Kaskus

Story

robin.finckAvatar border
TS
robin.finck
Relakan Aku
Relakan Aku



Part 1

Langkahku terhenti di sebuah halte bus. Kemudian, aku duduk di salah satu sudutnya. Kupandangi sekitar, masih sama seperti bertahun-tahun lalu. Hanya sedikit yang berubah di sini. Aku memejamkan mataku. Berbagai memori terlintas di kepala. Bahkan, aku masih bisa mencium aroma tubuhnya. Perih rasanya saat mengingat itu kembali. Kita bercanda tawa di sudut itu. Aku bisa mengingat semua dengan detail. Andaikan waktu bisa aku putar kembali.


“Ronald, nanti malam kamu bisa ke rumahku kan?” tanya Stevi dengan senyum manisnya.

“Iya, bisa, buat kamu, apa yang gak bisa?” godaku sambil terkekeh.

“Bisa gak kamu jadi suamiku nanti?” balas Stevi.

“Eh, kita ini masih sekolah, ngapain sih bicara yang jauh-jauh gitu,” elakku sambil menahan tawa.

“Dih, kamu gitu Nal,” Stevi cemberut mendengar jawabanku.

“Iya-Iya,” ucapku gemas sambil mencolek hidung Stevi.

Aku bisa mengingat dengan jelas percakapanku dengan Stevi bertahun-tahun lalu di tempat ini, tempat yang sama dimana kita banyak menghabiskan waktu di sini saat pulang sekolah dulu.

Usiaku tidak muda lagi. Tahun ini, aku genap berumur 35 tahun. Hidupku berantakan, seakan tak punya tujuan hidup lagi. Bahkan, aku tak punya pekerjaan yang jelas. Hanya berteman sebuah gitar lama yang kubeli sepuluh tahun lalu dari seorang kawan. Ya, aku hanya seorang pengamen jalanan yang hanya bekerja saat perutku lapar. Aku hanya menjalani apa yang Tuhan gariskan.

Satu jam aku duduk disini. Hari hampir gelap. Aku memutuskan untuk melanjutkan langkahku. Berjalan tak tentu arah. Mengumpulkan berapa lembar rupiah yang aku dapat dari hasil mengamen. Biasanya, aku mengamen di daerah sekitaran stasiun Kotabaru Malang. Cukup ramai. Apalagi saat malam Minggu. Aku bisa mendapat uang yang lumayan, ya, setidaknya untuk makan beberapa hari ini.


Tidak semua orang ramah padaku. Bahkan, berkali-kali aku mendapatkan perkataan pedas dari pengunjung warung tenda yang aku datangi. Aku tak peduli. Aku hanya mencari sesuap nasi di sini. Peduli setan dengan kalian.


“Mas-mas, bisa gak kamu ngamen di sana saja, kamu itu masih muda, cari kerja dong!” tegur seorang ibu-ibu paruh baya padaku.

“Iya, Bu, maaf menggangu ketenangannya,” jawabku santai sambil berlalu pergi.

Aku tak memikirkan kata-kata Ibu itu, terserah saja dia mau bicara apa.


Setelah mengumpulkan beberapa puluh ribu, aku memutuskan untuk pulang. Ke kamar kostku tak jauh dari tempat itu. Aku membeli sebungkus nasi dan beberapa potong lauk untuk aku makan nanti malam.

Sesampainya di kost, aku membersihkan diri, kemudian merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Belum lama aku terpejam, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Sebuah chat Whatsapp dari Stevi.

“Mas, sudah tidur kamu? Bisa kita bicara sebentar?” Aku hanya membacanya sekilas, kemudian, aku mematikan ponselku. Aku lempar pelan ponselku di atas meja.

“Ada apa lagi sih Stev?” ucapku pelan berbicara sendiri.

Aku segera tidur. Menunggu hari esok yang mungkin lebih baik untukku.




Lanjutan
Diubah oleh robin.finck 08-05-2020 10:23
kkaze22Avatar border
daniadi123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
OkkyVanessaM dan 38 lainnya memberi reputasi
39
12K
517
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
robin.finckAvatar border
TS
robin.finck
#292
Part 8
Tengah hari, bulan April 2002. Matahari begitu terik membakar kulit. Sudah beberapa bulan hujan tak kunjung datang. Kota Malang tak lagi dingin. Rumput di lapangan sekolah pun terlihat mengering dan berdebu. Aku berjalan bersisian dengan Stevi melewati pinggir lapangan. Kulit Stevi yang putih, terlihat memerah kepanasan. Keringatnya menetes di keningnya.

Kami berjalan ke arah luar gerbang sekolah. Lima menit lalu, bel pulang sekolah berbunyi. Para murid dan guru mulai membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Tampak dari kejauhan, beberapa murid sedang berkumpul mengerumuni penjual es buah di depan gerbang sekolah.


“Nal, aku haus, beli es buah yuk!” cetus Stevi.


“Boleh, aku juga haus, Stev, ” sahutku. “Tapi bayarin, hehehe,” tambahku.

“Yee … kamu tuh kebiasaan, inisiatif kek, belikan pacarnya minum apa gimana,” sungut Stevi sambil memonyongkan bibirnya.

“Kan peraturannya gitu,” kilahku.

“Peraturan apa?” tanya Stevi.

“Yang ajakin, itu yang bayarin, hahaha,” jawabku.

“Eh, kapan kita bikin aturan itu,” protes Stevi.

“Sekarang,” jawabku cengengesan.

“Yaudah sana, aku yang traktir,” tambahnya.



Aku berlari kecil meninggalkan Stevi menuju penjual es buah dan segera mengantri. Stevi menyusulku di belakang. 5 menit kemudian, pesanan selesai. Es buah sudah di tangan kami masing-masing. Kemudian, Stevi menarik tanganku mengajak duduk di sebuah halte bus tak jauh dari situ.



“Nal, gak terasa, ya,” ucap Stevi sambil meminum es buahnya dari mangkok plastik.

“Apanya?” tanyaku sambil melirik ke arahnya.

“Bentar lagi kita uda kelas 2.”

“Iya, Stev, cepet ya? Kamu mau apa setelah lulus dari sini?” kataku.

“Jadi istri kamu lah, mau apa lagi coba?” jawab Stevi sambil tertawa menggodaku.

“Hah!” Aku terkejut, kemudian kami tertawa bersama-sama.



Kami banyak menghabiskan waktu di situ. Bercanda dan berbicara tentang apa yang terjadi di masa depan kelak. Aku banyak tertawa mendengar ocehan Stevi. Menurutku, Stevi punya imajinasi yang cukup tinggi untuk anak abg seusianya. Tak lama kemudian, Anton berlari menghampiri kami. Nafasnya tersengal. Setelah sejenak mengatur nafas, dia mulai berbicara padaku.


“Nal, tolongin, Tomi lagi di palak anak kelas 2,” kata Anton.

“Di mana? tanyaku.

“Di pinggir jalan deket mushola!” jawabnya.

“Kita ke sana sekarang, Ton.” Aku segera berlari menghampiri Tomi, Anton mengikutiku di belakang.

“Nal, jangan!” cegah Stevi, aku tak peduli panggilannya.



Terlihat dari kejauhan, Tomi tampak di kerumuni oleh 4 orang kakak kelas. Salah satunya memukul wajah Tomi yang tak berdaya. Baju putih Tomi terlihat kotor dan robek di beberapa bagian. Emosiku memuncak melihat sahabatku di kroyok seperti itu. Tanpa banyak kata, aku berlari sambil mengambil sebalok kayu yang ada di samping mushola.

Setelah mereka ada di jangkauanku, sekuat tenaga kupukul kepala seorang kakak kelas yang memegangi kerah baju Tomi. Dia jatuh tersungkur. Darah terlihat keluar dari pelipis kirinya. Ketiga kakak kelas yang lain terlihat shock dengan perbuatanku. Mereka terlihat ketakutan. Aku memukul ke segala arah. Entah mengenai siapa. Anton berada di belakangku membantu membawa Tomi menjauh. Sedangkan ketiga kakak kelas, terlihat berlari berhamburan menghindari pukulanku. Aku mengamuk saat itu. Tak bisa mengendalikan emosiku. Terdengar suara teriakan Anton. Dia menyuruhku berhenti setelah melihat kakak kelas yang aku pukul kepalanya tak bergerak dan mengeluarkan darah dari kepalanya.



“Naaaaalll, Stop!!!” teriak Anton, aku segera tersadar, yang aku lakukan berlebihan.

“Ayo kita lari!” ucapnya kemudian.


Aku segera membuang balok kayu yang ada di tanganku. Kami segera berlari menjauh. Di kejauhan, terlihat, raut wajah panik Stevi. Aku segera menghampirinya, kemudian secepetnya pergi dari tempat itu. Entah bagaimana kondisi kakak kelas itu. Aku tak tau. Terakhir, kulihat dia belum bergerak. Mungkin pingsan, entahlah.







Lanjutan

Index
Diubah oleh robin.finck 17-03-2020 16:11
alif.tiger.revo
Richy211
OkkyVanessaM
OkkyVanessaM dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.