Kaskus

Story

monicameyAvatar border
TS
monicamey
Mengantar Bapak Pulang
Mengantar Bapak Pulang

°
°
°

"Sebentar lagi kita akan berangkat, Mbak. Saya masih memanaskan mesin dulu."

"Iya, Pak. Saya tunggu."

Awan kelabu pagi ini menggelayut di kota Surabaya. Dini hari tadi terdengar kabar yang menyakitkan, Bapak meninggal. Sudah hampir setahun ini, ia dirawat jalan karena kanker usus yang dideritanya. Menjelang kepergiannya, Bapak menginginkan dikuburkan di tanah kelahiran yaitu kota Semarang.

"Mbak, hanya sendirian? Ibu atau saudaranya tidak ikut?"

Petugas rumah sakit sekaligus tetangga yang akan mengantarkan jenasah Bapak menuju Semarang bertanya tentang keberadaan Ibu atau saudaraku. Ibu dan Ariska kemarin pulang dulu untuk menjual tanah yang akan digunakan tambahan biaya pengobatan. Namun, sayangnya Bapak meninggal tanpa ada anak atau istri yang menunggu.

"Ibu dan adik saya ada di Semarang, Pak."

Pak Mulyoto menepuk pundakku dan menyunggingkan senyuman hangat, "Mbak, yang tabah dan kuat."

"Iya, Pak. Terima kasih juga karena bapak mau mengantarkan kami."

Jika bukan karena Pak Mulyoto, kemungkinan tidak akan ada yang mau mengantarkan jenasah Bapak. Beliau juga yang mengurus administrasi rumah sakit selagi aku menunggui Bapak di ruang jenasah.

"Ayo, Mbak. Kita segera berangkat. Kasihan bapak kalau kelamaan," ujarnya mengajakku pergi.

Mobil yang kami pakai merupakan ambulance milik puskesmas. Mereka senang hati meminjamkannya pada kami. Dalam perjalanan menuju Semarang, Pak Mulyoto mengajak berbincang mengusir rasa bosan.

"Bapak orang yang ramah, ya. Padahal kami hanya kenal selama tiga bulan saja. Tiap pagi beliau akan menyapa kami sembari menyapu halaman," kenang Pak Mulyoto seraya terkekeh.

"Bapak memang seperti itu, Pak. Beliau orang yang ramah dan tidak segan membantu tetangga," kataku mengingat Bapak.

Bapak adalah orang yang paling kusayangi karena ia tidak pernah marah atau membentak jika anak-anaknya berbuat salah. Ia akan memakai kalimat yang halus dan tegas untuk menasehati kami. Beda halnya dengan Ibu yang akan memarahi kami sepanjang hari dan akan berhenti kalau Ayah menyuruh diam.

"Mbaknya berapa bersaudara? Kenal sama bapaknya, tetapi tidak pernah tanya tentang beliau."

Aku yang sedari tadi melihat arah jendela langsung menoleh dan malu karena ketahuan melamun. Pak Mulyoto hanya menyunggingkan senyumannya.

"Kami tiga bersaudara, Pak. Ada kakak lelaki dan adik perempuan."

"Wah pasti ramai sekali waktu berkumpul?"

Aku menggangguk pelan sembari melihat keadaan jalan yang ramai oleh kendaraan sebelum masuk jalan bebas hambatan. Untungnya mobil ini dilengkapi pendingin yang menyejukkan.

"Iya, Pak. Waktu berkumpul adalah hal yang menyenangkan bagi kami."

Tiap Jumat malam, Bapak selalu menyempatkan pulang ke Semarang karena ia seorang sopir bus dari Surabaya ke Semarang dan menyewa kamar di dekat tempat kerjanya. Baru tiga bulan ini saja, ia mendapatkan kenaikan kerja dan rumah kontrakkan dari atasan. Bukan lagi menjadi sopir, tetapi seorang pengawas lapangan. Saat berada di rumah, kami akan berkumpul di teras dan saling menceritakan aktifitas masing-masing.

"Sebentar lagi kita sampai, Mbak. Kalau tidak lewat jalan bebas hambatan, mungkin akan terasa lama."

Setidaknya kali ini aku beruntung bisa mengantar Bapak tanpa melewati jalan yang jauh. Tanpa sadar aku menoleh ke belakang di mana jenazah Bapak terbaring. Ada rasa tidak percaya ketika melepas kepergiannya.

"Pak, sebentar lagi kita sampai." Aku membatin sambil menghapus buliran air mata.

Ada aroma parfum milik Bapak yang tercium. Aku tahu Bapak mendengar ucapanku tadi.

"Mbak, seperti bau parfum, ya?"

Pak Mulyoto sampai mengendus bau ke depan dan ke samping. Menoleh padaku dan mengernyitkan dahi karena aku menggeleng.

"Bau ini sepertinya saya kenal. Tapi lupa di mana," sahut Pak Mulyoto pelan.

"Saya tidak mencium apa pun, Pak." Aku menyanggah ucapannya agar tidak ketahuan.

"Bapak takut?" tanyaku penasaran.

Pak Mulyoto menarik kedua bibirnya seraya menatapku penuh arti. Ia menggeleng dengan mata yang tetap fokus menyetir.

"Untuk apa takut, Mbak. Mereka tidak akan mengganggu jika kita tidak usil. Kalau mereka sampai menampakkan ke kita, mungkin saja ada hal yang ingin disampaikan."

Aku memanggutkan kepala dan mendengarkan musik lawas yang diputar Pak Mulyoto. Lagu milik Ebith mengantarkan kenangan yang tidak mudah dilupakan. Sosoknya yang penuh perhatian dan kasih sayang membuatku tidak bisa membendung rasa rindu yang pekat di hati.

"Desanya sungguh indah, ya, Mbak? Jarang saya bisa sampai ke sini. Udaranya masih bersih," ujar Pak Mulyoto memandang alam sekitar, kita berhenti sejenak menikmati udara yang sejuk. Pak Mulyoto sampai mengambil ponsel untuk memotret sawah yang hijau.

"Ada apa, Pak?" tanyaku saat melihatnya bingung.

"Oh ... tidak apa-apa. Mungkin ponsel saya sudah rusak. Ayo, Mbak, kita berangkat."

Nada bicara Pak Mulyoto terdengar gugup. Apa yang tadi dilihatnya di belakangku? Aku tidak bertanya karena wajahnya terlihat pucat pasi. Kami saling diam hingga sampai rumah.

*****

Tinggal beberapa meter lagi, aku sampai rumah. Sebelum sore akhirnya diriku bisa mengantarkan jenazah Bapak. Kulihat Ibu lari tergopoh-gopoh menyambut kedatangan kami. Bias kesedihan tergurat jelas di wajahnya. Warga banyak berdatangan untuk melihat Bapak terakhir kali.

"Maaf, Bu. Agak terlambat dari perkiraan saya sebelumnya," kata Pak Mulyoto menyalami Ibu dan Bang Rana.

"Tidak apa-apa, Pak. Kami maklum karena tidak ada yang mengurus di sana. Kami yang malah mengucapkan terima kasih karena bapak sudi mengurus semuanya," jawab Ibu dengan wajah sembab.

"Bukan hanya saya---"

"Ada ada, Pak?"

Pak Mulyoto tercekat melihat kedatangan saudara kembarku--Ariska. Wajah dan tubuh kami bak pinang dibelah dua, yang membedakan hanya potongan rambut saja. Aku lebih memilih memanjangkan rambut.

Ibu menoleh ke belakang dan menyadari keterkejutan Pak Mulyoto yang masih diam terpaku.

"Dia anak saya, Pak. Namanya Ariska."

"Namanya bukan Arisma?"tanya Pak Mulyoto gugup.

"Arisma dan Ariska kembar. Namun, Arisma sudah tidak bersama kami lagi," ucap Ibu dengan suara parau.

Pak Mulyoto tambah terkejut dan menoleh padaku, ia berjalan mundur ke belakang.

