Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

riekartiekaAvatar border
TS
riekartieka
TENTANG AKU, BISA JUGA KAMU
Cerita 1

POINT OF VIEW
(Ketika Kamu Itu Aku)





Pic. From : Pixabay


Malam ini tenang. Sangat ... tenang.
Seperti berada dalam ruangan hampa udara.
Hanya detak jantung dan embusan napas yang mengalun lambat.

*** ***

"Kamu mau bermain apa?" Carlisle membuka kotak putih yang disimpan di bawah ranjang. Ia mengaduk kotak berukuran sedang itu dengan tak sabaran. Bahkan rambutnya yang berombak menutupi seluruh muka.

"Kalau kamu melakukan itu, apa yang bisa dilihat?" singgung gadis yang berjongkok di sebelah Carlisle.

Carlisle menoleh dan menyelipkan rambut hitamnya ke belakang kedua telinga. Kemudian kembali mengacak kotak mainan itu dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi tak karuan. Sial! Rambutnya terlalu tebal, hingga lagi-lagi menutupi mukanya. Carlisle kesal, lalu menendang kotak itu hingga tergeser jauh ke dalam kolong ranjang tidurnya.

"Kamu, sama sekali tidak berubah." Gadis kurus itu berdiri menuju punggung Carlisle. Kemudian, ia mengikat rambut Carlisle dengan pita merah. Tangannya sangat cekatan dan lembut.

"Terima kasih, Lesiana." Carlisle melihat senyum manis Lesiana secerah musim semi, walaupun mukanya masih tampak pucat.

"Hari ini sangat cerah. Bukankah sayang sekali, jika kita hanya bermain di dalam kamar?" Lesiana melongok ke arah jendela. Ia benar. Pagi ini, matahari tidak terlalu terik. Cahayanya dipayungi awan putih yang berarak lambat karena tertiup semilir angin.

Tak ada alasan Carlisle menolak permintaan Lesiana. Sebab, berlarian di antara rerumputan terasa menyenangkan. Apalagi, jika bisa melihat Lesiana melompat kegirangan. Seperti anak kucing yang mengejar kupu-kupu.

Kaki Lesiana sangat ringan. Sekali melompat ia tampak seperti terbang. Walaupun, tak setinggi Carlisle ketika memasukan bola basket ke dalam ring.

"Hei! Jangan terlalu tinggi. Kamu bisa hilang terbawa angin." Carlisle terkikik, membayangkan si kurus Lesiana menangis karena terbawa angin sampai menghilang ke atas langit.

"Kamu mengejek aku, ya?" Lesiana bersungut. Ia membuang muka dengan kesal. Rambut pendek kecokelatan yang dipotong sembarangan itu, tak dapat menutupi bibirnya yang sedang menahan tawa.

Kemudian, mereka berdua tergelak bersama.

Semilir angin terasa lembut di telapak tangan Carlisle. Ia bisa merasakan ketika memainkan jemari ke arah langit. Pelan-pelan, Carlisle menghirup oksigen yang diberikan oleh sebatang pohon besar tua di sebelahnya.

"Ternyata ... berteman denganmu itu menyenangkan." Lesiana menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu. Napasnya tersengal.

"Sudah kubilang jangan berlari. Paru-parumu itu kecil." Carlisle menahan tawa.

"Kamu mengejekku lagi." Lesiana menjulurkan lidahnya yang kecil. Namun, tak ada raut kesal yang ditampakkan.

"Makanya, sekeras apapun berusaha, kamu tidak mungkin masuk klub basket putri." Carlisle menutup mulut. Ia tersadar telah mengatakan hal yang salah.

Tiba-tiba, Lesiana terlihat murung. Seketika ... awan putih yang berarak lembut terganti oleh gumpalan awan hitam.



Pic. From : Pixabay


"Hei! Maaf ... maaf kalau aku menyinggungmu." Carlisle memegang lengan Lesiana. Bulir keringat yang tersentuh oleh Carlisle terasa dingin. Jantung Carlisle berdenyut keras. Ia takut jika Lesiana terlepas dari genggaman dan menjauh. Lagi ....

"Aku hanya ingin menjadi sepertimu, Carlisle." Air mata Lesiana menetes seiring rintik hujan.

Seketika, Carlisle teringat. Sebuah masa, tentang seorang gadis kurus yang selalu menguntitnya di sekolah. Seperti bayangan, ia diam-diam berjalan di belakang, mengintip setiap kegiatan, bahkan mengikuti apapun yang Carlisle lakukan. Gadis itu, seperti anak bebek mengikuti induknya.

Berulang kali gadis itu diberi peringatan oleh Carlisle dan teman-teman. Namun, tak sedikitpun bergeming. Ia terus mengikuti. Sampai ikut masuk ke klub basket putri. Padahal, gerakannya lambat dan hanya dijadikan kacung oleh seluruh anggota.

Awalnya, Carlisle tak mempedulikan. Tak hanya sekali ini ia ditiru atau diinginkan menjadi teman dekat setiap anak gadis di sekolah. Tentu saja, Carlisle adalah si anak populer. Namun, ia tak boleh sembarangan memiliki teman. Paling tidak, teman yang ada di dekatnya harus memiliki level yang sama. Cantik, proposional, pintar, berprestasi, dan berada.

Lesiana?

Tentu saja tak masuk hitungan. Lesiana yang berkebalikan 180 derajat dibandingkan Carlisle, hanya akan menurunkan pamor. Ya, paling tidak ... itulah penilaian teman-teman di dekatnya.

Carlisle yang tadinya tak begitu menghiraukan kehadiran Lesiana, tiba-tiba menjadi berang. Ketidaknyamanan yang dipendam, kejengkelan yang disembunyikan, akhirnya meluap. Tanpa sadar, rambut panjang kecokelatan Lesiana terpotong hingga di atas pundak. Entah, dari mana gunting itu ada ditangannya. Carlisle seperti bergerak sendiri.

Ketika melihat rambut gelombang Lesiana bersama pita merah yang mengikat berada di genggaman, Carlisle merasa puas. Tak ada lagi rupa yang meniru penampilan dan tatanan rambut seperti miliknya. Carlisle pun terbahak melihat wajah Lesiana yang pucat.

"Sekarang ... kamu tak akan pernah bisa sepertiku. Tidak akan pernah, Lesiana! Tidak!" Di ruang ganti murid perempuan yang sepi itu, mata Carlisle membulat tajam. Napasnya memburu. Seakan ingin mendinginkan otaknya yang terlanjur panas dan kehilangan rasionalitas.

"Gadis sepertimu, tak pantas berada di dekatku! Sadarlah, Lesiana! Kamu tak pantas." Carlisle mendesis seraya memperlihatkan mata biru yang menyala.

Tanpa sadar, Carlisle menguasai Lesiana yang tersungkur di depannya. Badan kecil Lesiana menggigil ketakutan. Sesekali Lesiana melirik kepada gadis-gadis lain di belakang Carlisle. Memohon belas kasihan, mencari pertolongan. Namun, apa yang di dapat? Hanya ejekan dan celaan, bersama pandangan sinis yang menikam perasaannya. Membuat Lesiana merasa kecil di depan Carlisle. Semakin membuat Lesiana merasa tak berharga.

Sekuat tenaga, Lesiana melawan Carlisle dan teman-temannya. Dengan kekuatan yang tersisa, akhirnya ia mampu menghindar dan membuka pintu ruangan yang berada paling ujung lantai dua sekolah itu. Lesiana berlari. Ia tahu, kecepatannya tak sebanding dengan Carlisle dan teman-temannya. Namun, ia harus terus menjauh. Sebab, mereka tak segan lagi melakukan sesuatu untuk menghilangkan kekesalannya. Seperti biasa.

Lesiana terus berlari menelusuri lorong lantai dua. Mencari ujung lainnya bangunan sekolah. Napasnya tersengal, jantungnya terasa semakin sesak, dan langkahnya mengecil. Namun, ia tak boleh berhenti. Harus terus berlari.

Terus berlari.

"Apa salahku? Apa? Aku ... ha-nya-i-ngin-ber-te-ma ... Aaa!"



Pic. From : Pixabay


Suara dentuman itu menyibakkan ketenangan di ujung sore. Sebuah benda terjatuh dari jendela. Ah, bukan ... bukan sebuah. Namun, seseorang.

*** ***

Carlisle histeris. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. Mencari Lesiana yang tiba-tiba menghilang bersama rintik hujan. Namun, hanya tampak sebatang pohon besar tua.

"Carlisle. Ya, Tuhan. Maafkan ibu yang terlambat menemukanmu, Nak. Tenanglah, Sayang. Sadarlah." Tiba-tiba Carlisle tak lagi merasakan rintik hujan. Tubuhnya terasa hangat oleh sebuah pelukan.

"Ibu."

"Iya, Sayang. Ibu di sini. Pulang bersama ibu, ya." Wanita awal 40-an itu memeluk erat anak satu-satunya. Sedikit terisak ia menuntun Carlisle menjauh dari pohon besar tua itu. Tepat di bawah jendela di ujung lain lantai dua sekolah.

"Ibu ... bukan aku. Bukan aku, Bu. Bukan aku! Ia tersandung kakinya sendiri."

Carlisle berteriak di antara guntur yang menyambar. Menimbulkan percikan rasa bersalah yang bermunculan.

"Tenang, Sayang. Kamu sudah berusaha menyelamatkannya. Tenang, Carlisle." Tangan lembut itu menghapus air mata Carlisle.

"Jika itu aku ..., jika kamu menginginkan aku ...." Semakin lama, suara Carlisle melemah. Erangan itu tak lagi terdengar. Carlisle terjatuh dan tak sadarkan diri.

Hujan menyamarkan suara, jejak, dan cerita.

*** ***

"Carlisle ... Carlisle ...!" Sayup-sayup terdengar suara Lesiana memanggilnya. Carlisle terbangun dan melihat senyum Lesiana yang lebih cerah.

"Kamu tampak lebih cantik, Lesiana," ucap Carlisle tulus, "hei! Itu seragam tim basketku." Carlisle menyadari nomor punggung di seragam biru muda itu.

"Iya. Bolehkah aku meminjamnya sebentar? Aku ingin sepertimu sekejap." Raut Lesiana merah, malu.

Carlisle ingin sekali protes. Sebab, tak seorang pun boleh menyentuh seragam tim basketnya. Namun, hanya untuk kali ini. Ya, kali ini saja. Apalagi ketika Lesiana tampak lincah bermain bola basket, Carlisle seperti melihat sebuah bayangan yang menari penuh pesona di lapangan. Lompatannya pun semakin tinggi dengan tembakan sempurna ke arah ring basket.

"Aku hebat, kan?" Lesiana berhenti tanpa tersengal.

"Luar biasa. Dari mana kamu mempelajari semuanya?" Carlisle keheranan.

"Hahaha ... kamu tertidur terlalu lama, Carlisle. Atau hantaman genting itu terlalu keras untuk kepalamu? Kamu lupa? Aku, kan, selalu memperhatikanmu." Lesiana tersenyum kecil, malu-malu.

"Ah ...."

"Kamu, tidak mau bermain basket bersamaku?" Lesiana menyodorkan bolanya.

Carlisle terdiam. Ia pun melirik pada kaki sebelah kiri yang masih belum sembuh sempurna. Bahkan ditopang oleh tongkat besi agar bisa berjalan.

"Ah, iya. Semua gara-gara aku, ya." Lesiana murung melihat Carlisle yang tak berdaya.

"Tapi ... aku tak berhasil menyelamatkanmu. Kamu tetap terjatuh." Gantian Carlisle yang murung.

"Hei! Lihat! Aku tak apa-apa. Lihat, aku sekarang lincah. Sangat lincah. Sepertimu, Carlisle ....! Sepertimu ...! Kamu ...!"

Perlahan, di mata Carlisle semua tampak abu-abu. Samar, tak ada sesuatu pun yang dapat disentuh. Dengan langkah yang tak sempurna dan napas yang semakin tersengal, Carlisle menemukan sebuah pintu bermandikan cahaya di ujung lorong. Carlisle pun tergopoh menuju sumber cahaya, kemudian membuka pintu berengsel kuning sempurna itu.

Di hadapannya, gadis kurus berambut pendek kecokelatan terbaring tak berdaya. Selang menembus seluruh tubuhnya. Seakan semua telah menjadi bagian dari anggota badan. Bunyi peralatan kedokteran, yang ia tak tahu untuk apa, bergerak dan berbunyi konstan. Menimbulkan nada pasti di dalam ruangan yang sepi.

Semuanya tampak tenang. Seperti berdiri di ruangan hampa udara.

Carlisle mendekati Lesiana yang tengah terbaring tak berdaya. Entah mengapa, satu langkah ia mendekat kepada Lesiana, Carlisle merasakan kehidupan. Langkahnya pun semakin ringan. Seperti tersedot ke dalam tubuh Lesiana.

"Lesiana. Bertahanlah. Kamu pasti bisa."

Carlisle tersentak, ia tahu benar suara siapa yang muncul di belakangnya. Carlisle menoleh kearah sumber suara, dan benar ...! Itu adalah, dirinya.

"Lesiana. Ayolah, cepatlah tersadar. Aku ingin sekali kita bisa menjadi seorang teman. Kamu tahu, seharusnya kita bisa berteman. Saling mengisi dan membantu. Seharusnya, seorang gadis yang sempurna ... bisa mendampingi gadis sepertimu agar dapat bertahan. Paling tidak, mengisi hari-hari dengan sesuatu yang dapat dilakukan bersama di sekolah." Gadis seperti Carlisle itu, menyentuh tangan Lesiana. Mata birunya sayu seperti merindukan sesuatu.



Pic. Frim : Pixabay


"Menjadimu, sangat tidak menyenangkan. Selalu kesepian. Sendiri dan tak diinginkan. Lesiana, mulai hari ini, ketika kamu tersadar nanti ... aku berjanji tidak akan membuatmu seperti sebuah bayangan. Aku akan melangkahkan kaki sejajar denganmu."

Carlisle terbelalak melihat dirinya sendiri. Serupa tapi tak sama. Rambut bergelombang itu tak lagi tergerai. Tidak seperti biasa, dimana ia hanya mengucir rambut hitamnya ketika bermain basket. Selain itu, mata biru yang serupa dengan sang ibu berubah menjadi hijau keperakan, seperti ....

Seperti mata gadis yang ia genggam lengannya di ujung lorong lain, tingkat dua gedung sekolah. Ketika gadis itu bergelantungan di pinggiran luar jendela.

"Aku berjanji padamu. Jika gadis populer ini akan menjadi teman baikmu selamanya, Lesiana. Karena aku tahu rasanya menjadi 'Lesiana'."

Sekejap, Carlisle merasa ringan dan menghilang. Tubuhnya bergerak bagai gulungan topan kecil. Melayang dan tertarik ke dalam gadis kurus yang sedang terbaring lemah.



Pic. From : Pixabay


Jemari gadis yang tertidur tak berdaya itu pun perlahan bergerak. Seakan hidup memberikan kesempatan kedua. Kesempatan untuk memperbaiki sebuah keadaan. Kesempatan untuk saling memahami, ketika kini berdiri pada sudut pandang yang berbeda.

Carlisle tengah berjuang dalam tubuh Lesiana.

----Selesai----

Rieka Kartieka
Yogyakarta, 02 Maret 2020

#ceritarieka
Diubah oleh riekartieka 02-03-2020 03:44
Anissanuryantri
NadarNadz
nona212
nona212 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
869
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
m0buh41Avatar border
m0buh41
#8
Tetang Aku, Bisa Juga Kamu Atau Mungkin Dia emoticon-Cool
riekartieka
riekartieka memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.