Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.7KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#564
Part 6
Adzan subuh baru saja turun, menghantarkan seorang perempuan keluar dari kamarnya, tergesa menuju ke arah dapur. Perempuan itu lalu meraih keranjang besar yang ada di sisi mesin cuci, mengambil beberapa potong pakaian kotor, yang kemudian dialihkannya ke dalam wadah plastik. Selesai, ia hendak berlalu. Namun, raut mukanya berubah tercengang kala mendapati sosok perempuan yang ada di depannya.

Sefti yang muncul dari depan, sama terkejutnya mendapati sang ipar yang tampak salah tingkah. Wajar, karena Mbak Diah saat itu sudah berganti pakaian rapi, seakan ingin pergi entah ke mana. Ia jadi bertambah penasaran saat menatap sesuaty yang ditenteng wanita beranak dua tersebut.

"Ini baju Boby." Sebelum pertanyaan dari Sefti terlontar, Mbak Diah sudah berkata terlebih dulu. Wajahnya melengos, beralih menatap dinding dapur di sisi. Ia berencana pulang pagi-pagi memang. Bahkan, barang-barangbya sudah dikemasi dari semalam. Sementara kresek di tangannya, yang tak lain adalah baju-baju miliknya dan Boby, rencana akan turut dibawanya pulang tanpa dicuci. Ia merasa tak nyaman di rumah semasa kecilnya itu. Terlanjur sakit hati. Bodohnya, ia bahkan turut kesal saat melihat Sefti, padahal perempuan itu jelas tak ada salah apapun.

"Baju kotor, ya, Mbak?" Sefti bertanya lirih. Bukannya menjawab pertanyaannya, Mbak Diah malah langsung saja ngeluyur pergi.

'Lho? Ada apa?' Bahkan, batin perempuan itu tak mampu menduga apa yang sudah terjadi.

*****

"Lapo mulih isuk-isuk? (Kenapa pulang pagi-pagi?)" Ibu menegur Mbak Diah yang sedang berjalan menghampirinya ke kamar. Tentu ibu sudah tahu apa penyebab perempuan itu ingin cepat hengkang.

Mbak Diah hanya tersenyum kecil. Diciumnya tangan sang ibu, sambil mengecup pula pipi kanan-kiri. Entah kenapa, ia berubah sedih. Sehingga langsung saja mendekap erat badan ibu sambil menangis. Ya ... omongan Dani kemarin telah mengingatkannya kembali tentang permasalahan lalu. Bahkan, semalaman ia tak bisa tidur. Ia sadar betul selama ini belum pernah membahagiakan ibunya. Malah, dulu sering membebani.

"Ibu ... Diah minta maaf, ya, dari menikah sampai detik ini, Diah belum bisa juga memberikan sesuatu untuk membahagiakan hati ibu," ucapnya dalam isak. Namanya juga anak, tentu ibu tak berharap lebih selain melihatnya bahagia. Mendengar sulungnya menangis, akhirnya ibu turut menangis. Dibelainya rambut Mbak Diah lembut, sambil berbisik, "Ibu gak perlu apa-apa, Nduk. Cukup gedhe-no anakmu sing temen. Wuruk'i sembayang, ben ngerti wayah mbek aturan. Iku wis cukup (cukup besarkan anakmu dengan benar. Ajari shalat, biar mengerti waktu dan aturan. Itu sudah cukup)"

Jawaban itu membuat Mbak Diah semakin menangis lagi di dekapan ibu. Ia sampai tak tahu jika Boby di sebelahnya termehek tanpa suara. "Wis, yo? Gak usah dipek ati omongane Dani (Sudah, ya? Tak usah diambil hati omongannya Dani). Aku sudah tahu apa masalahnya. Mungkin kini dia lagi stres." Ibu melanjutkan lagi. Dilepasnya pelukan sang anak. Keduanya bertatapan sambil tersenyum masing-masing.

"Huaaaaaaa ...."

Dan lalu, berganti si Boby yang menangis.

"Ada apa?" Sefti tergopoh dari dapur, saat mendengar tangisan Boby. Cepat-cepat, ibu dan Mbak Diah saling menyeka air matanya. Kemudian, Boby digendong Mbak Diah, sambil ditenangkan. Sampai Sefti berdiri di belakang mereka, suasana mendadak hening.

"Ada apa, Mbak? Boby rewel?" Sefti bertanya seraya melangkahkan kaki menujunya. Masih, Mbak Diah tak mau menanggapi apa-apa. Ia malah memalingkan wajah demi menyembunyikan raut mukanya yang tampak sembab. Ditangannya tergenggam sebuah gawai. Ia tengah memeriksa gocar yang dipesannya.

"Kate dijak mulih, lho, rewel (mau diajak pulang, lho, rewel)" Ibu membalas bicaranya. Sementara Mbak Diah, langsung mengajak anaknya menepi. Dari yang awalnya cuma menepi, kemudian menyingkir dari ruangan. Sebelum akhirnya pergi, Mbak Diah berkata, "Sebentar lagi dateng. Aku tunggu di luar, Bu. Aku pulang langsung, ya?"

Sekian detik berlalu. Selepas kepergiannya, Sefti benar-benar bingung dan sangat merasa aneh. Apakah ia tak sengaja pernah membuatnya kecewa? Batinnya terus saja mencoba menebak.

"Heeeii, sudah biar saja!" Ibu membuyarkan lamunannya.

"Eh, iya, Bu."

"Kamu belanja apa tadi?"

"Jamur, Bu. Anak ibu yang ganteng lagi pengen jamur ditepungin." Sefti menjawab sambil tertawa kecil. Senyumnya tampak membuat ciut hati wanita paruh baya itu. Selain sedih, ia juga tak enak hati. Bagaimana mungkin menantunya itu mampu menutupi masalah yang terjadi? Kenapa Sefti tak pernah menunjukkan rasa marahnya terhadap anaknya? Banyak pergulatan batin yang tengah dipendam sendiri karena rasa penasaran sekaligus kecewa.

"Oh, ya ... ibu kemarin mau asam-asam bandeng, kan? Tadi aku beli ikan bandeng juga, cuma belimbingnya lupa gak dibawa sama bakulnya. Di sini nggak ada yang tanem, kah? Atau diganti tomat saja, ya, Bu? Kalau biasanya bikin sayur asem nggak ada asem, bisa diganti tomat juga, kan?" Sefti sangat bersemangat dalam bertutur. Selama ini ia tengah berguru memasak dari sang ibu. Ia berharap bisa memasak seenak masakan mertua.

"Oalah, wis babah. Engkok tak candak'e (sudah biar, nanti aku yang buatin)"

"Oh, ya, Bu. Aku tadi beli kornet dan sosis buat Boby, Bu. Katanya, suka. Tapi, kok ... keburu pulang, ya? Apa kubungkus saja, biar dia bawa pulang?" Sefti mulai melangkahkan kaki pergi. Namun, cepat-cepat ibu menyetopnya, hingga langkah itu tercekat. "Sudah, biar! Biarkan! Dia sudah pulang pasti. Makan saja untuk bayi dalam perutmu!"

Kini berganti, Sefti yang tak bisa menyahut apapun. Ia lihat, ibunya tampak menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tak seperti biasanya, seakan ada sebuah beban yang terpanggul. Sefti mulai sadar, dalam keluarganya ada sesuatu. Namun, ia tak sanggup membendung apa yang telah terjadi.

Dari luar kamar, tampak Dani berjalan hendak menuju belakang. Namun, langkahnya tercekat di depan pintu saat menatap ibu dan sang istri berada di dalam kamar. "Lho? Ada apa?" tanyanya heran.

Sefti berusaha tersenyum dan menampakkan dirinya baik-baik saja, sehingga ia lalu berkata, "Hai, calon ayah! Coba tebak, aku mau masak apa hari ini?" Dengan manja, Sefti bergelayut di lengan suaminya.

Melihat senyum manis istri, tentu saja Dani terpancing untuk turut tersenyum. "Pasti yang aku bilang kemarin. Jamur crispy," tebaknya. "Hi hi hi, pinter. Oh, ya? Kopinya ditaruh mana? Meja makan apa kamar? Apa di teras?" tanya Sefti lagi.

"Kamar saja, deh. Dingin banget pagi ini, habis hujan semalem. Wah, sampe lupa, rokokku hilang pas tahlilan kemarin. Lupa naruh apa gimana, ya?"

"Haa? Kok bisa hilang?"

"Iya. Aku sampe bingung. Apa ikut kebuang, ya?"

"Hi hi hi, ya udahlah. Aku ambilin kopinya. Nanti setelah itu, aku belikan rokoknya." Setelah berkata demikian, Sefti berlalu dari hadapan. Dani tersenyum saja memandang kepergian sang istri. Sementara ibu, menatapnya kesal di atas ranjang dengan hati yang terasa kembang kempis. Tentu ia kesal, melihat anaknya yang seakan diistimewakan oleh istrinya. Ia merasa, sang anak telah memanfaatkan kebaikan menantu, sehingga muncullah rasa marah tak terduga. Ibu lalu beranjak, mendekati Dani, sambil berkata lirih, "Dani, istrimu hamil besar tengah sibuk di dapur demi melayani urusan perutmu. Bisakah kau tidak manja? Apa kau tak bisa mengambil kopi sendiri? Membeli rokok sendiri? Apa guna kau punya kaki?"

Mendengar ucapan ibunya, sontak Dani terperangah dan kaget. 'Kenapa ibu jadi begini, padahal sebelum-sebelumnya tak mempermasalahkan?' gumamnya dalam hati.

"Baru bangun, minum kopi minta di kamar. Apa kamu mau tidur lagi? Buka toko, kek, sana! Buka dari pagi, gak masalah, kan? Sama dengan menjemput rejeki di pagi hari. Ini malah maunya bau bantal terus!" celoteh ibu lagi. Dani benar-benar tak mampu berkata. Bersamaan dengan itu, Sefti muncul dengan secangkir kopi di tangan. Ibu langsung saja menyahut, "Berikan kopinya pada suamimu! Ayo kita masak ke dapur."

"Oh, iya, Bu. Tapi, saya beli rokok dulu, ya? Sebentar saja. He he ...." Sefti memberikan cangkir berisi kopi panas itu pada Dani. Baru saja ia mau melangkah, ibu kembali menghentikannya, " Sini, biar ibu yang belikan. Sekalian ibu mau beli sesuatu."

Wajah Sefti tampak heran sekilas menatap ibu. Namun, ia tersenyum lagi sambil berkata, "Ibu butuh apa? Biar sekalian saya belikan. Tak usah repot-repot! Ibu hamil biar sehat banyak geraknya. He he ...."

"Sudahlah! Biar ibu yang beli. Apa rokoknya Dani?"

Karena Ibu terus keukeuh menginginkan pergi, mau tak mau Sefti pun mengalah. Ia sebutkan merk rokok yang biasa Dani beli, sambil memberikan selembar uang kertas lima puluh ribuan. Namun, ibu menolaknya. "Biar uang ibu saja. Ibu kemarin dapat arisan," tukasnya. Setelah berkata begitu, ibu pun pergi.

Dani meletakkan kopi itu di buffet. Kini ia menatap dalam pada sang istri. "Ada apa? Kamu ngomong apa, sampe ibu jadi seperti itu?" tanyanya. Ia mulai mencurigai Sefti.

"Lho? Kok, aku?" Sefti bingung juga mendengar perkataan dari suaminya.

"Coba aku tanya, ngapain kamu tadi di kamar ibu? Bicara apa? Wajah ibu sudah tak enak menatapku sejak awal."

"Ta-tapi, aku tak tahu. Memang ibu kenapa?"

"Kok, kenapa? Yang bangun duluan, siapa? Yang bicara sama ibu duluan, siapa? Jelas kamu tahu perkaranya."

"Ya Allah, aku sumpah, aku nggak tahu. Memang ibu ngomong apa sama kamu? Sini, cerita. Biar aku juga denger!"

Belum sempat pembicaraan itu berlanjut, ibu sudah muncul dari depan. Jelas saja, toko hanya di sebelah rumah.

Wajah ibu masih menampakkan rasa marahnya. Ia berjalan menghampiri Dani dan Sefti, setelah itu, melempar kasar rokok tersebut ke kursi yang ada di sebelah Dani. Hal itu membuat Sefti dan Dani jadi kebingungan.

"Harga satu wadah rokok, sama pengeluaran belanja sehari, lebih mahal hargarokoknya. Ngene bendino awakmu tuku rong cepet, Dan? (Gini tiap hari kamu beli dua wadah, Dan?)" Ibu mulai berkata dengan nada tinggi. Dani hanya tertunduk, sedangkan Sefti, masih bingung dengan apa yang terjadi.

"Ilingo bojomu meteng, Dan! (ingatlah istrimu sedang hamil, Dan) Rokok'an terus! Coba itu, lihat Sefti! Dia saja setiap hari dijatah uang untuk lauk hanya dua puluh ribu. Itu belum kalau kamu pengen daging, pengen gurami, belum juga gas dan minyaknya kalau habis. Belum printilannya, bumbu-bumbu itu lebih banyak belanjanya. Dia ngempet, makannya cuma daun-daunan. Kalo nggak tumis kangkung, ya tumis sawi. Kamu makanmu request sak njeplak lambemu'ae. Nggk liat mumetnya istri muterin duit. Hidup kayak raja!" Ibu mulai tersulut emosi.

Dani menjadi terpancing pula karena semua ini. Perlahan, ia melirik pada sang istri. Ia merasa kesal tiba-tiba.

"I-ibu ... ibu ini bicara apa? Sudahlah, Bu. Sudah sepatutnya dia menikmati hasil yang ia dapat, Bu. Bukankah berkat dia juga, rejeki kita mengalir tanpa henti. Uang segitu, kurasa tak seberapa, Bu, jika dibandingkan dengan laba yang dia peroleh setiap hari." Sefti mencoba membela suami. Ibu hanya bisa bergumam dalam hati. Betapa hebatnya ia punya menantu seperti Sefti. Bahkan, keadaan suaminya yang seperti parasit, masih saja ia ikhlas mengabdikan diri.

"Tapi, kenapa kamu juga tak ingin menikmati hasil dari laba itu. Kulihat, kamu tak pernah keluar kemanapun. Kamu juga jarang njajan, Nduk. Kamu ini pelit sama dirimu, tapi royal sama suamimu. Kamu lupa, ada anak di dalam perut yang juga butuh disenangkan. Belilah sana, makanan yang kamu ingin. Jangan hanya menuruti suamimu thok!"

"Itu karena aku tak ingin apa-apa, Bu. Cukup bagiku, sayur, buah, susu dan vitamin. Ibu tak tahu, kan, harga vitamin yang kubeli buat kandunganku berapa? Kuseimbangkan, Bu, sama kebutuhan. Sudah, ibu jangan mikir yang enggak-enggak. Nanti jatuhnya sakit. Yang penting 'kan, kita hidup tak kekurangan, Bu. Biarlah kita nikmati apa yang perlu dinikmati." Sefti mulai menuntun ibunya ke arah dapur. Lirih kemudian berkata lagi, "Cucumu sudah lapar, Bu. Daripada buang energi sia-sia, lebih baik masak, yuk! Aku pengen nyicipi asam-asam bandeng buatan ibu, nih."

Selagi Sefti berhasil menenangkan ibu, kini berganti Dani yang suasana hatinya tak tenang. Kemudian, ia ambil kunci toko. Dengan hati dongkol, lalu pergi menuju depan. Diabaikannya rokok yang tergeletak di kursi. Apalagi kopi.

Ia sudah tak berminat sama sekali ....

****

Adel begitu terkejut saat pulang kerja mendapati hampir seluruh ruang tamu tertutupi oleh tatanan bunga mawar putih. Tak hanya di lantai, tapi juga di atas meja dan kursi, nakas, almari, bahkan semua perabot yang ada di depannya. Senyumnya mengembang seketika. Ia coba berjalan dua langkah. Ditapakinya bunga-bunga cantik kesukaannya itu sembari menarik napas dalam-dalam. Aahh ... aroma yang sungguh menenangkan.

Akan tetapi, senyum itu kembali datar setelahnya. Ia tahu, bersama siapa ia kini tinggal. Ingin tak peduli dengan semua kejutan yang diberi, ia pun acuh saja bergegas menaiki tangga. Wajahnya berubah, dihiasi dengan raut ketus dan bibir manyun sepanjang ia melangkah. Dalam hati ia bergumam, 'Dasar sok romantis!'

Namun kemudian, langkahnya terhenti tepat saat mendengar suara sahut-menyahut yang seperti berasal dari kamar Enver. Semakin ia menajamkan pendengaran, semakin akrab terasa sorak tawa yang terdengar. Ya, itu suara milik suaminya. Namun, ada pula suara yang lain di dalam sana. Suara gelak tawa perempuan.

'Berani sekali dia bawa perempuan ke rumah ini!' batinnya.

Perlahan, ia mendekati kamar Enver. Sekadar memastikan asal suara tersebut benar adanya di dalam sana. Sampai langkahnya tepat berdiri di depan pintu kamar, suara itu malah lenyap tiba-tiba. Di dalam kamar mendadak hening.

Tak telaten rasanya mengintai, Adel langsung menggedor pintu kamar begitu keras. "Cepat, buka! Heeeiii!!" Ia terus saja menggedor pintu keras dengan mata membulat tak terima.

"Mencariku?" Sebuah suara di belakang sontak membuatnya berubah tegang. Adel lekas menoleh. Tentu bingung, saat pria Turki itu berdiri tegak di hadapan. Nyata dan bukan hanya sekadar suara!

Lantas, yang bergurau di dalam kamar Enver tadi, siapa?

emoticon-Hansipemoticon-Hansipemoticon-Hansip
Diubah oleh shirazy02 02-03-2020 22:00
i4munited
pulaukapok
erman123
erman123 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.