"Kenapa, Pak?" Bang Rana sampai memegang punggungnya menahan agar tidak jatuh.

"Bukankah Arisma anaknya Ibu yang menjemput jenazah Bapak?"

Mereka saling pandang dan memahami situasinya. Ibu menangis histeris sampai ditenangkan oleh Ariska. Aku hanya bisa menatap penuh sedih.

"Makanya itu, Pak. Kami di sini merasa bingung. Bagaimana Bapak tahu rumah kami? Waktu saya telepon di rumah sakit, mereka mengatakan jika bapak sudah berangkat sejak pagi seorang diri," urai Bang Rana memperjelas keadaan.

"Lalu yang saya sering temui di rumah kontrakkan itu siapa?"

"Arisma sudah meninggal tiga bulan lalu akibat sakit, Pak. Yang bapak temui itu kembarannya."

Pak Mulyoto dirangkul Bang Rana menuju rumah untuk ditenangkan. Aku tidak bisa meminta maaf padanya, perasaan bersalah menyelimuti karena sudah membuatnya takut.

Seharusnya Bang Rana yang menjemput Bapak pagi tadi. Namun, aku yang pergi menggantikannya. Setidaknya aku beruntung bisa melihat Bapak terakhir kali dan mengantarkannya pulang.

"Ayo, Nak. Kita pergi sekarang. Ini bukan tempat kita dan terima kasih sudah menunggu bapak selama tiga bulan." Aku menerima uluran tangan Bapak dan pergi melewati warga yang mengangkut keranda.

=Tamat=

Surabaya, 03 Maret 2020


Index Kumpulan Cerita Horor

1. Nasehat seorang ibu akan selalu menjadi lagu terindah untuk sang anak. Namun, apakah seorang anak mau mendengarkan nasehat sang ibu?

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb953aca2e80c3

2. Ada kutukan yang mengerikan terjadi di sebuah rumah. Kutukan yang akan mengubah pemiliknya menjadi menyeramkan.

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb9546f261a448

3. Siapa yang tidak ingin memiliki putri kecil lucu dan suka bicara. Namun, kalau ia suka bicara sendiri dan menatap dinding kosong. Apa yang dilakukan sang orang tua? Temukan jawabannya di cerita ini.

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...27681e3e0adc71

4. Lagu balonku memang disukai anak-anak dan sering dijadikan lagu favorit mereka. Akan tetapi bagaimana jadinya jika lagu tersebut menjadi lagu menakutkan bagi Hans?

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e93348d3e4e69

5. Apa yang terjadi di sebuah supermaket itu? Dengar-dengar ada hal yang tak terduga. Penasaran? Yuk ... dibaca dan diberi komen

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...c99118c04c22fa


Nantikan kelanjutan cerita horor dari saya lainnya.
Diubah oleh monicamey 05-06-2020 20:55
diemaspAvatar border
indrag057Avatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
13.2K
115
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
monicameyAvatar border
TS
monicamey
#18
Putri Kecil Kami
Mohon saran dan kritiknya...

°
°
°


Akhir-akhir ini putri kecilku bertingkah aneh. Itu menurutku dan istri. Di usia yang memasuki empat tahun, ia memiliki banyak pertanyaan yang terkadang membuat kami tak mampu menjawabnya. Namun, bukan masalah itu yang kami risaukan. Aku maupun istri senang memiliki anak yang suka bicara dan banyak pertanyaan, tetapi Aima bukanlah gadis kecil yang biasa. Hal yang membuat ibunya khawatir sekaligus takut ketika Aima berbicara sendiri sambil menghadap dinding.

"Aima bicara sama siapa?" Aku yang kebetulan berada di rumah saat itu merasa bingung.

"Teman, Yah," jawabnya santai sambil nyengir.

"Mana temannya? Kok Ayah tidak lihat?" tanyaku lagi.

"Yang bisa lihat cuma Aima. Ayah dan Ibu tidak bisa," sambungnya dengan wajah kesal.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan menyimak pembicaraan Aima dengan sesuatu yang tidak tampak. Dari perkataan Aima yang kutangkap, ia memanggil 'temannya' dengan sebutan Pak Le. Kurasa temannya sudah tua.

"Ayah, ini tidak sopan,"omel Aima tiba-tiba.

Aku mengernyitkan dahi mendengar ocehannya. Anak sekecil Aima mengomel bahkan menggerutu padaku.

"Memangnya Ayah kenapa?" tanyaku berhati-hati seraya menutup koran yang sedari tadi pura-pura kubaca.

"Jangan menguping pembicaraan Aima dan Pak Le."

Astaga ini anak semakin membuatku pusing. Bagaimana bisa ia mengetahui kalau aku sengaja mendengar pembicaraan mereka?

"Ayah tidak menguping, Aima. Ayah lagi baca koran," sanggahku membela diri.

"Aima mau pindah tempat saja,"ucapnya berdiri lalu berlari menuju kamar.

Aima berlari dengan tangan kanannya yang melayang serasa menggandeng seseorang. Akan tetapi, aku tidak bisa melihat.

"Nah, kamu bisa lihat sendiri, 'kan, Mas?" celetuk Padma--istriku yang baru selesai masak.

Aku menghembuskan napas seraya mengacak rambut karena tidak tahu lagi yang harus kami perbuat pada Aima. Selama ini kami mengganggap Aima sedang belajar bahasa dengan kosa kata baru yang ia pelajari dari sekolah.

"Sejak kita pindah di rumah ini, Aima semakin aneh dan kadang bermain lompat tali di tengah malam. Lompat talinya bahkan bergerak sendiri, Mas. Aku jadi takut kalau kamu pulang malam terus," kata Padma gelisah.

"Aku akan memanggil Pak Umar nanti malam, Dek. Mungkin saja beliau bisa membantu."

Pak Umar merupakan ketua RT juga guru mengaji di sekitar komplek perumahan ini. Aku dan istri sudah berusaha semampu kami untuk mengatasi masalah ini, tetapi malah tidak bisa. Memang selama ini mereka tidak menampakkan wujudnya di hadapanku atau Padma, hanya berupa benda yang melayang sendiri atau seseorang yang menyapu di teras. Meski begitu tetap saja itu menakutkan bagi manusia seperti kami. Hal berbeda ditunjukkan Aima yang begitu berani di tengah malam mengintip melalui jendela siapa gerangan yang menyapu atau bersiul.

"Oh ... itu Pak Di. Dia sedang bersiul sambil menyapu, Yah," katanya santai sambil menenangkan kami terutama ibunya yang sudah pucat.

Siapa lagi temannya itu? Aima selalu menyebut temannya dengan Pak atau Bu. Bahkan jika kuingat lagi ada enam penghuni yang tidak tampak tinggal bersama kami saat ini.

"Tenang, Yah, Bu. Mereka tidak mengganggu. Mereka menjaga kita dari makhluk jelek."

Aku kurang memahami perkataan Aima mengenai makhluk jelek itu. Aku akan menanyainya nanti setelah bertemu Pak Umar. Sayangnya, Pak Umar ada acara ceramah di kota lain sehingga mau tidak mau aku harus menunggu hingga lusa.

*****

Keadaan yang tidak memungkinkan di rumah membuatku harus cuti selama dua hari. Kemarin Padma histeris saat melihat Aima bergelantungan di lampu gantung. Penerangan di rumah ini memang dirancang seperti lampu di jaman Belanda yang menggantung. Mana mungkin anak sekecil itu bisa naik atau memanjat. Anehnya lagi menurut Padma, Aima malah tidak takut dan seakan-akan ada sebuah kekuatan yang menurunkannya hingga ke lantai dengan pelan.

"Aima, siapa yang menaikkan Aima di sana?"

Aku segera pulang saat itu saat menerima telepon dari Padma. Sampai di rumah, kuhampiri Aima di kasurnya sambil memeluk boneka.

"Ada makhluk jelek, Yah. Dia menerbangkan Aima. Untung Pak Le dan Bu Jum datang lalu menurunkan Aima,"jawabnya antusias.

Oke ... sepertinya masalah ini semakin serius saja dan harus ditangani. Besok Pak Umar sudah kembali ketika kukabari jika ada hal yang aneh di rumah ini atau Aima. Ah ... entahlah aku ingin segera masalah segera tuntas.

Malam ini aku dibangunkan oleh Padma dengan wajah pucat dan tubuh yang gemetar sambil menunjukkan lemari. Di sana terdengar ocehan Aima dengan gelak tawa seperti ada yang menggodanya. Aku beranjak dari kasur dengan pelan dan berdiri tepat di depan lemari yang tertutup.

"Kenapa Aima tidak boleh beritahu Ayah, Pak Le?"

Tidak ada jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Aima. Sekali lagi Aima berkata dengan pelan.

"Oh ... jadi begitu Bu Jum? Nanti Ayah bakal tahu sama kalian?"

Aku terdiam sejenak. Memangnya aku mengenal teman-temannya Aima? Tetapi siapa mereka?

"Mas, keluarkan Aima dari sana. Aku takut ada sesuatu," bisik Padma ketakutan.

"Aima, keluar, yuk!" Aku membuka pintu lemari dan mendapati Aima yang tersenyum manis ke arah kami.

"Ayah pasti menguping lagi, ya?"

"Iya deh. Ayah mengaku memang menguping," kataku sambil menggendong menuju kasur.

"Itu tidak sopan, Yah. Memangnya Ayah tidak tahu kalau menguping itu tidak sopan?" Aku merasa tersindir oleh perkataan Aima. Saking pandainya bicara, ia bahkan terkadang seperti orang dewasa.

"Iya Ayah minta maaf," timpalku dan merebahkan Aima agar tidur kembali.

"Kata Bu Jum ..."

"Aima sudah, ya. Ini sudah malam. Besok saja ceritanya," tegur Padma menyuruh Aima diam.

"Aish ... Ibu ini ya. Aima mau bicara kok dipotong," protesnya memanyunkan bibir.

Kami sama-sama dibuat bingung oleh tingkah Aima malam ini. Kami menyuruhnya tidur, tetapi saat aku atau ibunya sudah mulai mengantuk. Ia menutup pintu kamar sambil mengucapkan kalimat yang membuat Padma memelukku dari belakang.

"Tolong jaga kami malam ini, ya."

*****

Siang ini sepulangnya sekolah, Aima menunjukkan gelagat aneh. Ia mondar mandir di hadapanku saat diriku menonton berita. Jika Aima seperti itu maka ia ingin bertanya sesuatu.

"Aima mau menanyakan sesuatu?" Aku memanggilnya dan menyuruh duduk sofa agar ia bisa bercerita denganku.

"Yah, kata Ibu guru tadi tiap hewan punya rumah?"

Oh ... jadi ia membahas pelajaran di sekolahnya. Untunglah bukan temannya yang ia bahas sekarang.

"Iya. Tiap hewan yang diciptakan Allah memiliki rumah. Mau hewan kecil atau besar."

"Tapi Yah ..." Ia menatapku dengan bingung. Apa penjelasanku kurang dimengerti olehnya?

"Ada apa, Aima? Kan sudah dijelaskan sama Ibu guru dan Ayah," ungkit Padma yang baru saja selesai mandi.

"Kalau setiap hewan punya rumah. Mengapa dia masih tinggal di sini? Ini 'kan rumahnya Aima."

Aku dan Padma saling pandang menanggapi pertanyaan Aima. Siapa yang dimaksud Aima?"

"Maksud Aima?" tanyaku pelan.

"Itu loh. Ada orang bertanduk mirip hewan, tapi tubuhnya seperti kita sedang duduk di meja makan," jelas Aima secara gamblang.

Namun, aku tidak melihat apapun di sana. Kursinya kosong dan hanya menyisakan deru napas Padma yang sesak. Di saat seperti ini asma Padma kambuh. Di saat bersamaan muncul geraman yang menakutkan, lampu gantung bergoyang dan hembusan kencang menerpa kami. Tanpa pikir panjang lagi, aku menggendong Padma yang diikuti Aima berlari menuju rumah Pak Umar.

*****

Pak Umar beserta tetangga lainnya bergegas mendatangi rumahku sedangkan Padma berada di rumah Pak RW. Si Aima bersikeras untuk ikut karena ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan.

"Sejak kapan anakmu seperti ini, Handoko?" tanya Pak Umar sebelum kami membuka pintu rumahku.

"Sejak kita pindah tiga bulan lalu, Pak."

"Sepertinya makhluk itu sudah lama berada di rumahmu," kata Pak Umar tegas.

Ketika pintu rumahku terbuka, kami dibuat tercengang oleh keadaan yang ada. Kursi maupun meja berada di atas, foto pernikahan terbalik dan ada suara musik yang aku tidak tahu dari mana datangnya.

"Ya Allah ini apa?" Salah satu warga terkejut mendapati suasana dalam rumah begitu dingin padahal udara sedang panasnya.

Kami berenam segera melantunkan doa untuk mengusir dinginnya udara yang menusuk tulang. Aima yang berada dalam gendonganku turut berdoa walau agak terbata-bata. Keadaan seperti ini malah membuatku bangga padanya. Ia tidak pernah takut apapun.

"Ayah, itu Pak Le!" tunjuk Aima mengarah ke dapur.

Kami serempak menoleh dan mendapati sesosok pria paruh baya dengan sorban putih yang warnanya sama dengan pakaian yang dikenakan. Kami tercengang melihat penampakan yang terpampang jelas.

"Kami sudah membersihkan tempat ini. Makhluk itu tidak akan mengganggu kalian lagi, Dimas."

Dimas? Nama itu panggilan kesayangan Kakek di masa kecil dulu. Sebenarnya siapa sosok itu?

"Apa anda Bapak Lekman Supriyanto?"

Dari perkataan Pak Umar, kemungkinan besar beliau mengenal sosok yang memegang tasbih itu karena pria tua itu tersenyum dan menggangguk.

"Alhamdulilah ..." Warga serempak berujar mengucap syukur.

Aku menjadi bingung dengan situasi ini. Apa warga mengenalnya? Aima merosot dari gendonganku dan berjalan ke arah pria tua tersebut.

"Ini Pak Le, Ayah. Pak Le itu saudaranya Kakek Pram. Ayah sudah ingat?" Dengan lugasnya Aima mengatakan hal itu.

Seingatku dulu Kakek memang memiliki adik, tetapi beliau meninggal di tanah Mekkah. Jadi selama ini yang menjadi teman Aima adalah Kakek Pri?

"Di sini kami akan melindungi keluargamu, Dimas."

Di saat itulah mata kami melihat pemandangan yang tidak mungkin bisa dilupakan. Kakek Pri beserta dengan seorang ibu tua dan pria bertopi hitam berdiri di depan kami.

"Makhluk berkepala hewan itu menginginkan anak dalam kandungan istrimu. Namun, sekarang kamu tidak perlu cemas lagi. Ada kami di sini yang selalu melindungi kalian."

Seketika letupan bagai kembang api keluar dan menyisakan asap yang mengelilingi dapur. Saat mata kami membuka, ternyata mereka sudah tidak ada lagi. Warga mengucap syukur karena tidak ada yang terluka.

Lalu bagaimana selanjutnya dengan kisah hidup kami? Gangguan dari makhluk itu sudah tidak ada, tetapi hal yang luar biasa adalah anak keduaku memiliki kemampuan yang sama dengan Aima. Jadi aku dan Padma harus bisa membiasakan diri menerima keadaan anak kami.

=Tamat=

Surabaya, 06 Maret 2020

Ada yang mengalami kisah di atas? Itu adalah kisah dari anak teman saya. Ceritakan pengalamanmu di kolom komentar, GanSizt...
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.