- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#82
Spoiler for Episode 17:
Pukul 11 menjelang siang, keadaan sudah mulai membaik. Sebenarnya tidak membaik juga, karena jika aku menoleh ke arah belakang ada tumpukkan gelas dan piring kotor yang belum sempat ku sentuh sedari pelanggan pertama datang. Aku masih fokus dengan urusan kasir dan juga membuatkan pesanan pelanggan, belum lagi untuk persediaan yang datang. Aku harus mencatat dan menyortir mana saja yang harus dibuang dan harus ku susun sesuai tanggalnya.
"Saya salut sama Masnya." Kata pelanggan yang sedang menunggu.
"Kenapa ya Mba kalau boleh tau?" Tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
"Aku biasa ngeliat kalian bertiga aja ngebayanginnya udah capek banget mesti ini itu sana sini, dan sekarang Masnya sendirian buat ngerjain semuanya. Beneran salut loh aku sama Mas." Katanya.
Aku hanya bisa tersenyum tanpa tau harus menjawab apa, ku serahkan pesanannya dan mengucapkan terima kasih. Ku lihat masih ada beberapa tiket yang menggantung dari mesinnya, pertanda bahwa pesanan itu belum ku kerjakan.
Kling!
"J*ng!..." kataku pelan, "Selamat si... ang."
"Adrian, kok kamu sendirian?"
Renata, ia berada di hadapanku saat ini. Aku sempat terdiam beberapa saat mengingat apa yang terjadi beberapa hari lalu. Ia berjalan menuju ke arah tempat aku meletakkan tas, kemudian ia mengambil apron yang biasa kami kenakan.
"Adrian tolong pasangin." Katanya.
Aku kembali tersadar, kemudian aku memasangkan apron kepadanya. Ia berlalu menuju tempat cucian piring dan mulai membantuku mengerjakan pekerjaan yang tertinggal, aku pun kembali membuat pesanan. Renata pun sudah menyelesaikan tugasnya, ia berlalu menuju mesin kasir tepat di belakangku.
"Adrian..."
Ia menepuk pundakku beberapa kali, aku pun teralihkan padahal aku sedang berinteraksi dengan pelanggan. Ia mengarahkan matanya ke arah kanan, sebuah pertanda untukku bahwa dia akan mengambil alih mesin kasir.
"Selamat siang, mohon maaf bisa diulang kembali pesanannya?"
Aku kembali berkutat dengan mesin kopi. Satu demi satu, akhirnya semua pesanan pelanggan sudah ku selesaikan. Aku kembali setelah mengantarkan pesanan ke meja pelanggan, Renata memberikan aku segelas air. Belum sempat aku berterima kasih Renata berlalu menuju gudang, ia mulai melihat-lihat dan mencatat barang-barang yang baru saja tiba. Aku melihat keadaan sekitar dan semuanya sudah terkendali, aku memutuskan untuk duduk di lantai dan bersandar pada tempat penyimpanan es batu. Sesekali aku meminum pemberian Renata, aku mencoba mengatur nafasku agar detak jantungku tidak terlalu cepat.
Renata berlari kecil menuju ke arahku, aku hanya bisa melihat ke arahnya sambil tetap mengatur nafas. Ia pun berlutut di hadapanku dan melihat keadaanku.
"Adrian, kamu kenapa?" Tanyanya.
Aku menempatkan dahiku di lututnya tanpa menjawab pertanyaannya. Mungkin apa yang ku lakukan membuat Renata bingung, namun aku membiarkan itu terjadi begitu saja. Renata mengusap pundakku pelan beberapa kali.
"Kamu kuat ngga? Kalau ngga jangan dipaksain, kita tutup lebih cepet aja daripada nanti kamu sakit." Katanya.
"Makasih ya Ren." Kataku.
Mungkin jika tidak ada Renata semuanya akan semakin berantakan jika dilihat dari pengunjung yang datang hari ini, aku benar-benar diselamatkan oleh Renata. Hari akan tetap berlanjut tanpa peduli seberapa lelah aku saat ini.
Masuk jam makan siang, pelanggan sudah menempati bangku mereka masing-masing. Renata sedang berinteraksi dengan pelanggan lain sedangkan aku kembali setelah mengantarkan pesanan kepada pelanggan.
"Baik, silahkan ditunggu..." Renata menatap ke arahku, "kamu mau istirahat dulu apa gimana?"
Aku mulai mengerjakan pesanan yang baru, "Ngga usah lah, sambil di sini aja istirahatnya mau ngga mau Ren. Kamu kalau mau ke belakang aja makan dulu."
"Ngga gitu dong caranya Adrian. Kalau kamu istirahat di sini berarti aku juga di sini biar sama-sama enak, win-win solution."
Dengan cepat aku menatap ke arah Renata, aku sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan. Aku tidak pernah mengucap kata-kata itu kepadanya, jadi ini sebuah kebetulan yang mungkin memang prinsip kami sama.
Semua pesanan beres, Renata sedang menghangatkan makanan untuk makan siangnya. Kemudian ia membawa makanan tersebut dan meletakkannya di sampingku.
"Ayo kamu juga harus makan, dari pagi kamu sendirian ngerjain semuanya." Ajak Renata.
"Ren, kamu kan tau..."
"Aku ngga peduli..." Renata memotong pembicaraanku dan memberikan suapan kepadaku, "aku ngga mau kamu sampai sakit nanti, ayo makan."
Akhirnya aku pun ikut makan bersama dengan Renata. Pelanggan pun nampak memberikan kami kesempatan untuk beristirahat, dibuktikan dengan tidak adanya pesanan selama kami makan. Selesai dengan makan, aku memutuskan untuk melihat handphoneku. Aku berencana untuk membuat pengumuman mengenai dipercepatnya jam tutup kedai ini.
"Mereka pasti ngerti kok." Kata Renata.
Aku mengangguk pertanda setuju. Sekitar pukul 5 sore, aku memberitahu kepada pelanggan yang masih ada di dalam ruangan ini bahwa kami akan tutup lebih cepat. Aku pun merasa tidak profesional, namun mereka bisa mengerti situasi saat ini. Dan tepat pukul 6 aku sudah mengunci pintu ruko ini.
Renata sudah berdiri di samping motorku, aku pun berjalan mendekat ke arahnya setelah semuanya aman.
"Kamu bisa bawa Syailendra?" Tanya Renata.
"Masih bisa kok." Jawabku singkat.
"Aku ngikutin dari belakang aja." Katanya.
Ia masuk ke dalam mobilnya dan aku naik ke atas motor, kami pun secara bersamaan meninggalkan tempat ini. Beberapa saat di perjalanan akhirnya kami tiba di rumah. Mobilnya dan motorku sudah masuk ke dalam garasi, aku memastikan semuanya aman. Kami masuk ke dalam rumah lalu menuju kamarku, seperti biasa aku melakukan rutinitas ketika pulang ke rumah.
Di dalam kamar, aku meletakkan tasku dan tas milik Renata di atas meja. Secara bersamaan kami duduk di sofa sambil meminum minuman botolan.
"Kok kamu bisa sih, udah tau sendirian masih buka aja?" Tanya Renata.
"Ferdi sama Bella sakit Ren, mereka ngabarin aku pas udah ada pelanggan yang masuk tadi pagi. Mau ngga mau aku harus ngelayanin mereka dong." Jelasku.
"Kok mereka baru ngabarinnya pas kamu udah buka? Kan bisa aja ngabarin lebih cepet biar kamu ngga keteteran kayak tadi." Kata Renata dengan nada yang meninggi.
"Ya mungkin emang mereka baru bisa ngabarin pas aku udah buka Ren." Jelasku lagi.
"Tapi ngga gitu dong caranya Adrian, kan bisa aja..."
"Renata..." Aku menggenggam tangannya, "udah nggapapa, dimaklumin aja namanya juga sakit kan ngga ada yang tau kapan datangnya. Kamu jangan marah kayak gitu, semuanya juga udah selesai."
Aku dapat melihat raut wajahnya yang kesal dengan apa yang terjadi hari ini. Wajar jika ia marah karena prinsip kami sama, win-win solution. Jika dirunut kejadian tadi pagi, hal itu bukanlah sesuatu yang saling menguntungkan. Dan aku bisa beranggapan itulah yang membuatnya kesal.
"Makasih ya Ren..." perasaan Renata melunak terlihat dari ekspresinya, "udah mau bantuin aku tadi. Kalau ngga ada kamu bakalan berantakan semuanya."
Aku merebahkan diriku dengan paha Renata sebagai bantalannya. Aku memandanginya dalam diam, entah kenapa rasanya aku ingin memejamkan mata begitu saja. Aku dapat merasakan tangan Renata sedang bermain-main dengan rambutku, namun terasa berat untuk membuka mata. Aku lebih memilih tetap memejamkan mataku, membiarkan Renata terduduk menatapku.
"Adrian... Adrian..."
Aku nendengar Renata memanggilku beberapa kali, namun berat rasanya untuk membuka mata. Aku merssakan Renata mengangkat kepalaku, lalu ia meletakkan bantal di bawah kepalaku. Aku merasakan sesuatu ditempelkan di dahiku oleh Renata.
"Adrian, kamu bisa pindah ke tempat tidur ngga?" Tanya Renata.
"Hmm... ngga tau, kok pusing ya?" Kataku.
"Kamu kecapekan, badan kamu panas, kayaknya kamu demam." Jelasnya.
Nampaknya apa yang Renata tempelkan di dahiku adalah pereda demam yang aku pun tak tau ia mendapatkannya dari mana. Aku mencoba untuk bangun dan berpindah ke tempat tidur, dengan mata yang masih terpejam aku dibantu oleh Renata. Setelah itu aku dapat merasakan Renata duduk di sampingku.
"Ini minum dulu obatnya." Katanya.
Aku hanya bisa menuruti apa perkataannya, setelah itu aku mencoba untuk kembali tidur karena kondisi saat ini sedang tidak baik. Benar saja, dengan cepat aku kembali tertidur meninggalkan Renata sendirian.
Renata bangun dari duduknya, ia memakaikan selimut ke seluruh tubuhku. Kemudian ia menuju sofa untuk membereskan barang-barang yang ada. Beberapa menit kemudian, Renata berdiri di sampingku kemudian ia berlutut menghadap ke arahku. Ia menggenggam kedua tangannya dan kepala tertunduk.
"Bunda Maria, Bunda Allah, dan Bunda kami..."
Aku dapat mendengar perkataan itu dengan sangat jelas meski Renata mengucapkannya dengan suara yang pelan. Aku mencoba untuk tetap tenang agar tidak mengganggunya.
"...Aku datang ke hadapanmu dengan pengharapan bahwa Engkau akan menolongku. Imanku mengatakannya dan hatiku meyakininya. Untuk sakit Adrian dan di tengah penderitaannya, aku berseru kepadamu Bunda. Karena aku percaya hanya dengan mengatakannya aku merasa lebih baik..."
Setelah itu aku tidak dapat lagi mendengar perkataannya, namun aku tau ia masih berucap karena hanya terdengar gumaman dari Renata.
"... Amin." Ucap Renata.
Renata pun berdiri, kemudian ia merebahkan diri di sampingku. Aku dapat merasakan Renata mencium pipiku, lalu nampaknya ia tidur menghadap ke arahku.
Aku tak tau apakah Renata sudah memejamkan matanya atau belum, jika ia masih membuka matanya sekalipun aku tidak peduli. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi, tidak ada tenaga lagi yang tersisa untuk menahannya. Air mataku berlinang, turun menuju ke arah telingaku. Aku pun berpikir kenapa aku harus menangis? Apa kesedihan yang sedang ku alami? Aku hanya baru saja mendengar Renata memanjatkan do'a agar aku mendapat kesembuhan. Lalu kenapa aku menangis?
Klise, aku seperti mempertanyakan pertanyaan yang bisa ku jawab sendiri. Aku seperti mencoba mencari sebuah alasan lain untuk sebuah pembenaran lainnya. Aku hanya lari dari sebuah permasalahan, tanpa mau menyelesaikannya lebih cepat. Aku bisa, namun aku tidak mau. Egois, aku hanya peduli dengan perasaanku seorang diri. Renata akan selalu menjadi korban, dengan keadaan seperti ini atau bahkan setelah semua ini selesai.
"Renata... maaf."
*
"Adrian... Adrian..."
Aku mencoba membuka mata, semuanya masih nampak tidak jelas. Beberapa kali aku mengedipkan mata hingga akhirnya semuanya nampak jelas. Renata sudah duduk di sampingku, aku mencoba untuk bangun dan menyenderkan tubuh.
"Adrian, kamu makan dulu ya. Abis itu minum obat." Ucap Renata.
"Makan? Kamu beli makanan?" Tanyaku.
"Tadinya sih aku mau beli makanan, cuma pas aku liat di dapur masih ada beras dan lain-lain kayaknya cukup bikin aja ngga perlu beli." Jawabnya.
Ia mulai menyuapiku secara perlahan. Bubur nasi, Renata membuatnya untukku menggunakan bahan-bahan seadanya di dapur. Namun aku tidak tau bahan apa saja yang ia gunakan, bubur ini terasa lain dari yang biasa ku makan ketika sakit.
"Enak ngga?" Tanya Renata.
"Aku lupa rasa bubur itu kayak gimana." Kataku.
"Maksudnya?" Tanyanya lagi.
"Kalau aku boleh jujur, terakhir aku makan bubur itu beberapa bulan yang lalu." Kataku.
Ia mulai menyuapiku lagi, sesekali ia pun ikut makan denganku. Beberapa saat aku menatapnya sambil makan, "Makasih ya Ren. Kemarin udah mau dateng, dan hari ini kamu udah mau ngurus aku juga."
Ia tersenyum kepadaku. Beberapa menit waktu yang kami lewati, aku sudah meminum obat yang Renata berikan. Aku cukup terkejut dengan apa yang Renata lakukan, ia merapihkan kamarku.
"Ren, ngga usah dirapihin. Biar aku aja nanti..."
"Adrian kamu lagi sakit..." ia tidak menatapku, "mending kamu istirahat aja, lagian juga kamar kamu ngga seberantakan cowok-cowok biasanya."
Aku hanya bisa memandanginya dari atas tempat tidur. Satu demi satu barang ia rapihkan dan diletakkan di tempat asalnya. Hanya membutuhkan waktu sebentar, ia pun sudah menyelesaikannya. Ia kembali dengan membawa segelas air lalu duduk di sampingku, lalu ia menempelkan tangannya di dahiku.
"Gimana? Mendingan?" Tanya Renata.
"Lebih baik dari semalem sih. Untung ada kamu yang ngurusin, makasih ya Ren." Kataku.
"Sama-sama..." Renata menyalakan TV, "Lakers main kan jam 9?"
"Kamu jadi tau sekarang jadwalnya Lakers? Aku takjub loh." Kataku.
"Ya semenjak sering nonton sama kamu, aku kayaknya jadi suka juga deh sama Lakers." Jawabnya.
"Ngga suka sama tim yang lain? Warriors gitu atau Rockets?" Tanyaku lagi.
"Ngga deh, asupan cerita kamu soal Lakers dan perjuangannya bisa bikin aku suka. Meskipun lagi terpuruk tapi mereka bisa bangkit kok cepat atau lambat." Jelasnya.
Kali ini aku yang tersenyum menanggapinya, dan akhirnya kami pun mulai menonton pertandingan tersebut. Kami pun terhibur dengan pertandingan tersebut meskipun harus berakhir dengan kekalahan berturut-turut.
Menjelang siang, Renata sedang bersiap-siap sedangkan aku hanya bisa menyaksikannya dari atas tempat tidur. Ia mulai mengenakan beberapa aksesoris yang biasa ia kenakan sambil menatap cermin.
"Jangan ngelamun..." Renata menatapku lewat cermin, "atau kamu ngeliatin aku?"
Aku tersenyum diikuti olehnya, kemudian ia berdiri dan siap untuk pergi. Beberapa barang ia masukkan ke dalam tas kecil miliknya, setelah memeriksanya sekali lagi akhirnya ia menutup tas tersebut.
"Ren, tolong ambilin buku ketiga dari kiri rak atas." Kataku.
"Ini?" Tanyanya sambil menunjuk buku tersebut.
Aku mengangguk, ia sempat melihat buku itu sebentar kemudian ia mendekat kepadaku dan memberikan buku itu.
"Aku ke Gereja dulu ya, nanti aku ke sini lagi." Katanya.
Aku tersenyum sambil mengangguk kecil, ia berlalu keluar dari kamarku. Aku terdiam sesaat memandangi sampul buku ini, kemudian aku menggelengkan kepala.
Membaca adalah kegiatan yang bisa membuat aku lupa akan waktu, entah sudah berapa lama aku membaca buku ini. Aku mendengar suara mesin mobil dari depan rumahku, tak lama kemudian suara pintu yang terbuka. Langkah kaki menaiki anak tangga, yang ku hiraukan karena Renata akan masuk ke dalam kamarku. Pintu kamar dibuka dari luar, mataku teralih ke arah pintu.
"Loh Fer, Bel."
Ferdi dan Bella masuk ke dalam kamarku dengan membawa plastik besar yang aku tak tau apa isinya. Bella meletakkan plastik itu di atas meja sementara Ferdi mendekat ke arahku.
"Dri, sorrybanget sorry." Kata Ferdi.
"Mas Adrian, maaf banget soal kemarin." Kata Bella.
"Satu-satu dong kalau ngomong, jadi bingung nih nanggepinnya gimana." Kataku.
"Kita mau minta maaf kemarin ninggalin lu sendirian. Bukan maksud telat ngabarin, tapi emang gue baru bisa megang handphone mepet sama buka." Jelas Ferdi.
"Terus lu tau gue sakit dari siapa?" Tanyaku.
"Ka Renata..." Bella mendekat ke arahku, "tadi pagi aku ngabarin Mas Adrian yang jawab Ka Renata."
"Renata marah ya?" Tanya Ferdi.
"Marah? Maksudnya?" Tanyaku balik.
"Jadi Bella ngabarin gue kalau lu sakit setelah dikasih tau Renata. Gue coba nanya sama Renata, dia marah gara-gara kita ninggalin lu sendirian sampai lu sakit gini." Jelas Ferdi.
"Kok gue ngga tau ya? Kapan lu nanya Renata?" Tanyaku lagi.
"Tadi pagi, makanya gue sama Bella sekarang ke sini mau minta maaf soal kemarin." Jawab Ferdi lagi.
Aku mendengar suara pintu garasi terbuka, "Nah orangnya udah pulang tuh."
Bella mendekat ke arah Ferdi yang tentu saja membuatku heran, seperti orang yang takut untuk bertemu. Tak lama berselang Renata membuka pintu kamarku, raut wajahnya berubah dengan cepat dari yang awalnya tersenyum berubah menjadi tatapan datar.
"Renata..."
"..."
"Renata Angelina Kalangi..."
Renata akhirnya menatap ke arahku, aku menyuruhnya untuk mendekat ke arahku. Ia berjalan mendekat ke arahku, aku memberikan isyarat kepada Ferdi dan Bella untuk berbicara.
"Ren, kita mau minta maaf soal kemarin. Kita berdua ngga ada niatan buat bikin Adrian sendirian sampai dia sakit kayak gini." Kata Ferdi.
"Ka Renata, maafin kita. Kita tau kita salah." Kata Bella.
Aku menggenggam tangan Renata yang membuatnya menatap ke arahku, aku mengangguk pelan sambil tersenyum kepadanya. Renata menghela nafasnya, kemudian ia juga menggenggam tanganku.
"Iya dimaafin tapi kalian jangan begitu lagi, aku kasian liat Adrian sendirian ngurus semuanya." Ucap Renata.
"Iya Ka Ren, janji ngga bakalan kayak gitu lagi." Kata Bella.
Aku tersenyum sambil bergantian menatap Renata dan Bella. Setelah semuanya kembali membaik, Bella dan Renata menuju dapur untuk membuatkan minum.
"Asli lemes gue..." Ferdi merebahkan diri di atas kasur, "gue ngga nyangka orang kayak Renata bisa marah."
"Emang lu dimarahin kayak gimana?" Tanyaku.
"Serem cuk! Gue yang biasanya kebal sama omelan orang langsung ciut denger Renata marah-marah, itu ditelpon coba bayangin kalau ketemu langsung. Ngompol kayaknya gue." Jelasnya.
Aku tertawa mendengar apa yang Ferdi ceritakan. Kemudian Bella dan Renata kembali masuk membawa minuman dan sebuah piring.
"Loh ada Poffertjes?" Tanyaku.
"Sebagai pemintaan maaf dari gue dan Bella, gue bela-belain pesen makanan itu dari tempat yang lu suka. Kenapa harus jauh-jauh sih kalau milih makanan, kan gue jadi bingung sendiri." Ucap Ferdi.
"Serius lu pesen dari x? Soalnya cuma di sana yang bener-bener enak Fer." Kataku.
"Yaudah ini dimakan sama diminum dulu, abis itu kamu minum obat." Kata Renata.
Kami pun mulai makan bersama-sama sambil berbincang santai. Tak terasa malam sudah tiba, Renata sudah kembali dari lantai bawah setelah mengantarkan Ferdi dan Bella. Ia berlalu menuju kamar mandi untuk mengganti baju.
"Jadi bakalan nambah orang?" Tanyanya.
"Sesuai kemauan mereka setelah kejadian kemarin." Jawabku.
"Terus..." Renata keluar dari kamar mandi lalu duduk di sampingku, "besok kamu libur lagi?"
"Aku ngga ngerti deh sama mereka, padahal aku udah baik-baik aja tapi kenapa aku ngga dibolehin masuk. Segala ngancem-ngancem lagi." Kataku.
"Mungkin mereka takut kamu belum sembuh total jadi ya begitu." Ucapnya.
Renata mengusap pipiku perlahan, aku pun melihat ke arahnya dengan heran. Kemudian ia mencium pipiku yang tentu saja membuatku semakin heran.
"Sakit ya?" Tanya Renata sambil mengusap pipiku lagi.
"Sakit?" Tanyaku.
"Tadi pas di dapur Bella cerita semuanya, soal kamu ngga tidur terus kamu berantakan. Dan soal aku nampar kamu." Kata Renata.
Aku terkejut mendengar penjelasannya, "Oh... itu..."
"Adrian, aku minta maaf." Ucapnya lagi.
Aku hanya terdiam menatap Renata, entah sampai mana yang diceritakan oleh Bella. Aku kembali teringat bahwa Renata sudah mengungkapkan bahwa ia suka kepadaku.
"Aku bener-bener minta maaf sama kamu soal..."
Aku memotong pembicaraannya, bukan dengan kata-kata tapi dengan sebuah ciuman di bibirnya. Beberapa saat hingga aku mengakhirinya, kami saling beradu tatap dalam diam. Renata memajukan tubuhnya, membuatku tersandar lalu ia kembali menciumku.
.
.
"Lalu, bagaimana jika cinta itu datang tiba-tiba? Agama tidak mengaturnya bukan?"
(Beda Tapi Cinta. Rhesy Rangga & Stanley Meulen.)
***
"Saya salut sama Masnya." Kata pelanggan yang sedang menunggu.
"Kenapa ya Mba kalau boleh tau?" Tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
"Aku biasa ngeliat kalian bertiga aja ngebayanginnya udah capek banget mesti ini itu sana sini, dan sekarang Masnya sendirian buat ngerjain semuanya. Beneran salut loh aku sama Mas." Katanya.
Aku hanya bisa tersenyum tanpa tau harus menjawab apa, ku serahkan pesanannya dan mengucapkan terima kasih. Ku lihat masih ada beberapa tiket yang menggantung dari mesinnya, pertanda bahwa pesanan itu belum ku kerjakan.
Kling!
"J*ng!..." kataku pelan, "Selamat si... ang."
"Adrian, kok kamu sendirian?"
Renata, ia berada di hadapanku saat ini. Aku sempat terdiam beberapa saat mengingat apa yang terjadi beberapa hari lalu. Ia berjalan menuju ke arah tempat aku meletakkan tas, kemudian ia mengambil apron yang biasa kami kenakan.
"Adrian tolong pasangin." Katanya.
Aku kembali tersadar, kemudian aku memasangkan apron kepadanya. Ia berlalu menuju tempat cucian piring dan mulai membantuku mengerjakan pekerjaan yang tertinggal, aku pun kembali membuat pesanan. Renata pun sudah menyelesaikan tugasnya, ia berlalu menuju mesin kasir tepat di belakangku.
"Adrian..."
Ia menepuk pundakku beberapa kali, aku pun teralihkan padahal aku sedang berinteraksi dengan pelanggan. Ia mengarahkan matanya ke arah kanan, sebuah pertanda untukku bahwa dia akan mengambil alih mesin kasir.
"Selamat siang, mohon maaf bisa diulang kembali pesanannya?"
Aku kembali berkutat dengan mesin kopi. Satu demi satu, akhirnya semua pesanan pelanggan sudah ku selesaikan. Aku kembali setelah mengantarkan pesanan ke meja pelanggan, Renata memberikan aku segelas air. Belum sempat aku berterima kasih Renata berlalu menuju gudang, ia mulai melihat-lihat dan mencatat barang-barang yang baru saja tiba. Aku melihat keadaan sekitar dan semuanya sudah terkendali, aku memutuskan untuk duduk di lantai dan bersandar pada tempat penyimpanan es batu. Sesekali aku meminum pemberian Renata, aku mencoba mengatur nafasku agar detak jantungku tidak terlalu cepat.
Renata berlari kecil menuju ke arahku, aku hanya bisa melihat ke arahnya sambil tetap mengatur nafas. Ia pun berlutut di hadapanku dan melihat keadaanku.
"Adrian, kamu kenapa?" Tanyanya.
Aku menempatkan dahiku di lututnya tanpa menjawab pertanyaannya. Mungkin apa yang ku lakukan membuat Renata bingung, namun aku membiarkan itu terjadi begitu saja. Renata mengusap pundakku pelan beberapa kali.
"Kamu kuat ngga? Kalau ngga jangan dipaksain, kita tutup lebih cepet aja daripada nanti kamu sakit." Katanya.
"Makasih ya Ren." Kataku.
Mungkin jika tidak ada Renata semuanya akan semakin berantakan jika dilihat dari pengunjung yang datang hari ini, aku benar-benar diselamatkan oleh Renata. Hari akan tetap berlanjut tanpa peduli seberapa lelah aku saat ini.
Masuk jam makan siang, pelanggan sudah menempati bangku mereka masing-masing. Renata sedang berinteraksi dengan pelanggan lain sedangkan aku kembali setelah mengantarkan pesanan kepada pelanggan.
"Baik, silahkan ditunggu..." Renata menatap ke arahku, "kamu mau istirahat dulu apa gimana?"
Aku mulai mengerjakan pesanan yang baru, "Ngga usah lah, sambil di sini aja istirahatnya mau ngga mau Ren. Kamu kalau mau ke belakang aja makan dulu."
"Ngga gitu dong caranya Adrian. Kalau kamu istirahat di sini berarti aku juga di sini biar sama-sama enak, win-win solution."
Dengan cepat aku menatap ke arah Renata, aku sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan. Aku tidak pernah mengucap kata-kata itu kepadanya, jadi ini sebuah kebetulan yang mungkin memang prinsip kami sama.
Semua pesanan beres, Renata sedang menghangatkan makanan untuk makan siangnya. Kemudian ia membawa makanan tersebut dan meletakkannya di sampingku.
"Ayo kamu juga harus makan, dari pagi kamu sendirian ngerjain semuanya." Ajak Renata.
"Ren, kamu kan tau..."
"Aku ngga peduli..." Renata memotong pembicaraanku dan memberikan suapan kepadaku, "aku ngga mau kamu sampai sakit nanti, ayo makan."
Akhirnya aku pun ikut makan bersama dengan Renata. Pelanggan pun nampak memberikan kami kesempatan untuk beristirahat, dibuktikan dengan tidak adanya pesanan selama kami makan. Selesai dengan makan, aku memutuskan untuk melihat handphoneku. Aku berencana untuk membuat pengumuman mengenai dipercepatnya jam tutup kedai ini.
"Mereka pasti ngerti kok." Kata Renata.
Aku mengangguk pertanda setuju. Sekitar pukul 5 sore, aku memberitahu kepada pelanggan yang masih ada di dalam ruangan ini bahwa kami akan tutup lebih cepat. Aku pun merasa tidak profesional, namun mereka bisa mengerti situasi saat ini. Dan tepat pukul 6 aku sudah mengunci pintu ruko ini.
Renata sudah berdiri di samping motorku, aku pun berjalan mendekat ke arahnya setelah semuanya aman.
"Kamu bisa bawa Syailendra?" Tanya Renata.
"Masih bisa kok." Jawabku singkat.
"Aku ngikutin dari belakang aja." Katanya.
Ia masuk ke dalam mobilnya dan aku naik ke atas motor, kami pun secara bersamaan meninggalkan tempat ini. Beberapa saat di perjalanan akhirnya kami tiba di rumah. Mobilnya dan motorku sudah masuk ke dalam garasi, aku memastikan semuanya aman. Kami masuk ke dalam rumah lalu menuju kamarku, seperti biasa aku melakukan rutinitas ketika pulang ke rumah.
Di dalam kamar, aku meletakkan tasku dan tas milik Renata di atas meja. Secara bersamaan kami duduk di sofa sambil meminum minuman botolan.
"Kok kamu bisa sih, udah tau sendirian masih buka aja?" Tanya Renata.
"Ferdi sama Bella sakit Ren, mereka ngabarin aku pas udah ada pelanggan yang masuk tadi pagi. Mau ngga mau aku harus ngelayanin mereka dong." Jelasku.
"Kok mereka baru ngabarinnya pas kamu udah buka? Kan bisa aja ngabarin lebih cepet biar kamu ngga keteteran kayak tadi." Kata Renata dengan nada yang meninggi.
"Ya mungkin emang mereka baru bisa ngabarin pas aku udah buka Ren." Jelasku lagi.
"Tapi ngga gitu dong caranya Adrian, kan bisa aja..."
"Renata..." Aku menggenggam tangannya, "udah nggapapa, dimaklumin aja namanya juga sakit kan ngga ada yang tau kapan datangnya. Kamu jangan marah kayak gitu, semuanya juga udah selesai."
Aku dapat melihat raut wajahnya yang kesal dengan apa yang terjadi hari ini. Wajar jika ia marah karena prinsip kami sama, win-win solution. Jika dirunut kejadian tadi pagi, hal itu bukanlah sesuatu yang saling menguntungkan. Dan aku bisa beranggapan itulah yang membuatnya kesal.
"Makasih ya Ren..." perasaan Renata melunak terlihat dari ekspresinya, "udah mau bantuin aku tadi. Kalau ngga ada kamu bakalan berantakan semuanya."
Aku merebahkan diriku dengan paha Renata sebagai bantalannya. Aku memandanginya dalam diam, entah kenapa rasanya aku ingin memejamkan mata begitu saja. Aku dapat merasakan tangan Renata sedang bermain-main dengan rambutku, namun terasa berat untuk membuka mata. Aku lebih memilih tetap memejamkan mataku, membiarkan Renata terduduk menatapku.
"Adrian... Adrian..."
Aku nendengar Renata memanggilku beberapa kali, namun berat rasanya untuk membuka mata. Aku merssakan Renata mengangkat kepalaku, lalu ia meletakkan bantal di bawah kepalaku. Aku merasakan sesuatu ditempelkan di dahiku oleh Renata.
"Adrian, kamu bisa pindah ke tempat tidur ngga?" Tanya Renata.
"Hmm... ngga tau, kok pusing ya?" Kataku.
"Kamu kecapekan, badan kamu panas, kayaknya kamu demam." Jelasnya.
Nampaknya apa yang Renata tempelkan di dahiku adalah pereda demam yang aku pun tak tau ia mendapatkannya dari mana. Aku mencoba untuk bangun dan berpindah ke tempat tidur, dengan mata yang masih terpejam aku dibantu oleh Renata. Setelah itu aku dapat merasakan Renata duduk di sampingku.
"Ini minum dulu obatnya." Katanya.
Aku hanya bisa menuruti apa perkataannya, setelah itu aku mencoba untuk kembali tidur karena kondisi saat ini sedang tidak baik. Benar saja, dengan cepat aku kembali tertidur meninggalkan Renata sendirian.
Renata bangun dari duduknya, ia memakaikan selimut ke seluruh tubuhku. Kemudian ia menuju sofa untuk membereskan barang-barang yang ada. Beberapa menit kemudian, Renata berdiri di sampingku kemudian ia berlutut menghadap ke arahku. Ia menggenggam kedua tangannya dan kepala tertunduk.
"Bunda Maria, Bunda Allah, dan Bunda kami..."
Aku dapat mendengar perkataan itu dengan sangat jelas meski Renata mengucapkannya dengan suara yang pelan. Aku mencoba untuk tetap tenang agar tidak mengganggunya.
"...Aku datang ke hadapanmu dengan pengharapan bahwa Engkau akan menolongku. Imanku mengatakannya dan hatiku meyakininya. Untuk sakit Adrian dan di tengah penderitaannya, aku berseru kepadamu Bunda. Karena aku percaya hanya dengan mengatakannya aku merasa lebih baik..."
Setelah itu aku tidak dapat lagi mendengar perkataannya, namun aku tau ia masih berucap karena hanya terdengar gumaman dari Renata.
"... Amin." Ucap Renata.
Renata pun berdiri, kemudian ia merebahkan diri di sampingku. Aku dapat merasakan Renata mencium pipiku, lalu nampaknya ia tidur menghadap ke arahku.
Aku tak tau apakah Renata sudah memejamkan matanya atau belum, jika ia masih membuka matanya sekalipun aku tidak peduli. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi, tidak ada tenaga lagi yang tersisa untuk menahannya. Air mataku berlinang, turun menuju ke arah telingaku. Aku pun berpikir kenapa aku harus menangis? Apa kesedihan yang sedang ku alami? Aku hanya baru saja mendengar Renata memanjatkan do'a agar aku mendapat kesembuhan. Lalu kenapa aku menangis?
Klise, aku seperti mempertanyakan pertanyaan yang bisa ku jawab sendiri. Aku seperti mencoba mencari sebuah alasan lain untuk sebuah pembenaran lainnya. Aku hanya lari dari sebuah permasalahan, tanpa mau menyelesaikannya lebih cepat. Aku bisa, namun aku tidak mau. Egois, aku hanya peduli dengan perasaanku seorang diri. Renata akan selalu menjadi korban, dengan keadaan seperti ini atau bahkan setelah semua ini selesai.
"Renata... maaf."
*
"Adrian... Adrian..."
Aku mencoba membuka mata, semuanya masih nampak tidak jelas. Beberapa kali aku mengedipkan mata hingga akhirnya semuanya nampak jelas. Renata sudah duduk di sampingku, aku mencoba untuk bangun dan menyenderkan tubuh.
"Adrian, kamu makan dulu ya. Abis itu minum obat." Ucap Renata.
"Makan? Kamu beli makanan?" Tanyaku.
"Tadinya sih aku mau beli makanan, cuma pas aku liat di dapur masih ada beras dan lain-lain kayaknya cukup bikin aja ngga perlu beli." Jawabnya.
Ia mulai menyuapiku secara perlahan. Bubur nasi, Renata membuatnya untukku menggunakan bahan-bahan seadanya di dapur. Namun aku tidak tau bahan apa saja yang ia gunakan, bubur ini terasa lain dari yang biasa ku makan ketika sakit.
"Enak ngga?" Tanya Renata.
"Aku lupa rasa bubur itu kayak gimana." Kataku.
"Maksudnya?" Tanyanya lagi.
"Kalau aku boleh jujur, terakhir aku makan bubur itu beberapa bulan yang lalu." Kataku.
Ia mulai menyuapiku lagi, sesekali ia pun ikut makan denganku. Beberapa saat aku menatapnya sambil makan, "Makasih ya Ren. Kemarin udah mau dateng, dan hari ini kamu udah mau ngurus aku juga."
Ia tersenyum kepadaku. Beberapa menit waktu yang kami lewati, aku sudah meminum obat yang Renata berikan. Aku cukup terkejut dengan apa yang Renata lakukan, ia merapihkan kamarku.
"Ren, ngga usah dirapihin. Biar aku aja nanti..."
"Adrian kamu lagi sakit..." ia tidak menatapku, "mending kamu istirahat aja, lagian juga kamar kamu ngga seberantakan cowok-cowok biasanya."
Aku hanya bisa memandanginya dari atas tempat tidur. Satu demi satu barang ia rapihkan dan diletakkan di tempat asalnya. Hanya membutuhkan waktu sebentar, ia pun sudah menyelesaikannya. Ia kembali dengan membawa segelas air lalu duduk di sampingku, lalu ia menempelkan tangannya di dahiku.
"Gimana? Mendingan?" Tanya Renata.
"Lebih baik dari semalem sih. Untung ada kamu yang ngurusin, makasih ya Ren." Kataku.
"Sama-sama..." Renata menyalakan TV, "Lakers main kan jam 9?"
"Kamu jadi tau sekarang jadwalnya Lakers? Aku takjub loh." Kataku.
"Ya semenjak sering nonton sama kamu, aku kayaknya jadi suka juga deh sama Lakers." Jawabnya.
"Ngga suka sama tim yang lain? Warriors gitu atau Rockets?" Tanyaku lagi.
"Ngga deh, asupan cerita kamu soal Lakers dan perjuangannya bisa bikin aku suka. Meskipun lagi terpuruk tapi mereka bisa bangkit kok cepat atau lambat." Jelasnya.
Kali ini aku yang tersenyum menanggapinya, dan akhirnya kami pun mulai menonton pertandingan tersebut. Kami pun terhibur dengan pertandingan tersebut meskipun harus berakhir dengan kekalahan berturut-turut.
Menjelang siang, Renata sedang bersiap-siap sedangkan aku hanya bisa menyaksikannya dari atas tempat tidur. Ia mulai mengenakan beberapa aksesoris yang biasa ia kenakan sambil menatap cermin.
"Jangan ngelamun..." Renata menatapku lewat cermin, "atau kamu ngeliatin aku?"
Aku tersenyum diikuti olehnya, kemudian ia berdiri dan siap untuk pergi. Beberapa barang ia masukkan ke dalam tas kecil miliknya, setelah memeriksanya sekali lagi akhirnya ia menutup tas tersebut.
"Ren, tolong ambilin buku ketiga dari kiri rak atas." Kataku.
"Ini?" Tanyanya sambil menunjuk buku tersebut.
Aku mengangguk, ia sempat melihat buku itu sebentar kemudian ia mendekat kepadaku dan memberikan buku itu.
"Aku ke Gereja dulu ya, nanti aku ke sini lagi." Katanya.
Aku tersenyum sambil mengangguk kecil, ia berlalu keluar dari kamarku. Aku terdiam sesaat memandangi sampul buku ini, kemudian aku menggelengkan kepala.
Membaca adalah kegiatan yang bisa membuat aku lupa akan waktu, entah sudah berapa lama aku membaca buku ini. Aku mendengar suara mesin mobil dari depan rumahku, tak lama kemudian suara pintu yang terbuka. Langkah kaki menaiki anak tangga, yang ku hiraukan karena Renata akan masuk ke dalam kamarku. Pintu kamar dibuka dari luar, mataku teralih ke arah pintu.
"Loh Fer, Bel."
Ferdi dan Bella masuk ke dalam kamarku dengan membawa plastik besar yang aku tak tau apa isinya. Bella meletakkan plastik itu di atas meja sementara Ferdi mendekat ke arahku.
"Dri, sorrybanget sorry." Kata Ferdi.
"Mas Adrian, maaf banget soal kemarin." Kata Bella.
"Satu-satu dong kalau ngomong, jadi bingung nih nanggepinnya gimana." Kataku.
"Kita mau minta maaf kemarin ninggalin lu sendirian. Bukan maksud telat ngabarin, tapi emang gue baru bisa megang handphone mepet sama buka." Jelas Ferdi.
"Terus lu tau gue sakit dari siapa?" Tanyaku.
"Ka Renata..." Bella mendekat ke arahku, "tadi pagi aku ngabarin Mas Adrian yang jawab Ka Renata."
"Renata marah ya?" Tanya Ferdi.
"Marah? Maksudnya?" Tanyaku balik.
"Jadi Bella ngabarin gue kalau lu sakit setelah dikasih tau Renata. Gue coba nanya sama Renata, dia marah gara-gara kita ninggalin lu sendirian sampai lu sakit gini." Jelas Ferdi.
"Kok gue ngga tau ya? Kapan lu nanya Renata?" Tanyaku lagi.
"Tadi pagi, makanya gue sama Bella sekarang ke sini mau minta maaf soal kemarin." Jawab Ferdi lagi.
Aku mendengar suara pintu garasi terbuka, "Nah orangnya udah pulang tuh."
Bella mendekat ke arah Ferdi yang tentu saja membuatku heran, seperti orang yang takut untuk bertemu. Tak lama berselang Renata membuka pintu kamarku, raut wajahnya berubah dengan cepat dari yang awalnya tersenyum berubah menjadi tatapan datar.
"Renata..."
"..."
"Renata Angelina Kalangi..."
Renata akhirnya menatap ke arahku, aku menyuruhnya untuk mendekat ke arahku. Ia berjalan mendekat ke arahku, aku memberikan isyarat kepada Ferdi dan Bella untuk berbicara.
"Ren, kita mau minta maaf soal kemarin. Kita berdua ngga ada niatan buat bikin Adrian sendirian sampai dia sakit kayak gini." Kata Ferdi.
"Ka Renata, maafin kita. Kita tau kita salah." Kata Bella.
Aku menggenggam tangan Renata yang membuatnya menatap ke arahku, aku mengangguk pelan sambil tersenyum kepadanya. Renata menghela nafasnya, kemudian ia juga menggenggam tanganku.
"Iya dimaafin tapi kalian jangan begitu lagi, aku kasian liat Adrian sendirian ngurus semuanya." Ucap Renata.
"Iya Ka Ren, janji ngga bakalan kayak gitu lagi." Kata Bella.
Aku tersenyum sambil bergantian menatap Renata dan Bella. Setelah semuanya kembali membaik, Bella dan Renata menuju dapur untuk membuatkan minum.
"Asli lemes gue..." Ferdi merebahkan diri di atas kasur, "gue ngga nyangka orang kayak Renata bisa marah."
"Emang lu dimarahin kayak gimana?" Tanyaku.
"Serem cuk! Gue yang biasanya kebal sama omelan orang langsung ciut denger Renata marah-marah, itu ditelpon coba bayangin kalau ketemu langsung. Ngompol kayaknya gue." Jelasnya.
Aku tertawa mendengar apa yang Ferdi ceritakan. Kemudian Bella dan Renata kembali masuk membawa minuman dan sebuah piring.
"Loh ada Poffertjes?" Tanyaku.
"Sebagai pemintaan maaf dari gue dan Bella, gue bela-belain pesen makanan itu dari tempat yang lu suka. Kenapa harus jauh-jauh sih kalau milih makanan, kan gue jadi bingung sendiri." Ucap Ferdi.
"Serius lu pesen dari x? Soalnya cuma di sana yang bener-bener enak Fer." Kataku.
"Yaudah ini dimakan sama diminum dulu, abis itu kamu minum obat." Kata Renata.
Kami pun mulai makan bersama-sama sambil berbincang santai. Tak terasa malam sudah tiba, Renata sudah kembali dari lantai bawah setelah mengantarkan Ferdi dan Bella. Ia berlalu menuju kamar mandi untuk mengganti baju.
"Jadi bakalan nambah orang?" Tanyanya.
"Sesuai kemauan mereka setelah kejadian kemarin." Jawabku.
"Terus..." Renata keluar dari kamar mandi lalu duduk di sampingku, "besok kamu libur lagi?"
"Aku ngga ngerti deh sama mereka, padahal aku udah baik-baik aja tapi kenapa aku ngga dibolehin masuk. Segala ngancem-ngancem lagi." Kataku.
"Mungkin mereka takut kamu belum sembuh total jadi ya begitu." Ucapnya.
Renata mengusap pipiku perlahan, aku pun melihat ke arahnya dengan heran. Kemudian ia mencium pipiku yang tentu saja membuatku semakin heran.
"Sakit ya?" Tanya Renata sambil mengusap pipiku lagi.
"Sakit?" Tanyaku.
"Tadi pas di dapur Bella cerita semuanya, soal kamu ngga tidur terus kamu berantakan. Dan soal aku nampar kamu." Kata Renata.
Aku terkejut mendengar penjelasannya, "Oh... itu..."
"Adrian, aku minta maaf." Ucapnya lagi.
Aku hanya terdiam menatap Renata, entah sampai mana yang diceritakan oleh Bella. Aku kembali teringat bahwa Renata sudah mengungkapkan bahwa ia suka kepadaku.
"Aku bener-bener minta maaf sama kamu soal..."
Aku memotong pembicaraannya, bukan dengan kata-kata tapi dengan sebuah ciuman di bibirnya. Beberapa saat hingga aku mengakhirinya, kami saling beradu tatap dalam diam. Renata memajukan tubuhnya, membuatku tersandar lalu ia kembali menciumku.
.
.
"Lalu, bagaimana jika cinta itu datang tiba-tiba? Agama tidak mengaturnya bukan?"
(Beda Tapi Cinta. Rhesy Rangga & Stanley Meulen.)
***
Diubah oleh beavermoon 13-03-2020 18:29
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas