- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#51
Spoiler for Episode 12:
Aku tidak pernah duduk setegak ini, mungkin terakhir kali adalah ketika aku masih duduk di bangku SD. Di hadapanku sudah ada Papanya Renata, dan tentu saja pertemuan kali ini membuatku canggung. Memang ini bukan pertemuan pertama kami karena kemarin kami sudah bertemu, sebagai pelanggan dan penjual.
"Memang akhir-akhir ini bisnis kopi sedang marak, kalau itu saya ngga heran. Tapi yang saya heran itu sejak kapan Renata suka sama kopi, meskipun kopi susu ya tetap saja ada kopinya. Saya mulai penasaran, saya coba tanya ke Ari. Ternyata jawabannya ada di kamu Adrian." Kata Papanya Renata.
Aku mengangguk entah kenapa, "Iya Om, kalau emang Renata awalnya ngga suka kopi berarti pertama kali dia minum kopi ya di tempat saya."
"Saya senang sama anak muda kayak kamu ini udah berani coba bisnis, karena kebanyakan dari kalian ini takut untuk mulai. Karena pertimbangan ini lah itu lah, terlalu banyak yang ditakutin." Katanya.
Perbincangan tentang usaha dan bisnis pun dimulai. Papanya Renata nampak sangat ahli jika berbicara dengan bisnis, aku pun baru tau jika ia adalah seorang pebisnis juga bukan hanya orang yang kerja kantoran. Ia juga orang yang cukup penasaran hingga membuatku juga harus sering bicara, ku kira Papanya hanya seorang yang hanya ingin didengar melainkan ia juga seorang pendengar.
"Kayaknya cukup ya bicara soal bisnis, saya mau nanya ke yang lebih personalkali ya. Kamu pacarnya Renata?" Tanyanya.
Sebuah pertanyaan yang akan berdampak ke depannya seperti Butterfly Effect. Aku harus berpikir dengan cepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Papa tebak dong..." perkataan Renata nampak menyelamatkanku, "masa iya harus dikasih tau mulu."
"Hm, kalau Papa tebak nih ya kalian..."
"Permisi Pak Rudi..." seseorang menghampiri kami, "sudah ditunggu di lantai 6 sama yang lain Pak."
"Oh gitu, baik saya segera ke sana..." kemudian ia menatap ke arah Renata dan aku, "Papa tinggal dulu ya, masih ada kerjaan lain. Adrian, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi."
Ia pun berdiri dari duduknya dan dengan cepat aku pun ikut berdiri. Papanya Renata masuk ke dalam lift dan menghilang dari pandangan kami, aku pun terduduk sambil menyandarkan tubuh pada sofa ini.
"Adrian kok kamu lucu banget sih, daritadi duduk tegak terus kayak canggung gitu." Ucap Renata.
"Renata, kenapa kamu ngga bilang kalau kita mau ketemu Papa kamu? Aku ngga nyangka aja bisa ketemu dalam waktu dekat ini." Jawabku cukup cepat.
Renata tersenyum lalu menggenggam tanganku, "Maaf ya aku ngga bilang kalau mau ketemu sama Papa. Abis aku pikir kalian bakalan cocok kalau ngobrol."
Ku ambil nafas panjang beberapa kali, diikuti Renata yang mengusap tanganku. Terlintas mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh Papanya Renata mengenai hubunganku dengan anak perempuannya. Aku berpikir bagaimana jika aku berkata yang sejujurnya mengenai hubungan ini, apakah semuanya akan baik-baik saja tau tidak.
Jam makan siang tiba, bisa diihat dari banyaknya orang yang keluar dari gedung ini. Aku dan Renata memutuskan untuk meninggalkan tempat ini juga. Renata mengajakku untuk pergi ke sebuah taman hiburan yang lokasinya tidak jauh dari kantor ini dan aku pun menyetujuinya, karena hitung-hitung ini adalah waktunya untuk bersantai menikmati liburan.
Tak lama di perjalanan, kami pun tiba. Masuk ke pintu gerbang, Renata selalu menampakkan senyumnya. Nampaknya bisa dibilang ia sangat senang.
"Adrian, kita naik yang itu dulu yuk."
Tanpa persetujuan pun ia sudah menarik tanganku lalu berjalan dengan cukup cepat, aku hanya bisa mengikuti kemana ia mau pergi. Naik ke sebuah wahana yang bisa dibilang hanya sering dinaiki oleh anak-anak, aku dan Renata duduk bersebelahan.
"Kamu yakin mau naik ini? Kok anak-anak semua ya?" Tanyaku.
"Ini seru tau Adrian, cobain deh." Katanya.
Dimulai. Jujur saja memang anak-anak yang menaiki ini nampak sangat senang dengan wahana ini begitu juga dengan Renata, namun jika aku boleh jujur ini adalah wahana yang membosankan. Jika ekspresiku bisa ditangkap oleh kamera, aku hanya memasang wajah datar. Namun semua itu berubah ketika aku melihat ke arah Renata, entah kenapa aku bisa ikut tersenyum juga. Melihatnya yang terlihat sangat menikmati dengan senyum yang selalu ia tampilkan.
"Senyum yang mematikan.."
Wahana ini pun berakhir, aku dan Renata turun. Belum sempat aku menanyakan tentang wahana berikutnya, Renata sudah menarik tanganku entah kemana. Lagi-lagi sebuah wahana yang diperuntukkan untuk anak-anak, aku pun dengan sangat terpaksa harus ikut menaiki wahana ini.
Aku pun sampai lupa sudah berapa wahana yang biasa-biasa saja yang kami naiki. Hingga kali ini aku yang akan memutuskan, "Nah kalau daritadi aku yang ngikutin kamu, sekarang kamu yang harus ikut aku."
"Emang kamu mau naik apa?" Tanya Renata.
"Itu." Kataku sambil menunjukkan jari.
Suara teriakan orang-orang dapat terdengar dengan jelas. Aku melihat ke arah Renata, raut wajahnya menggambarkan ketakutan. Aku pun menyadari akan hal itu, "Eh ngga usah deh, kita main yang lain aja."
"Eh... ayo deh aku juga mau naik itu." Katanya.
"Kamu beneran mau naik itu?" Tanyaku.
"I... iya, ayo kita naik." Ucap Renata.
Beberapa saat mengantre, akhirnya giliran kami yang naik wahana tersebut. Aku dan Renata sudah duduk bersiap-siap untuk memasang pengaman, namun Renata nampak pucat.
"Ren, ayo turun aja. Nggapapa kok." Kataku.
"Eh, ngga kok nggapapa." Katanya.
"Renata jujur aja, kamu takut apa ngga?" Tanyaku.
"Iya, aku..."
Pengaman pun terpasang secara otomatis, pertanda bahwa wahana ini akan segera dimulai. Aku dan Renata tidak bisa membatalkan untuk menaiki wahana ini karena akan mengganggu jalannya wahana dan membuat orang lain harus menunggu lebih lama. Dengan cepat Renata memegang tangan kananku sangat keras.
"Adrian, aku belum pernah naik ini. Aku takut beneran." Katanya.
"Pegang tangan aku aja." Kataku.
"Kamu kira daritadi aku pegangan sama apa Adrian." Katanya lagi.
Permainan pun dimulai, aku sudah tidak ingat lagi seberapa keras teriakan Renata. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya selesai. Kami pun turun dan berjalan keluar dari wahana ini.
"Seru kan Ren? Aku bilang juga... Renata kamu nangis?"
Renata meneteskan air mata, dengan cepat aku memeluknya. Aku tidak akan menyangka sampai seperti ini, Renata benar-benar ketakutan. Ku usap kepalanya beberapa kali, mencoba untuk menenangkannya. Ada rasa bersalah ketika aku mengajaknya untuk menaiki sesuatu yang ia takuti, bahkan hingga ia menangis.
"Ren, maaf aku ngga tau kalau kamu takut." Kataku.
Setelah beberapa saat akhirnya ia kembali menampakkan wajahnya, bekas air mata masih nampak terlihat jelas. Aku pun mulai menyeka air matanya dengan ibu jari tanganku, "Nggapapa kok, aku juga ngga bilang kalau aku takut."
Aku memutuskan untuk mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Kemudian aku kembali berdiri, "Tunggu sebentar."
Aku beranjak menuju sebuah tempat yang menjual es krim, ku pesan sebuah es krim vanila bertabur kacang almond lalu ku bawakan kepada Renata.
"Sebagai tanda permintaan maaf dari aku..." ku berikan kepadanya, "silahkan dimakan."
Ia tersenyum memandangiku, "Makasih Adrian."
Renata mulai memakan es krim tersebut, sesekali ia menyuapiku. Dari apa yang ku lihat, nampaknya semuanya sudah kembali normal. Es krim pun habis, aku membersihkan bibirnya dengan tisu yang ia bawa.
"Kamu mau naik apa lagi? Kamu deh yang tentuin." Kataku.
"Beneran kamu mau meskipun bosenin?" Tanyanya.
Aku mengangguk. Dengan cepat aku menyesal. Rasa bosan dengan wahana yang biasa saja membuatku ingin menyudahinya dengan cepat. Namun kembali aku melihat ke arah Renata, ia nampak sangat senang. Lagi-lagi hal semudah itu saja bisa membuatku ikut tersenyum.
Hari semakin sore, matahari akan segera tenggelam. Entah sudah berapa wahana yang kami naiki.
"Gimana kalau penutup aku yang pilih." Kataku.
"Kamu mau naik apa? Kalau yang kayak tadi lagi mending kamu aja yang naik, aku di sini aja." Katanya.
"Ngga kok, cuma itu." Kataku sambil menunjuk lagi.
Renata menatap ke wahana itu, "Kalau itu aku setuju."
Kami pun akhirnya menaiki wahana ini sebagai penutup acara ke taman hiburan. Perlahan-lahan hingga akhirnya kami berada di titik paling tinggi dari wahana ini. Pemandangan yang sangat indah terpampang jelas dari sini, seluruh taman bermain dapat terlihat, hamparan laut yang luas, dan juga matahari yang akan segera tenggelam. Renata menyandarkan tubuhnya padaku, aku masih memandangi seberapa besar luasnya lautan di sana.
"Adrian, makasih ya udah mau nemenin ke sini." Katanya.
Tak ada satu kata yang ku ucapkan, aku hanya mengusap kepalanya beberapa kali. Dan akhirnya kami pun turun dari wahana ini. Malam pun tiba, aku dan Renata sudah di atas motor di antara beberapa kendaraan yang lalu lalang bersamaan.
"Kita makan dulu ya, kamu belum makan dari siang." Kataku.
"Mau makan apa?" Tanya Renata.
"Alergi makanan laut ngga?" Tanyaku.
Renata menggelengkan kepalanya. Beberapa menit di perjalanan akhirnya kami tiba di sebuah warung tenda makanan laut yang biasa ku datangi. Kami pun masuk ke dalam, beberapa orang sudah memenuhi kursi tapi beruntungnya kami masih dapat tempat.
"Loh Mas Adrian yang dateng toh, piye kabare? Monggo." Kata pemilik warung ini.
"Apik Cak Kus." Jawabku sambil menjabat tangannya.
Aku dan Renata mulai memesan makanan untuk dimakan. Memang membutuhkan waktu lebih lama jika akan memakan makanan laut karena mengolahnya saja butuh waktu.
"Kamu kenal sama yang punya?" Tanya Renata.
"Kenal, warung ini udah jadi langganan aku dari SMA. Terbukti enaknya cukup dengan liat aja berapa banyak yang makan di sini." Kataku.
Aku melihat sesuatu yang berbeda dari Renata, ia nampak canggung dengan suasana di warung ini. Tidak seperti Renata yang biasanya, namun jika kutebak ia tidak nyaman berada di sini.
"Ren, kamu ngga biasa ya makan di warung kayak gini?" Tanyaku.
"Eh, ngga kok. Maksudnya aku biasa makan..."
"Renata..."
Ia terdiam sesaat kemudian ia menggenggam tanganku, "Kalau aku boleh jujur, ini kedua kalinya aku makan di pinggir jalan kayak gini."
"Kedua kalinya? Kapan yang pertama?" Tanyaku.
"Kamu inget ngga dulu waktu Ferdi mau kasih aku uang? Akhirnya uang itu kita beliin nasi goreng di seberang ruko?" Katanya.
"Oh iya aku inget. He? Bentar, ini baru kedua kalinya kamu makan di pinggir jalan?..." aku menatapnya dengan heran, "kalau gitu kita bungkus aja deh terus makan di rumah."
"Adrian jangan, nggapapa kita makan di sini aja." Katanya.
"Kamu serius? Jangan kayak wahana tadi loh nanti kamu nyesel." Kataku.
"Iya Adrian beneran nggapapa, ini ngga kayak wahana tadi." Katanya.
Sesaat aku terdiam memandanginya, aku takut Renata semakin tidak nyaman dengan suasana saat ini. Makanan pun tiba, aku belum mulai makan karena aku mau memastikan Renata akan baik-baik saja ketika makan. Suapan pertama berhasil ia lakukan, aku masih menunggu reaksinya. Matanya terbuka lebar, dengan sambil mengunyah ia menepukku beberapa kali.
"Adrian, ini enak banget!" Katanya.
"Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya aku bisa makan dengan tenang." Kataku.
"Maksudnya gimana?" Tanyanya.
Aku mulai memakan makanan tersebut, "Daritadi tuh aku nungguin reaksi kamu gimana sama makanan di sini. Kalau emang ngga cocok ya berbahaya, eh ternyata aman."
Renata memukulku pelan beberapa kali, kami pun mulai makan. Dan semuanya habis, kami pun meninggalkan tempat ini menaiki Syailendra.
"Adrian, kamu mau ikut ngga?" Tanya Renata dari belakang.
"Ikut kemana?" Tanyaku balik padanya.
Renata mulai mengarahkan jalannya. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya kami tiba di sebuah komplek apartemen. Setelah parkir, aku diajaknya masuk ke dalam bangunan tersebut.
Ting! Pintu lift terbuka, kami sudah tiba di lantai 11 bangunan ini. Renata masih menggenggam tanganku dan menuntunku ke sebuah pintu kamar yang berada di sudut lantai ini.
"Kamu masih simpen kunci yang aku kasih waktu itu?" Tanya Renata.
"Ini?" Kataku sambil menunjukkan kunci motor padanya.
Kunci motor Syailendra bukan satu-satunya, namun ada beberapa kunci yang menjadi satu di sebuah gantungan stainless. Di antara kunci tersebut ada sebuah kunci yang Renata berikan padaku. Ia mengangguk, dan aku menyadari kunci yang ia berikan adalah kunci pintu kamar ini.
Pintu terbuka setelah ku buka dengan kunci itu, Renata masuk terlebih dahulu lalu menyalakan lampu-lampu yang ada. Aku pun mulai masuk ke dalam mengikutinya. Ruangan yang rapi, bersih dan nampak tertata dengan baik isinya.
"Adrian, duduk di sini."
Aku pun duduk di sebuah sofa bed, ia berlalu menuju dapur lalu membuka kulkas. Aku masih melihat-lihat seisi ruangan ini, "Adrian, kamu minum alkohol ngga?"
Anggukkan kepalaku cukup menjawab pertanyaannya, ia kembali membawakan sebotol bir berukuran sedang dan sebuah botol anggur lengkap dengan gelasnya. Aku mulai membuka tutup botol bir ini, Renata mulai menuangkan anggur ke dalam gelas.
Ting! Suara botol dan gelas yang beradu pelan, kami pun mulai minum dengan pelan.
"Ini punya kamu?" Tanyaku.
"Iya, aku baru punya ini beberapa bulan yang lalu. Oh, tepatnya sebelum ketemu kamu di acara kampus waktu itu." Jawabnya.
"Bentar..." aku menghadapnya, "kalau aku pikir kan rumah kamu ngga jauh dari sini."
"Aku butuh tempat sendiri aja buat ngelakuin apa yang aku suka, kayak itu..." Renata menunjuk sudut ruangan berisi banyak bunga, "Mama alergi sama bunga, aku suka banget sama bunga. Karena aku ngga bisa punya bunga di rumah jadi aku pelihara bunga-bunga itu di sini."
Sebuah alasan yang masuk akal untukku.
"Kamu suka wine?" Tanya Renata.
"Ngga terlalu karena rasanya..."
"Manis..." Renata memotong pembicaraanku, "aku udah nebak pasti jawaban kamu itu."
Aku tersenyum menanggapinya, "Tapi kayaknya aku bisa coba minum wine kali ini."
Renata meminum anggurnya lagi, "Gimana caranya?"
Ku letakkan botol bir di atas meja, ku pegang gelas anggur yang ia juga pegang. Lalu aku menciumnya. Ya, aku menciumnya sambil memegang gelas tersebut. Renata mulai memejamkan matanya, entah berapa lama hingga aku akan menyudahinya. Namun Renata menolaknya, ia semakin mendekatkan dirinya padaku masih dengan menciumku. Kemudian mata kami saling terbuka, kami menyudahinya. Beberapa saat kami terdiam.
"Adrian, aku mau jujur..."
"..."
"... Aku pernah berhubungan seks dengan mantanku."
***
"Memang akhir-akhir ini bisnis kopi sedang marak, kalau itu saya ngga heran. Tapi yang saya heran itu sejak kapan Renata suka sama kopi, meskipun kopi susu ya tetap saja ada kopinya. Saya mulai penasaran, saya coba tanya ke Ari. Ternyata jawabannya ada di kamu Adrian." Kata Papanya Renata.
Aku mengangguk entah kenapa, "Iya Om, kalau emang Renata awalnya ngga suka kopi berarti pertama kali dia minum kopi ya di tempat saya."
"Saya senang sama anak muda kayak kamu ini udah berani coba bisnis, karena kebanyakan dari kalian ini takut untuk mulai. Karena pertimbangan ini lah itu lah, terlalu banyak yang ditakutin." Katanya.
Perbincangan tentang usaha dan bisnis pun dimulai. Papanya Renata nampak sangat ahli jika berbicara dengan bisnis, aku pun baru tau jika ia adalah seorang pebisnis juga bukan hanya orang yang kerja kantoran. Ia juga orang yang cukup penasaran hingga membuatku juga harus sering bicara, ku kira Papanya hanya seorang yang hanya ingin didengar melainkan ia juga seorang pendengar.
"Kayaknya cukup ya bicara soal bisnis, saya mau nanya ke yang lebih personalkali ya. Kamu pacarnya Renata?" Tanyanya.
Sebuah pertanyaan yang akan berdampak ke depannya seperti Butterfly Effect. Aku harus berpikir dengan cepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Papa tebak dong..." perkataan Renata nampak menyelamatkanku, "masa iya harus dikasih tau mulu."
"Hm, kalau Papa tebak nih ya kalian..."
"Permisi Pak Rudi..." seseorang menghampiri kami, "sudah ditunggu di lantai 6 sama yang lain Pak."
"Oh gitu, baik saya segera ke sana..." kemudian ia menatap ke arah Renata dan aku, "Papa tinggal dulu ya, masih ada kerjaan lain. Adrian, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi."
Ia pun berdiri dari duduknya dan dengan cepat aku pun ikut berdiri. Papanya Renata masuk ke dalam lift dan menghilang dari pandangan kami, aku pun terduduk sambil menyandarkan tubuh pada sofa ini.
"Adrian kok kamu lucu banget sih, daritadi duduk tegak terus kayak canggung gitu." Ucap Renata.
"Renata, kenapa kamu ngga bilang kalau kita mau ketemu Papa kamu? Aku ngga nyangka aja bisa ketemu dalam waktu dekat ini." Jawabku cukup cepat.
Renata tersenyum lalu menggenggam tanganku, "Maaf ya aku ngga bilang kalau mau ketemu sama Papa. Abis aku pikir kalian bakalan cocok kalau ngobrol."
Ku ambil nafas panjang beberapa kali, diikuti Renata yang mengusap tanganku. Terlintas mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh Papanya Renata mengenai hubunganku dengan anak perempuannya. Aku berpikir bagaimana jika aku berkata yang sejujurnya mengenai hubungan ini, apakah semuanya akan baik-baik saja tau tidak.
Jam makan siang tiba, bisa diihat dari banyaknya orang yang keluar dari gedung ini. Aku dan Renata memutuskan untuk meninggalkan tempat ini juga. Renata mengajakku untuk pergi ke sebuah taman hiburan yang lokasinya tidak jauh dari kantor ini dan aku pun menyetujuinya, karena hitung-hitung ini adalah waktunya untuk bersantai menikmati liburan.
Tak lama di perjalanan, kami pun tiba. Masuk ke pintu gerbang, Renata selalu menampakkan senyumnya. Nampaknya bisa dibilang ia sangat senang.
"Adrian, kita naik yang itu dulu yuk."
Tanpa persetujuan pun ia sudah menarik tanganku lalu berjalan dengan cukup cepat, aku hanya bisa mengikuti kemana ia mau pergi. Naik ke sebuah wahana yang bisa dibilang hanya sering dinaiki oleh anak-anak, aku dan Renata duduk bersebelahan.
"Kamu yakin mau naik ini? Kok anak-anak semua ya?" Tanyaku.
"Ini seru tau Adrian, cobain deh." Katanya.
Dimulai. Jujur saja memang anak-anak yang menaiki ini nampak sangat senang dengan wahana ini begitu juga dengan Renata, namun jika aku boleh jujur ini adalah wahana yang membosankan. Jika ekspresiku bisa ditangkap oleh kamera, aku hanya memasang wajah datar. Namun semua itu berubah ketika aku melihat ke arah Renata, entah kenapa aku bisa ikut tersenyum juga. Melihatnya yang terlihat sangat menikmati dengan senyum yang selalu ia tampilkan.
"Senyum yang mematikan.."
Wahana ini pun berakhir, aku dan Renata turun. Belum sempat aku menanyakan tentang wahana berikutnya, Renata sudah menarik tanganku entah kemana. Lagi-lagi sebuah wahana yang diperuntukkan untuk anak-anak, aku pun dengan sangat terpaksa harus ikut menaiki wahana ini.
Aku pun sampai lupa sudah berapa wahana yang biasa-biasa saja yang kami naiki. Hingga kali ini aku yang akan memutuskan, "Nah kalau daritadi aku yang ngikutin kamu, sekarang kamu yang harus ikut aku."
"Emang kamu mau naik apa?" Tanya Renata.
"Itu." Kataku sambil menunjukkan jari.
Suara teriakan orang-orang dapat terdengar dengan jelas. Aku melihat ke arah Renata, raut wajahnya menggambarkan ketakutan. Aku pun menyadari akan hal itu, "Eh ngga usah deh, kita main yang lain aja."
"Eh... ayo deh aku juga mau naik itu." Katanya.
"Kamu beneran mau naik itu?" Tanyaku.
"I... iya, ayo kita naik." Ucap Renata.
Beberapa saat mengantre, akhirnya giliran kami yang naik wahana tersebut. Aku dan Renata sudah duduk bersiap-siap untuk memasang pengaman, namun Renata nampak pucat.
"Ren, ayo turun aja. Nggapapa kok." Kataku.
"Eh, ngga kok nggapapa." Katanya.
"Renata jujur aja, kamu takut apa ngga?" Tanyaku.
"Iya, aku..."
Pengaman pun terpasang secara otomatis, pertanda bahwa wahana ini akan segera dimulai. Aku dan Renata tidak bisa membatalkan untuk menaiki wahana ini karena akan mengganggu jalannya wahana dan membuat orang lain harus menunggu lebih lama. Dengan cepat Renata memegang tangan kananku sangat keras.
"Adrian, aku belum pernah naik ini. Aku takut beneran." Katanya.
"Pegang tangan aku aja." Kataku.
"Kamu kira daritadi aku pegangan sama apa Adrian." Katanya lagi.
Permainan pun dimulai, aku sudah tidak ingat lagi seberapa keras teriakan Renata. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya selesai. Kami pun turun dan berjalan keluar dari wahana ini.
"Seru kan Ren? Aku bilang juga... Renata kamu nangis?"
Renata meneteskan air mata, dengan cepat aku memeluknya. Aku tidak akan menyangka sampai seperti ini, Renata benar-benar ketakutan. Ku usap kepalanya beberapa kali, mencoba untuk menenangkannya. Ada rasa bersalah ketika aku mengajaknya untuk menaiki sesuatu yang ia takuti, bahkan hingga ia menangis.
"Ren, maaf aku ngga tau kalau kamu takut." Kataku.
Setelah beberapa saat akhirnya ia kembali menampakkan wajahnya, bekas air mata masih nampak terlihat jelas. Aku pun mulai menyeka air matanya dengan ibu jari tanganku, "Nggapapa kok, aku juga ngga bilang kalau aku takut."
Aku memutuskan untuk mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Kemudian aku kembali berdiri, "Tunggu sebentar."
Aku beranjak menuju sebuah tempat yang menjual es krim, ku pesan sebuah es krim vanila bertabur kacang almond lalu ku bawakan kepada Renata.
"Sebagai tanda permintaan maaf dari aku..." ku berikan kepadanya, "silahkan dimakan."
Ia tersenyum memandangiku, "Makasih Adrian."
Renata mulai memakan es krim tersebut, sesekali ia menyuapiku. Dari apa yang ku lihat, nampaknya semuanya sudah kembali normal. Es krim pun habis, aku membersihkan bibirnya dengan tisu yang ia bawa.
"Kamu mau naik apa lagi? Kamu deh yang tentuin." Kataku.
"Beneran kamu mau meskipun bosenin?" Tanyanya.
Aku mengangguk. Dengan cepat aku menyesal. Rasa bosan dengan wahana yang biasa saja membuatku ingin menyudahinya dengan cepat. Namun kembali aku melihat ke arah Renata, ia nampak sangat senang. Lagi-lagi hal semudah itu saja bisa membuatku ikut tersenyum.
Hari semakin sore, matahari akan segera tenggelam. Entah sudah berapa wahana yang kami naiki.
"Gimana kalau penutup aku yang pilih." Kataku.
"Kamu mau naik apa? Kalau yang kayak tadi lagi mending kamu aja yang naik, aku di sini aja." Katanya.
"Ngga kok, cuma itu." Kataku sambil menunjuk lagi.
Renata menatap ke wahana itu, "Kalau itu aku setuju."
Kami pun akhirnya menaiki wahana ini sebagai penutup acara ke taman hiburan. Perlahan-lahan hingga akhirnya kami berada di titik paling tinggi dari wahana ini. Pemandangan yang sangat indah terpampang jelas dari sini, seluruh taman bermain dapat terlihat, hamparan laut yang luas, dan juga matahari yang akan segera tenggelam. Renata menyandarkan tubuhnya padaku, aku masih memandangi seberapa besar luasnya lautan di sana.
"Adrian, makasih ya udah mau nemenin ke sini." Katanya.
Tak ada satu kata yang ku ucapkan, aku hanya mengusap kepalanya beberapa kali. Dan akhirnya kami pun turun dari wahana ini. Malam pun tiba, aku dan Renata sudah di atas motor di antara beberapa kendaraan yang lalu lalang bersamaan.
"Kita makan dulu ya, kamu belum makan dari siang." Kataku.
"Mau makan apa?" Tanya Renata.
"Alergi makanan laut ngga?" Tanyaku.
Renata menggelengkan kepalanya. Beberapa menit di perjalanan akhirnya kami tiba di sebuah warung tenda makanan laut yang biasa ku datangi. Kami pun masuk ke dalam, beberapa orang sudah memenuhi kursi tapi beruntungnya kami masih dapat tempat.
"Loh Mas Adrian yang dateng toh, piye kabare? Monggo." Kata pemilik warung ini.
"Apik Cak Kus." Jawabku sambil menjabat tangannya.
Aku dan Renata mulai memesan makanan untuk dimakan. Memang membutuhkan waktu lebih lama jika akan memakan makanan laut karena mengolahnya saja butuh waktu.
"Kamu kenal sama yang punya?" Tanya Renata.
"Kenal, warung ini udah jadi langganan aku dari SMA. Terbukti enaknya cukup dengan liat aja berapa banyak yang makan di sini." Kataku.
Aku melihat sesuatu yang berbeda dari Renata, ia nampak canggung dengan suasana di warung ini. Tidak seperti Renata yang biasanya, namun jika kutebak ia tidak nyaman berada di sini.
"Ren, kamu ngga biasa ya makan di warung kayak gini?" Tanyaku.
"Eh, ngga kok. Maksudnya aku biasa makan..."
"Renata..."
Ia terdiam sesaat kemudian ia menggenggam tanganku, "Kalau aku boleh jujur, ini kedua kalinya aku makan di pinggir jalan kayak gini."
"Kedua kalinya? Kapan yang pertama?" Tanyaku.
"Kamu inget ngga dulu waktu Ferdi mau kasih aku uang? Akhirnya uang itu kita beliin nasi goreng di seberang ruko?" Katanya.
"Oh iya aku inget. He? Bentar, ini baru kedua kalinya kamu makan di pinggir jalan?..." aku menatapnya dengan heran, "kalau gitu kita bungkus aja deh terus makan di rumah."
"Adrian jangan, nggapapa kita makan di sini aja." Katanya.
"Kamu serius? Jangan kayak wahana tadi loh nanti kamu nyesel." Kataku.
"Iya Adrian beneran nggapapa, ini ngga kayak wahana tadi." Katanya.
Sesaat aku terdiam memandanginya, aku takut Renata semakin tidak nyaman dengan suasana saat ini. Makanan pun tiba, aku belum mulai makan karena aku mau memastikan Renata akan baik-baik saja ketika makan. Suapan pertama berhasil ia lakukan, aku masih menunggu reaksinya. Matanya terbuka lebar, dengan sambil mengunyah ia menepukku beberapa kali.
"Adrian, ini enak banget!" Katanya.
"Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya aku bisa makan dengan tenang." Kataku.
"Maksudnya gimana?" Tanyanya.
Aku mulai memakan makanan tersebut, "Daritadi tuh aku nungguin reaksi kamu gimana sama makanan di sini. Kalau emang ngga cocok ya berbahaya, eh ternyata aman."
Renata memukulku pelan beberapa kali, kami pun mulai makan. Dan semuanya habis, kami pun meninggalkan tempat ini menaiki Syailendra.
"Adrian, kamu mau ikut ngga?" Tanya Renata dari belakang.
"Ikut kemana?" Tanyaku balik padanya.
Renata mulai mengarahkan jalannya. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya kami tiba di sebuah komplek apartemen. Setelah parkir, aku diajaknya masuk ke dalam bangunan tersebut.
Ting! Pintu lift terbuka, kami sudah tiba di lantai 11 bangunan ini. Renata masih menggenggam tanganku dan menuntunku ke sebuah pintu kamar yang berada di sudut lantai ini.
"Kamu masih simpen kunci yang aku kasih waktu itu?" Tanya Renata.
"Ini?" Kataku sambil menunjukkan kunci motor padanya.
Kunci motor Syailendra bukan satu-satunya, namun ada beberapa kunci yang menjadi satu di sebuah gantungan stainless. Di antara kunci tersebut ada sebuah kunci yang Renata berikan padaku. Ia mengangguk, dan aku menyadari kunci yang ia berikan adalah kunci pintu kamar ini.
Pintu terbuka setelah ku buka dengan kunci itu, Renata masuk terlebih dahulu lalu menyalakan lampu-lampu yang ada. Aku pun mulai masuk ke dalam mengikutinya. Ruangan yang rapi, bersih dan nampak tertata dengan baik isinya.
"Adrian, duduk di sini."
Aku pun duduk di sebuah sofa bed, ia berlalu menuju dapur lalu membuka kulkas. Aku masih melihat-lihat seisi ruangan ini, "Adrian, kamu minum alkohol ngga?"
Anggukkan kepalaku cukup menjawab pertanyaannya, ia kembali membawakan sebotol bir berukuran sedang dan sebuah botol anggur lengkap dengan gelasnya. Aku mulai membuka tutup botol bir ini, Renata mulai menuangkan anggur ke dalam gelas.
Ting! Suara botol dan gelas yang beradu pelan, kami pun mulai minum dengan pelan.
"Ini punya kamu?" Tanyaku.
"Iya, aku baru punya ini beberapa bulan yang lalu. Oh, tepatnya sebelum ketemu kamu di acara kampus waktu itu." Jawabnya.
"Bentar..." aku menghadapnya, "kalau aku pikir kan rumah kamu ngga jauh dari sini."
"Aku butuh tempat sendiri aja buat ngelakuin apa yang aku suka, kayak itu..." Renata menunjuk sudut ruangan berisi banyak bunga, "Mama alergi sama bunga, aku suka banget sama bunga. Karena aku ngga bisa punya bunga di rumah jadi aku pelihara bunga-bunga itu di sini."
Sebuah alasan yang masuk akal untukku.
"Kamu suka wine?" Tanya Renata.
"Ngga terlalu karena rasanya..."
"Manis..." Renata memotong pembicaraanku, "aku udah nebak pasti jawaban kamu itu."
Aku tersenyum menanggapinya, "Tapi kayaknya aku bisa coba minum wine kali ini."
Renata meminum anggurnya lagi, "Gimana caranya?"
Ku letakkan botol bir di atas meja, ku pegang gelas anggur yang ia juga pegang. Lalu aku menciumnya. Ya, aku menciumnya sambil memegang gelas tersebut. Renata mulai memejamkan matanya, entah berapa lama hingga aku akan menyudahinya. Namun Renata menolaknya, ia semakin mendekatkan dirinya padaku masih dengan menciumku. Kemudian mata kami saling terbuka, kami menyudahinya. Beberapa saat kami terdiam.
"Adrian, aku mau jujur..."
"..."
"... Aku pernah berhubungan seks dengan mantanku."
***
oktavp dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas