- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#79
Spoiler for Episode 16:
Aku selalu bertanya, entah kepada teman, entah kepada orang tua, entah kepada diriku sendiri. Bagaimana rasanya jatuh cinta? Apakah semua orang akan merasakan hal yang sama? Kebanyakan dari mereka akan menjawab, "Jatuh cinta itu indah." Aku mempercayai akan hal itu, namun sayangnya ada beberapa orang yang mempunyai jawaban lain.
"Jatuh cinta itu ngga seindah yang kamu bayangkan. Jatuh cinta itu ngga semanis seperti film romansa. Ada kalanya cinta itu menjadi racun yang membahayakan, entah bagi kamu, entah bagi pasanganmu, entah bagi kalian. Lalu bagaimana caranya agar racun itu tidak membahayakan bagi siapapun? Berikan penawarnya, apa penawarnya? Tidak semua penawar setiap orang itu sama, pasti berbeda antara satu dengan yang lain. Lalu bagaimana jika kamu tidak mau penawar? Maka jauhilah racun tersebut."
Entah saat ini sudah pukul berapa, aku masih saja terduduk diam. Ku seka rambut yang menutupi wajahnya, Renata sudah tertidur pulas di sampingku. Sampai saat ini aku masih tidak percaya dengan apa yang Renata lakukan, membuatku terus memikirkan apa yang harus aku lakukan secepat mungkin.
Otak dan hatiku sudah memulai peperangannya, ketika logika dan perasaan mulai menampakkan keegoisan mereka masing-masing dan tak mau mengalah.
"Udah cukup sampai di sini. Jangan larut lebih lama, kamu ngga mau kan bikin Renata sakit semakin lama?" Kata Otak.
"Ingat siapa orang yang bisa buat kamu kembali percaya. Terus setelah kamu udah kembali percaya, kamu mau ninggalin dia gitu aja?" Kata Hati.
"Ng..." "Hm..."
Nampaknya Renata mengigau, aku tidak tau apa yang ia katakan. Aku terdiam beberapa saat, lalu aku bangun dan berjalan menuju balkon apartemen ini. Ku nyakakan sebatang rokok lalu ku pandangi sekitar dengan nyala lampu-lampu, masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang.
Entah apa yang akan terjadi esok, lusa, dan seterusnya. Mungkin saja esok akan ada sebuah jawaban, atau yang ada hanya hal-hal yang sama.
*
Kling!
"Loh Mas Adrian..."
"Kenapa muka lu? Kok kusut gitu?"
Aku tidak menjawab pertanyaan mereka, aku berlalu menuju tempat biasa aku meletakkan tas. Aku menyempatkan diri ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka, ku lihat di cermin memang wajahku kusut dengan menghitamnya area bawah mata tidak seperti biasanya. Kemudian ku kenakan apron lalu menuju tempat penyimpanan es batu.
"Lu kesambet ya?" Tanya Ferdi lagi.
Srek!Ku ambil es batu sebanyak mungkin dengan sendok lalu ku masukkan ke dalam gelas, "Bel, tolong bikinin Lungo double sisanya air dingin."
Bella meraih gelasku lalu membuatkan permintaanku, beberapa kali aku mengusap mukaku karena jujur saja ketika mengantuk membuatku gelisah begitu saja. Bella pun memberikan apa yang ku minta tadi, ku minum hingga setengah dari isi gelas tersebut dalam sekali minum.
"Mas Adrian mau istirahat dulu? Aku bisa kok." Kata Bella.
"Ngga gitu cara mainnya Bel, kamu bukan robot yang ngga punya perasaan. Kalau emang sampai siang masih begini juga kita tukeran aja, win-win solution." Kataku.
Kling! Belum sempat mereka menanyakan kembali apa yang terjadi, sudah datang beberapa pelanggan secara bersamaan. Kami pun harus kembali menjalani tugas masing-masing. Sebisa mungkin aku harus bisa menahan rasa kantuk, karena jika aku tidak teliti maka pesanan akan berantakan dan akan berimbas ke belakangnya.
Beberapa jam berlalu, Bella sudah kembali dari istirahatnya kemudian ia menyuruhku untuk bergantian. Inilah momen yang aku tunggu, aku bisa memejamkan mata meski hanya sesaat. Aku berlalu menuju halaman belakang, dengan cepat aku merebahkan diri di bangku panjang. Benar saja, tidak membutuhkan waktu lama untukku masuk ke dalam alam bawah sadar.
Mataku terbuka dengan cepat, aku melihat keadaan sekitar. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam. Aku menyempatkan diri untuk mencuci muka di kamar mandi, kemudian aku melihat ke arah jam dinding.
"Lu ngga pusing tidur sebentar doang?" Kata Ferdi.
"Iya Mas belum ada sejam, tidur lagi aja kalau emang masih capek." Ucap Bella.
Aku mendekat ke arah mereka, aku melihat minumanku yang tadi pagi masih ada. Ku habiskan hingga tersisa gelasnya saja, "Kan udah aku bilang Bel ngga gitu cara mainnya."
"Win-win solution." Kata Bella.
"Seenggaknya ngerokok dulu kek, sana gih beli rokok di sebelah sama beli minuman andalan lu." Kata Ferdi sambil memberikan uang.
"Nah ini termasuk win-win solution nih..." ku ambil uang tersebut lalu meninggalkan mereka, "sering-sering kek."
Bella tertawa dan Ferdi hanya memandang malas kepadaku. Aku keluar menuju swalayan yang bersebelahan dengan kedai ini, tidak membutuhkan waktu lama untuk membelinya. Aku memutuskan untuk menyalakan sebatang rokok, kemudian aku meminum minuman botolan yang baru saja ku beli. Aku berjalan menuju parkiran hingga aku memutuskan untuk duduk di atas Syailendra.
Memandangi jalanan yang ramai, melihat orang-orang yag sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, sesekali aku kembali minum. Setelah merasa cukup, aku kembali masuk ke dalam.
"Nah kan lumayan efeknya." Kata Ferdi.
"Iya bener juga, Mas Adrian lebih mendingan dari tadi." Kata Bella.
"Dan aku siap! Apa pesenannya Bel?" Kataku.
Aku pun kembali melakukan tugasku. Win-win solution, nampaknya sering ku ucapkan. Namun memang seperti itulah seharusnya, sebuah perilaku antara tanggung jawab dan perasaan yang seimbang. Aku bisa saja kembali tidur dan meninggalkan Bella dan Ferdi, namun ini adalah tanggung jawabku. Terlebih jika aku meninggalkan mereka berdua, nampaknya cukup berat untuk dijalani dan di sinilah perasaanku bermain. Win-win solution, tidak ada yang merasa keberatan dan semuanya merasakan keadilan.
Malam pun tiba, kami memutuskan untuk tutup lebih awal karena sudah tidak ada pelanggan lagi. Semua sudah diletakkan pada tempatnya masing-masing, secara bergiliran kami keluar dari dalam ruko.
"Eh mending ikut makan dulu, gue tau di rumah lu ngga ada makanan kan?" Kata Ferdi.
"Ya emang ngga ada. Ayo deh gue juga laper." Kataku.
Kami pun menyeberangi jalan menuju penjual nasi goreng, setelah memesan kami duduk di bangku yang tersedia. Kami bertiga menyalakan rokok secara bersamaan sambil menunggu pesanan kami dihidangkan.
"Oke, melanjutkan yang tadi terhenti karena pelanggan. Kenapa sih lu hari ini? Suntuk banget sampai kantung mata hitam gitu?" Kata Ferdi.
"Iya, pertama kalinya loh aku liat Mas Adrian begitu." Sahut Bella.
"Sebelumnya kalian tau ngga apa akar permasalahannya?" Kataku.
"Renata?" Tanya Ferdi.
"Renata itu objek, apa subjeknya? Gue jadi bingung sendiri, maksudnya tuh ada yang lebih menjadi poros permasalahannya." Kataku.
"Ka Renata, Mas Adrian, saling suka, tapi bermasalah... apa masalah keyakinan?" Kata Bella.
Uhuk! Uhuk! Uhuk! Dengan sigap aku menepuk pundak Ferdi perlahan-lahan, "Ayo Fer ikutin gue, Asyhadu Al Lailaha Illallah."
"Cuk!..." ia menepuk dadanya beberapa kali, "emang gue mau mati dibacain syahadat."
"Loh cuma baca aja kok ngga mau, pahala dong." Kataku.
Bella hanya bisa tertawa melihat bercandaan kami. Pesanan kami pun tiba di atas meja, Ferdi pun sudah kembali setelah insiden tersebut. Aku pun mulai memakan makanan tersebut diikuti oleh Bella.
"Bener tadi yang dibilang Bella?" Tanya Ferdi.
Aku mengangguk beberapa kali, "Bella kayaknya lebih paham."
"Kok bisa?" Tanya Ferdi lagi.
"Maksudnya gimana Bang? Bisa aja kan kalau Mas Adrian suka sama Ka Renata?" Tanya Bella.
"Bukan gitu juga maksudnya..." Ferdi makan sesuap, "Adrian orangnya bener-bener pemilih, terlebih mohon maaf ya soal keyakinan buat pasangannya. Dia mikir jauh ke depan, contoh klasik pertimbangannya ya kalau semisal langgeng sama pasangannya terus semuanya cocok ya tinggal ngejalanin aja. Lah kalau ini aja udah ketauan ada batasannya, tapi masih dilanjutin sama dia."
"Ada alasannya mungkin sampai akhirnya Mas Adrian ngga mikirin soal batasan itu." Kata Bella.
Sambil tetap mengunyah makanan yang ada di dalam mulutku, aku bertepuk tangan dengan pelan. Jujur saja aku cukup terkejut dengan jawaban Bella.
"Loh kamu tau Bel?..." Ferdi kemudian menatapku, "Lu udah cerita ke Bella?"
Aku menggelengkan kepala, "Gue ngga pernah cerita ke Bella, tapi dia hebat bisa tau."
"Aku bener Mas? Serius?" Tanya Bella cukup terkejut.
"Ya kalau mau ditarik garis ke belakang sih bener Bel..." Ferdi kembali menatap Bella, "aku aja yang tau semua ceritanya ngga bisa narik kesimpulan kayak tadi, apa gara-gara udah tau Adrian kayak gimana ya."
"Eh tapi Ka Renata juga tau kalau..."
Aku menganggukkan kepalaku sebelum Bella menyelesaikan pembicaraannya. Mulut Ferdi terbuka lebar setelah tau jawabannya, Bella menepuk pundak Ferdi agar ia menutup mulutnya.
"Gue jadi makin paham maksud kata-kata lu kemaren." Kata Ferdi.
"Dan ngomongin soal muka gue tadi pagi. Jadi semalem gue baru aja pulang, belum ada sepuluh menit gue rebahan tiba-tiba Renata ngabarin. Akhirnya gue nyamperin dia, dia diluar kendali banget karena alkohol dan kemudian..."
Plak! Aku menampar Ferdi pelan, "Kok gue ditabok sih?"
"Itu juga yang Renata lakuin ke gue semalem." Aku melanjutkan perkataanku.
"Ka Renata nampar Mas Adrian? Oh gara-gara alkohol?" Tanya Bella.
Aku mengangguk, "Tapi itu lebih baik daripada ditampar pas keadaan sadar, yang artinya dia muak, marah, atau apapun."
Aku menjelaskan apa yang Renata katakan setelah menamparku, Ferdi dan Bella pun dibuat terkejut. Mereka tidak menyangka Renata adalah orang yang tegas dan jujur dibalik diamnya selama ini.
"Kalau kayak gitu sih gue juga jadi bingung, kayak main catur tuh pat namanya udah bukan remis lagi." Ucap Ferdi.
"Gue pun berpikir demikian." Kataku.
"Pat? Remis?" Tanya Bella.
"Loh kamu ngga pernah main catur Bel?" Tanya Ferdi.
"Pernah sekali doang, padahal ada di rumah cuma emang ngga bisa mainnya aja. Kelamaan nunggu giliran." Kata Bella.
"Pas banget, kamu ketemu guru catur kayak aku. Kalau ngga percaya tanya Adrian, siapa juara catur tiga tahun berturut-turut se-SMA dulu." Kata Ferdi.
Bella kemudian menatapku, aku hanya mengacungkan kedua ibu jariku padanya. Memang benar semasa SMA dulu Ferdi adalah "Raja Catur" karena berhasil memenangkan lomba tahunan yang diadakan pihak sekolah, dari kami masih anak baru sampai kami sudah ingin lulus ia masih menjuarai perlombaan tersebut.
"Yaudah ajarin aku Bang, kan lumayan kalau di kedai lagi ngga ramai kita bisa main catur." Kata Bella.
"Caturnya ada di rumah kan? Nanti aku ajarin deh pas pulang." Kata Ferdi.
Kami pun menyudahi acara makan malam ini, setelah membayar kami menuju kendaraan kami masing-masing. Bella dan Ferdi lebih dulu meninggalkan parkiran, karena aku harus memanaskan mesin Syailendra sedari pagi ku diamkan.
"He..." aku menatap ke mana arah mobil Ferdi dan Bella melaju, "sejak kapan mereka... atau jangan-jangan..."
Aku menggelengkan kepalaku, kemudian aku juga meninggalkan parkiran ini. Berjalan santai di tepi kiri, memandangi sekitaran yang ku lewati, dan berhenti pada lampu merah perempatan seperti biasa. Aku kembali memikirkan Renata, apakah dia baik-baik saja? Selintas terpikir olehku untuk kembali menghampirinya, untuk sekedar melihat bagaimana keadaannya. Namun apakah ia masih di sana? Mungkin saja, atau bisa saja ia sudah kembali ke rumahnya.
Lampu hijau, ku perintahkan Syailendra untuk maju dengan perlahan. Mungkin kali ini perjalananku untuk pulang ke rumah memakan waktu paling lama dari biasanya, entah kenapa rasanya aku ingin berlama-lama sambil melihat bangunan-bangunan dengan kerlap-kerlip lampunya.
Hingga akhirnya aku pun kembali memasukkan Syailendra ke dalam garasi. Langkahku terhenti di samping Syailendra, aku pun memukul joknya beberapa kali secara pelan.
"Jangan ngambek dulu ya, semuanya lagi berantakan nih." Kataku.
Aku harap Syailendra bisa mengerti. Masuk ke dalam rumah dan melakukan kegiatan seperti biasa, hingga aku merebahkan diri di sofa. Beberapa saat aku terdiam memandangi rak buku dengan jajaran buku yang ku kumpulkan sejak beberapa tahun lalu, aku kembali bangun dan mendekat ke arah buku-buku tersebut.
"Hm..."aku melihat-lihat jajaran buku itu, "Jojo Moyes."
Aku kembali ke sofa, kali ini aku hanya menyandarkan tubuhku. Buku di tangan kiri sedangkan rokok yang sudah menyala di tangan kanan. Jojo Moyes, penulis favoritku sejak tahun 2002 dengan buku pertamanya yang ku baca berjudul "Sheltering Rain".
"The Girl You Left Behind..."
Sebuah judul buku yang ku pilih malam ini yang juga ditulis oleh Jojo Moyes. Aku merekomendasikan kalian untuk membaca buku ini, jika kalian suka membaca. Malam ini ku habiskan dengan membaca, menggeser sedikit tentang Renata.
*
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Kataku.
"Saya mau pesen Ice Americano dua ya." Kata pelanggan tersebut.
Ada yang aneh? Ya, aku memegang kasir hari ini. Lalu apakah aku bertukar tugas dengan Ferdi dan Bella? Tentu saja tidak, aku merangkap sebagai kasir, barista, dan helper hari ini.
"Ngomong-ngomong kok cuma sendiri Mas? Biasanya kan bertiga." Tanya pelanggan.
Pertanyaan yang mungkin sama dengan kalian. Entah kenapa Bella dan Ferdi secara bersama-sama sakit. Aku menaruh curiga karena semalam kami masih baik-baik saja. Namun setelah mereka mengirimkan alasan yang kuat secara terpisah, aku pun mempercayainya. Awalnya aku cukup heran karena mereka sakit setelah semalam bermain catur bersama, tapi aku mencoba untuk berbaik sangka karena penyakit bisa datang kapan saja tanpa permisi.
Jujur saja aku keteteran untuk menjalani tiga tugas sekaligus dengan pelanggan yang semakin ramai. Aku mencoba untuk bekerja dengan teliti namun juga cepat. Beberapa dari mereka memaklumi dengan kondisiku saat ini, namun ada juga yang tidak sabaran karena pelayanan yang biasanya cepat berubah menjadi sangat lambat pada hari ini.
Satu pesanan, dua pesanan, satu pesanan, dua pesanan lagi, begitu saja tiket yang keluar dan mulai menumpuk. Aku pun berpikiran untuk meminta bantuan kepada Renata, dengan adanya dia semuanya jadi lebih mudah daripada aku harus mengerjakan semuanya sendirian. Niatku terhenti begitu saja mengingat apa yang terjadi beberapa hari lalu, nampaknya tidak etis untuk menghubunginya saat ini. Aku pun mengurungkan niat dan kembali bekerja sendiri.
"Mas, cepet dong!" Kata pelanggan.
"Iya Pak, ini sedang dibuatkan." Kataku tanpa melihatnya.
"Udah 20 menit nih, biasanya ngga sampai 10 menit pesen satu aja." Katanya lagi.
"Mohon maaf Pak untuk hari ini saya lagi jaga sendiri jadi..."
"Ah alasan..." pembicaraanku dipotong, "harus siap dong mau jaga bertiga kek, berdua kek, sendiri kek. Saya jadi telat ke kantor nih."
"..."
"Pak, jangan berisik dong masih pagi nih." Kata pelanggan lain.
Aku cukup terkejut mendengar perkataan itu, aku ingin mencoba untuk menanggapi namun pesanan pagi ini sudah menguras semua konsentrasiku.
"Kita juga udah antre daritadi biasa aja kok." Kata pelanggan lainnya.
"Loh tapi kan saya jadi terlambat kerja cuma karena kopi ini doang." Katanya.
"Mas, pesenan saya sama kan kayak dia? Kasih dia duluan Mas biar dia cabut dari sini. Pagi-pagi kok udah bikin kesel aja, mikir coba udah tau Masnya lagi sendirian. Kalau mau cepet ke tempat lain aja Pak." Kata pelanggan yang lain.
Jujur saja aku merinding mendengar perkataan wanita itu barusan. Aku pun menyerahkan pesanan ke seorang bapak yang seharusnya milik wanita tersebut. Bapak itu pun pergi meninggalkan tempat ini, kebannyakan dari pelanggan yang tersisa menggelengkan kepala mereka.
"Mas, santai aja. Jangan buru-buru, kita bisa ngerti kok kondisi saat ini." Kata wanita tersebut.
"Mohon maaf ya Mba, Masnya sekalian. Hari ini ngga bisa secepat biasanya." Kataku.
Mereka tersenyum, entah kenapa aku seperti mendapat sebuah tenaga tambahan setelah melihat mereka tersenyum dan mengetahui bahwa mereka memaklumi keadaan hari ini. Aku pun dengan semaksimal mungkin tidak akan membuat merekka menunggu lebih lama lagi.
***
"Jatuh cinta itu ngga seindah yang kamu bayangkan. Jatuh cinta itu ngga semanis seperti film romansa. Ada kalanya cinta itu menjadi racun yang membahayakan, entah bagi kamu, entah bagi pasanganmu, entah bagi kalian. Lalu bagaimana caranya agar racun itu tidak membahayakan bagi siapapun? Berikan penawarnya, apa penawarnya? Tidak semua penawar setiap orang itu sama, pasti berbeda antara satu dengan yang lain. Lalu bagaimana jika kamu tidak mau penawar? Maka jauhilah racun tersebut."
Entah saat ini sudah pukul berapa, aku masih saja terduduk diam. Ku seka rambut yang menutupi wajahnya, Renata sudah tertidur pulas di sampingku. Sampai saat ini aku masih tidak percaya dengan apa yang Renata lakukan, membuatku terus memikirkan apa yang harus aku lakukan secepat mungkin.
Otak dan hatiku sudah memulai peperangannya, ketika logika dan perasaan mulai menampakkan keegoisan mereka masing-masing dan tak mau mengalah.
"Udah cukup sampai di sini. Jangan larut lebih lama, kamu ngga mau kan bikin Renata sakit semakin lama?" Kata Otak.
"Ingat siapa orang yang bisa buat kamu kembali percaya. Terus setelah kamu udah kembali percaya, kamu mau ninggalin dia gitu aja?" Kata Hati.
"Ng..." "Hm..."
Nampaknya Renata mengigau, aku tidak tau apa yang ia katakan. Aku terdiam beberapa saat, lalu aku bangun dan berjalan menuju balkon apartemen ini. Ku nyakakan sebatang rokok lalu ku pandangi sekitar dengan nyala lampu-lampu, masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang.
Entah apa yang akan terjadi esok, lusa, dan seterusnya. Mungkin saja esok akan ada sebuah jawaban, atau yang ada hanya hal-hal yang sama.
*
Kling!
"Loh Mas Adrian..."
"Kenapa muka lu? Kok kusut gitu?"
Aku tidak menjawab pertanyaan mereka, aku berlalu menuju tempat biasa aku meletakkan tas. Aku menyempatkan diri ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka, ku lihat di cermin memang wajahku kusut dengan menghitamnya area bawah mata tidak seperti biasanya. Kemudian ku kenakan apron lalu menuju tempat penyimpanan es batu.
"Lu kesambet ya?" Tanya Ferdi lagi.
Srek!Ku ambil es batu sebanyak mungkin dengan sendok lalu ku masukkan ke dalam gelas, "Bel, tolong bikinin Lungo double sisanya air dingin."
Bella meraih gelasku lalu membuatkan permintaanku, beberapa kali aku mengusap mukaku karena jujur saja ketika mengantuk membuatku gelisah begitu saja. Bella pun memberikan apa yang ku minta tadi, ku minum hingga setengah dari isi gelas tersebut dalam sekali minum.
"Mas Adrian mau istirahat dulu? Aku bisa kok." Kata Bella.
"Ngga gitu cara mainnya Bel, kamu bukan robot yang ngga punya perasaan. Kalau emang sampai siang masih begini juga kita tukeran aja, win-win solution." Kataku.
Kling! Belum sempat mereka menanyakan kembali apa yang terjadi, sudah datang beberapa pelanggan secara bersamaan. Kami pun harus kembali menjalani tugas masing-masing. Sebisa mungkin aku harus bisa menahan rasa kantuk, karena jika aku tidak teliti maka pesanan akan berantakan dan akan berimbas ke belakangnya.
Beberapa jam berlalu, Bella sudah kembali dari istirahatnya kemudian ia menyuruhku untuk bergantian. Inilah momen yang aku tunggu, aku bisa memejamkan mata meski hanya sesaat. Aku berlalu menuju halaman belakang, dengan cepat aku merebahkan diri di bangku panjang. Benar saja, tidak membutuhkan waktu lama untukku masuk ke dalam alam bawah sadar.
Mataku terbuka dengan cepat, aku melihat keadaan sekitar. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam. Aku menyempatkan diri untuk mencuci muka di kamar mandi, kemudian aku melihat ke arah jam dinding.
"Lu ngga pusing tidur sebentar doang?" Kata Ferdi.
"Iya Mas belum ada sejam, tidur lagi aja kalau emang masih capek." Ucap Bella.
Aku mendekat ke arah mereka, aku melihat minumanku yang tadi pagi masih ada. Ku habiskan hingga tersisa gelasnya saja, "Kan udah aku bilang Bel ngga gitu cara mainnya."
"Win-win solution." Kata Bella.
"Seenggaknya ngerokok dulu kek, sana gih beli rokok di sebelah sama beli minuman andalan lu." Kata Ferdi sambil memberikan uang.
"Nah ini termasuk win-win solution nih..." ku ambil uang tersebut lalu meninggalkan mereka, "sering-sering kek."
Bella tertawa dan Ferdi hanya memandang malas kepadaku. Aku keluar menuju swalayan yang bersebelahan dengan kedai ini, tidak membutuhkan waktu lama untuk membelinya. Aku memutuskan untuk menyalakan sebatang rokok, kemudian aku meminum minuman botolan yang baru saja ku beli. Aku berjalan menuju parkiran hingga aku memutuskan untuk duduk di atas Syailendra.
Memandangi jalanan yang ramai, melihat orang-orang yag sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, sesekali aku kembali minum. Setelah merasa cukup, aku kembali masuk ke dalam.
"Nah kan lumayan efeknya." Kata Ferdi.
"Iya bener juga, Mas Adrian lebih mendingan dari tadi." Kata Bella.
"Dan aku siap! Apa pesenannya Bel?" Kataku.
Aku pun kembali melakukan tugasku. Win-win solution, nampaknya sering ku ucapkan. Namun memang seperti itulah seharusnya, sebuah perilaku antara tanggung jawab dan perasaan yang seimbang. Aku bisa saja kembali tidur dan meninggalkan Bella dan Ferdi, namun ini adalah tanggung jawabku. Terlebih jika aku meninggalkan mereka berdua, nampaknya cukup berat untuk dijalani dan di sinilah perasaanku bermain. Win-win solution, tidak ada yang merasa keberatan dan semuanya merasakan keadilan.
Malam pun tiba, kami memutuskan untuk tutup lebih awal karena sudah tidak ada pelanggan lagi. Semua sudah diletakkan pada tempatnya masing-masing, secara bergiliran kami keluar dari dalam ruko.
"Eh mending ikut makan dulu, gue tau di rumah lu ngga ada makanan kan?" Kata Ferdi.
"Ya emang ngga ada. Ayo deh gue juga laper." Kataku.
Kami pun menyeberangi jalan menuju penjual nasi goreng, setelah memesan kami duduk di bangku yang tersedia. Kami bertiga menyalakan rokok secara bersamaan sambil menunggu pesanan kami dihidangkan.
"Oke, melanjutkan yang tadi terhenti karena pelanggan. Kenapa sih lu hari ini? Suntuk banget sampai kantung mata hitam gitu?" Kata Ferdi.
"Iya, pertama kalinya loh aku liat Mas Adrian begitu." Sahut Bella.
"Sebelumnya kalian tau ngga apa akar permasalahannya?" Kataku.
"Renata?" Tanya Ferdi.
"Renata itu objek, apa subjeknya? Gue jadi bingung sendiri, maksudnya tuh ada yang lebih menjadi poros permasalahannya." Kataku.
"Ka Renata, Mas Adrian, saling suka, tapi bermasalah... apa masalah keyakinan?" Kata Bella.
Uhuk! Uhuk! Uhuk! Dengan sigap aku menepuk pundak Ferdi perlahan-lahan, "Ayo Fer ikutin gue, Asyhadu Al Lailaha Illallah."
"Cuk!..." ia menepuk dadanya beberapa kali, "emang gue mau mati dibacain syahadat."
"Loh cuma baca aja kok ngga mau, pahala dong." Kataku.
Bella hanya bisa tertawa melihat bercandaan kami. Pesanan kami pun tiba di atas meja, Ferdi pun sudah kembali setelah insiden tersebut. Aku pun mulai memakan makanan tersebut diikuti oleh Bella.
"Bener tadi yang dibilang Bella?" Tanya Ferdi.
Aku mengangguk beberapa kali, "Bella kayaknya lebih paham."
"Kok bisa?" Tanya Ferdi lagi.
"Maksudnya gimana Bang? Bisa aja kan kalau Mas Adrian suka sama Ka Renata?" Tanya Bella.
"Bukan gitu juga maksudnya..." Ferdi makan sesuap, "Adrian orangnya bener-bener pemilih, terlebih mohon maaf ya soal keyakinan buat pasangannya. Dia mikir jauh ke depan, contoh klasik pertimbangannya ya kalau semisal langgeng sama pasangannya terus semuanya cocok ya tinggal ngejalanin aja. Lah kalau ini aja udah ketauan ada batasannya, tapi masih dilanjutin sama dia."
"Ada alasannya mungkin sampai akhirnya Mas Adrian ngga mikirin soal batasan itu." Kata Bella.
Sambil tetap mengunyah makanan yang ada di dalam mulutku, aku bertepuk tangan dengan pelan. Jujur saja aku cukup terkejut dengan jawaban Bella.
"Loh kamu tau Bel?..." Ferdi kemudian menatapku, "Lu udah cerita ke Bella?"
Aku menggelengkan kepala, "Gue ngga pernah cerita ke Bella, tapi dia hebat bisa tau."
"Aku bener Mas? Serius?" Tanya Bella cukup terkejut.
"Ya kalau mau ditarik garis ke belakang sih bener Bel..." Ferdi kembali menatap Bella, "aku aja yang tau semua ceritanya ngga bisa narik kesimpulan kayak tadi, apa gara-gara udah tau Adrian kayak gimana ya."
"Eh tapi Ka Renata juga tau kalau..."
Aku menganggukkan kepalaku sebelum Bella menyelesaikan pembicaraannya. Mulut Ferdi terbuka lebar setelah tau jawabannya, Bella menepuk pundak Ferdi agar ia menutup mulutnya.
"Gue jadi makin paham maksud kata-kata lu kemaren." Kata Ferdi.
"Dan ngomongin soal muka gue tadi pagi. Jadi semalem gue baru aja pulang, belum ada sepuluh menit gue rebahan tiba-tiba Renata ngabarin. Akhirnya gue nyamperin dia, dia diluar kendali banget karena alkohol dan kemudian..."
Plak! Aku menampar Ferdi pelan, "Kok gue ditabok sih?"
"Itu juga yang Renata lakuin ke gue semalem." Aku melanjutkan perkataanku.
"Ka Renata nampar Mas Adrian? Oh gara-gara alkohol?" Tanya Bella.
Aku mengangguk, "Tapi itu lebih baik daripada ditampar pas keadaan sadar, yang artinya dia muak, marah, atau apapun."
Aku menjelaskan apa yang Renata katakan setelah menamparku, Ferdi dan Bella pun dibuat terkejut. Mereka tidak menyangka Renata adalah orang yang tegas dan jujur dibalik diamnya selama ini.
"Kalau kayak gitu sih gue juga jadi bingung, kayak main catur tuh pat namanya udah bukan remis lagi." Ucap Ferdi.
"Gue pun berpikir demikian." Kataku.
"Pat? Remis?" Tanya Bella.
"Loh kamu ngga pernah main catur Bel?" Tanya Ferdi.
"Pernah sekali doang, padahal ada di rumah cuma emang ngga bisa mainnya aja. Kelamaan nunggu giliran." Kata Bella.
"Pas banget, kamu ketemu guru catur kayak aku. Kalau ngga percaya tanya Adrian, siapa juara catur tiga tahun berturut-turut se-SMA dulu." Kata Ferdi.
Bella kemudian menatapku, aku hanya mengacungkan kedua ibu jariku padanya. Memang benar semasa SMA dulu Ferdi adalah "Raja Catur" karena berhasil memenangkan lomba tahunan yang diadakan pihak sekolah, dari kami masih anak baru sampai kami sudah ingin lulus ia masih menjuarai perlombaan tersebut.
"Yaudah ajarin aku Bang, kan lumayan kalau di kedai lagi ngga ramai kita bisa main catur." Kata Bella.
"Caturnya ada di rumah kan? Nanti aku ajarin deh pas pulang." Kata Ferdi.
Kami pun menyudahi acara makan malam ini, setelah membayar kami menuju kendaraan kami masing-masing. Bella dan Ferdi lebih dulu meninggalkan parkiran, karena aku harus memanaskan mesin Syailendra sedari pagi ku diamkan.
"He..." aku menatap ke mana arah mobil Ferdi dan Bella melaju, "sejak kapan mereka... atau jangan-jangan..."
Aku menggelengkan kepalaku, kemudian aku juga meninggalkan parkiran ini. Berjalan santai di tepi kiri, memandangi sekitaran yang ku lewati, dan berhenti pada lampu merah perempatan seperti biasa. Aku kembali memikirkan Renata, apakah dia baik-baik saja? Selintas terpikir olehku untuk kembali menghampirinya, untuk sekedar melihat bagaimana keadaannya. Namun apakah ia masih di sana? Mungkin saja, atau bisa saja ia sudah kembali ke rumahnya.
Lampu hijau, ku perintahkan Syailendra untuk maju dengan perlahan. Mungkin kali ini perjalananku untuk pulang ke rumah memakan waktu paling lama dari biasanya, entah kenapa rasanya aku ingin berlama-lama sambil melihat bangunan-bangunan dengan kerlap-kerlip lampunya.
Hingga akhirnya aku pun kembali memasukkan Syailendra ke dalam garasi. Langkahku terhenti di samping Syailendra, aku pun memukul joknya beberapa kali secara pelan.
"Jangan ngambek dulu ya, semuanya lagi berantakan nih." Kataku.
Aku harap Syailendra bisa mengerti. Masuk ke dalam rumah dan melakukan kegiatan seperti biasa, hingga aku merebahkan diri di sofa. Beberapa saat aku terdiam memandangi rak buku dengan jajaran buku yang ku kumpulkan sejak beberapa tahun lalu, aku kembali bangun dan mendekat ke arah buku-buku tersebut.
"Hm..."aku melihat-lihat jajaran buku itu, "Jojo Moyes."
Aku kembali ke sofa, kali ini aku hanya menyandarkan tubuhku. Buku di tangan kiri sedangkan rokok yang sudah menyala di tangan kanan. Jojo Moyes, penulis favoritku sejak tahun 2002 dengan buku pertamanya yang ku baca berjudul "Sheltering Rain".
"The Girl You Left Behind..."
Sebuah judul buku yang ku pilih malam ini yang juga ditulis oleh Jojo Moyes. Aku merekomendasikan kalian untuk membaca buku ini, jika kalian suka membaca. Malam ini ku habiskan dengan membaca, menggeser sedikit tentang Renata.
*
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Kataku.
"Saya mau pesen Ice Americano dua ya." Kata pelanggan tersebut.
Ada yang aneh? Ya, aku memegang kasir hari ini. Lalu apakah aku bertukar tugas dengan Ferdi dan Bella? Tentu saja tidak, aku merangkap sebagai kasir, barista, dan helper hari ini.
"Ngomong-ngomong kok cuma sendiri Mas? Biasanya kan bertiga." Tanya pelanggan.
Pertanyaan yang mungkin sama dengan kalian. Entah kenapa Bella dan Ferdi secara bersama-sama sakit. Aku menaruh curiga karena semalam kami masih baik-baik saja. Namun setelah mereka mengirimkan alasan yang kuat secara terpisah, aku pun mempercayainya. Awalnya aku cukup heran karena mereka sakit setelah semalam bermain catur bersama, tapi aku mencoba untuk berbaik sangka karena penyakit bisa datang kapan saja tanpa permisi.
Jujur saja aku keteteran untuk menjalani tiga tugas sekaligus dengan pelanggan yang semakin ramai. Aku mencoba untuk bekerja dengan teliti namun juga cepat. Beberapa dari mereka memaklumi dengan kondisiku saat ini, namun ada juga yang tidak sabaran karena pelayanan yang biasanya cepat berubah menjadi sangat lambat pada hari ini.
Satu pesanan, dua pesanan, satu pesanan, dua pesanan lagi, begitu saja tiket yang keluar dan mulai menumpuk. Aku pun berpikiran untuk meminta bantuan kepada Renata, dengan adanya dia semuanya jadi lebih mudah daripada aku harus mengerjakan semuanya sendirian. Niatku terhenti begitu saja mengingat apa yang terjadi beberapa hari lalu, nampaknya tidak etis untuk menghubunginya saat ini. Aku pun mengurungkan niat dan kembali bekerja sendiri.
"Mas, cepet dong!" Kata pelanggan.
"Iya Pak, ini sedang dibuatkan." Kataku tanpa melihatnya.
"Udah 20 menit nih, biasanya ngga sampai 10 menit pesen satu aja." Katanya lagi.
"Mohon maaf Pak untuk hari ini saya lagi jaga sendiri jadi..."
"Ah alasan..." pembicaraanku dipotong, "harus siap dong mau jaga bertiga kek, berdua kek, sendiri kek. Saya jadi telat ke kantor nih."
"..."
"Pak, jangan berisik dong masih pagi nih." Kata pelanggan lain.
Aku cukup terkejut mendengar perkataan itu, aku ingin mencoba untuk menanggapi namun pesanan pagi ini sudah menguras semua konsentrasiku.
"Kita juga udah antre daritadi biasa aja kok." Kata pelanggan lainnya.
"Loh tapi kan saya jadi terlambat kerja cuma karena kopi ini doang." Katanya.
"Mas, pesenan saya sama kan kayak dia? Kasih dia duluan Mas biar dia cabut dari sini. Pagi-pagi kok udah bikin kesel aja, mikir coba udah tau Masnya lagi sendirian. Kalau mau cepet ke tempat lain aja Pak." Kata pelanggan yang lain.
Jujur saja aku merinding mendengar perkataan wanita itu barusan. Aku pun menyerahkan pesanan ke seorang bapak yang seharusnya milik wanita tersebut. Bapak itu pun pergi meninggalkan tempat ini, kebannyakan dari pelanggan yang tersisa menggelengkan kepala mereka.
"Mas, santai aja. Jangan buru-buru, kita bisa ngerti kok kondisi saat ini." Kata wanita tersebut.
"Mohon maaf ya Mba, Masnya sekalian. Hari ini ngga bisa secepat biasanya." Kataku.
Mereka tersenyum, entah kenapa aku seperti mendapat sebuah tenaga tambahan setelah melihat mereka tersenyum dan mengetahui bahwa mereka memaklumi keadaan hari ini. Aku pun dengan semaksimal mungkin tidak akan membuat merekka menunggu lebih lama lagi.
***
oktavp dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup