Kaskus

Story

abangruliAvatar border
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
[cinta. horror. roman] - The Second
 “Kamu tidak perlu memilih dia atau aku. 

Pilih dia saja.

Tak perlu kamu khawatirkan aku.

Aku cuma minta satu hal. 


Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?” 


***

Chapter 1 – Awal Kisah
 
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen.  Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
 
 Jemariku terus mengetik hingga  mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.

“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
 
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.

***
 
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat  dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.

 
 Indah.
 Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
 
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
 
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh  yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
 
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
 
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
 
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
 
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
 
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
 
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
 
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
 
[bersambung]

INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality

Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2

Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...

Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
arkana074Avatar border
yuri2629Avatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
abangruliAvatar border
TS
abangruli
#282
Chapter 34 – Menjelang Pertemuan

Aku melirik angka digital yang terpampang di pergelangan tanganku.
10.47

“Yey ngeliat jam mulu. Masih lama kali bo.. jam 12 tenggo baru kita masuk ke pesawat” ujar mahluk disebelahku. Iya mahluk itu emang Emon. Akhirnya entah kesirep apa aku memutuskan untuk mengajak dia pergi ke Maroko. Edan memang, tapi hidupku seminggu terakhir memang berasa edan. Jam empat pagi aku menelepon Emon, butuh 9 miss call sampai akhirnya di panggilan ke-10 dia menjawab teleponku, itu pun di nada sambung yang ke-12. Sumpah serapah yang dia dengungkan di tengah kantuk aku bungkam dengan satu kalimat.

“Kenapa sih luuu babon gila! Eike lagi bubuk cantik! Kenapa yey neleponin terus, eike gak peduli yey lagi kesamber petir sekalipun pokoknya eike ngantuk! Eike gak mau di...”

“Lu mau ikut gue ke Maroko gak?”

Diam sejenak, tampaknya Emon sedang memaksa otaknya bekerja melebihi batas kemampuannya, “Owh... ternyata ini mimpi ya?! Hihi..Maap ya eike ngomel-ngomel, ternyata ini mimpi toh.. ya sud.. eike mau lanjut bubuk saja kalau begicu..”

Eh dasar kebo, malah anggap lagi mimpi, “Bukan cong!!! Ini bukan mimpi! Buka mata luuu... bangun woy! Gue serius mau gak elu ikut gue ke Maroko?! Kalo lu mau bilang sekarang juga biar gue bisa pesen tiket, Berangkat siang ini jam 12, ready di bandara jam 09.00, lewat dari itu lu gue tinggal!”

“Hey! Jangan panggil gue bencong!!” jeritnya dengan suara melengking. Baguslah biar dia seger.

“Siapa yang manggil lu bencong?! Gue manggil lu cong! Artinya Pocong! Bukan bencong! Bukan pula pocong bencong” jawabku sambil tergelak, membayangkan pocong bencong, hahaha..., “ikut gak?!”

“Lu becanda ya?” tanyanya serius. Sepertinya ia mulai tertarik

“Gak lah.. gue lagi males bercanda..”

“Mauuuuuuuu........” jeritnya lagi. Ini mahluk emang cucok jadi pocong

“Ya udah siap-siap sanah! Tapi inget, gue gak mau ada kegiatan yang berhubungan dengan buku, lu juga jangan harap kita satu kamar, bahkan jangan harap juga kita duduk satu deret di pesawat nanti..” kataku tegas. Aku lebih baik ketemu pocong beneran daripada tidur satu kamar dengan Emon.

“Lho kenapa gak mau satu deret?! Segitu jahatnya yey...!”

“Gue Cuma ogah dengerin suara dengkuran elu! Kita bakal terbang more than 15 hours! Dan gue udah bisa membayangkan betapa keras dengkuran elu...”

“Ya udah terseraaaah... terserah eluuuuu.. pokoknya eike bisa ikuuuut! Yeaaaah! Eh visa gimana?”

“Kagak perlu visa coooong! Kan kapan hari udah gue ceritaiiin... untuk ke Maroko lu gak perlu visa, bawa aja buku paspor elu tuh! Yang selama ini kosong melompong! Ntar bawa yeee.. biar distemple ama petugas imigrasi, biar paspor lu ada isinya... okeeeh..?!”


Dan begitulah. Kini mahluk itu sudah sedang asyik duduk disebelahku. Sedang asyik udpate status di medsos. Berkostum amat sangat mirip turis. Topi lebar, baju kaos warna pink dengan rompi warna krem dan celana selutut. Pertama kali melihatnya aku sempat berpikir membatalkan niatku untuk mengajak dia pergi, tapi ya sudahlah, aku ingat pada tujuan awalku mengajak dia. Untuk jaga-jaga aja, pertemuan dengan Mya si gadis misterius, ditambah kehadiran dua sosok yang harusnya sudah mati tapi kini muncul di sekitar Mya. Hal ini menjadikan aku cukup khawatir. Siapa tau salah satu dari mereka ada yang psikopat dan ada yang minta tumbal perawan, dengan begitu aku bisa menyodorkan Emon sebagai sesajen bagi mereka. Ahaha..hush!

Aku kembali ke gadget dan mendadak ingin menelepon Mya

“Halo Mya...” kataku saat panggilanku dia jawab

“Halo kang.. jadi berangkat kah?”

“Ini udah di bandara... dua jam lagi boarding..”

“Owh udah dibandara ya.. good lah. Udah sarapan?”

Aku terdiam. Pertanyaan simpel Mya membuat sel-sel tubuhku bergejolak. Sudah tahunan aku tak mendengar pertanyaan itu.

Sudah sarapan? Simple tapi efeknya dahsyat. Mengetahui aku terdiam Mya pun tampaknya sadar bahwa pertanyaan yang tadi kelepasan ia keluarkan adalah pertanyaan yang menembus zona teman, more than friend. Ia pun sepertinya menjadi salah tingkah..

“Cieee... perhatian yaa.. haha...” jawabku untuk menutupi grogi yang tadi mendadak muncul. Anjrit berasa abege pake grogi segala, rutukku dalam hati.

“Ya takutnya akang pingsan, ntar ga jadi temu fans di KBRI....”

“Eh temu fans?” tanyaku kaget, Emon mendadak melirik kearahku. Perasaanku gak enak, “maksud kamu apa Mya?”

“Lha.. tadi pagi assiten kang Hamid nelepon aku. Dia bilang bisa gak aku bantu untuk ngurusin acara bedah buku dan jumpa fans di KBRI Rabat...”

Kini giliran aku melirik tajam ke Emon. Pasti dia biang keroknya. Yang bersangkutan perlahan berjalan melipir sambil sok nelepon, “Kok dia tau telepon kamu?”

“Oh pasti dia nyari kontak person di medsos PPI Maroko...”

“PPI?”

“Persatuan Pelajar Indonesia, aku kan pengurus PPI Maroko....”

“Kamu kenal Emon?”

“Baru tau tadi... aku kira dia disuruh ama kang Hamid..”

Owh pantes. Jadi Emon diam-diam mengatur agendaku selama di Maroko. Bagus! Ini manager minta dicabik-cabik kayaknya. Tapi Emon cukup pintar ia sudah berpindah posisi cukup jauh.

“Okelah kalo begitu, aku mau bicara dulu dengan managerku ya...”

“Oke kang.. see you in airport yaa...” jawabnya sambil menutup telepon.

Aku menoleh mencari Emon. Dari kejauhan dia mengamati sambil pura-pura sibuk dengan gadgetnya. Kurang ajar tuh pocong, eh congcong maksudku. Aku sudah wanti-wanti gak mau ada kegiatan apapun disana, eh ini malah seenaknya bikin agenda sendiri. Aku berdiri dan hendak menghampirinya. Namun tiba-tiba siaran televisi di ruang tunggu keberangkatan bandara Soekarno Hatta berganti. Tadinya menayangkan acara kuis tapi kini mendadak menjadi breaking news. Aku mengamati siaran itu sebentar. Ternyata hanya berita bahwa Presiden RI mendadak harus menghadiri pertemuan para kepala negara di New York, markas besar PBB. Aku berpikir, Presiden ke PBB? Biasa.. kalau aku yang dipanggil PBB barulah luar biasa. Aku sudah hendak kembali berjalan menuju Emon yang terlihat mulai gelisah, tapi penjelasan dari sang presenter membuat mataku akhirnya tetap terpaku pada layar televisi. Pemanggilan semua kepala negara ini diduga untuk membahas suatu situasi yang penting karena mereka semua sudah harus berkumpul di New York dalam waktu satu atau dua hari ini. Tapi sang prensenter pun tidak bisa menduga agenda dari pertemuan tingkat tinggi tersebut. Semua masih menjadi rahasia. Sejenak aku berpikir, rahasia apa hingga diadakan sidang darurat? Ah sudahlah, itu urusan politik. Biarlah mereka yang pusing, aku sudah cukup pusing memikirkan masalahku sendiri.

Aku kembali melangkah menuju Emon yang kini mulai bergerak semakin menjauh, “Emoooooon siiniiiii......”

Dia tergelak sambil berlari melambai. Melihat tingkahnya aku memutuskan untuk berhenti mengejar. Aku tak mau terlihat bagai seorang bodoh, mengejar-ngejar mahluk ajaib bertopi lebar dengan baju berwarna pink yang berlari melambai.

Lebih baik memikirkan tentang Mya eh atau Mya itu Rhea? Atau dia itu Vania? Entahlah.. pokoknya katanya ia hendak menjemputku di bandara.
Ah ah... jadi dag dig dug..
Bukan karena jatuh cinta pada Mya, tapi karena penasaran.
Sebenarnya siapa sih sosok dibalik Mya?

[Bersambung]
Diubah oleh abangruli 10-03-2020 16:12
unhappynes
lsenseyel
namakuve
namakuve dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.