- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#264
Part 14 End of Story
Wrecked - Imagine Dragons
Spoiler for :
BRAKK!! BRUKK!! BUGG!! BUGG!! BLETAKK!!
"woi anjinggg.. Sekali lagi gua tau lu nyakitin Dhara, atau bikin dia nangis lagi kaya gini, gua jamin muka lu bakal jauh lebih ganteng dari ini.. "
Laki laki brengsek yang saat ini wajahnya sedang ku 'dandani' ini namanya Ramon. Bocah geblek ini selain brengsek ternyata juga nggak tahu diri, bisa bisanya udah punya pacar cantik dan gemesin seperti Dhara masih aja sempet main serong dengan cewek lain. Nggak cuma itu, si kampret satu ini ternyata juga lempeng banget gunain tangannya buat nyakitin cewek imut seperti Dhara. Sesuatu yang jelas amat sangat bertolak belakang dengan sifatku sebagai seorang lelaki yang lemah lembut, apalagi pada seorang wanita. Dia nggak tau aja seberapa sangarnya Dhara dimasa depan, bakalan dipatahin duluan mungkin tuh tangan kalau mau nampar Dhara seperti yang baru saja aku saksikan.
Dari awal sebenarnya aku memang kurang setuju saat mengetahui kalau sahabatku itu menjalin hubungan dengan si Ramon geblek brengsek sialan ini. Karena yang aku tahu nyaris nggak ada satu hal pun yang bisa dibanggakan darinya. Okelah dia ganteng, keren, dan sepertinya juga tajir. Tapi apa emang dia doang yang ganteng, keren bin tajir? Kalo diliat liat nih, aku juga nggak jelek jelek amat kok, tampang ku juga lumayanlah walau nggak bisa dibilang keren banget. Dan lagi, walau aku juga bukan anak orang kaya, tapi setidaknya untuk mentraktir Dhara sepiring batagor dan segelas pop es setiap hari sambil menghabiskan sore dipinggiran sungai Mahakam aku juga masih sanggup kok. Makanya aku sedikit heran sekaligus kesal saat tau Dhara lebih memilih berpacaran dengan si Ramon kampret ini daripada denganku, pemuda tampan yang sudah cukup lama ia kenal. Meski aku juga belum berani 'nembak' dia secara langsung sih. Tapi harusnya dia ngerti lah, kalau dibalik perhatian kecilku, dibalik sedikit kejahilan ku, dan diantara semua guyonan receh ku, ada sebuah perasaan yang terselip untuknya. Harusnya dia tau kalau aku menginginkannya lebih dari seorang sahabat, bukannya malah pacaran sama nih kampret satu. Yang pada akhirnya hanya bisa membuatnya meneteskan airmata.
BUUUGGG!!
"apa lu liat liat? udah buruan minggat sono lu.. "
Setelah menyelesaikan urusanku dengan si Ramon keparat ini, aku kemudian berjalan menghampiri Dhara yang masih menangis. Sedikit memberikan hiburan baginya setelah kejadian tidak mengenakkan yang baru saja dia alami. Aku memeluk tubuhnya, mencoba membiarkan dia menangis di pelukanku. Nggak cukup peduli meski saat ini wajahku juga mulai terasa nyut nyutan setelah adu pukul tadi. Sekalian cari kesempatan juga sih, jarang jarang aku bisa memeluknya seperti ini. Biasanya baru mau deketin aja udah keburu digaplok.
"hiks.. hiks.. hiks.. " Ucapnya terisak, dengan bahuku yang kini ia jadikan sandaran.
"udah ya raa.. " Balasku sembari mengelus pelan punggungnya. "cowok modelan begitu mah gapantes banget buat ditangisin.. "
"hiks.. hiks.. "
"lo itu cantik, manis, pinter, masih ada hal yang jauh lebih baik yang bisa lo lakuin daripada cuman nangisin dia.. "
"Hu.. huu.. huu.. "
"lo masih punya banyak temen, lo masih punya gua ra, gua sebagai sobat terbaik lo nggak akan biarin lo disakitin kaya gitu lagi. Apalagi sama laki laki banci kaya dia.. " Lanjut ku setengah keenakan mengelus punggungnya. "anjing emang, berani beraninya dia nyakitin sahabat gua.. "
"huaa.. huaaa.. Irfaann.. huu.. huu.. "
"eh, malah makin kenceng nangisnya nih bocah.. " Ucapku sambil terus mencoba menenangkannya. "gua salah ngomong ya? "
"hiks.. hiks.. engga sih. "
"lha terus? "
"hiks.. ehe.. kaki gue lo injek Irfaaann.. "
Aku buru buru menyingkirkan kakiku yang menindih kakinya. Keasikan berada di dekatnya dan memeluknya membuatku nggak menyadari kalau sedari tadi tapak kaki mungilnya terinjak oleh tapak kakiku yang semok. Entah sudah berapa lama kaki kita dalam posisi begini, tapi lumayanlah berkat kebodohanku itu akhirnya disela sela tangisnya, Dhara ternyata masih sempat tersenyum.
"eh.. hehe. " Ucapku tertawa sambil menggaruk kepala yang sebenarnya sama sekali nggak gatal. "nggak bilang daritadi sih.. "
"ah, lo emang bisanya ngerusak suasana doang fan.. "
"hehe, yaudah pulang yok ra. Dah malem ini, ga baek anak perempuan jam segini masih keluyuran. "
"hehe, capek gue fan. Abis nangis.. "
"lah, terus? "
"ehm, minta gendoong.. "
"ah ogah, lo kira gua juga nggak capek apa abis gebukin orang.. "
"halaah, gaya gayaan lo. " Sergahnya. "padahal gue tau, sebenernya lo seneng kan? Kapan lagi cowok jelek kaya elo bisa gendong cewe cantik kaya gue.. "
"pede banget sih lo ra.." Sahut ku. "gua kasih tau nih yaa. Jangan mentang mentang lo cantik terus semua orang bisa nurutin semua kemauan lo, jangan mentang mentang gua jelek terus bisa lo manfaatin dan lo suruh suruh sesuka hati lo, dan jangan ment.. "
"halaah, banyak omong lo fan. Intinya lo mau ga gendong gue? "
"yaa.. mau sih.. " Jawabku polos dan nurut, mirip kebo yang di cucuk idungnya.
"huu dah keliatan tau fan dari muka lo, ahaha dasarr.. " Dia tertawa cukup lepas meski masih ada bintik air di matanya. Lalu menjulurkan tangan agar aku bisa membantunya berdiri.
Aku akhirnya menggendongnya di punggungku, membawa tubuhnya berjalan menyusuri gelapnya malam. Cukup menyenangkan meski beban tubuhnya juga nggak bisa dianggep enteng, tapi kapan lagi aku bisa menggendongnya seperti ini. Kapan lagi bisa merasakan sensasi wangi tubuhnya yang bercampur dengan aroma keringatku.
Kita berdua hanya bisa tersenyum saat beberapa kali mendapati pandangan aneh dari orang orang yang kebetulan berpapasan dengan kami. Heran mungkin melihat cowok biasa aja (kalo gak bisa disebut jelek), babak belur pula, sedang menggendong seorang cewek cantik yang matanya sembab oleh airmata. Yaa untungnya sih kita nggak sampai berpapasan dengan satpol PP yang sedang patroli, bisa digelandang terus dinikahin paksa kita. (Meski akhirnya dimasa depan kita menikah, tapi bukan karena terpaksa ya, apalagi gara gara digelandang satpol PP.)
"raa.. " Aku membuka obrolan, masih sambil berjalan menggendongnya.
"hmm.. "
"kalau gua yang jadi cowok lo nih ya, gua nggak akan biarin satu tetes pun airmata lo jatuh.. "
"haha, gue yang ogah fan punya cowok kaya lo.. " Katanya spontan. "Ganteng enggak, kaya juga enggak, suka modus pula ahaha..."
"haha sialan lo.. " Ucapku sambil tersenyum. "tapi jangan salah ra, gini gini gua juga banyak yang suka tau. Tuh temen lo si Marcella itu, belakangan makin nempel aja sama gua.. "
"haha yaudah, pacaran aja sama dia.. " Ucapnya sambil sedikit menjitak kepalaku. "itung itung perbaikin keturunan.. "
"haha sialan, emang gua sejelek itu apa.. "
"hehe lo ga jelek kok fan, cuma tampang lo dibawah standar aja.. "
"sama aja kali raa haha.. "
"haha, tapi makasih banget ya fan.. "
"makasih buat? "
"ya buat semua ini, lo kan udah bela belain kesini buat nolongin gue. Udah rela muka lo yang sebenarnya ga seberapa itu jadi makin sulit dikenali buat bantuin gue.. "
"akhirannya kok tetep aja ngeselin sih? "
"haha, ya pokonya makasih banget ya fan. Gue ga tau bakalan gimana kalo ga ada lo, masih nangis sendirian di taman mungkin, haha makasih ya.. " Dia masih terus mengoceh sambil memainkan rambutku, entah sedang apa, nyari kutu mungkin.
"udahlah raa, gua itu sahabat lo. Kita udah kenal dari kecil, jadi ya wajar lah kalo gua ngelakuin hal yang emang seharusnya seorang sahabat lakuin. Haha, udah lah, lo kenapa jadi drama gini sih? "
Aku sedikit menaikkan tubuhnya yang sedikit melorot dari gendongan ku, hingga sesuatu yang menonjol namun bukan bakat itu sedikit bergesekan dengan punggungku. Dia lagi lagi menjitak kepalaku sebagai bentuk amarahnya. Yang tentu saja hanya kubalas dengan senyuman, yaa mau gimana lagi ra.
"aaaaa Irfaann.. lo sengaja kaan..? "
"hahaha, katanya mau gendoong.. "
Malam ini adalah malam yang masuk kategori 'unforgettable' dalam hidupku, dimana aku bisa memberi sesuatu yang berkesan untuk Dhara. Ya walau sekarang wajahku jadi biru biru mirip stempel telor asin gini, tapi aku rasa pengorbanan yang sudah kulakukan sebanding dengan senyum yang tersungging dari bibirnya. Malam ini aku benar benar merasa seperti seorang superhero yang berhasil menyelamatkan seisi kota meski aku juga hampir saja kehilangan nyawa. Ya, kadang berbuat kecil bagi seseorang yang kita suka memang punya arti dan harapan yang lebih besar dibanding kelihatannya. Dan akupun seperti itu, berharap bahwa setelah ini Dhara akan mengerti, jika aku adalah orang yang akan melakukan hal hal gila demi menjaga senyum manisnya. Aku adalah lelaki yang tidak akan membiarkan siapapun mengganti senyum manisnya dengan airmata.
"sekali lagi, makasih ya fan.. "
"kalo ada yang nyakitin lo lagi, bilang sama gua ya ra. Biar gua patah patahin tuh tulang tulangnya. Berani banget nyakitin sahabat gua.. "
"iyaaa, ahaha sok sokan banget sih lo.. "
"aku mau kita cerai, fan.. "
Orang bijak pernah berkata, jangan mudah membuat janji saat sedang merasa bahagia, dan jangan mudah membuat keputusan saat sedang marah. Awalnya aku mengira bahwa ini hanya kata kata biasa, kata kata yang 'mentok' hanya akan menjadi sekedar kata-kata, hingga aku merasakan sendiri tuahnya. Aku pernah berjanji untuk menjaga Dhara dari siapapun yang berani menyakitinya, aku bahkan pernah berkata padanya bahwa aku akan menghabisi siapapun yang membuatnya meneteskan airmata, tanpa tahu bahwa kali ini justru aku sendiri lah pelakunya.
Kali ini, setelah melanggar janji yang kukatakan sendiri, aku tak ingin Dhara melakukan hal yang sama denganku. Aku tidak ingin dia cepat cepat membuat keputusan saat suasana hatinya sedang dipenuhi kesedihan dan amarah. Walau sebenarnya aku juga sadar bahwa kesalahanku mungkin memang tidak bisa dimaafkan, tapi aku tetap percaya bahwa masih ada jalan keluar lain atas masalah yang sedang kita hadapi, selain harus bercerai dan mengakhiri semua cerita yang telah kita ukir bersama.
"duduk dulu, ra.. " ucapku mencoba tenang setelah apa yang baru saja dia ucapkan.
Dia kemudian menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kursi kayu yang ada diteras rumah. Lalu mengikat rambutnya, sesuatu yang selalu saja terlihat indah dimataku, bahkan saat situasinya sedang serba tidak mendukung seperti ini. Entah apa yang membuatku buta, hingga tidak menyadari bahwa sebenarnya sosoknya sudah lebih dari cukup untuk lelaki sepertiku.
"aku ga bisa lama lama disini.. " Ucapnya ketus, ketus yang kali ini benar benar ketus. Bukan lagi jutek yang dibuat buat seperti biasanya.
"ini kan rumah kamu, rumah kita.. "
"iya.. " Sahutnya dingin. "sebelum kamu ngerusak semuanya.. "
"ayolah raa, kita masih bisa perbaiki ini sama sama.. "
"haha.. kamu selalu aja kaya gitu fan.. " Balasnya sambil tersenyum sinis. "selalu menganggap kalau yang sudah kamu rusak bisa dengan mudahnya diperbaiki, selalu berpikir bahwa semua bisa selesai dengan hanya permintaan maaf, tanpa berusaha buat jaga apa yang sudah kamu punya dan kamu miliki. "
"... "
"padahal kenyataannya ga gitu fan. Ga semua yang rusak bisa diperbaiki, ga semua yang udah retak bisa balik jadi utuh lagi. Adakalanya, yang udah rusak dan ga bisa diperbaiki lagi, ya harus kita buang.. " Lanjut Dhara, masih dengan ekspresi dingin dan enggan menatapku. "Dan.. hubungan kita mungkin salah satunya. "
Hatiku mencelos saat Dhara mengucapkan kalimatnya yang terakhir, seperti ada gelombang rasa sakit yang tiba tiba saja menyerangku. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Masih tergambar jelas di kepalaku senyumnya saat aku berhasil melingkarkan cincin di jari manisnya, masih kuat kurasakan genggaman dan jambakan tangannya pada rambutku saat ia melahirkan buah cinta kita, dan masih ku ingat pula pelukannya yang begitu erat saat kita berdua akhirnya bisa memiliki rumah sendiri, meski masih nyicil dengan tenor yang lamanya minta ampun.
"raa, tolong dipikir pikir lagi.. " Ucapku sembari mencoba meraih telapak tangannya, meski gagal. "aku tau, kesalahanku mungkin emang nggak pantes buat dimaafin, kamu mungkin juga udah muak sama aku. Aku paham seberapa kecewanya kamu, tapi coba kamu lihat dari sudut pandang yang lain. Kamu, atau aku mungkin ga akan nemuin banyak masalah karena kita udah sama-sama dewasa. Tapi anak kita, dia masih butuh kita ra. Dia masih butuh kedua orangtuanya. Kamu boleh benci sama aku, muak sama aku, tapi kamu juga harus pikirin anak kita.. "
Setelah mendengar kata kataku, Dhara mulai mengalihkan pandangannya dan mulai menatapku. Mimik mukanya masih terlihat dingin. Tetapi kemudian dia malah kembali tersenyum sinis kearahku.
"udah? udah ngomongnya fan? " Tanyanya.
"... "
"haha, enak ya jadi kamu.. Bisa ngelakuin apa aja yang kamu mau, bisa bebas bikin kesalahan lalu dengan mudahnya minta maaf, sementara yang kamu suruh mikir malah aku. Kamu nyuruh aku mikir anak kita, kamu nyuruh aku mikirin gimana keadaannya, sementara kamu ngapain fan waktu lagi berduaan sama Cella? Kamu pernah mikirin anak kamu? Kamu pernah mikirin perasaan aku? Kamu pernah mikirin keluarga kamu waktu tidur sama dia? Enggak kan? "
"raa.. "
"hiks.. kamu egois banget fan.. " Dhara akhirnya mengeluarkan senjata terakhirnya, lelehan airmata. Membuat aku semakin merasa bersalah dan tak tahu harus bersikap seperti apa. "kamu ga pernah mikirin perasaan aku, kamu ga pernah peduli sama aku, kamu jahat fan, kamu jahaat huhuuu... "
Dhara makin terisak, dia makin memukul dadaku dengan brutal saat aku mulai meraih tubuh dan memeluknya.
"maafin aku raa.. maafin aku. "
Aku masih memeluk tubuhnya, membiarkan dia terus memukul dadaku meski secara perlahan intensitasnya mulai berkurang seiring tangis dan airmatanya yang terus mengalir. Saat ini mungkin sudah tidak ada hal lain yang ingin dia lakukan selain menangis. Aku makin erat memeluknya, membiarkan dia menumpahkan segala airmatanya, sembari terus berharap bahwa setelah ini Dhara bisa berubah pikiran dan aku tidak harus kehilangan sosoknya..
"maafin aku raa, maafin aku.. "
"hiks hiks.. kamu jahat fan, kamu jahat sama aku, huhuu.. "
"woi anjinggg.. Sekali lagi gua tau lu nyakitin Dhara, atau bikin dia nangis lagi kaya gini, gua jamin muka lu bakal jauh lebih ganteng dari ini.. "
Laki laki brengsek yang saat ini wajahnya sedang ku 'dandani' ini namanya Ramon. Bocah geblek ini selain brengsek ternyata juga nggak tahu diri, bisa bisanya udah punya pacar cantik dan gemesin seperti Dhara masih aja sempet main serong dengan cewek lain. Nggak cuma itu, si kampret satu ini ternyata juga lempeng banget gunain tangannya buat nyakitin cewek imut seperti Dhara. Sesuatu yang jelas amat sangat bertolak belakang dengan sifatku sebagai seorang lelaki yang lemah lembut, apalagi pada seorang wanita. Dia nggak tau aja seberapa sangarnya Dhara dimasa depan, bakalan dipatahin duluan mungkin tuh tangan kalau mau nampar Dhara seperti yang baru saja aku saksikan.
Dari awal sebenarnya aku memang kurang setuju saat mengetahui kalau sahabatku itu menjalin hubungan dengan si Ramon geblek brengsek sialan ini. Karena yang aku tahu nyaris nggak ada satu hal pun yang bisa dibanggakan darinya. Okelah dia ganteng, keren, dan sepertinya juga tajir. Tapi apa emang dia doang yang ganteng, keren bin tajir? Kalo diliat liat nih, aku juga nggak jelek jelek amat kok, tampang ku juga lumayanlah walau nggak bisa dibilang keren banget. Dan lagi, walau aku juga bukan anak orang kaya, tapi setidaknya untuk mentraktir Dhara sepiring batagor dan segelas pop es setiap hari sambil menghabiskan sore dipinggiran sungai Mahakam aku juga masih sanggup kok. Makanya aku sedikit heran sekaligus kesal saat tau Dhara lebih memilih berpacaran dengan si Ramon kampret ini daripada denganku, pemuda tampan yang sudah cukup lama ia kenal. Meski aku juga belum berani 'nembak' dia secara langsung sih. Tapi harusnya dia ngerti lah, kalau dibalik perhatian kecilku, dibalik sedikit kejahilan ku, dan diantara semua guyonan receh ku, ada sebuah perasaan yang terselip untuknya. Harusnya dia tau kalau aku menginginkannya lebih dari seorang sahabat, bukannya malah pacaran sama nih kampret satu. Yang pada akhirnya hanya bisa membuatnya meneteskan airmata.
BUUUGGG!!
"apa lu liat liat? udah buruan minggat sono lu.. "
Setelah menyelesaikan urusanku dengan si Ramon keparat ini, aku kemudian berjalan menghampiri Dhara yang masih menangis. Sedikit memberikan hiburan baginya setelah kejadian tidak mengenakkan yang baru saja dia alami. Aku memeluk tubuhnya, mencoba membiarkan dia menangis di pelukanku. Nggak cukup peduli meski saat ini wajahku juga mulai terasa nyut nyutan setelah adu pukul tadi. Sekalian cari kesempatan juga sih, jarang jarang aku bisa memeluknya seperti ini. Biasanya baru mau deketin aja udah keburu digaplok.
"hiks.. hiks.. hiks.. " Ucapnya terisak, dengan bahuku yang kini ia jadikan sandaran.
"udah ya raa.. " Balasku sembari mengelus pelan punggungnya. "cowok modelan begitu mah gapantes banget buat ditangisin.. "
"hiks.. hiks.. "
"lo itu cantik, manis, pinter, masih ada hal yang jauh lebih baik yang bisa lo lakuin daripada cuman nangisin dia.. "
"Hu.. huu.. huu.. "
"lo masih punya banyak temen, lo masih punya gua ra, gua sebagai sobat terbaik lo nggak akan biarin lo disakitin kaya gitu lagi. Apalagi sama laki laki banci kaya dia.. " Lanjut ku setengah keenakan mengelus punggungnya. "anjing emang, berani beraninya dia nyakitin sahabat gua.. "
"huaa.. huaaa.. Irfaann.. huu.. huu.. "
"eh, malah makin kenceng nangisnya nih bocah.. " Ucapku sambil terus mencoba menenangkannya. "gua salah ngomong ya? "
"hiks.. hiks.. engga sih. "
"lha terus? "
"hiks.. ehe.. kaki gue lo injek Irfaaann.. "
Aku buru buru menyingkirkan kakiku yang menindih kakinya. Keasikan berada di dekatnya dan memeluknya membuatku nggak menyadari kalau sedari tadi tapak kaki mungilnya terinjak oleh tapak kakiku yang semok. Entah sudah berapa lama kaki kita dalam posisi begini, tapi lumayanlah berkat kebodohanku itu akhirnya disela sela tangisnya, Dhara ternyata masih sempat tersenyum.
"eh.. hehe. " Ucapku tertawa sambil menggaruk kepala yang sebenarnya sama sekali nggak gatal. "nggak bilang daritadi sih.. "
"ah, lo emang bisanya ngerusak suasana doang fan.. "
"hehe, yaudah pulang yok ra. Dah malem ini, ga baek anak perempuan jam segini masih keluyuran. "
"hehe, capek gue fan. Abis nangis.. "
"lah, terus? "
"ehm, minta gendoong.. "
"ah ogah, lo kira gua juga nggak capek apa abis gebukin orang.. "
"halaah, gaya gayaan lo. " Sergahnya. "padahal gue tau, sebenernya lo seneng kan? Kapan lagi cowok jelek kaya elo bisa gendong cewe cantik kaya gue.. "
"pede banget sih lo ra.." Sahut ku. "gua kasih tau nih yaa. Jangan mentang mentang lo cantik terus semua orang bisa nurutin semua kemauan lo, jangan mentang mentang gua jelek terus bisa lo manfaatin dan lo suruh suruh sesuka hati lo, dan jangan ment.. "
"halaah, banyak omong lo fan. Intinya lo mau ga gendong gue? "
"yaa.. mau sih.. " Jawabku polos dan nurut, mirip kebo yang di cucuk idungnya.
"huu dah keliatan tau fan dari muka lo, ahaha dasarr.. " Dia tertawa cukup lepas meski masih ada bintik air di matanya. Lalu menjulurkan tangan agar aku bisa membantunya berdiri.
Aku akhirnya menggendongnya di punggungku, membawa tubuhnya berjalan menyusuri gelapnya malam. Cukup menyenangkan meski beban tubuhnya juga nggak bisa dianggep enteng, tapi kapan lagi aku bisa menggendongnya seperti ini. Kapan lagi bisa merasakan sensasi wangi tubuhnya yang bercampur dengan aroma keringatku.
Kita berdua hanya bisa tersenyum saat beberapa kali mendapati pandangan aneh dari orang orang yang kebetulan berpapasan dengan kami. Heran mungkin melihat cowok biasa aja (kalo gak bisa disebut jelek), babak belur pula, sedang menggendong seorang cewek cantik yang matanya sembab oleh airmata. Yaa untungnya sih kita nggak sampai berpapasan dengan satpol PP yang sedang patroli, bisa digelandang terus dinikahin paksa kita. (Meski akhirnya dimasa depan kita menikah, tapi bukan karena terpaksa ya, apalagi gara gara digelandang satpol PP.)
"raa.. " Aku membuka obrolan, masih sambil berjalan menggendongnya.
"hmm.. "
"kalau gua yang jadi cowok lo nih ya, gua nggak akan biarin satu tetes pun airmata lo jatuh.. "
"haha, gue yang ogah fan punya cowok kaya lo.. " Katanya spontan. "Ganteng enggak, kaya juga enggak, suka modus pula ahaha..."
"haha sialan lo.. " Ucapku sambil tersenyum. "tapi jangan salah ra, gini gini gua juga banyak yang suka tau. Tuh temen lo si Marcella itu, belakangan makin nempel aja sama gua.. "
"haha yaudah, pacaran aja sama dia.. " Ucapnya sambil sedikit menjitak kepalaku. "itung itung perbaikin keturunan.. "
"haha sialan, emang gua sejelek itu apa.. "
"hehe lo ga jelek kok fan, cuma tampang lo dibawah standar aja.. "
"sama aja kali raa haha.. "
"haha, tapi makasih banget ya fan.. "
"makasih buat? "
"ya buat semua ini, lo kan udah bela belain kesini buat nolongin gue. Udah rela muka lo yang sebenarnya ga seberapa itu jadi makin sulit dikenali buat bantuin gue.. "
"akhirannya kok tetep aja ngeselin sih? "
"haha, ya pokonya makasih banget ya fan. Gue ga tau bakalan gimana kalo ga ada lo, masih nangis sendirian di taman mungkin, haha makasih ya.. " Dia masih terus mengoceh sambil memainkan rambutku, entah sedang apa, nyari kutu mungkin.
"udahlah raa, gua itu sahabat lo. Kita udah kenal dari kecil, jadi ya wajar lah kalo gua ngelakuin hal yang emang seharusnya seorang sahabat lakuin. Haha, udah lah, lo kenapa jadi drama gini sih? "
Aku sedikit menaikkan tubuhnya yang sedikit melorot dari gendongan ku, hingga sesuatu yang menonjol namun bukan bakat itu sedikit bergesekan dengan punggungku. Dia lagi lagi menjitak kepalaku sebagai bentuk amarahnya. Yang tentu saja hanya kubalas dengan senyuman, yaa mau gimana lagi ra.
"aaaaa Irfaann.. lo sengaja kaan..? "
"hahaha, katanya mau gendoong.. "
Malam ini adalah malam yang masuk kategori 'unforgettable' dalam hidupku, dimana aku bisa memberi sesuatu yang berkesan untuk Dhara. Ya walau sekarang wajahku jadi biru biru mirip stempel telor asin gini, tapi aku rasa pengorbanan yang sudah kulakukan sebanding dengan senyum yang tersungging dari bibirnya. Malam ini aku benar benar merasa seperti seorang superhero yang berhasil menyelamatkan seisi kota meski aku juga hampir saja kehilangan nyawa. Ya, kadang berbuat kecil bagi seseorang yang kita suka memang punya arti dan harapan yang lebih besar dibanding kelihatannya. Dan akupun seperti itu, berharap bahwa setelah ini Dhara akan mengerti, jika aku adalah orang yang akan melakukan hal hal gila demi menjaga senyum manisnya. Aku adalah lelaki yang tidak akan membiarkan siapapun mengganti senyum manisnya dengan airmata.
"sekali lagi, makasih ya fan.. "
"kalo ada yang nyakitin lo lagi, bilang sama gua ya ra. Biar gua patah patahin tuh tulang tulangnya. Berani banget nyakitin sahabat gua.. "
"iyaaa, ahaha sok sokan banget sih lo.. "
***
"aku mau kita cerai, fan.. "
Orang bijak pernah berkata, jangan mudah membuat janji saat sedang merasa bahagia, dan jangan mudah membuat keputusan saat sedang marah. Awalnya aku mengira bahwa ini hanya kata kata biasa, kata kata yang 'mentok' hanya akan menjadi sekedar kata-kata, hingga aku merasakan sendiri tuahnya. Aku pernah berjanji untuk menjaga Dhara dari siapapun yang berani menyakitinya, aku bahkan pernah berkata padanya bahwa aku akan menghabisi siapapun yang membuatnya meneteskan airmata, tanpa tahu bahwa kali ini justru aku sendiri lah pelakunya.
Kali ini, setelah melanggar janji yang kukatakan sendiri, aku tak ingin Dhara melakukan hal yang sama denganku. Aku tidak ingin dia cepat cepat membuat keputusan saat suasana hatinya sedang dipenuhi kesedihan dan amarah. Walau sebenarnya aku juga sadar bahwa kesalahanku mungkin memang tidak bisa dimaafkan, tapi aku tetap percaya bahwa masih ada jalan keluar lain atas masalah yang sedang kita hadapi, selain harus bercerai dan mengakhiri semua cerita yang telah kita ukir bersama.
"duduk dulu, ra.. " ucapku mencoba tenang setelah apa yang baru saja dia ucapkan.
Dia kemudian menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kursi kayu yang ada diteras rumah. Lalu mengikat rambutnya, sesuatu yang selalu saja terlihat indah dimataku, bahkan saat situasinya sedang serba tidak mendukung seperti ini. Entah apa yang membuatku buta, hingga tidak menyadari bahwa sebenarnya sosoknya sudah lebih dari cukup untuk lelaki sepertiku.
"aku ga bisa lama lama disini.. " Ucapnya ketus, ketus yang kali ini benar benar ketus. Bukan lagi jutek yang dibuat buat seperti biasanya.
"ini kan rumah kamu, rumah kita.. "
"iya.. " Sahutnya dingin. "sebelum kamu ngerusak semuanya.. "
"ayolah raa, kita masih bisa perbaiki ini sama sama.. "
"haha.. kamu selalu aja kaya gitu fan.. " Balasnya sambil tersenyum sinis. "selalu menganggap kalau yang sudah kamu rusak bisa dengan mudahnya diperbaiki, selalu berpikir bahwa semua bisa selesai dengan hanya permintaan maaf, tanpa berusaha buat jaga apa yang sudah kamu punya dan kamu miliki. "
"... "
"padahal kenyataannya ga gitu fan. Ga semua yang rusak bisa diperbaiki, ga semua yang udah retak bisa balik jadi utuh lagi. Adakalanya, yang udah rusak dan ga bisa diperbaiki lagi, ya harus kita buang.. " Lanjut Dhara, masih dengan ekspresi dingin dan enggan menatapku. "Dan.. hubungan kita mungkin salah satunya. "
Hatiku mencelos saat Dhara mengucapkan kalimatnya yang terakhir, seperti ada gelombang rasa sakit yang tiba tiba saja menyerangku. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Masih tergambar jelas di kepalaku senyumnya saat aku berhasil melingkarkan cincin di jari manisnya, masih kuat kurasakan genggaman dan jambakan tangannya pada rambutku saat ia melahirkan buah cinta kita, dan masih ku ingat pula pelukannya yang begitu erat saat kita berdua akhirnya bisa memiliki rumah sendiri, meski masih nyicil dengan tenor yang lamanya minta ampun.
"raa, tolong dipikir pikir lagi.. " Ucapku sembari mencoba meraih telapak tangannya, meski gagal. "aku tau, kesalahanku mungkin emang nggak pantes buat dimaafin, kamu mungkin juga udah muak sama aku. Aku paham seberapa kecewanya kamu, tapi coba kamu lihat dari sudut pandang yang lain. Kamu, atau aku mungkin ga akan nemuin banyak masalah karena kita udah sama-sama dewasa. Tapi anak kita, dia masih butuh kita ra. Dia masih butuh kedua orangtuanya. Kamu boleh benci sama aku, muak sama aku, tapi kamu juga harus pikirin anak kita.. "
Setelah mendengar kata kataku, Dhara mulai mengalihkan pandangannya dan mulai menatapku. Mimik mukanya masih terlihat dingin. Tetapi kemudian dia malah kembali tersenyum sinis kearahku.
"udah? udah ngomongnya fan? " Tanyanya.
"... "
"haha, enak ya jadi kamu.. Bisa ngelakuin apa aja yang kamu mau, bisa bebas bikin kesalahan lalu dengan mudahnya minta maaf, sementara yang kamu suruh mikir malah aku. Kamu nyuruh aku mikir anak kita, kamu nyuruh aku mikirin gimana keadaannya, sementara kamu ngapain fan waktu lagi berduaan sama Cella? Kamu pernah mikirin anak kamu? Kamu pernah mikirin perasaan aku? Kamu pernah mikirin keluarga kamu waktu tidur sama dia? Enggak kan? "
"raa.. "
"hiks.. kamu egois banget fan.. " Dhara akhirnya mengeluarkan senjata terakhirnya, lelehan airmata. Membuat aku semakin merasa bersalah dan tak tahu harus bersikap seperti apa. "kamu ga pernah mikirin perasaan aku, kamu ga pernah peduli sama aku, kamu jahat fan, kamu jahaat huhuuu... "
Dhara makin terisak, dia makin memukul dadaku dengan brutal saat aku mulai meraih tubuh dan memeluknya.
"maafin aku raa.. maafin aku. "
Aku masih memeluk tubuhnya, membiarkan dia terus memukul dadaku meski secara perlahan intensitasnya mulai berkurang seiring tangis dan airmatanya yang terus mengalir. Saat ini mungkin sudah tidak ada hal lain yang ingin dia lakukan selain menangis. Aku makin erat memeluknya, membiarkan dia menumpahkan segala airmatanya, sembari terus berharap bahwa setelah ini Dhara bisa berubah pikiran dan aku tidak harus kehilangan sosoknya..
"maafin aku raa, maafin aku.. "
"hiks hiks.. kamu jahat fan, kamu jahat sama aku, huhuu.. "
Quote:
Days pass by and my eyes stay dry, and I think that I'm okay
'Til I find myself in conversation, fading away
The way you smile, the way you walk
The time you took to teach me all that you had taught
Tell me, how am I supposed to move on?
These days I'm becoming everything that I hate
Wishing you were around but now it's too late
My mind is a place that I can't escape your ghost
Sometimes I wish that I could wish it all away
One more rainy day without you
Sometimes I wish that I could see you one more day
One more rainy day
Oh, I'm a wreck without you here
Yeah, I'm a wreck since you've been gone
I've tried to put this all behind me
I think I was wrecked all along
Yeah, I'm a wreck
'Til I find myself in conversation, fading away
The way you smile, the way you walk
The time you took to teach me all that you had taught
Tell me, how am I supposed to move on?
These days I'm becoming everything that I hate
Wishing you were around but now it's too late
My mind is a place that I can't escape your ghost
Sometimes I wish that I could wish it all away
One more rainy day without you
Sometimes I wish that I could see you one more day
One more rainy day
Oh, I'm a wreck without you here
Yeah, I'm a wreck since you've been gone
I've tried to put this all behind me
I think I was wrecked all along
Yeah, I'm a wreck
Wrecked - Imagine Dragons
Diubah oleh saleskambing 20-12-2024 10:53
khuman dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas