- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#62
Spoiler for Episode 14:
Kosong, memandangi langit-langit kamar yang warnanya tidak akan berubah seberapa lama pun aku menatapnya. Hening, mendengar seisi kamar ini dengan telinga seberapa lama pun aku terdiam.
"Kok ngelamun?"
Aku menoleh ke arah kiri, Renata sudah membuka matanya entah sejak kapan. Senyuman kecil yang hanya ku berikan untuk menjawab pertanyaannya. Ia menggeserkan badannya lebih dekat denganku, lalu ia mengarahkan lenganku untuk jadi bantalan kepalanya.
Dengan jari telunjuk ia menyentuh hidungku pelan, "Kenapa kamu ngelamun?"
"Ngga ada alasan spesifik sih, cuma abis bangun terus ngelamun aja..." ku sentuh dahinya dengan jari telunjukku, "selamat pagi Ren."
Meninggalkan Minggu pagi hanya dengan berbaring di atas kasur dan berbincang, siang pun tiba. Aku dan Renata sedang berada di ruang tamu sambil makan siang, tidak lupa dengan TV yang sudah menyala. Makananku habis terlebih dahulu, ku letakkan piring kotor di tempat cucian lalu ku bersihkan. Kemudian aku kembali ke sofa dengan membawa gelas berisi air dingin.
"Audriuan iutu keunaupa..."
"Jangan ngomong sambil ngunyah Ren..." Aku memotong pembicaraan, "aku ngga ngerti kamu ngomong apa."
Ia tersenyum sambil tetap mengunyah makanannya, "Nah udah nih. Tadi aku mau nanya kenapa dia bisa jadi kayak gitu? Aku masih ngga ngerti."
"Oh jadi si..."
Perbincangan tentang film yang sedang kami tonton pun berlanjut, bagaimana aku menjelaskan tentang alur cerita yang memang bagi orang yang pertama kali menontonnya akan merasa kebingungan. Birdman, adalah film yang sedang kami bahas dan aku merekomendasikan kalian untuk menonton film itu juga.
Setelah makan siang dan istirahat sejenak, kami pun berangkat bersama dengan Syailendra. Butuh waktu lebih lama karena jalanan sudah terisi penuh oleh kendaraan-kendaraan lain untuk tiba di kedai yang bersebelahan dengan Gereja tempat Renata ibadah. Suasana tidak terlalu ramai. Setelah memesan, dengan bersamaan kami menuju rak buku untuk mencari-cari buku. Setelah menemukan buku yang ingin kami baca, kami pun beranjak ke sebuah meja dengan dua bangku yang berhadapan dekat dengan jendela.
Kami mulai membaca buku masing-masing, pesanan pun sudah diantarkan oleh pelayan kedai ini. Sesekali aku melihat ke arah Renata tanpa ia sadari, entah kenapa hal seperti itu saja bisa membuatku tersenyum. Beberapa waktu sudah berlalu, aku masih membaca buku tersebut.
"Eh Adrian, aku ke sebelah dulu ya..." Renata memberikan buku yang ia baca kepadaku, "udah mau mulai. Kamu tunggu di sini dulu ya, nanti aku ke sini lagi."
Aku mengangguk lalu tersenyum, Renata pun meninggalkan kedai ini menuju ke Gereja di sebelah. Mataku mengikuti kemana ia melangkah, dan sempat-sempatnya ia berhenti lalu tersenyum sambil melambaikan tangan kepadaku lewat kaca jendela. Aku kembali tersenyum melihat tingkah lakunya.
"Loh Mas tadi bukannya berdua?..." pelayan kedai ini menghampiriku, "kok sekarang sendiri? Pacarnya kemana Mas?"
Aku menoleh ke arah pelayan tersebut dengan cepat, "Pacar? Oh iya dia ke Gereja sebelah lagi ibadah."
"Oh Gereja sebelah, Mas sendiri ngga ikut ibadah?" Tanya pelayan tersebut.
Aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan itu, dan nampaknya pelayan itu mengerti maksud dari senyumanku.
"Aduh, maaf Mas saya ngga sopan udah nanya-nanya." Katanya.
"Nggapapa kok Mas santai aja." Jawabku.
"Kalau Mas ngga keberatan..." ia menuju rak buku lalu mengambil sebuah buku, "mungkin Mas mau baca ini, atau kalau ngga juga nggapapa. Gelas kosong ini saya ambil ya."
Aku cukup terkejut dengan buku yang baru saja ia berikan. Sedari tadi aku mencari-cari buku untuk ku baca, aku tidak menemukan buku yang ada di hadapanku kini. Aku beranjak menuju tempat pelayan itu berada, ia nampak merasa bersalah melihatku datang menghampirinya.
"Eh Mas saya kurang ajar ya? Maaf Mas..."
"Loh kenapa Mas?..." Aku menepuk pundaknya pelan, "saya cuma mau nanya, buku ini boleh saya pinjem dulu ngga? Kalau boleh saya mau pesen lagi."
Perbincangan singkat terjadi, aku diperbolehkan untuk membawa pulang buku ini. Pesanan kedua ku pun tiba, aku mulai membaca buku ini secara perlahan. Beberapa kalimat pertama dari buku ini sudah berhasil membuat isi kepalaku hancur berantakan. Aku terdiam beberapa saat, nampak seperti orang yang baru saja terkena hipnotis. Aku mencoba kembali bersikap biasa hingga aku memutuskan untuk memasukkan buku tersebut ke dalam tas.
Tak terasa sore sudah tiba, pintu kedai ini terbuka lalu Renata masuk ke dalam selagi aku sibuk dengan handphone.
"Kamu ngeliatin apa?" Tanya Renata.
"Eh udah selesai?..." Aku menatap Renata, "ini lagi liat-liat memeaja. Mau langsung pulang?"
Renata menyetujuinya, aku pun bersiap-siap untuk meninggalkan kedai ini. Aku menyempatkan diri untuk menghampiri pelayan yang tadi. Kami pun berjabat tangan, "Terima kasih ya Mas."
Pelayan itu menganggukkan kepalanya, kami pun meninggalkan tempat ini. Aku sedang mengenakan helm kepada Renata, "Kamu kenal sama pelayan tadi? Kok sampai salaman gitu?"
Ctek! Helm sudah terpasang aman di kepala Renata, "Ngga kok, aku kan baru ke sini dua kali."
Mungkin Renata masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dan aku membiarkannya saja. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah Renata. Beberapa menit melalui jalanan yang masih ramai dengan kendaraan-kendaraan, akhirnya kami pun tiba.
Pintu gerbang terbuka dari dalam, Renata menyuruhku untuk memasukkan Syailendra ke dalam. Ku matikan mesin motor begitu tiba, Renata turun terlebih dahulu.
"Papa sama Mama ada?" Tanya Renata.
"Pak Rudi ada Mba di dalam, kalau Mas Ari sama Ibu lagi keluar tadi." Jawab orang yang membukakan pintu gerbang.
Pintu rumah terbuka dari dalam, keluarlah Papanya Renata. Dengan cepat aku menghampirinya lalu memberikan salam, Renata menyusul dari belakang.
"Adrian, duduk sini..." Ia menunjuk kursi untuk ku duduki, 'Kakak, bikinin Adrian minum."
"Eh ngga usah Om..."
"Udah nggapapa..." Renata memotong pembicaraanku, "aku sekalian ganti baju dulu ya."
Renata masuk ke dalam, aku pun duduk setelah Papanya duduk terlebih dahulu. Kemudian ia menawarkan rokok kepadaku, aku bersikap sopan menolaknya dengan menunjukkan bungkus rokok yang ku bawa. Kami pun menyalakan rokok masing-masing.
"Adrian, Om mau tanya..." dengan cepat aku menegakkan posisi dudukku, "gimana caranya kamu bisa bikin Renata sebahagia itu?"
"Maksudnya gimana Om?" Kataku dengan bingung.
Papanya Renata melirik ke arah pintu rumah, mungkin untuk memastikan sesuatu. Kemudian ia menyentuh tanganku beberapa kali, "Om ngga tau deh kalau Renata udah pernah cerita atau belum. Renata udah pernah cerita soal mantan-mantannya?"
"Sejauh ini belum sih Om." Jawabku.
"Kamu ngga penasaran?" Tanya Papanya lagi.
"Kalau Renata mau cerita pasti saya dengerin Om, tapi kalau emang dia ngga mau cerita pun saya ngga akan maksa dia. Begitu pun saya ke dia, kalau dia nanya bakalan saya jawab." Jelasku.
Papanya mengangguk beberapa kali, ia kembali menghisap rokoknya. Kemudian ia menatapku, "Mungkin om akan cerita sedikit aja kali ya soal Renata. Jadi kenapa tadi Om nanya soal itu karena Om heran sama tingkah laku Renata, ada yang berubah dari dia setelah kenal sama kamu."
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang ia bicarakan, "Terakhir kali Renata patah hati, dia bisa kembali normal dalam waktu yang lama. Om, Tante, sama Ari udah coba buat hibur dia tapi ngga bisa juga. Kemudian dia kembali normal dan suka sama laki-laki lain, terakhir sebelum kamu. Namanya anak muda ya pasti bisa sakit hati lagi. Awalnya pun kacau ketika dia baru patah hati lagi, dan kemudian ketemu kamu. Waktu singkat, dan bukan kembali normal lagi tapi dia lebih ceria dari biasanya. Makanya Om heran sama kamu, gimana caranya kamu bisa bikin dia ceria lagi."
"Jujur aja sih Om, saya ngga punya cara apa-apa. Dan maksudnya pas saya ketemu Renata pun keliatan biasa-biasa aja, atau mungkin dia emang ngga mau nampilin itu ke saya." Jelasku.
Pintu terbuka, keluarlah Renata membawakan minum untukku dan juga Papanya. Renata belum sempat untuk duduk, "Kak tolong ambilin handphone Papa di kamar."
Renata kembali masuk ke dalam rumah, "Tapi om ikut seneng kalau emang Renata bisa lebih ceria setelah ketemu kamu."
Aku hanya mengangguk beberapa kali, tak lama berselang Renata kembali dari dalam rumah. Perbincangan mengenai bisnis mulai dibicarakan oleh Papanya untuk mengalihkan pembicaraan kami yang sebelumnya. Malam semakin larut, aku memutuskan untuk kembali menuju rumah. Setelah berpamitan dengan Renata dan juga Papanya, aku meninggalkan rumah ini. Baru saja beberapa meter aku keluar, aku melihat mobil Ari. Ia pun menyadari bahwa itu adalah aku, ia membuka kaca jendela lalu memanggil namaku. Aku hanya bisa melambaikan tangan dan tetap berlalu kembali ke rumah.
Ari dan juga Mamanya Renata keluar dari dalam mobil, masih ada Renata dan Papanya di teras rumah.
"Ka, Bang Adrian dari kapan di sini?" Tanya Ari.
"Udah lumayan lama." Jawabnya.
"Motornya keren banget, sayang belum sempet nyobain." Kata Ari.
"Adrian? Siapa itu Ren?" Tanya Mamanya.
Meninggalkan pembicaraan keluarga mereka, jalanan malam ini tidak seramai tadi sore. Beberapa jam di perjalanan hingga aku tiba di rumah. Kegiatan yang selalu sama, namun kali ini ada yang berbeda. Ada sebuah buku yang ku letakkan dengan sengaja di atas meja, sebuah buku rekomendasi dari pelayan kedai yang tadi ku sambangi.
Dan aku memutuskan untuk meninggalkan buku itu, lalu aku beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuhku. Rasanya cukup untuk hari ini, aku tidak mau membebani diriku sendiri. Biarkan ini berjalan untuk sementara...
...atau selamanya.
*
"Lagian dateng tiba-tiba, salah gue juga sih pas lagi buka jendela sambil ngerokok. Abis itu gue bilang aja 200 ribu deh, eh malah ditoyor kepala gue." Ucap Ferdi.
"Gobl*k, semurah-murahnya l*nte di daerah situ ngga bakalan dapet lah 200, belagak gila lu." Kataku.
Ferdi pun tertawa setelah itu, aku pun juga ikut tertawa. Kembali setelah liburan, kami mulai bercerita mengenai kegiatan kami pada siang ini. Bella pun sudah menceritakan bagaimana liburannya, dan sekarang ia sedang beristirahat di halaman belakang.
"Terus gimana sama Renata?" Tanya Ferdi.
"Nah iya tuh Mas..." Bella masuk menghampiri kami, "aku juga penasaran hubungan Mas Adrian sama Mba Renata."
"Giliran ngomongin ini aja ada kamu Bel." Kata Ferdi.
"Ya gimana Bang emang beneran penasaran kok." Ucap Bella.
Aku menggelengkan kepala beberapa kali, "Kan udah dibilang ngga ada apa-apa. Lagian emang kenapa kalian sebegitu penasarannya?"
"Yaampun belagak polos lagi. Eh gue kasih tau ya Adrian Prawira, gue udah kenal sama lu jadi gue tau ciri-ciri lu suka sama cewe. Udah lah ngga usah ditutup-tutupin." Kata Ferdi.
"Segala sebut nama lengkap..." Aku berjalan menjauhi mereka, "udah ah gue mau istirahat dulu, enjoy."
Aku duduk dengan tangan kanan memegang gelas berisi air, ku letakkan di atas meja. Ku nyalakan sebatang rokok pada siang ini, angin pun berhembus menambah kenyamanan di halaman belakang ini. Pintu terbuka dari dalam, kemudian muncul kepala Ferdi melihat ke arahku.
"Eh..."
"Apa sih..." Aku memotong pembicaraannya, "nanya mulu udah kayak nyontek ujian."
"Bangs*t! Dengerin dulu, ada yang nyariin lu tuh om-om." Katanya.
"Edan, sejak kapan gue punya hubungan dengan om-om? Gue masih normal Fer." Jawabku.
Ferdi tertawa, "Anj*ng! Jijik gue dengernya, tapi serius itu ada yang nyariin lu. Inget ngga yang waktu itu nyebut nama lu tapi lu ngga kenal? Dia tuh orangnya."
Ku matikan rokok yang masih panjang, kemudian aku kembali masuk ke dalam. Dan dugaanku benar saja, aku melihat Papanya Renata kembali datang ke kedai ini. Aku memberi salam padanya, aku mempersilahkannya untuk memesan minuman namun aku tidak mempersilahkannya untuk membayar. Sempat terjadi perdebatan singkat, hingga akhirnya aku memenangkan debat tersebut.
Kami pun beranjak menuju meja yang ada di luar, lalu kami duduk berhadapan. Dengan mencoba untuk santai, kami menyalakan rokok kami masing-masing.
"Om lagi ada urusan di deket sini?" Tanyaku.
"Ngga sih, cuma emang lagi santai aja di kantor. Terus yaudah Om mampir aja deh ke sini." Jawabnya.
Papanya Renata cukup penasaran dengan kedai ini, ia mulai menanyakan tentang kedai ini. Pesanan pun sudah disajikan di atas meja.
"Oh pantes Renata suka sama minuman ini, ternyata emang enak." Ucapnya.
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Terima kasih Om."
"Kamu lagi gantian istirahat apa gimana?" Tanyanya.
"Iya Om, jadi jam 12 siang waktunya Bella yang istirahat. Jeda satu jam baru saya yang istirahat." Kataku.
"Kamu udah salat?"
"Oh ud..."
.
.
(Buku yang direkomendasikan oleh pelayan kedai)
"Sesungguhnya wanita yang seiman dengan kamu lebih baik daripada wanita yang tidak seiman dengan kamu, walaupun ia menarik hatimu."
(Beda Tapi Cinta. Rhesy Rangga & Stanley Meulen.)
***
"Kok ngelamun?"
Aku menoleh ke arah kiri, Renata sudah membuka matanya entah sejak kapan. Senyuman kecil yang hanya ku berikan untuk menjawab pertanyaannya. Ia menggeserkan badannya lebih dekat denganku, lalu ia mengarahkan lenganku untuk jadi bantalan kepalanya.
Dengan jari telunjuk ia menyentuh hidungku pelan, "Kenapa kamu ngelamun?"
"Ngga ada alasan spesifik sih, cuma abis bangun terus ngelamun aja..." ku sentuh dahinya dengan jari telunjukku, "selamat pagi Ren."
Meninggalkan Minggu pagi hanya dengan berbaring di atas kasur dan berbincang, siang pun tiba. Aku dan Renata sedang berada di ruang tamu sambil makan siang, tidak lupa dengan TV yang sudah menyala. Makananku habis terlebih dahulu, ku letakkan piring kotor di tempat cucian lalu ku bersihkan. Kemudian aku kembali ke sofa dengan membawa gelas berisi air dingin.
"Audriuan iutu keunaupa..."
"Jangan ngomong sambil ngunyah Ren..." Aku memotong pembicaraan, "aku ngga ngerti kamu ngomong apa."
Ia tersenyum sambil tetap mengunyah makanannya, "Nah udah nih. Tadi aku mau nanya kenapa dia bisa jadi kayak gitu? Aku masih ngga ngerti."
"Oh jadi si..."
Perbincangan tentang film yang sedang kami tonton pun berlanjut, bagaimana aku menjelaskan tentang alur cerita yang memang bagi orang yang pertama kali menontonnya akan merasa kebingungan. Birdman, adalah film yang sedang kami bahas dan aku merekomendasikan kalian untuk menonton film itu juga.
Setelah makan siang dan istirahat sejenak, kami pun berangkat bersama dengan Syailendra. Butuh waktu lebih lama karena jalanan sudah terisi penuh oleh kendaraan-kendaraan lain untuk tiba di kedai yang bersebelahan dengan Gereja tempat Renata ibadah. Suasana tidak terlalu ramai. Setelah memesan, dengan bersamaan kami menuju rak buku untuk mencari-cari buku. Setelah menemukan buku yang ingin kami baca, kami pun beranjak ke sebuah meja dengan dua bangku yang berhadapan dekat dengan jendela.
Kami mulai membaca buku masing-masing, pesanan pun sudah diantarkan oleh pelayan kedai ini. Sesekali aku melihat ke arah Renata tanpa ia sadari, entah kenapa hal seperti itu saja bisa membuatku tersenyum. Beberapa waktu sudah berlalu, aku masih membaca buku tersebut.
"Eh Adrian, aku ke sebelah dulu ya..." Renata memberikan buku yang ia baca kepadaku, "udah mau mulai. Kamu tunggu di sini dulu ya, nanti aku ke sini lagi."
Aku mengangguk lalu tersenyum, Renata pun meninggalkan kedai ini menuju ke Gereja di sebelah. Mataku mengikuti kemana ia melangkah, dan sempat-sempatnya ia berhenti lalu tersenyum sambil melambaikan tangan kepadaku lewat kaca jendela. Aku kembali tersenyum melihat tingkah lakunya.
"Loh Mas tadi bukannya berdua?..." pelayan kedai ini menghampiriku, "kok sekarang sendiri? Pacarnya kemana Mas?"
Aku menoleh ke arah pelayan tersebut dengan cepat, "Pacar? Oh iya dia ke Gereja sebelah lagi ibadah."
"Oh Gereja sebelah, Mas sendiri ngga ikut ibadah?" Tanya pelayan tersebut.
Aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan itu, dan nampaknya pelayan itu mengerti maksud dari senyumanku.
"Aduh, maaf Mas saya ngga sopan udah nanya-nanya." Katanya.
"Nggapapa kok Mas santai aja." Jawabku.
"Kalau Mas ngga keberatan..." ia menuju rak buku lalu mengambil sebuah buku, "mungkin Mas mau baca ini, atau kalau ngga juga nggapapa. Gelas kosong ini saya ambil ya."
Aku cukup terkejut dengan buku yang baru saja ia berikan. Sedari tadi aku mencari-cari buku untuk ku baca, aku tidak menemukan buku yang ada di hadapanku kini. Aku beranjak menuju tempat pelayan itu berada, ia nampak merasa bersalah melihatku datang menghampirinya.
"Eh Mas saya kurang ajar ya? Maaf Mas..."
"Loh kenapa Mas?..." Aku menepuk pundaknya pelan, "saya cuma mau nanya, buku ini boleh saya pinjem dulu ngga? Kalau boleh saya mau pesen lagi."
Perbincangan singkat terjadi, aku diperbolehkan untuk membawa pulang buku ini. Pesanan kedua ku pun tiba, aku mulai membaca buku ini secara perlahan. Beberapa kalimat pertama dari buku ini sudah berhasil membuat isi kepalaku hancur berantakan. Aku terdiam beberapa saat, nampak seperti orang yang baru saja terkena hipnotis. Aku mencoba kembali bersikap biasa hingga aku memutuskan untuk memasukkan buku tersebut ke dalam tas.
Tak terasa sore sudah tiba, pintu kedai ini terbuka lalu Renata masuk ke dalam selagi aku sibuk dengan handphone.
"Kamu ngeliatin apa?" Tanya Renata.
"Eh udah selesai?..." Aku menatap Renata, "ini lagi liat-liat memeaja. Mau langsung pulang?"
Renata menyetujuinya, aku pun bersiap-siap untuk meninggalkan kedai ini. Aku menyempatkan diri untuk menghampiri pelayan yang tadi. Kami pun berjabat tangan, "Terima kasih ya Mas."
Pelayan itu menganggukkan kepalanya, kami pun meninggalkan tempat ini. Aku sedang mengenakan helm kepada Renata, "Kamu kenal sama pelayan tadi? Kok sampai salaman gitu?"
Ctek! Helm sudah terpasang aman di kepala Renata, "Ngga kok, aku kan baru ke sini dua kali."
Mungkin Renata masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dan aku membiarkannya saja. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah Renata. Beberapa menit melalui jalanan yang masih ramai dengan kendaraan-kendaraan, akhirnya kami pun tiba.
Pintu gerbang terbuka dari dalam, Renata menyuruhku untuk memasukkan Syailendra ke dalam. Ku matikan mesin motor begitu tiba, Renata turun terlebih dahulu.
"Papa sama Mama ada?" Tanya Renata.
"Pak Rudi ada Mba di dalam, kalau Mas Ari sama Ibu lagi keluar tadi." Jawab orang yang membukakan pintu gerbang.
Pintu rumah terbuka dari dalam, keluarlah Papanya Renata. Dengan cepat aku menghampirinya lalu memberikan salam, Renata menyusul dari belakang.
"Adrian, duduk sini..." Ia menunjuk kursi untuk ku duduki, 'Kakak, bikinin Adrian minum."
"Eh ngga usah Om..."
"Udah nggapapa..." Renata memotong pembicaraanku, "aku sekalian ganti baju dulu ya."
Renata masuk ke dalam, aku pun duduk setelah Papanya duduk terlebih dahulu. Kemudian ia menawarkan rokok kepadaku, aku bersikap sopan menolaknya dengan menunjukkan bungkus rokok yang ku bawa. Kami pun menyalakan rokok masing-masing.
"Adrian, Om mau tanya..." dengan cepat aku menegakkan posisi dudukku, "gimana caranya kamu bisa bikin Renata sebahagia itu?"
"Maksudnya gimana Om?" Kataku dengan bingung.
Papanya Renata melirik ke arah pintu rumah, mungkin untuk memastikan sesuatu. Kemudian ia menyentuh tanganku beberapa kali, "Om ngga tau deh kalau Renata udah pernah cerita atau belum. Renata udah pernah cerita soal mantan-mantannya?"
"Sejauh ini belum sih Om." Jawabku.
"Kamu ngga penasaran?" Tanya Papanya lagi.
"Kalau Renata mau cerita pasti saya dengerin Om, tapi kalau emang dia ngga mau cerita pun saya ngga akan maksa dia. Begitu pun saya ke dia, kalau dia nanya bakalan saya jawab." Jelasku.
Papanya mengangguk beberapa kali, ia kembali menghisap rokoknya. Kemudian ia menatapku, "Mungkin om akan cerita sedikit aja kali ya soal Renata. Jadi kenapa tadi Om nanya soal itu karena Om heran sama tingkah laku Renata, ada yang berubah dari dia setelah kenal sama kamu."
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang ia bicarakan, "Terakhir kali Renata patah hati, dia bisa kembali normal dalam waktu yang lama. Om, Tante, sama Ari udah coba buat hibur dia tapi ngga bisa juga. Kemudian dia kembali normal dan suka sama laki-laki lain, terakhir sebelum kamu. Namanya anak muda ya pasti bisa sakit hati lagi. Awalnya pun kacau ketika dia baru patah hati lagi, dan kemudian ketemu kamu. Waktu singkat, dan bukan kembali normal lagi tapi dia lebih ceria dari biasanya. Makanya Om heran sama kamu, gimana caranya kamu bisa bikin dia ceria lagi."
"Jujur aja sih Om, saya ngga punya cara apa-apa. Dan maksudnya pas saya ketemu Renata pun keliatan biasa-biasa aja, atau mungkin dia emang ngga mau nampilin itu ke saya." Jelasku.
Pintu terbuka, keluarlah Renata membawakan minum untukku dan juga Papanya. Renata belum sempat untuk duduk, "Kak tolong ambilin handphone Papa di kamar."
Renata kembali masuk ke dalam rumah, "Tapi om ikut seneng kalau emang Renata bisa lebih ceria setelah ketemu kamu."
Aku hanya mengangguk beberapa kali, tak lama berselang Renata kembali dari dalam rumah. Perbincangan mengenai bisnis mulai dibicarakan oleh Papanya untuk mengalihkan pembicaraan kami yang sebelumnya. Malam semakin larut, aku memutuskan untuk kembali menuju rumah. Setelah berpamitan dengan Renata dan juga Papanya, aku meninggalkan rumah ini. Baru saja beberapa meter aku keluar, aku melihat mobil Ari. Ia pun menyadari bahwa itu adalah aku, ia membuka kaca jendela lalu memanggil namaku. Aku hanya bisa melambaikan tangan dan tetap berlalu kembali ke rumah.
Ari dan juga Mamanya Renata keluar dari dalam mobil, masih ada Renata dan Papanya di teras rumah.
"Ka, Bang Adrian dari kapan di sini?" Tanya Ari.
"Udah lumayan lama." Jawabnya.
"Motornya keren banget, sayang belum sempet nyobain." Kata Ari.
"Adrian? Siapa itu Ren?" Tanya Mamanya.
Meninggalkan pembicaraan keluarga mereka, jalanan malam ini tidak seramai tadi sore. Beberapa jam di perjalanan hingga aku tiba di rumah. Kegiatan yang selalu sama, namun kali ini ada yang berbeda. Ada sebuah buku yang ku letakkan dengan sengaja di atas meja, sebuah buku rekomendasi dari pelayan kedai yang tadi ku sambangi.
Dan aku memutuskan untuk meninggalkan buku itu, lalu aku beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuhku. Rasanya cukup untuk hari ini, aku tidak mau membebani diriku sendiri. Biarkan ini berjalan untuk sementara...
...atau selamanya.
*
"Lagian dateng tiba-tiba, salah gue juga sih pas lagi buka jendela sambil ngerokok. Abis itu gue bilang aja 200 ribu deh, eh malah ditoyor kepala gue." Ucap Ferdi.
"Gobl*k, semurah-murahnya l*nte di daerah situ ngga bakalan dapet lah 200, belagak gila lu." Kataku.
Ferdi pun tertawa setelah itu, aku pun juga ikut tertawa. Kembali setelah liburan, kami mulai bercerita mengenai kegiatan kami pada siang ini. Bella pun sudah menceritakan bagaimana liburannya, dan sekarang ia sedang beristirahat di halaman belakang.
"Terus gimana sama Renata?" Tanya Ferdi.
"Nah iya tuh Mas..." Bella masuk menghampiri kami, "aku juga penasaran hubungan Mas Adrian sama Mba Renata."
"Giliran ngomongin ini aja ada kamu Bel." Kata Ferdi.
"Ya gimana Bang emang beneran penasaran kok." Ucap Bella.
Aku menggelengkan kepala beberapa kali, "Kan udah dibilang ngga ada apa-apa. Lagian emang kenapa kalian sebegitu penasarannya?"
"Yaampun belagak polos lagi. Eh gue kasih tau ya Adrian Prawira, gue udah kenal sama lu jadi gue tau ciri-ciri lu suka sama cewe. Udah lah ngga usah ditutup-tutupin." Kata Ferdi.
"Segala sebut nama lengkap..." Aku berjalan menjauhi mereka, "udah ah gue mau istirahat dulu, enjoy."
Aku duduk dengan tangan kanan memegang gelas berisi air, ku letakkan di atas meja. Ku nyalakan sebatang rokok pada siang ini, angin pun berhembus menambah kenyamanan di halaman belakang ini. Pintu terbuka dari dalam, kemudian muncul kepala Ferdi melihat ke arahku.
"Eh..."
"Apa sih..." Aku memotong pembicaraannya, "nanya mulu udah kayak nyontek ujian."
"Bangs*t! Dengerin dulu, ada yang nyariin lu tuh om-om." Katanya.
"Edan, sejak kapan gue punya hubungan dengan om-om? Gue masih normal Fer." Jawabku.
Ferdi tertawa, "Anj*ng! Jijik gue dengernya, tapi serius itu ada yang nyariin lu. Inget ngga yang waktu itu nyebut nama lu tapi lu ngga kenal? Dia tuh orangnya."
Ku matikan rokok yang masih panjang, kemudian aku kembali masuk ke dalam. Dan dugaanku benar saja, aku melihat Papanya Renata kembali datang ke kedai ini. Aku memberi salam padanya, aku mempersilahkannya untuk memesan minuman namun aku tidak mempersilahkannya untuk membayar. Sempat terjadi perdebatan singkat, hingga akhirnya aku memenangkan debat tersebut.
Kami pun beranjak menuju meja yang ada di luar, lalu kami duduk berhadapan. Dengan mencoba untuk santai, kami menyalakan rokok kami masing-masing.
"Om lagi ada urusan di deket sini?" Tanyaku.
"Ngga sih, cuma emang lagi santai aja di kantor. Terus yaudah Om mampir aja deh ke sini." Jawabnya.
Papanya Renata cukup penasaran dengan kedai ini, ia mulai menanyakan tentang kedai ini. Pesanan pun sudah disajikan di atas meja.
"Oh pantes Renata suka sama minuman ini, ternyata emang enak." Ucapnya.
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Terima kasih Om."
"Kamu lagi gantian istirahat apa gimana?" Tanyanya.
"Iya Om, jadi jam 12 siang waktunya Bella yang istirahat. Jeda satu jam baru saya yang istirahat." Kataku.
"Kamu udah salat?"
"Oh ud..."
.
.
(Buku yang direkomendasikan oleh pelayan kedai)
"Sesungguhnya wanita yang seiman dengan kamu lebih baik daripada wanita yang tidak seiman dengan kamu, walaupun ia menarik hatimu."
(Beda Tapi Cinta. Rhesy Rangga & Stanley Meulen.)
***
Diubah oleh beavermoon 06-03-2020 14:13
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas