- Beranda
- Stories from the Heart
LANGIT SORE (CERBUNG)
...
TS
riekartieka
LANGIT SORE (CERBUNG)
LANGIT SORE
_Part 1_
Oleh : Rieka Kartieka

Pic. From : Pixabay
"Aku sudah tak punya rasa cinta lagi sama kamu."
Suara lelaki di seberang sana menusuk tepat di hati. Ia yang sudah menjadi kekasihku selama tiga tahun menelpon di sore hari hanya untuk mengatakan hal yang paling menyakitkan. Padahal, di malam sebelumnya kami masih bercerita melalui videocall WhatsApp. Seperti biasa, penuh canda dan rindu.
Hanya itu. Hanya satu kalimat itu ... dan ia mematikan sambungan teleponnya.
Sakit. Saat itu, rasanya seperti terjatuh ke dasar jurang terdalam setelah melayang tinggi di atas awan. Seperti wanita bodoh, selalu berprinsip jika hubungan jarak jauh cukup bermodal 'percaya'.
Sejak itu, aku tak suka langit sore. Padahal, namaku ... Senja.
*** ***
"Senja! Kamu pulang cepat?"
Aku mengacak poniku yang sedikit panjang dan menepiskannya ke samping. Akhirnya ketemu sesuatu yang mengganjal sejak perjalanan keluar dari kantor sejam lalu. Belum pamitan dengan Elisa.
"Maaf, Lis. Aku buru-buru," jawabku sembari melihat keluar jendela bus Transkota.
Langit tampak mulai kemerahan.
"Kamu beneran mau ketemu dia?" Suara Elisa sedikit berbisik.
"Iya ...."
"Gila!" Teriakan Elisa membuatku sedikit menjauhkan telepon genggam dari telinga. Setelah itu aku meminta maaf pada ibu yang duduk di sebelah bersama bayi mungilnya. Sepertinya, Elisa juga sedang meminta maaf kepada seseorang di kantor.
"Sial! Gara-gara kamu aku dipelototin Pak Harjuna. Ternyata dia ada di belakangku tadi. Hahaha ...." Elisa terbahak di seberang sana.
Aku pun sedikit tertawa membayangkan kumis tebal Pak Harjuna naik ke atas melihat kelakuan bawahannya yang teriak tiba-tiba. Juga membayangkan Elisa yang mungil berkacamata bulat besar terlihat semakin kecil dan menciut. "Sekarang kamu di mana, Lis?" tanyaku penasaran, ada suara angin yang mendominasi.
"Atap gedung. Senja ... kamu nggak serius, kan? Jangan bilang sekarang kamu lagi di jalan ke tempat janjian ketemu sama dia." Elisa menebak sangat tepat. Ah ... bukan menebak, tapi memang dia pasti tahu aku mau kemana.
"Kumohon, Senja. Sudah setahun lebih dan kamu masih berada dalam genggaman bayangannya."
"Aku hanya penasaran, Lis."
Laju bus Transkota terasa begitu halus. Perjalanan ini bagai melayang di atas awan. Atau mungkin karena aku terlalu terpaku pada langit yang semakin memerah.
Melalui kaca jendela, gedung bertingkat saling bergerak silih berganti. Menyamarkan keberadaan langit sore yang sedikit tertutup awan. Mereka semua seperti bergerak ke belakang. Namun, kenyataannya aku lah yang sedang melaju ke depan.
Ah, betulkah aku sedang berjalan ke depan?
*** ***
Bus sudah sampai di terminal terakhir.
Berdasarkan petunjuk GPS aku harus berjalan menelusuri beberapa gedung tinggi. Kemudian tiba di salah satu mall terbesar di pusat kota. Tempat pertemuan kami adalah cafe yang berada di samping mall. Sebuah cafe taman dengan tatanan tanaman yang menyatu dengan lampu juga beberapa kolam ikan kecil. Sesuai WhatsApp yang ia berikan beberapa jam lalu, tempat kami ada di lantai dua.
Pernah merasakan keringat dingin, perut mulas, dan jantung berdebar semakin keras? Itulah aku, ketika melihatnya berdiri di pinggir balkon cafe dan hanya menatap ke arahku. Rasanya ingin berlari dan menghindar, tapi bukan waktu yang tepat.
"Hai. Lama tak jumpa." Ia masih sama seperti yang dulu. Dengan garis muka tegas dan mata hitam yang tajam. Hanya saja, rambut gondrong itu berubah menjadi cepak.
Aku tak menyahut salamnya. Sesegera mungkin duduk untuk menghilangkan gemetar di kaki. Ia pun ikut duduk di kursi satunya, tepat berhadapan. Dari sudut mata, aku tahu pandangannya tak lepas dariku. Jantungku semakin berdebar. Menyebalkan! Bisakah palu godam datang dan menghantam agar tak lagi berdetak?
"Tolong pesankan aku jus alpukat saja," pintaku seraya menutup menu berwarna biru. Sesegera mungkin, ia memesan segelas jus alpukat dan secangkir latte untuknya.
"Kamu terlihat dewasa sekarang, Senja." Matanya menatap tajam padaku. Tentu saja, aku balas menatapnya. Tak ingin menunjukkan rasa malu-malu kucing seperti dulu.
"Masih pandai merayu rupanya, kau, Langit." Kubuat nada suara sedatar mungkin.
"Hahaha! Tambah galak rupanya sekarang." Langit terbahak puas rupanya. Mukanya sedikit memerah. Kuperhatikan, kulitnya agak cokelat. Seperti sering terpapar matahari. Ah, peduli apa aku?
"Rambutmu, panjang sekali. Kamu tak pernah merapikannya?" Langit memang tak pandai basa-basi.
Aku pun membelai rambutku yang sepanjang punggung dan mengikatnya penuh dibelakang. Sehingga memperlihatkan sedikit gelombang tepat di ujung rambut. "Masih belum niat motong aja," ujarku.
Bukan ... bukan belum niat. Namun, tak berani memotongnya. Karena, di setiap helai ada rasa rindu yang diam-diam tumbuh hanya untukmu.
Langit.
"Aku masih merindukanmu, Senja." Sekali lagi, sebuah kata tanpa beban meluncur begitu saja dari mulutnya. Membuat waktu seakan berhenti dan hanya berputar diantara kami berdua. Bersama langit biru kemerahan.
Untung saja pelayan datang membawakan minuman kami berdua. Membuatku punya alasan untuk menghindar dari tatapannya yang tajam. Sekaligus kembali ke dunia nyata.
--- bersambung ---
Yogyakarta, 4 Maret 2020
#ceritarieka
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e9308a557b25e
_Part 1_
Oleh : Rieka Kartieka

Pic. From : Pixabay
"Aku sudah tak punya rasa cinta lagi sama kamu."
Suara lelaki di seberang sana menusuk tepat di hati. Ia yang sudah menjadi kekasihku selama tiga tahun menelpon di sore hari hanya untuk mengatakan hal yang paling menyakitkan. Padahal, di malam sebelumnya kami masih bercerita melalui videocall WhatsApp. Seperti biasa, penuh canda dan rindu.
Hanya itu. Hanya satu kalimat itu ... dan ia mematikan sambungan teleponnya.
Sakit. Saat itu, rasanya seperti terjatuh ke dasar jurang terdalam setelah melayang tinggi di atas awan. Seperti wanita bodoh, selalu berprinsip jika hubungan jarak jauh cukup bermodal 'percaya'.
Sejak itu, aku tak suka langit sore. Padahal, namaku ... Senja.
*** ***
"Senja! Kamu pulang cepat?"
Aku mengacak poniku yang sedikit panjang dan menepiskannya ke samping. Akhirnya ketemu sesuatu yang mengganjal sejak perjalanan keluar dari kantor sejam lalu. Belum pamitan dengan Elisa.
"Maaf, Lis. Aku buru-buru," jawabku sembari melihat keluar jendela bus Transkota.
Langit tampak mulai kemerahan.
"Kamu beneran mau ketemu dia?" Suara Elisa sedikit berbisik.
"Iya ...."
"Gila!" Teriakan Elisa membuatku sedikit menjauhkan telepon genggam dari telinga. Setelah itu aku meminta maaf pada ibu yang duduk di sebelah bersama bayi mungilnya. Sepertinya, Elisa juga sedang meminta maaf kepada seseorang di kantor.
"Sial! Gara-gara kamu aku dipelototin Pak Harjuna. Ternyata dia ada di belakangku tadi. Hahaha ...." Elisa terbahak di seberang sana.
Aku pun sedikit tertawa membayangkan kumis tebal Pak Harjuna naik ke atas melihat kelakuan bawahannya yang teriak tiba-tiba. Juga membayangkan Elisa yang mungil berkacamata bulat besar terlihat semakin kecil dan menciut. "Sekarang kamu di mana, Lis?" tanyaku penasaran, ada suara angin yang mendominasi.
"Atap gedung. Senja ... kamu nggak serius, kan? Jangan bilang sekarang kamu lagi di jalan ke tempat janjian ketemu sama dia." Elisa menebak sangat tepat. Ah ... bukan menebak, tapi memang dia pasti tahu aku mau kemana.
"Kumohon, Senja. Sudah setahun lebih dan kamu masih berada dalam genggaman bayangannya."
"Aku hanya penasaran, Lis."
Laju bus Transkota terasa begitu halus. Perjalanan ini bagai melayang di atas awan. Atau mungkin karena aku terlalu terpaku pada langit yang semakin memerah.
Melalui kaca jendela, gedung bertingkat saling bergerak silih berganti. Menyamarkan keberadaan langit sore yang sedikit tertutup awan. Mereka semua seperti bergerak ke belakang. Namun, kenyataannya aku lah yang sedang melaju ke depan.
Ah, betulkah aku sedang berjalan ke depan?
*** ***
Bus sudah sampai di terminal terakhir.
Berdasarkan petunjuk GPS aku harus berjalan menelusuri beberapa gedung tinggi. Kemudian tiba di salah satu mall terbesar di pusat kota. Tempat pertemuan kami adalah cafe yang berada di samping mall. Sebuah cafe taman dengan tatanan tanaman yang menyatu dengan lampu juga beberapa kolam ikan kecil. Sesuai WhatsApp yang ia berikan beberapa jam lalu, tempat kami ada di lantai dua.
Pernah merasakan keringat dingin, perut mulas, dan jantung berdebar semakin keras? Itulah aku, ketika melihatnya berdiri di pinggir balkon cafe dan hanya menatap ke arahku. Rasanya ingin berlari dan menghindar, tapi bukan waktu yang tepat.
"Hai. Lama tak jumpa." Ia masih sama seperti yang dulu. Dengan garis muka tegas dan mata hitam yang tajam. Hanya saja, rambut gondrong itu berubah menjadi cepak.
Aku tak menyahut salamnya. Sesegera mungkin duduk untuk menghilangkan gemetar di kaki. Ia pun ikut duduk di kursi satunya, tepat berhadapan. Dari sudut mata, aku tahu pandangannya tak lepas dariku. Jantungku semakin berdebar. Menyebalkan! Bisakah palu godam datang dan menghantam agar tak lagi berdetak?
"Tolong pesankan aku jus alpukat saja," pintaku seraya menutup menu berwarna biru. Sesegera mungkin, ia memesan segelas jus alpukat dan secangkir latte untuknya.
"Kamu terlihat dewasa sekarang, Senja." Matanya menatap tajam padaku. Tentu saja, aku balas menatapnya. Tak ingin menunjukkan rasa malu-malu kucing seperti dulu.
"Masih pandai merayu rupanya, kau, Langit." Kubuat nada suara sedatar mungkin.
"Hahaha! Tambah galak rupanya sekarang." Langit terbahak puas rupanya. Mukanya sedikit memerah. Kuperhatikan, kulitnya agak cokelat. Seperti sering terpapar matahari. Ah, peduli apa aku?
"Rambutmu, panjang sekali. Kamu tak pernah merapikannya?" Langit memang tak pandai basa-basi.
Aku pun membelai rambutku yang sepanjang punggung dan mengikatnya penuh dibelakang. Sehingga memperlihatkan sedikit gelombang tepat di ujung rambut. "Masih belum niat motong aja," ujarku.
Bukan ... bukan belum niat. Namun, tak berani memotongnya. Karena, di setiap helai ada rasa rindu yang diam-diam tumbuh hanya untukmu.
Langit.
"Aku masih merindukanmu, Senja." Sekali lagi, sebuah kata tanpa beban meluncur begitu saja dari mulutnya. Membuat waktu seakan berhenti dan hanya berputar diantara kami berdua. Bersama langit biru kemerahan.
Untung saja pelayan datang membawakan minuman kami berdua. Membuatku punya alasan untuk menghindar dari tatapannya yang tajam. Sekaligus kembali ke dunia nyata.
--- bersambung ---
Yogyakarta, 4 Maret 2020
#ceritarieka
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e9308a557b25e
Diubah oleh riekartieka 07-03-2020 16:24
nona212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.9K
72
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riekartieka
#25
LANGIT SORE
Part 4 - TENTANG SENJA
Oleh : Rieka Kartieka

Pic. From : Pixabay
Hari ini adalah pelatihan terakhir untuk karyawan baru bagian marketing. Namun, ini adalah hari yang paling melelahkan. Huft, tentu saja, kami harus mengenalkan kantor cabang dan pabrik elektronik yang luasnya hampir 10 hektar. Untung saja pelatihan selesai tepat jam kantor berakhir.
Tak hanya lelah karena kaki bekerja ekstra dibanding biasanya, tapi juga lelah hati. Sebab, selama itu Bayu selalu menempel di dekatku. Berkali-kali aku mengelak, tapi dengan gesit ia kembali mendekat. Untung saja ia seorang atasan diantara para trainee. Kalau tidak, pasti selama pelatihan bakal banyak kasak-kusuk. Dan ... untung saja ia benar-benar tampan.
"Capek?"
Akh! Orang ini hobi membuat kaget. Air mineral yang kuteguk tiba-tiba berbalik keluar. Bagaimana tidak? Sebuah tepukan mendarat di pundak tanpa pemberitahuan.
"Pak Bayu," sapaku sambil menyeka air dengan lengan baju.
"Eh, maaf, ya," ucapnya merasa bersalah. "Emm ... Habis ini bisa temani aku?"
Eh! Orang ini betul-betul blak-blakan.
"Em ... ada apa, ya, Pak Bayu?"
"Kamu itu kan tadi bikin handphone-ku jatuh dan pecah. Dan lagi ... sepertinya ... rusak." Bayu membolak-balikan HP-nya yang mati.
Duh! Aku merasa benar-benar bersalah.
"Dekat kok, Pak. Nanti setelah keluar kantor, Bapak bisa ambil arah kiri. Lalu cari jalan utama dan ikuti saja jalannya. Setelah pemberhentian ...."
"Aku maunya ditemani. Orang baru dikota ini mana tahu jalan."
"Cari saja di GPS, Pak. Besok diganti tagihannya."
"Kamu ... mau kulaporkan ke Pak Harjuna kalo hp ini rusak gara-gara kamu?" tukas Bayu sambil mengedipkan matanya.
Ah! Orang ini ... benar-benar ...!
*** ***
Akhirnya, di sinilah kami. Berdiri di depan toko handphone sebuah mall terbesar di kota industri ini. Setelah melihat-lihat sebentar, akhirnya Bayu memutuskan untuk mengganti pelindung layarnya.
"Ha? Nggak rusak?" Aku menelan ludah.
"Rusak, kok," sahutnya sembari membersihkan layar benda pipih itu. "Pelindungnya aja. Emang kenapa?" tanyanya sambil mengulum senyum.
Sial! Aku dipermainkan.
"Huu!" Aku pun manyun dan membuang muka. Bayu pun berlari kecil menyusulku.
"Kesal, ya?"
"Nggak."
"Kok manyun?"
"Lapar."
Dia pun terbahak sambil menjelaskan kalau handphone-nya tadi mati karena lowbat.
Setelah menyusuri lantai mall sambil kejar-kejaran kecil, kami pun berakhir di sebuah warung pecel lele pilihanku. Warung sederhana seberang mall. Tempat ini adalah favoritku ketika kangen sambal bawang buatan rumah. Di sini sambalnya selalu dibuat istimewa, karena digerus langsung dengan ulekan oleh tangan pemiliknya. Tak kusangka, Bayu pun menikmatinya. Ia makan begitu lahap, membuatku tercenung dan tertawa diam-diam. Gelagatnya seperti orang yang belum makan selama seminggu.
"Aku memang belum makan selama seminggu."
Aku terkejut dan tertunduk untuk berhenti menatapnya. Takut jika ia bisa membaca pikiranku lagi. Bayu pun terkekeh sambil menutup mulutnya. Sebab, beberapa butir nasi yang baru ia kunyah melompat keluar.
"Maksudnya, baru seminggu lalu aku makan sambal seenak ini. Waktu aku pulang ke rumah Mama," lanjutnya sambil menggigit ketimun.
*** ***
Sejak itu, Bayu selalu menantiku di depan pos satpam kantor untuk pulang bersama. Alasannya waktu itu, tempatnya tinggal melewati perumahan kosanku. Ternyata, ia menyediakan diri menjadi ojek gratisan.
Iya, aku baru mengetahui jika tempat tinggalnya berada di apartemen baru, beberapa blok di belakang kantor. Hal itu baru kuketahui seminggu kemudian. Padahal, dengan mengendarai motor bisa 30 menit lamanya dan itu belum hitungan macet. Semakin lama, aku semakin pusing dengan tingkah Asisten Manajer si 43 itu.
"Elah, masa nggak tau sih kalau itu pe-de-ka-te?" Cepol keriting mengaduk teh hangat. Kami sedang ada di pantry.
"Ya, tahu ... tapi, kan, baru ketemu sekali masa kayak gitu. Nggak enak juga. Belum omongan orang-orang kantor. Pak Harjuna ikut-ikutan pula."
Terbayang wajah Pak Harjuna dengan kumis tebal yang melengkung ke bawah meledekku. Kadang ia berbisik, "sikat, Neng. Sikat." Tepat setelah Bayu lewat ke ruangan devisi kami. Ish! Memang, tampang Bayu yang ganteng itu seperti WC? Pakai disikat.
"Apalagi, sih, kurangnya? Ganteng, mapan, cukup juga usianya."
"Emang apaan?" Akhirnya kugetok juga cepol Elisa.
"Nikah, lah."
"Umurku aja baru mau 23. Ntar aja kalo dah nyampe 25." Aku meneguk air putih hangat. Benar-benar kering rasanya kerongkonganku.
"Jangan ditarget gitu. Ntar malah meleset."
"Dih, nyumpahinnya kok jelek, sih." Sekali lagi, cepolnya menjadi tumpahan kekesalanku. Sayang, kali ini Elisa menghindar dengan gesit.
"Meleset jadi semakin cepat mendekat," ejek Elisa sambil beringsut keluar dari Pantry.
Ketika aku hendak mengejar Elisa, ternyata ada Bayu di depan pintu pantry. Menatapku dengan ekspresi sedih. Duh, sudah berapa lama ia berdiri di situ?
"Jadi, nggak suka kalau aku antar kamu pulang?" tanyanya datar.
Elisa yang tadi berdiri di antara kami, perlahan mundur dan berjingkat menjauh. Meninggalkan aku dan Bayu dengan perasaan canggung. Mungkin, lebih tepatnya ... aku yang canggung.
"Bukan gitu. Maksudku ... kita, kan, belum terlalu kenal, jadi ...."
"Bukannya sudah kenalan?"
Aku melihat raut wajahnya. Bertanya-tanya, orang ini sedang serius atau bercanda?
"Ah, aku nggak narik bayaran, kok," lanjut Bayu sambil mengacak rambutnya yang ikal.
"Bukannya gitu. Cuma, kan, itu bolak-balik jauh gitu. Aku kan jadi merasa nggak nyaman."
Seketika sorot mata Bayu yang tadi terasa hangat menjadi kosong. Semakin membuatku tak enak hati.
"Ah, kalau kamu nggak nyaman ...."
"Kalau terlalu mudah dekat, nanti bisa terlalu mudah menjauh."
"Maksudnya?"
"Seperti senja." Aku tak mampu menatap mata kecokelatannya. Hanya bisa tertunduk dan lanjut bicara. Mengeluarkan kata-kata yang begitu saja meluncur dari bibirku, "senja adalah waktu yang banyak dinanti. Namun, kepergiannya begitu cepat seperti kedatangannya."
Ya.
Jangan dipikir setelah ditinggalkan Langit, tak ada hati baru lainnya. Hanya dalam hitungan bulan setelah perpisahan itu, beberapa orang datang dan pergi begitu cepat. Sampai aku tak dapat lagi merasakan mana perasaan cinta, mana hanya pemberhentian sementara. Aku semakin menyakiti banyak hati. Dan aku ... semakin menggores luka pada diri sendiri.
Memang, beberapa hanya aku anggap sebagai teman biasa. Namun, mereka selalu salah mengartikan apa yang aku lakukan. Sekadar menemani jalan, dikira memiliki rasa. Sekadar makan bersama, dikira memberikan harapan. Dan ketika aku menanggapi perasaan mereka, hanya kehampaan yang didapat ....
"Aku cuma tak mau menyakiti satu hati lagi."

Pic. From : Pixabay
Bayu menarik napas panjang dan mengembuskannya dalam sekali hela. "Siapa yang mengajarimu quotes tentang senja seperti itu?" lanjutnya sambil menunduk menatap lekat ke mataku. Dekat sekali.
Aku tergagu, "Se-seorang yang pernah meninggalkanku ketika sen-ja."
Kami pun tenggelam dalam keheningan.
----bersambung----
Yogyakarta, 8 Maret 2020
#ceritarieka
Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cc9507dc4903db
Part 4 - TENTANG SENJA
Oleh : Rieka Kartieka

Pic. From : Pixabay
Hari ini adalah pelatihan terakhir untuk karyawan baru bagian marketing. Namun, ini adalah hari yang paling melelahkan. Huft, tentu saja, kami harus mengenalkan kantor cabang dan pabrik elektronik yang luasnya hampir 10 hektar. Untung saja pelatihan selesai tepat jam kantor berakhir.
Tak hanya lelah karena kaki bekerja ekstra dibanding biasanya, tapi juga lelah hati. Sebab, selama itu Bayu selalu menempel di dekatku. Berkali-kali aku mengelak, tapi dengan gesit ia kembali mendekat. Untung saja ia seorang atasan diantara para trainee. Kalau tidak, pasti selama pelatihan bakal banyak kasak-kusuk. Dan ... untung saja ia benar-benar tampan.
"Capek?"
Akh! Orang ini hobi membuat kaget. Air mineral yang kuteguk tiba-tiba berbalik keluar. Bagaimana tidak? Sebuah tepukan mendarat di pundak tanpa pemberitahuan.
"Pak Bayu," sapaku sambil menyeka air dengan lengan baju.
"Eh, maaf, ya," ucapnya merasa bersalah. "Emm ... Habis ini bisa temani aku?"
Eh! Orang ini betul-betul blak-blakan.
"Em ... ada apa, ya, Pak Bayu?"
"Kamu itu kan tadi bikin handphone-ku jatuh dan pecah. Dan lagi ... sepertinya ... rusak." Bayu membolak-balikan HP-nya yang mati.
Duh! Aku merasa benar-benar bersalah.
"Dekat kok, Pak. Nanti setelah keluar kantor, Bapak bisa ambil arah kiri. Lalu cari jalan utama dan ikuti saja jalannya. Setelah pemberhentian ...."
"Aku maunya ditemani. Orang baru dikota ini mana tahu jalan."
"Cari saja di GPS, Pak. Besok diganti tagihannya."
"Kamu ... mau kulaporkan ke Pak Harjuna kalo hp ini rusak gara-gara kamu?" tukas Bayu sambil mengedipkan matanya.
Ah! Orang ini ... benar-benar ...!
*** ***
Akhirnya, di sinilah kami. Berdiri di depan toko handphone sebuah mall terbesar di kota industri ini. Setelah melihat-lihat sebentar, akhirnya Bayu memutuskan untuk mengganti pelindung layarnya.
"Ha? Nggak rusak?" Aku menelan ludah.
"Rusak, kok," sahutnya sembari membersihkan layar benda pipih itu. "Pelindungnya aja. Emang kenapa?" tanyanya sambil mengulum senyum.
Sial! Aku dipermainkan.
"Huu!" Aku pun manyun dan membuang muka. Bayu pun berlari kecil menyusulku.
"Kesal, ya?"
"Nggak."
"Kok manyun?"
"Lapar."
Dia pun terbahak sambil menjelaskan kalau handphone-nya tadi mati karena lowbat.
Setelah menyusuri lantai mall sambil kejar-kejaran kecil, kami pun berakhir di sebuah warung pecel lele pilihanku. Warung sederhana seberang mall. Tempat ini adalah favoritku ketika kangen sambal bawang buatan rumah. Di sini sambalnya selalu dibuat istimewa, karena digerus langsung dengan ulekan oleh tangan pemiliknya. Tak kusangka, Bayu pun menikmatinya. Ia makan begitu lahap, membuatku tercenung dan tertawa diam-diam. Gelagatnya seperti orang yang belum makan selama seminggu.
"Aku memang belum makan selama seminggu."
Aku terkejut dan tertunduk untuk berhenti menatapnya. Takut jika ia bisa membaca pikiranku lagi. Bayu pun terkekeh sambil menutup mulutnya. Sebab, beberapa butir nasi yang baru ia kunyah melompat keluar.
"Maksudnya, baru seminggu lalu aku makan sambal seenak ini. Waktu aku pulang ke rumah Mama," lanjutnya sambil menggigit ketimun.
*** ***
Sejak itu, Bayu selalu menantiku di depan pos satpam kantor untuk pulang bersama. Alasannya waktu itu, tempatnya tinggal melewati perumahan kosanku. Ternyata, ia menyediakan diri menjadi ojek gratisan.
Iya, aku baru mengetahui jika tempat tinggalnya berada di apartemen baru, beberapa blok di belakang kantor. Hal itu baru kuketahui seminggu kemudian. Padahal, dengan mengendarai motor bisa 30 menit lamanya dan itu belum hitungan macet. Semakin lama, aku semakin pusing dengan tingkah Asisten Manajer si 43 itu.
"Elah, masa nggak tau sih kalau itu pe-de-ka-te?" Cepol keriting mengaduk teh hangat. Kami sedang ada di pantry.
"Ya, tahu ... tapi, kan, baru ketemu sekali masa kayak gitu. Nggak enak juga. Belum omongan orang-orang kantor. Pak Harjuna ikut-ikutan pula."
Terbayang wajah Pak Harjuna dengan kumis tebal yang melengkung ke bawah meledekku. Kadang ia berbisik, "sikat, Neng. Sikat." Tepat setelah Bayu lewat ke ruangan devisi kami. Ish! Memang, tampang Bayu yang ganteng itu seperti WC? Pakai disikat.
"Apalagi, sih, kurangnya? Ganteng, mapan, cukup juga usianya."
"Emang apaan?" Akhirnya kugetok juga cepol Elisa.
"Nikah, lah."
"Umurku aja baru mau 23. Ntar aja kalo dah nyampe 25." Aku meneguk air putih hangat. Benar-benar kering rasanya kerongkonganku.
"Jangan ditarget gitu. Ntar malah meleset."
"Dih, nyumpahinnya kok jelek, sih." Sekali lagi, cepolnya menjadi tumpahan kekesalanku. Sayang, kali ini Elisa menghindar dengan gesit.
"Meleset jadi semakin cepat mendekat," ejek Elisa sambil beringsut keluar dari Pantry.
Ketika aku hendak mengejar Elisa, ternyata ada Bayu di depan pintu pantry. Menatapku dengan ekspresi sedih. Duh, sudah berapa lama ia berdiri di situ?
"Jadi, nggak suka kalau aku antar kamu pulang?" tanyanya datar.
Elisa yang tadi berdiri di antara kami, perlahan mundur dan berjingkat menjauh. Meninggalkan aku dan Bayu dengan perasaan canggung. Mungkin, lebih tepatnya ... aku yang canggung.
"Bukan gitu. Maksudku ... kita, kan, belum terlalu kenal, jadi ...."
"Bukannya sudah kenalan?"
Aku melihat raut wajahnya. Bertanya-tanya, orang ini sedang serius atau bercanda?
"Ah, aku nggak narik bayaran, kok," lanjut Bayu sambil mengacak rambutnya yang ikal.
"Bukannya gitu. Cuma, kan, itu bolak-balik jauh gitu. Aku kan jadi merasa nggak nyaman."
Seketika sorot mata Bayu yang tadi terasa hangat menjadi kosong. Semakin membuatku tak enak hati.
"Ah, kalau kamu nggak nyaman ...."
"Kalau terlalu mudah dekat, nanti bisa terlalu mudah menjauh."
"Maksudnya?"
"Seperti senja." Aku tak mampu menatap mata kecokelatannya. Hanya bisa tertunduk dan lanjut bicara. Mengeluarkan kata-kata yang begitu saja meluncur dari bibirku, "senja adalah waktu yang banyak dinanti. Namun, kepergiannya begitu cepat seperti kedatangannya."
Ya.
Jangan dipikir setelah ditinggalkan Langit, tak ada hati baru lainnya. Hanya dalam hitungan bulan setelah perpisahan itu, beberapa orang datang dan pergi begitu cepat. Sampai aku tak dapat lagi merasakan mana perasaan cinta, mana hanya pemberhentian sementara. Aku semakin menyakiti banyak hati. Dan aku ... semakin menggores luka pada diri sendiri.
Memang, beberapa hanya aku anggap sebagai teman biasa. Namun, mereka selalu salah mengartikan apa yang aku lakukan. Sekadar menemani jalan, dikira memiliki rasa. Sekadar makan bersama, dikira memberikan harapan. Dan ketika aku menanggapi perasaan mereka, hanya kehampaan yang didapat ....
"Aku cuma tak mau menyakiti satu hati lagi."

Pic. From : Pixabay
Bayu menarik napas panjang dan mengembuskannya dalam sekali hela. "Siapa yang mengajarimu quotes tentang senja seperti itu?" lanjutnya sambil menunduk menatap lekat ke mataku. Dekat sekali.
Aku tergagu, "Se-seorang yang pernah meninggalkanku ketika sen-ja."
Kami pun tenggelam dalam keheningan.
----bersambung----
Yogyakarta, 8 Maret 2020
#ceritarieka
Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cc9507dc4903db
Diubah oleh riekartieka 27-04-2020 15:12
makola dan robin.finck memberi reputasi
2