita itu berasa 90% pake kerudung loh. Tapi nggak tau juga itu semua orang bener apa nggak. Aku aja belum ngerasa jadi orang bener, walaupun udah pakai kerudung dari SMP.”
“Ya masing-masing punya cara pandang dalam menyikapi pakaian kayak gitu. Yang jelas kita nggak bisa menghakimi, apalagi sampai mengkafirkan. Kita aja belum tentu bener kan jadi orang di mata Tuhan, nah siapa elo yang berhak menentukan dosa apa nggaknya orang lain, ya nggak? Haha.”
“Iya sih. Dulu pengalaman aku pernah tuh Zy. Dikejar-kejar sama rohis fakultas karena pake celana legging. Padahal baju aku itu agak gede dan bahkan sampai kebawah batas pantat loh. Tapi mereka bilangnya, kamu itu kayak nggak pake baju aja. lah itu mah mereka aja kali pikirannya kotor. Pas aku bilang gitu, malah aku yang dikata pikirannya kotor. Hahaha. Orang aneh banget mereka-mereka itu ya.”
“Entah lah. Aku nggak mau menilai orang. Yang jelas kamu udah tau mana yang terbaik buat kamu, yaudah itu yang kamu jalanin nggak usah banyak denger orang. Masukan boleh, tapi disaring jangan semua ditelen mentah-mentah, ntar logikanya jadi pada nggak jalan kayak mereka, yang terlalu takut ini itu karena didoktrin negatif mulu kali sama mentornya pas lagi kajian, jadinya mereka yang pinter-pinter malah kalah logika mikirnya sama urusan pahala dan dosa. Padahal Tuhan kita juga menciptakan umatnya biar cerdas dalam memilah bukan? Hahaha. Tau lah.”
“Aku sih emang maunya gitu, apa yang aku yakini, itu yang aku jalanin. Perkara pahala dan dosa, aku selalu percaya itu hanya Tuhan yang berhak kasih, manusia cuma bisa ngingetin. Kecuali yang suka playing god kayak orang udah paling bener di dunia.”
“Kayak orang-orang yang suka ngejar-ngejar kamu dan ngatain nggak pake baju tadi? hahahha.”
“Ya gitu lah.”
“Kalo itu mereka mah udah pasti masuk surga, versi mereka. Mentor mereka kan kayak nabi. Hahahaha.”
“Udah ah, nggak usah dilanjut obrolan begitu. malah jadi ngeledekin orang.”
“Haha ya emang enak ngeledekin orang-orang macem gini.”
Gue dan Emi sampai disebuah pusat perbelanjaan yang menjual banyak sekali kaos. Dari mulai kaos ala distro sampai kaos metal. Nah yang terakhir ini tentunya amat menarik perhatian kami. Sampai pada akhirnya gue membeli 3 setel kaos metal, semua berwarna hitam, tapi bergambar band-band yang berbeda. Begitu juga Emi. Emi malah mendapatkan kaos band metal lokal. Harga lebih mahal nggak apa-apa, karena gue dan Emi selalu support band lokal dengan membeli merch yang asli mereka buat sendiri.
Sesudah dari sana, gue dan Emi memutuskan sekali lagi makan dipinggir jalan dan lagi-lagi kena tembak. Mahal banget. mana gue sempat berkonfrontasi hampir aja memukul tukang parkir yang berlagak kurang ajar main nembak harga parkir motor menjadi 10.000. gila aja parkir dipinggir jalan, makan trotoar untuk pejalan kaki, nggak bayar pajak, tapi malah minta gede banget, bahkan nggak sampai setengah jam gue disitu.
Kalau sudah begini, citra kotanya yang jadi nggak asik sama sekali. Kita tau kalau manusia itu menyukai segala sesuatu yang berbau negatif. Pertengkaran, saling cibir, kecelakaan, pemerkosaan, perceraian, sampai urusan ranjang dan kehidupan seksual adalah topik-topik negatif yang seksi untuk dibicarakan, kalau jaman sekarang, dibikin konten. Banyak orang akan datang untuk membaca, menonton, mengamati, bergosip dan akhirnya menambah popularitas sumber berita atau sumber cerita.
Begitu pula dengan apa yang terjadi dikota ini, dan mungkin kota-kota lainnya. Sisi positif kota yang ramah turis lokal maupun mancanegara, bisa hancur seketika karena ulah negatif sebagian warganya. Apalagi jika didalam negeri, sering banget pukul rata kalau udah menjustifikasi. Yang salah sedikit, yang kena semuanya. Nila setitik bisa merusak susu sebelanga itu memang benar adanya.
“Nggak kerasa ya, sebentar lagi kamu mau seminar, abis itu sidang. Tapi enak banget ya, udah kerja kamu. Dulu aku pas skripsian aja magang doang nggak jadi karyawan tetap. Hehe.” kata gue.
“Iya, aku sih udah siap dan yakin. Soalnya semuanya kan aku kerjain sendiri.” Ujar Emi percaya diri.
“Tapi proyek, ecek-ecek lagi bahasannya. Hahahaha.” Gue membalas sambil tertawa.
“Yeee. Tau deh yang idealis, nggak ikutan proyek.”
“Loh, ya emang bener kan. Kita sekarang kalau penelitian buat siapa? Buat orang lain bukan buat kita doang. Kita dapat nilai, tapi kalau hasil penelitiannya nggak memberi manfaat buat banyak orang buat apaan kita bikin? Ini sih pikiran aku aja. hahaha. Tapi kan banyak mahasiswa kepepet.”
“Iya emang gitu sih harusnya. Tapi kan aku udah pernah cerita kalau misalnya penelitian aku yang dulu aku idein itu, harus nambah lagi kuliahnya. Dan beasiswa aku nggak ngasih waktu tambahan untuk menyelesaikan itu semua. Aku harus bayar sendiri.”
“Nah itulah kontradiktifnya ya. pemberi beasiswa ngasih target. Disatu sisi oke, tapi disisi lain orang-orang dengan ide brilian tapi minim sumberdaya, jadi nggak bisa berbuat banyak. Ujung-ujungnya jadi minta penelitian proyek komersial dosen, yang untungnya buat kamu hanya nilai, sementara dosen bisa dapat pundi uang yang banyak, plus ditulis pula di jurnal yang dipublikasi. Dapet royalti juga. hahaha.”
“Kita udah pernah bahas ini Zy. Mau gimana…..” katanya, suaranya mengecil.
“Iya maaf. Aku emang say no banget sama proyek dosen. Apalagi kita kaitannya sama lingkungan hidup dan segala macam yang ada didalamnya, kalau itu rusak, ya yang ngerusak sebenernya salah satunya adalah orang-orang yang dulunya mati-matian ngejaga. Karena kepepet dan kedesak sama kapitalisme negeri ini, jadi mereka ngorbanin idealisme mereka. Hahaha.”
ilustrasi pengajar hipokrit
“Aku sih tetep dengan pemikiran aku kok. ya kita jaga lingkungan kita. Buat masa depan generasi selanjutnya.”
“Anak kita maksudnya Mi?”
“Aku nggak ngomong begitu loh Zy.”
“Anak kite aja udah . hahaha. Suseh bener.”
“Terserah lo kang mi kocok.”
“Hahahhaa. Eh Mi, gue mau lanjut ambil S2.”
“Oke. Kenapa emang kalau lo mau ambil S2? Lo minta gue bayarin?”
“Yee bangs*t! Hahaha. Gue bayar sendiri S2 gue kok. Gue bukan minta duit sama lo. Gue minta ijin dan minta support dari lo. Boleh nggak gue lanjut ambil S2?”
“Lah? Segala minta-minta begitu. Boleh banget lah! Kenapa nggak? Gue dukung banget malah kalau ternyata lo mau ngelanjutin pendidikan lo. Gue bahkan melewatkan kesempatan gue untuk S2 kemarin ini. Kalau sekarang ternyata lo punya kesempatan dan ngerasa sanggup ngejalaninnya, kenapa nggak?”
“Ya gue harus minta ijin dan minta support dulu lah. Dulu sama mantan gue cuman di-iya-iyain aja soalnya. Kalau gue butuh bantuan atau temen diskusi, dia ga bisa jamin bantu. Palingan bilang ‘Kan kamu yang kuliah, ya kamu yang ngerti lah’… Tapi kalau lu, gue yakin malah excitedbuat ikutan belajar kayak gue.” Lagi-lagi, gue kurang suka ngedenger istilah ‘mantan’ keluar dari mulut si Biji ini.
“Jadi bisa dibilang lo manfaatin kebiasaan gue dong?”
“Lo ngerasa dimanfaatin nggak?”
“Ya selama gue juga bisa dapet ilmunya, ya gue nggak ngerasa ada unsur memanfaatkan sih. Tergantung nanti lo-nya gimana saat perkuliahan udah berlangsung. Tapi tetep lo yang berjuang sendiri nanti. Gue nggak bisa banyak bantu.”
“Mi,” gue menggenggam kedua tangan gue, “Asal lo bilang mau ijinin dan mau support, gue bakalan lebih tenang. Gue nggak bakal menyerah untuk berjuang kok. Asal lo ada di sisi gue.”
Sorot mata gue tajam langsung ke Emi.
“Anjiiir, perlu gue ciein dulu nggak nih perkataan lo ini? Lo abis kesambet setan apaan di Bandung sampai bisa ngomong begitu, Su?” ujar Emi malah meledek.
“Gue nggak bisa romantis salah. Gue romantis dikit salah. Namanya juga orang miskin. Apa-apa serba salah.”
“Dih geblek! Hahaha. Yaudah, Zy. Apply gih S2-nya. Kita berjuang bersama.”
“Gue niatnya mau ambil S2 di kampus kita, tapi Jurusan Bisnis dan kelasnya yang karyawan. Biar nggak ganggu kerja gue juga. Walaupun nggak ada juga yang bakalan ngeganggu kerjaan gue. Gue kan freelance.”
“Hmm. Zy, apa nggak mahal? Kelas karyawan itu kan kelas eksekutif.”
“Gue nggak mungkin ambil kelas reguler, Mi. Nggak mungkin gue melepas kerjaan gue demi kuliah. Umur gue dan pengalaman kerja gue nggak akan memungkinkan gue untuk gampang cari kerja lagi kalau gue harus resign.”
“Tua ya.”
“Iya… Eh kok bangs*t maen ngatain gue tua?”
“Tadi katanya iya? Hahaha. Terus lo udah mikirin biayanya belom?”
“Insya Allah bisa ketutup sama fee pekerjaan gue per bulan sih. Cuman palingan biaya pacaran kita yang bakalan dikurangin.”
“Pacaran nggak usah diurusin lah biayanya. Masih bisa gue backup dan masih bisa dicari alternatifnya. Yang penting lo bisa nutup biaya hidup. Gue takutnya nggak bisa banyak bantu lo nanti, Zy. Gue nggak bisa banyak bantu finansial, kecuali gaji gue mendadak meroket. Santai aja kalau kayak gitu.”
“Iya, Mi. Gue ngerti kok. Gue seneng bisa lebih terbuka sama pacar gue urusan keuangan begini.”
“Ya santai aja, Zy, mulai dari sekarang urusan keuangan mah. Ga usah mikirin siapa yang mesti bayarin atau siapa utang ke siapa. KECUALI, lo kepingin diperhitungkan di antara kita, ya nggak apa-apa. Cuma, kalau gue pribadi sih udah nggak perlu lagi mikirin begitu. Gue nggak mau kayak Taya dan pacarnya. Doi sampe ke duit seribu perak aja dipermasalahin dan diitung sebagai utang. Malu aja sih gue mah dan jadinya bahan masalah buat keduanya. Lo nggak punya kewajiban untuk selalu bayarin biaya pacaran kita karena lo bukan bokap gue dan bukan suami juga. Lo nggak ada tanggung jawab buat menafkahi gue. Jadi kita berdua sama-sama punya kewajiban dan tanggung jawab yang setara urusan biaya pacaran ini. Gimana?”
“Sounds great to me. Makasih ya perhatian dan pengertiannya, Mi. Nggak nyangka aja lo mau mikir begini. Gue takut lo jadi kayak mantan gue, pas udah nemu duit saat udah kerja, jadinya kehidupannya berubah.”
“Mantan teruuuus! Hahaha.”
“Iya maaf. Gue nggak niat ngebandingin lo sama mantan, ini gue cuma berbagi pengalaman gue dulu sama mantan gue, Mi.”
Namun dari beberapa gelintir inilah yang bisa merusak nama Bandung itu sendiri. Dari mulai kami makan didekat salah satu kampus paling terkenal disana, dan juga di negeri ini tentunya, kami mendapati kalau harga makanan ditembak habis-habisan. Masa gue dan Emi makan dipinggir jalan habisnya seratus ribu lebih?
Gue dan Emi sempat berpikir apa ini karena logat kami dan plat nomor motor gue yang berbeda? Gue langsung suudzon, mungkin aja begitu. karena nggak cuma di Bandung aja yang seperti ini, di beberapa tempat di nusantara yang kebetulan pernah gue kunjungi pun hampir sama perilakunya.
Inilah yang berbahaya. Kita disini diperlakukan seperti ini, apalagi kalau wisatawan mancanegara? Bisa rusak nama negara kita hanya karena segelintir orang seperti ini. Banyak yang sudah mengusahakan keramahan khas nusantara demi mendongkrak pariwisata daerah, tapi ujung-ujung hancur dalam sekejap karena ulah beberapa orang.
Gue menginap semalaman di Bandung dan besoknya jalan-jalan lagi. Kami datang ke ITB, sebuah ritual yang biasanya gue lakukan kalau datang ke kota orang. Jika gue keluar kota, gue biasanya menyempatkan untuk datang ke salah satu universitas negeri di kota tersebut. Dan ternyata Emi nggak masalah soal itu dan malah ikutan senang dengan kebiasaan gue ini.
“Biasanya, kalau negeri gini tuh suka konservatif deh mahasiswanya, sama kayak di kampus kita, ya nggak sih Zy?” tanya Emi.
“Iya benar. tapi emang yang konservatifnya rada rese ya kampus kita. Aku denger kampus ini juga, tapi nggak jelas sih, karena nggak pernah ngejalanin hidup dikampus ini kan. Haha.” Jawab gue.
“Menurut pengalaman kamu gimana?”
“Kalau lagi berkunjung ke kampus-kampus gitu sih nggak terlalu keliatan ya, ini konservatif apa nggak. Yang jelas sekarang pertumbuhan pemakai kerudung di kalangan mahasiswa universitas negeri sudah meningkat banget. yang swasta juga begitu sih. Tapi sayang, aku ngeliatnya lebih banyak buat aksesori bukan dari hati. Nggak tau ya dalam hati masing-masing pemakainya, kan aku cuma liat dari sudut pandang aku sendiri.”
“Hmm. Iya sih. Aku juga ngerasa gitu Zy. Dikampus kita itu berasa 90% pake kerudung loh. Tapi nggak tau juga itu semua orang bener apa nggak. Aku aja belum ngerasa jadi orang bener, walaupun udah pakai kerudung dari SMP.”
“Ya masing-masing punya cara pandang dalam menyikapi pakaian kayak gitu. Yang jelas kita nggak bisa menghakimi, apalagi sampai mengkafirkan. Kita aja belum tentu bener kan jadi orang di mata Tuhan, nah siapa elo yang berhak menentukan dosa apa nggaknya orang lain, ya nggak? Haha.”
“Iya sih. Dulu pengalaman aku pernah tuh Zy. Dikejar-kejar sama rohis fakultas karena pake celana legging. Padahal baju aku itu agak gede dan bahkan sampai kebawah batas pantat loh. Tapi mereka bilangnya, kamu itu kayak nggak pake baju aja. lah itu mah mereka aja kali pikirannya kotor. Pas aku bilang gitu, malah aku yang dikata pikirannya kotor. Hahaha. Orang aneh banget mereka-mereka itu ya.”
“Entah lah. Aku nggak mau menilai orang. Yang jelas kamu udah tau mana yang terbaik buat kamu, yaudah itu yang kamu jalanin nggak usah banyak denger orang. Masukan boleh, tapi disaring jangan semua ditelen mentah-mentah, ntar logikanya jadi pada nggak jalan kayak mereka, yang terlalu takut ini itu karena didoktrin negatif mulu kali sama mentornya pas lagi kajian, jadinya mereka yang pinter-pinter malah kalah logika mikirnya sama urusan pahala dan dosa. Padahal Tuhan kita juga menciptakan umatnya biar cerdas dalam memilah bukan? Hahaha. Tau lah.”
“Aku sih emang maunya gitu, apa yang aku yakini, itu yang aku jalanin. Perkara pahala dan dosa, aku selalu percaya itu hanya Tuhan yang berhak kasih, manusia cuma bisa ngingetin. Kecuali yang suka playing god kayak orang udah paling bener di dunia.”
“Kayak orang-orang yang suka ngejar-ngejar kamu dan ngatain nggak pake baju tadi? hahahha.”
“Ya gitu lah.”
“Kalo itu mereka mah udah pasti masuk surga, versi mereka. Mentor mereka kan kayak nabi. Hahahaha.”
“Udah ah, nggak usah dilanjut obrolan begitu. malah jadi ngeledekin orang.”
“Haha ya emang enak ngeledekin orang-orang macem gini.”
Gue dan Emi sampai disebuah pusat perbelanjaan yang menjual banyak sekali kaos. Dari mulai kaos ala distro sampai kaos metal. Nah yang terakhir ini tentunya amat menarik perhatian kami. Sampai pada akhirnya gue membeli 3 setel kaos metal, semua berwarna hitam, tapi bergambar band-band yang berbeda. Begitu juga Emi. Emi malah mendapatkan kaos band metal lokal. Harga lebih mahal nggak apa-apa, karena gue dan Emi selalu support band lokal dengan membeli merch yang asli mereka buat sendiri.
Sesudah dari sana, gue dan Emi memutuskan sekali lagi makan dipinggir jalan dan lagi-lagi kena tembak. Mahal banget. mana gue sempat berkonfrontasi hampir aja memukul tukang parkir yang berlagak kurang ajar main nembak harga parkir motor menjadi 10.000. gila aja parkir dipinggir jalan, makan trotoar untuk pejalan kaki, nggak bayar pajak, tapi malah minta gede banget, bahkan nggak sampai setengah jam gue disitu.
Kalau sudah begini, citra kotanya yang jadi nggak asik sama sekali. Kita tau kalau manusia itu menyukai segala sesuatu yang berbau negatif. Pertengkaran, saling cibir, kecelakaan, pemerkosaan, perceraian, sampai urusan ranjang dan kehidupan seksual adalah topik-topik negatif yang seksi untuk dibicarakan, kalau jaman sekarang, dibikin konten. Banyak orang akan datang untuk membaca, menonton, mengamati, bergosip dan akhirnya menambah popularitas sumber berita atau sumber cerita.
Begitu pula dengan apa yang terjadi dikota ini, dan mungkin kota-kota lainnya. Sisi positif kota yang ramah turis lokal maupun mancanegara, bisa hancur seketika karena ulah negatif sebagian warganya. Apalagi jika didalam negeri, sering banget pukul rata kalau udah menjustifikasi. Yang salah sedikit, yang kena semuanya. Nila setitik bisa merusak susu sebelanga itu memang benar adanya.
“Nggak kerasa ya, sebentar lagi kamu mau seminar, abis itu sidang. Tapi enak banget ya, udah kerja kamu. Dulu aku pas skripsian aja magang doang nggak jadi karyawan tetap. Hehe.” kata gue.
“Iya, aku sih udah siap dan yakin. Soalnya semuanya kan aku kerjain sendiri.” Ujar Emi percaya diri.
“Tapi proyek, ecek-ecek lagi bahasannya. Hahahaha.” Gue membalas sambil tertawa.
“Yeee. Tau deh yang idealis, nggak ikutan proyek.”
“Loh, ya emang bener kan. Kita sekarang kalau penelitian buat siapa? Buat orang lain bukan buat kita doang. Kita dapat nilai, tapi kalau hasil penelitiannya nggak memberi manfaat buat banyak orang buat apaan kita bikin? Ini sih pikiran aku aja. hahaha. Tapi kan banyak mahasiswa kepepet.”
“Iya emang gitu sih harusnya. Tapi kan aku udah pernah cerita kalau misalnya penelitian aku yang dulu aku idein itu, harus nambah lagi kuliahnya. Dan beasiswa aku nggak ngasih waktu tambahan untuk menyelesaikan itu semua. Aku harus bayar sendiri.”
“Nah itulah kontradiktifnya ya. pemberi beasiswa ngasih target. Disatu sisi oke, tapi disisi lain orang-orang dengan ide brilian tapi minim sumberdaya, jadi nggak bisa berbuat banyak. Ujung-ujungnya jadi minta penelitian proyek komersial dosen, yang untungnya buat kamu hanya nilai, sementara dosen bisa dapat pundi uang yang banyak, plus ditulis pula di jurnal yang dipublikasi. Dapet royalti juga. hahaha.”
“Kita udah pernah bahas ini Zy. Mau gimana…..” katanya, suaranya mengecil.
“Iya maaf. Aku emang say no banget sama proyek dosen. Apalagi kita kaitannya sama lingkungan hidup dan segala macam yang ada didalamnya, kalau itu rusak, ya yang ngerusak sebenernya salah satunya adalah orang-orang yang dulunya mati-matian ngejaga. Karena kepepet dan kedesak sama kapitalisme negeri ini, jadi mereka ngorbanin idealisme mereka. Hahaha.”
ilustrasi pengajar hipokrit“Aku sih tetep dengan pemikiran aku kok. ya kita jaga lingkungan kita. Buat masa depan generasi selanjutnya.”
“Anak kita maksudnya Mi?”
“Aku nggak ngomong begitu loh Zy.”
“Anak kite aja udah . hahaha. Suseh bener.”
“Terserah lo kang mi kocok.”
“Hahahhaa. Eh Mi, gue mau lanjut ambil S2.”
“Oke. Kenapa emang kalau lo mau ambil S2? Lo minta gue bayarin?”
“Yee bangs*t! Hahaha. Gue bayar sendiri S2 gue kok. Gue bukan minta duit sama lo. Gue minta ijin dan minta support dari lo. Boleh nggak gue lanjut ambil S2?”
“Lah? Segala minta-minta begitu. Boleh banget lah! Kenapa nggak? Gue dukung banget malah kalau ternyata lo mau ngelanjutin pendidikan lo. Gue bahkan melewatkan kesempatan gue untuk S2 kemarin ini. Kalau sekarang ternyata lo punya kesempatan dan ngerasa sanggup ngejalaninnya, kenapa nggak?”
“Ya gue harus minta ijin dan minta support dulu lah. Dulu sama mantan gue cuman di-iya-iyain aja soalnya. Kalau gue butuh bantuan atau temen diskusi, dia ga bisa jamin bantu. Palingan bilang ‘Kan kamu yang kuliah, ya kamu yang ngerti lah’… Tapi kalau lu, gue yakin malah excitedbuat ikutan belajar kayak gue.” Lagi-lagi, gue kurang suka ngedenger istilah ‘mantan’ keluar dari mulut si Biji ini.
“Jadi bisa dibilang lo manfaatin kebiasaan gue dong?”
“Lo ngerasa dimanfaatin nggak?”
“Ya selama gue juga bisa dapet ilmunya, ya gue nggak ngerasa ada unsur memanfaatkan sih. Tergantung nanti lo-nya gimana saat perkuliahan udah berlangsung. Tapi tetep lo yang berjuang sendiri nanti. Gue nggak bisa banyak bantu.”
“Mi,” gue menggenggam kedua tangan gue, “Asal lo bilang mau ijinin dan mau support, gue bakalan lebih tenang. Gue nggak bakal menyerah untuk berjuang kok. Asal lo ada di sisi gue.”
Sorot mata gue tajam langsung ke Emi.
“Anjiiir, perlu gue ciein dulu nggak nih perkataan lo ini? Lo abis kesambet setan apaan di Bandung sampai bisa ngomong begitu, Su?” ujar Emi malah meledek.
“Gue nggak bisa romantis salah. Gue romantis dikit salah. Namanya juga orang miskin. Apa-apa serba salah.”
“Dih geblek! Hahaha. Yaudah, Zy. Apply gih S2-nya. Kita berjuang bersama.”
“Gue niatnya mau ambil S2 di kampus kita, tapi Jurusan Bisnis dan kelasnya yang karyawan. Biar nggak ganggu kerja gue juga. Walaupun nggak ada juga yang bakalan ngeganggu kerjaan gue. Gue kan freelance.”
“Hmm. Zy, apa nggak mahal? Kelas karyawan itu kan kelas eksekutif.”
“Gue nggak mungkin ambil kelas reguler, Mi. Nggak mungkin gue melepas kerjaan gue demi kuliah. Umur gue dan pengalaman kerja gue nggak akan memungkinkan gue untuk gampang cari kerja lagi kalau gue harus resign.”
“Tua ya.”
“Iya… Eh kok bangs*t maen ngatain gue tua?”
“Tadi katanya iya? Hahaha. Terus lo udah mikirin biayanya belom?”
“Insya Allah bisa ketutup sama fee pekerjaan gue per bulan sih. Cuman palingan biaya pacaran kita yang bakalan dikurangin.”
“Pacaran nggak usah diurusin lah biayanya. Masih bisa gue backup dan masih bisa dicari alternatifnya. Yang penting lo bisa nutup biaya hidup. Gue takutnya nggak bisa banyak bantu lo nanti, Zy. Gue nggak bisa banyak bantu finansial, kecuali gaji gue mendadak meroket. Santai aja kalau kayak gitu.”
“Iya, Mi. Gue ngerti kok. Gue seneng bisa lebih terbuka sama pacar gue urusan keuangan begini.”
“Ya santai aja, Zy, mulai dari sekarang urusan keuangan mah. Ga usah mikirin siapa yang mesti bayarin atau siapa utang ke siapa. KECUALI, lo kepingin diperhitungkan di antara kita, ya nggak apa-apa. Cuma, kalau gue pribadi sih udah nggak perlu lagi mikirin begitu. Gue nggak mau kayak Taya dan pacarnya. Doi sampe ke duit seribu perak aja dipermasalahin dan diitung sebagai utang. Malu aja sih gue mah dan jadinya bahan masalah buat keduanya. Lo nggak punya kewajiban untuk selalu bayarin biaya pacaran kita karena lo bukan bokap gue dan bukan suami juga. Lo nggak ada tanggung jawab buat menafkahi gue. Jadi kita berdua sama-sama punya kewajiban dan tanggung jawab yang setara urusan biaya pacaran ini. Gimana?”
“Sounds great to me. Makasih ya perhatian dan pengertiannya, Mi. Nggak nyangka aja lo mau mikir begini. Gue takut lo jadi kayak mantan gue, pas udah nemu duit saat udah kerja, jadinya kehidupannya berubah.”
“Mantan teruuuus! Hahaha.”
“Iya maaf. Gue nggak niat ngebandingin lo sama mantan, ini gue cuma berbagi pengalaman gue dulu sama mantan gue, Mi.”
Diubah oleh yanagi92055 15-03-2020 00:48
itkgid dan 18 lainnya memberi reputasi
19