Kaskus

Story

ningkaAvatar border
TS
ningka
[SFTH] Merajut Hati
Kumpulan Cerpen Tentang Kisah Yang Menyentuh Hati

[SFTH] Merajut Hati

Foto. di sini

Kita tidak pernah tahu, sebelum dekat dengan mereka. Karena yang terlihat, bisa saja berarti berbeda. Tentang perjuangan, kasih sayang, kejujuran ada di sini. Karena sejatinya, mereka hidup sesuai takdirnya.

Kisah Inspirasi 1
Luka Lama





Aku duduk di teras rumah Mbah Darmi mengamati piring di depanku yang berisi mie goreng dengan warna coklat kehitam-hitaman. Mungkin saja tercampur abu yang berterbangan saat memasak. Karena Mbah Darmi menggunakan ‘daduk’ atau daun tebu kering yang diambil dari kebun depan rumahnya. Perempuan berambut putih keluar rumah sambil membawa segelas teh, dan langsung ditaruh di meja.

“Ayo dimakan?” ucapnya dengan senyum tulus.

Sempat merutuki kebodohanku karena datang bertamu di waktu sarapan tiba. Jadi tidak enak karena membuat sang tuan rumah harus repot-repot menghidangkan makanan. Aku masih terdiam, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menolak ini semua, bukan tidak doyan, tapi lebih karena tidak tega makan melihat kondisi Mbah Darmi yang kekurangan. Bisa saja jatah sarapannya diberikan padaku. Janda tua itu hidup sendiri di rumah yang sudah terlihat reot. Bahkan sebagian kayu penyangga tampak miring.

“Saya sudah sarapan Mbah, minum teh saja, ya?” ucapku sambil mengambil segelas teh dan menyeruputnya perlahan.

“Tidak baik nolak rejeki, bawa pulang saja, ya?”

Aku terpaku melihat tubuh kurus itu masuk rumah dan keluar kembali dengan membawa daun pisang. Dengan cekatan diambilnya piring tadi dan membungkus isinya. Hanya mampu terdiam saat bungkusan itu sudah berpindah ke pangkuanku.

“Terima kasih, Mbah!” ucapku lirih.

“Ada apa pagi-pagi ke sini?” tanyanya sambil menumpuk piring dan gelas yang telah kosong.

“Amira semalam susah tidur, mungkin kecapekan. Mbah ke rumah mijat anakku,ya?”

“Kamu kan tahu, Nduk, kalau aku sudah berhenti mijat.” Mata tua itu melihat ke depan, menatap hamparan kebun tebu yang meniupkan semilir angin pagi ini. Berkali-kali dia menarik napas panjang. Mungkin saja banyak yang dipikirkannya.

“Sebentar saja, anakku maunya sama Mbah.” Putriku ini memang agak susah kalau pijat, padahal anaknya aktif bahkan seringkali jatuh. Hanya dengan Mbah Darmi dia mau. Mungkin karena diajak becanda kadangkala diceritakan dongeng sehingga tidak terasa kalau dipijat.

“Sudah tidak boleh anakku,” jawabnya lagi.

Aku tahu keengganannya. Bisa saja apa yang diucapkannya tadi hanya salah satu alasan, pasti ada penyebab lainnya. Sebulan yang lalu, saat Mbah Darmi mijat tetanggaku, ada perhiasannya yang hilang. Dan Mbah Darmi dituduh melakukan.

Aku masih ingat saat terdengar kegaduhan. Kulihat keluar, ada beberapa warga yang berkerumun. Di tengah-tengah mereka, wanita tua itu duduk di tanah sambil menangis, bersumpah atas nama Allah kalau tidak melakukan. Namun, tidak ada yang percaya. Karena hanya Mbah Darmi yang ada di situ.

Mungkin sebab itu yang membuatnya berhenti jadi tukang pijat. Mungkin sakit hati atau malu. Aku sebenarnya juga belum yakin kalau wanita berambut putih itu mencuri. Karena sering keluar masuk rumahku untuk mijat anak-anak tidak pernah ada kejadian buruk. Hanya berusaha berpikir positif saja.

“Demi Allah saat itu aku tidak mencuri, Nduk.” Mbah Darmi menerawang, aku jadi tambah tidak enak karena kejadian dulu mulai dibicarakan lagi. Takut melukai hatinya kembali.

“Saya percaya, Mbah!” kataku sambil merangkul pundaknya.

“Sebenarnya, aku tahu pelakunya. Namun aku kasihan nanti rumah tangganya bisa hancur.”

Aku kaget mendengar penjelasannya, serta merta langsung menoleh dan melihat Mbah Darmi dengan rasa tidak percaya. Tidak mungkin orang yang bukan siapa-siapa menolong orang lain bahkan rela dirinya difitnah orang yang ditolong.

“Siapa, Mbah?” tanyaku penasaran.

“Saat mijat orangnya tertidur , tapi tetap aku teruskan sampai selesai. Saat itu aku lihat ada yang masuk kamarnya, tapi aku hanya diam di ruang tengah nunggu orangnya bangun. Ternyata .... “

“Suaminya?” tanyaku masih dengan rasa penasaran yang tinggi.

“Bukan. Sudah, jangan diingat! Gusti Allah itu adil, saat berhenti mijat anakku diterima kerja di kota. Alhamdulillah, rejeki sedikit yang penting berkah,” ucapnya terlihat dengan mata berkaca-kaca, “manusia itu yang penting berbuat baik dulu, selanjutnya urusan Gusti Allah.”

Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Begitu pendek caraku berfikir. Terima kasih untuk hari ini Mbah Darmi.


Oleh. Ningka


Kisah menyentuh hati

1.kisah 1

2. kisah 2

3. kisah. 3

4.kisah. 4
Diubah oleh ningka 18-03-2020 00:09
nurulnadlifaAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.8K
140
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
ningkaAvatar border
TS
ningka
#2
Yang Terlupakan
Yang Terlupakan




Aku memandangi gerobak, dimana separo daganganku masih tersisa. Menjual buah potong di musim hujan, sebenarnya bukan pilihan yang tepat. Sudah aku kurangi jumlahnya, masih saja tidak habis. Ingin ganti barang jualan, lagi-lagi harus terhalang modal yang pas-pasan. Helaan napas berat berulangkali kuhembuskan. Teringat akan tas sekolah anakku yang sudah rusak. Serta tanggal muda sudah di depan mata, waktunya bayar uang sekolah dan kebutuhan lainnya.

Kupijat kepalaku, terpejam, berusaha menghilangkan pening yang mulai menyerang. Tas di pinggag segera kubuka, mencari balsam dan segera mengoleskannya di pelipis. Tak lama, peningnya hilang perlahan. Menegakkan tubuh, melihat langit, berusaha menerka, kapan cuaca akan cerah. Dan menumbuhkan harapan akan datangnya pembeli kembali.

Kusesap sisa kopi terakhir. Meletakkan cangkir begitu saja di sampingku. Mengalihkan pandangan ke sebelah. Gerobak kecil punya seorang kakek yang menjual jasanya sebagai tukang sol sepatu. Kakek Hasyim namanya. Pria tujuh puluh lima tahun yang penuh semangat. Gerakannya masih lincah. Senyum hangat selalu diberikan pada setiap orang yang menyapa.

Hari ini rejekinya sedang baik. Ada banyak orang yang datang membawa sepatu rusak. Bahkan kulihat dia mulai kewalahan. Namun tetap dilayaninya dengan sabar.

Suara azan terdengar. Aku segera mengunci gerobak, mengambil bungkusan sarung. Dan menunggu Kakek Hasyim yang masih merapikan barangnya. Bersama berjalan ke belakang pasar. Menuju musola kecil tempat kami berjamaah.

“Bapak!”

Aku menoleh kebelakang mencari asal suara. Seorang pemuda dengan baju yang rapi mendekati Kakek Hasyim. Dicium takzim tangan Kakek.

“Salat dulu, ya!” ucap Kakek.

Pemuda itu mengangguk, bersama-sama memasuki musala. Setelah selesai kami keluar. Kulihat Kakek berjalan sambil merangkul bahu pemuda itu. Mengantarkannya menuju tempat parkir. Aku sedikit kaget, sebuah mobil mahal dinaiki pemuda yang ternyata anak Kakek.

Setelah putra Kakek pulang, kami kembali ke pinggir pasar. Berdiri lagi di samping gerobak kami. Menunggu setiap rejeki yang lewat.

Kakek Hasyim terlihat mengambil kantung di sepedanya. Dua buah bungkus daun pisang dibawanya, kemungkinan itu bekal Kakek Hasyim. Ia letakkan di atas bangku panjang. Ini memang saatnya makan siang. Berkali-kali aku ditawari, tapi kutolak. Walaupun perut juga teriak minta diisi.

“Ini, dimakan!” tawar Kakek Hasyim.


“Buat Kakek saja,” tolakku sambil

menyodorkan kembali bungkusan yang diletakkan di pangkuan. Saat ini hujan gerimis, sambil menunggu reda kami duduk di emperan toko. Bukan hanya kita berdua, tapi ada beberapa pedagang lain yang ikut berteduh.

“Rejeki, jangan ditolak,” ucapnya lagi dengan senyum tulus. Bungkusan itu sudah berpindah kembali ke pangkuanku. Aku hanya bisa menunduk memandanginya. Sungguh, tidak enak hati ini. Karena terlalu sering menerima kebaikannya.

Kami makan dalam diam. Pria berambut putih itu, memang selalu bawa bekal. Dan, tidak lupa aku dibawakan. Apalagi madakan istrinya sungguh sedap.

Seperti menu siang ini. Nasi lodeh, ikan asin, serta sambal. Menu sederhana namun mampu membangkitkan selera. Aku memang jarang membawa bekal. Tergantung sisa nasi di rumah . Kalo masih banyak aku bawa. Namun tak jarang tinggal sedikit. Aku lebih baik mengalah, daripada anak istri tak bisa makan kenyang.

“Kamu kenapa?” ucap Kakek Hasyim setelah kami selesai makan. Aku hanya tersenyum menanggapi. Kadangkala, ingin menumpahkan segala beban, membaginya dengan bercerita bersama. Namun ada rasa malu di hati, karena tidak semua keluh kesah pantas dibicarakan dengan orang lain.

“Anak Kakek sudah sukses, ya?” tanyaku, mengalihkan perhatiannya. Laki-laki tua itu nampak tersenyum sambil menatap rintik hujan yang semakin deras.
“Tadi itu, anak kedua. Kerja di Jepang.”
“Pantas saja, mobilnya keren!” ucapku sambil menunjukkan dua jempol padanya. Mendengar itu, aku ikut bahagia. Melihat Kakek yang hidup sederhana mampu mendorong anak-anaknya berhasil. Terbersit angan, jika anak-anakku nanti juga bisa sukses.

“Kenapa Kakek masih mau susah-susah bekerja? “ Kulihat dia tertawa, beberapa gigi yang mulai ompong kelihatan. Sikapnya membuatku bingung.


“Kalau aku tidak bekerja, aku tidak bisa ngobrol denganmu.” Lagi-lagi hanya senyum yang ditunjukkan padaku.


"Anak-anakku baik semua. Mereka saling berebut ingin mengajak orang tuanya, namun aku tolak," jelas Kakek selanjutnya.


Aku mengernyit mendengar penjelasan Kakek. Rasanya tidak mungkin orang menolak kenyamanan. Apalagi itu dari anak sendiri. Kebanyakan orangtua menikmati masa tuanya tanpa susah payah lagi. Nyatanya ....


“ Kenapa?”


“Alhamdulillah ... tangan dan kaki masih sehat. Malu sama Sang Pemberi Hidup, jika hanya diam berpangku tangan. Kalau diam saja, badan tambah sakit semua.”


Aku mengangguk mendengar jawabannya. Tidak kusangka cara berpikirnya sungguh hebat. Tidak heran jika anak-anaknya sukses, bapaknya punya semangat yang tinggi.


“Aku pernah sepertimu dulu,” ucap Kakek Hasyim memecah kesunyian.


“Saat dagangan sepi, sedangkan kebutuhan anak sekolah tidak bisa ditunda. Kadang, aku juga sering putus asa. Namun, senyum ceria mereka menyambut ketika pulang kerja, mematik lagi semangatku. Yang penting usaha dulu, sambil kencengin doa, setelah itu pasrahkan Tuhan.” ucapnya tulus.


Mendengar itu, aku seketika tertampar. Setiap susah serlalu sibuk mengeluh. Bahkan, sedikit usaha sudah bingung menunggu hasil. Sampai melupakan, bahwaTuhan maha pengabul segala doa.
Diubah oleh ningka 14-03-2020 11:33
hugomaran
tatikartini
namkul8
namkul8 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.