Kaskus

Story

riekartiekaAvatar border
TS
riekartieka
LANGIT SORE (CERBUNG)
LANGIT SORE
_Part 1_
Oleh : Rieka Kartieka


LANGIT SORE (CERBUNG)
Pic. From : Pixabay


"Aku sudah tak punya rasa cinta lagi sama kamu."

Suara lelaki di seberang sana menusuk tepat di hati. Ia yang sudah menjadi kekasihku selama tiga tahun menelpon di sore hari hanya untuk mengatakan hal yang paling menyakitkan. Padahal, di malam sebelumnya kami masih bercerita melalui videocall WhatsApp. Seperti biasa, penuh canda dan rindu.

Hanya itu. Hanya satu kalimat itu ... dan ia mematikan sambungan teleponnya.

Sakit. Saat itu, rasanya seperti terjatuh ke dasar jurang terdalam setelah melayang tinggi di atas awan. Seperti wanita bodoh, selalu berprinsip jika hubungan jarak jauh cukup bermodal 'percaya'.

Sejak itu, aku tak suka langit sore. Padahal, namaku ... Senja.

*** ***

"Senja! Kamu pulang cepat?"

Aku mengacak poniku yang sedikit panjang dan menepiskannya ke samping. Akhirnya ketemu sesuatu yang mengganjal sejak perjalanan keluar dari kantor sejam lalu. Belum pamitan dengan Elisa.

"Maaf, Lis. Aku buru-buru," jawabku sembari melihat keluar jendela bus Transkota.

Langit tampak mulai kemerahan.

"Kamu beneran mau ketemu dia?" Suara Elisa sedikit berbisik.

"Iya ...."

"Gila!" Teriakan Elisa membuatku sedikit menjauhkan telepon genggam dari telinga. Setelah itu aku meminta maaf pada ibu yang duduk di sebelah bersama bayi mungilnya. Sepertinya, Elisa juga sedang meminta maaf kepada seseorang di kantor.

"Sial! Gara-gara kamu aku dipelototin Pak Harjuna. Ternyata dia ada di belakangku tadi. Hahaha ...." Elisa terbahak di seberang sana.

Aku pun sedikit tertawa membayangkan kumis tebal Pak Harjuna naik ke atas melihat kelakuan bawahannya yang teriak tiba-tiba. Juga membayangkan Elisa yang mungil berkacamata bulat besar terlihat semakin kecil dan menciut. "Sekarang kamu di mana, Lis?" tanyaku penasaran, ada suara angin yang mendominasi.

"Atap gedung. Senja ... kamu nggak serius, kan? Jangan bilang sekarang kamu lagi di jalan ke tempat janjian ketemu sama dia." Elisa menebak sangat tepat. Ah ... bukan menebak, tapi memang dia pasti tahu aku mau kemana.

"Kumohon, Senja. Sudah setahun lebih dan kamu masih berada dalam genggaman bayangannya."

"Aku hanya penasaran, Lis."

Laju bus Transkota terasa begitu halus. Perjalanan ini bagai melayang di atas awan. Atau mungkin karena aku terlalu terpaku pada langit yang semakin memerah.

Melalui kaca jendela, gedung bertingkat saling bergerak silih berganti. Menyamarkan keberadaan langit sore yang sedikit tertutup awan. Mereka semua seperti bergerak ke belakang. Namun, kenyataannya aku lah yang sedang melaju ke depan.

Ah, betulkah aku sedang berjalan ke depan?

*** ***

Bus sudah sampai di terminal terakhir.

Berdasarkan petunjuk GPS aku harus berjalan menelusuri beberapa gedung tinggi. Kemudian tiba di salah satu mall terbesar di pusat kota. Tempat pertemuan kami adalah cafe yang berada di samping mall. Sebuah cafe taman dengan tatanan tanaman yang menyatu dengan lampu juga beberapa kolam ikan kecil. Sesuai WhatsApp yang ia berikan beberapa jam lalu, tempat kami ada di lantai dua.

Pernah merasakan keringat dingin, perut mulas, dan jantung berdebar semakin keras? Itulah aku, ketika melihatnya berdiri di pinggir balkon cafe dan hanya menatap ke arahku. Rasanya ingin berlari dan menghindar, tapi bukan waktu yang tepat.

"Hai. Lama tak jumpa." Ia masih sama seperti yang dulu. Dengan garis muka tegas dan mata hitam yang tajam. Hanya saja, rambut gondrong itu berubah menjadi cepak.

Aku tak menyahut salamnya. Sesegera mungkin duduk untuk menghilangkan gemetar di kaki. Ia pun ikut duduk di kursi satunya, tepat berhadapan. Dari sudut mata, aku tahu pandangannya tak lepas dariku. Jantungku semakin berdebar. Menyebalkan! Bisakah palu godam datang dan menghantam agar tak lagi berdetak?

"Tolong pesankan aku jus alpukat saja," pintaku seraya menutup menu berwarna biru. Sesegera mungkin, ia memesan segelas jus alpukat dan secangkir latte untuknya.

"Kamu terlihat dewasa sekarang, Senja." Matanya menatap tajam padaku. Tentu saja, aku balas menatapnya. Tak ingin menunjukkan rasa malu-malu kucing seperti dulu.

"Masih pandai merayu rupanya, kau, Langit." Kubuat nada suara sedatar mungkin.

"Hahaha! Tambah galak rupanya sekarang." Langit terbahak puas rupanya. Mukanya sedikit memerah. Kuperhatikan, kulitnya agak cokelat. Seperti sering terpapar matahari. Ah, peduli apa aku?

"Rambutmu, panjang sekali. Kamu tak pernah merapikannya?" Langit memang tak pandai basa-basi.

Aku pun membelai rambutku yang sepanjang punggung dan mengikatnya penuh dibelakang. Sehingga memperlihatkan sedikit gelombang tepat di ujung rambut. "Masih belum niat motong aja," ujarku.

Bukan ... bukan belum niat. Namun, tak berani memotongnya. Karena, di setiap helai ada rasa rindu yang diam-diam tumbuh hanya untukmu.

Langit.

"Aku masih merindukanmu, Senja." Sekali lagi, sebuah kata tanpa beban meluncur begitu saja dari mulutnya. Membuat waktu seakan berhenti dan hanya berputar diantara kami berdua. Bersama langit biru kemerahan.

Untung saja pelayan datang membawakan minuman kami berdua. Membuatku punya alasan untuk menghindar dari tatapannya yang tajam. Sekaligus kembali ke dunia nyata.

--- bersambung ---

Yogyakarta, 4 Maret 2020
#ceritarieka


Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e9308a557b25e
Diubah oleh riekartieka 07-03-2020 16:24
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.9K
72
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
riekartiekaAvatar border
TS
riekartieka
#16
LANGIT SORE

Part 3 - EMBUSAN BAYU
Oleh : Rieka Kartieka

kaskus-image
Pic. From : Pixabay



"Masuklah, Senja. Kamu nanti bisa masuk angin." Suara lembut Bayu terdengar dari belakang di sela rintikan hujan.

Aku mengeratkan jaket yang ia berikan. Bukan karena hawa yang dingin, tapi aku ingin melawan rasa sakit yang menusuk di dalam hati. Tak terasa, semakin lama air mataku semakin deras. Tangis tanpa suara terganti oleh erangan membabi buta.

Bayu membalikkan badanku dan mendekap erat ke dalam pelukannya. Kurasakan hangat di sekujur tubuh. Tangannya mengelus lembut punggung dan sekali-kali memberikan tepukan kecil. Membuat aku sedikit tenang. Di antara detak jantungnya yang cepat, tangis terus tertumpah. Mengeluarkan segala rasa yang sedari tadi tertahan.

"Menangislah ...."

Aku pun benar-benar tenggelam dalam rasa perih.

Tak lama, Bayu membiarkan aku masuk ke dalam kamar kos. Selama ia menenangkan aku, tak ada satu nasehat yang keluar dari bibirnya. Hanya genggaman dan senyuman, juga sorot mata lembut menatapku.

Aku menekuk lutut di dalam kamar. Membenamkan kepala di antara lutut sembari mengeratkan kedua lengan. Menenggelamkan tangis yang tersisa, merasa terkoyak. Merasa jadi orang paling kejam atas hati seorang manusia. Namun, lebih dari itu ... aku pun telah tersakiti. Sakit yang kubuat sendiri.


kaskus-image
Pic. From : Pixabay


*** ***

Tujuh bulan lalu.

.
.
.

"Senja, gantiin aku cari sepatu safetybuat trainee, dong." Elisa menyembunyikan wajah mungilnya di balik tangan yang tertangkup. Tentu saja sambil berkedip ke arahku.

"Emang kenapa nggak kamu sendiri?"

"Gudang ada di lantai tiga. Kamu 'kan tahu ... kakiku masih terkilir." Elisa mengusap lutut yang seminggu lalu terantuk aspal karena ia tak melihat ada lubang -- karena matanya lebih tertuju pada handphone 'berbaju' pink dengan telinga kelinci -- karena ia sedang pe-de-ka-te dengan cowok yang baru ia kenal di dalam bus.

"Hei ... hei! Matanya jangan sinis, dong." Elisa nyengir sambil meletakkan kepalanya di atas pundakku.

"Baiklah, Keriting," godaku sambil menjulurkan lidah.

Eh, aku belum cerita kalau temanku satu ini punya rambut keriting di setiap helainya. Bentuknya melingkar seperti mie. Kalau ditarik lurus ke bawah, sebetulnya panjang. Namun, karena setiap senti rambutnya meliuk jadi hanya tersisa sampai atas pundak. Biasanya, kalau aku panggil Elisa 'keriting' pasti bakal protes. Sebab, buat dia ... keritingnya nggak banget. Padahal, buatku keren.

"Ikal ... Ikal ...!" Elisa teriak, tapi berbisik.

"Iya, iya. Nih, gantiin aku bagi modul buat para trainee." Aku pun menyerahkan tumpukan modul pada Elisa.

"Ngasih modulnya jangan pake emosi, dong. Eh, Senja ... ukuran sepatu trainee-nya 43." Elisa nyengir.

"What?"

"Sst. Orangnya ganteng." Ia berlari ke arah pintu ruangan tempat training berlangsung.

Sialan, aku jadi tak bisa menggetok cepolnya.

Aku pun membuka pintu gudang di lantai tiga yang terletak di sebelah kanan tangga. Lantai ini adalah lantai tertinggi di gedung kantor kami, itu kalau atap tempat nongkrong tidak masuk hitungan. Lantai tiga hanya ada gudang milik Devisi Training juga ruangan-ruangan yang biasa digunakan para bos untuk rapat. Dan saat ini, tak ada satu pun ruangan yang digunakan. Ah ... jadi merinding sendiri.

Untuk menghilangkan ketakutan, aku menyalakan lampu gudang juga lampu kecil di depan gudang. Tentu saja lampu-lampu ruangan rapat di sebelah gudang, juga satu ruangan yang di depannya. Aku tahu ... ini masih siang. Cahaya matahari pun masuk melalui jendela kaca besar di setiap ruangan, tapi ... cuma sebentar. Sebentar saja.

Setiap rak aku selusuri. Namun, tak ada sepatu safety ukuran 43. Rata-rata yang tersisa berukuran 39 sampai dengan 41. Ah, jangankan 43, yang 42 saja tersisa tiga. Satu persatu kotak safety shoes ukuran 42 aku buka, kemudian membandingkan satu sama lain. Sebab, kalau tidak salah baru-baru ini bagian purchase mengganti vendor perusahaan sepatu. Ya, siapa tahu ukurannya beda. Walaupun cuma setengah senti pun ... lumayan.


kaskus-image
Pic. From : Pixabay


Aku keluar dari gudang dan bersiap turun ke tangga. Namun, tiba-tiba ada sosok tinggi mengenakan topi sedang bersandar di tembok depan pintu gudang. Membuatku sedikit terkejut dan menjatuhkan ke dua sepatu yang kubawa. Satu sepatu mendarat manis di bawah kakiku. Namun, satunya lagi menggelinding hingga tujuh anak tangga.

Aku berusaha segera mengambil sepatu yang menggelinding. Namun, gerakanku kalah cepat dengan sosok tinggi bertopi itu. Sayang, kecepatannya memakan tumbal. Handphone-nya terjatuh di anak tangga paling atas.

Setelah mengambil sepatu yang terjatuh, ia kembali naik ke arahku dan berhenti di anak tangga ketiga dari atas. Dan aku berdiri di anak tangga pertama dari atas. Tinggi kami sejajar, kemudian saling bertukar barang-barang yang barusan dipungut.


"Maaf. Handphone-nya sedikit retak." Aku menyerahkan telepon genggam berwarna hitam yang tampak retak di kanan bawah. Tidak terlalu banyak retakannya, tapi sepertinya jadi tidak berfungsi.

"Hati-hati. Untung bukan kamu yang menggelinding," ujarnya sambil menaikan Alis tebalnya yang sebelah kirih. Ada sedikit goresan di sana. Sorotnya tajam, tapi lembut dan ... bulu matanya lentik.

Ya ampun, apa yang dilakukan sang ibu ketika dia bayi? Baru kali ini aku melihat lelaki memiliki bulu mata yang bagus. Kata nenekku, kalau mau punya anak dengan bulu mata lebat dan lentik, kita bisa merapikan ujungnya sedikit. Mungkin, mulai sekarang aku sedikit percaya.

"Ehem!" Lelaki itu membuyarkan kekagumanku.

"Eh, iya. Terima kasih." Aku segera mengambil sepatu yang ia sodorkan.

"Sepertinya, itu sepatu untukku," lanjut lelaki itu kemudian duduk di tangga. Tepat dimana aku berdiri.

"Oh, kamu trainee berukuran 43?"

"Hahahaha ...! Iya, kalau itu julukanku." Ia terbahak menutup mata cokelatnya. Iya, matanya berwarna cokelat. Eh, bukan ... hitam kecokelatan.

Aku dibuat malu oleh tawanya. Tanpa perintah, aku langsung melepas sepatu pantofel hitamnya yang mengkilat. Kikuk.

"Eits! Agresifitas kamu tinggi." Kakinya bergeser menjauhi tanganku.

"Eh, bukan gitu. Maksudku ... anu ... sepatunya segera dicoba." Aku meletakkan dua sepatu yang berbeda dengan ukuran sama. "Ini memang ukurannya sama. Tapi beda vendor. Siapa tahu selisih sedikit. Lumayan, kan?" tukasku.

"Hahaha ... sudah ... tidak perlu. Tadi aku sudah bilang sama temanmu yang rambutnya dicepol, kalau di acara berikutnya tidak ikut," jelas lelaki bertopi abu-abu itu sambil membetulkan sepatu yang tadi sempat aku 'rusuhi'.

Tiba-tiba aku merasa dipermainkan oleh Elisa si cepol.

"Tapi, kunjungan industrinya 'kan penting juga buat karyawan baru," tukasku.

"Namaku, Bayu. Asisten Manajer bagian Marketing yang dipindahtugaskan ke kantor cabang ini." Tangan kanannya terulur kepadaku. Ia menyalamiku dengan tegas. Khas orang yang penuh percaya diri.

"Senja." Aku merasa ciut, kecil, dan ... malu. Awas saja, kau, Elisa!

"Kalau dipikir-pikir, ikut keliling kantor dan pabrik di sini menarik juga. Terakhir kunjungan industri enam tahun lalu saat masih karyawan baru. Pasti banyak yang berubah, ya?" Ia melarikkan senyum.

"Eh, tapi ... nanti, Pak Bayu nggak safety." Jantungku tiba-tiba berdebar lebih cepat ketika Bayu turun ke anak tangga tempatku duduk.

"Nanti, aku bilang ke atasan kamu kalau nggak perlu pakai safety shoes. Sebagai gantinya, ijinkan aku berdiri di sampingmu agar tetap aman, " bisiknya. "Oh, satu lagi. Tadi aku diminta temanmu yang tadi untuk menyerahkan kertas ini. Sepertinya request untuk kebagian purchase masalah sepatu." Bayu menyerahkan kertas berwarna putih, pink, dan biru ke arahku.

Cepol keriting! Ini apa-apan? Rasanya sia-sia aku mengobrak-abrik gudang.

"Oh, iya. Lampunya dimatikan, ya. Tahu, kan, kita harus selalu hemat energi." Bayu membuka topinya dan turun menuju lantai dua, tempat training berada.


kaskus-image
Pic. From : Pixabay


----bersambung----

Yogyakarta, 7 Maret 2020
#ceritarieka


_Part 4_
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...27680b0b33a5f1
Diubah oleh riekartieka 26-04-2020 18:04
makola
makola memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.