- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1709
Latihan Pertama
Keberadaan band baru bentukan gue dan Arko ditambah dengan keberadaan Emi sebagai manajer membuat hubungan gue dan Emi lebih banyak dihabiskan secara profesional. Gue jadi lebih banyak berbicara secara profesional sebagai manajer-vokalis ketimbang sebagai pasangan kekasih. Disini pula gue seperti kurang menyadari hal tersebut.
Mungkin karena keinginan gue untuk membentuk sebuah band sebagai pelarian dari real-life yang cukup membosankan terwujud. Apalagi dengan adanya Emi sebagai manajer baru memberikan warna yang berbeda di band ini. Dia jauh lebih baik dari Ara dalam hal mengkonsep sebuah band.
Emi mau belajar untuk mengerti masalah teknik di band, dan bagaimana dia mau juga melakukan riset tentang pergerakan penonton atau fans di acara jepangan. Dia bisa mengidentifikasi apa sih yang di inginkan oleh para penggemar musik jepangan yang datang ke event jepangan di Jabodetabek.
Pada akhirnya datanglah kesimpulan kalau band yang biasa gue bawakan dulu dan band kesenangan Emi sudah lewat masanya. Sekarang adalah masanya untuk membawakan musik yang sama sekali berbeda dengan yang biasa kami bawakan dulu.
Kenapa menurut Emi harus begitu? Namanya juga band ini adalah band baru yang walaupun sebenarnya isinya adalah orang-orang lama. Dan kami nggak seberuntung band-band yang sudah eksis dari lama di jepangan dan nggak pernah benar-benar meninggal skena ini. Sedangkan kami, masing-masing individunya sudah lama nggak berkecimpung dan berhubungan dengan entitas komunitas ini. Ternyata Emi pun sama. ini yang menjadi kesulitan tersendiri, tapi inilah tantangan baru dan Emi sukses meyakinkan kami kalau dia bisa buat kami jaya seperti dulu dalam waktu kurang dari satu tahun.
Gue selalu percaya dengan kemampuan Emi. Gue tau Emi masih tergolong amatir dan minim pengalaman untuk mengurusi urusan band seperti ini. Tapi gue selalu yakin dia bisa karena pengalaman dia mengurus komunitas pecinta band XYZ sampai ke ranah internasional serta mengelola berbagai macam blog serta komunitas lainnya yang berhubungan dengan jepangan, di sela-sela kesibukannya sebagai anak SMA percepatan dan setelahnya menjadi bagian dari almamater jurusan gue yang sibuknya juga nggak kira-kira.
Urusan manajemen seperti ini gue nggak pernah meragukan Emi. bahkan di urusan hubungan personal kamipun, Emi berhasil mengatur segala sesuatunya menjadi lebih baik. Ini pulalah yang membuat gue seperti terbuai dan keenakan dengan adanya Emi disamping gue.
Gue jadi lebih leluasa untuk bergerak karena semuanya sudah tersedia dan tinggal enaknya doang, ketika Emi selalu berada disamping gue. Gue pun seperti ketergantungan dengan Emi. Nggak ada Emi, entah bagaimana gue melanjutkan hidup gue yang terlanjur suka-sukanya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Termasuk perasaan Emi sendiri.
Gue seperti terlalu banyak berbuat negatif yang pada akhirnya menyakiti hati Emi. Tetapi hal itu selalu nggak sadar gue lakukan. Semuanya seolah berjalan normal sesuai dengan keinginan gue tanpa sadar kalau sebenarnya itu membuat kerugian dimata orang lain.
Keberadaan Alya dan juga Dee membuat kehidupan gue menjadi berwarna. Tapi warnanya tentu saja hitam. Hitam karena ini merupakan sebuah kesalahan besar. Emi sudah melakukan yang terbaik untuk gue, tetapi ternyata gue selalu saja mengecewakannya. Mungkin dengan Dee, Emi sudah mengetahui urusannya. Tapi kalau dengan Alya? Dia belum mengetahui sama sekali.
Gue sendiri juga nggak pernah benar-benar mengetahui motif Alya mendekati gue untuk apa. Gue sudah mau berkonsentrasi untuk Emi aja, tapi selalu aja ada halangan dan distraksi perasaan yang bikin semuanya selalu menjadi berantakan. Berantakan di tatanan pikiran gue, bukan di Emi. tapi gue udah tau juga kalau semua ini Emi ketahui, maka akan berantakan juga dipikirannya.
Di titik inilah ujian ini selalu datang. Ujian kesetiaan, ujian kesabaran, serta ujian lainnya bertubi-tubi datang mengiringi hubungan gue dan Emi yang penuh liku dan cukup terjal dibandingkan dengan hubungan-hubungan gue sebelumnya.
Alya semenjak pertemuan pertama dengan gue itu semakin aktif dan agresif saja untuk menghubungi gue. Gilanya, dia juga tau kalau gue mau ngeband lagi. Padahal gue nggak pernah cerita dengan siapapun. Entah dia mengetahui hal ini dari siapa gue nggak pernah tau.
Semakin hari, intensitas percakapan gue dengan Alya semakin kencang saja. Kalau dari siang menjelang malam, obrolannya ya biasa-biasa aja. tapi kalau sudah masuk malam hari dan lewat dari jam 9 malam, percakapan selalu menjurus ke hal-hal yang iya-iya. Selalu saja yang membuka topik tersebut Alya, nggak pernah dari gue. Anak ini seperti nggak melihat gue dulu adalah seniornya di Paskib dan berbeda beberapa angkatan.
Jika menurut Alya, gue menempatkan diri gue sebagai apa adanya gue, nggak menempatkan diri sebagai seniornya dia. makanya dia nyaman aja. sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Nurul dulu, begitu juga dengan Diani, Dee bahkan sampai ke Anis dulu juga berbicara seperti itu.
Keadaan seperti ini juga yang dialami Emi. Emi menganggap gue sebagai orang yang seumuran dengan dia yang memiliki hobi yang sama. Bukan senior dia yang angkatannya berbeda cukup jauh. Hal ini menjadi suatu compliment untuk gue. Berarti usaha gue yang selalu mau mengikuti arus perkembangan jaman cukup berhasil.
--
Latihan perdana sudah tinggal menunggu waktu aja. Gue dan Arko serta Emi sudah lebih dulu datang ke studio. Emi belum juga memastikan siapa gitaris yang satunya lagi selain Vino. Sementara bassist kami yang bernama Rahman belum juga menampakkan diri.
Setelah sekitar menunggu setengah jam dan sudah mau masuk ke studio, Vino datang. Kebetulan Arko sudah tidak perlu kenalan lagi karena kami sempat bekerjasama dimasa lalu. Jadi udah kenal dari lama. Jelang masuk, kejutan terjadi.
Ternyata Emi berhasil 100% membujuk Drian untuk bergabung dengan band ini. Alasan pertemanan yang sudah lama menjadi keutamaan katanya.
“Wah ternyata lo Dri yang jadi gitaris. Anjir ini mah berasa reuni jaman dulu kita. Hahaha.” Ujar Arko.
“Hahaha. Iya, gue disuruh diem aja sama Emi. padahal kita kan masih punya grup WA.” Kata Drian santai.
“Gimana? Tokcer kan SSI aku.” Kata Emi bangga.
“Betul banget lah udah dia jadi manajer Ja. mantap udah. Mudah-mudahan ntar dia juga bisa negosiasi sama panitia-panitia acara ye. Jangan mau kalah sama manajer terdahulu kita ya Mi. gue yakin kok lo mampu. Apalagi lo kan sama almamaternya sama Ija dan Vino. Jadi secara otak juga pasti diatas rata-rata kemampuannya.” Puji Arko.
“Ah suka begitu bapak Arko ini…hehehehe.” Emi menyahut dengan nada ala-ala bapak-bapak mesum.
“Hahaha, Emi gokil juga lo ya.” kata Drian.
“Berarti tinggal nunggu si Rahman aja ya ini? Udah tinggal lima menitan lagi nih. Gimana? Mau masuk duluan nggak?” tawar Arko.
“Bisa sih ini masuk dulu. Lo kan bawa peralatan paling banyak, nyeting juga paling makan waktu.” Kata gue.
“Iya mending masuk dulu aja. bilang aja ntar kita mau nyeting dulu, jadi itung waktu mainnya sesuai normal aja. biarin kita tes dulu si Emi bisa nggak nih nego sama abang-abang yang jaga studio.” Kata Arko.
“Lah, aku di tes nih jadinya sama kalian?” tanya Emi.
“Dikit. Biar makin yakin. Hahahaha.” Sahut gue.
“Wah a*u sekali anda sekalian ya.” kata Emi, ekspresi mukanya merengut lucu.
Arko berbisik juga ke gue kalau Vino sebenarnya belum resmi banget. Tes aja dulu, kalau Drian sih udah pasti. Dulu kan Vino kelihatan skillnya sebagai bassist. Sedangkan sekarang dia mau diajak sebagai gitaris tandemnya Drian. Jadi baiknya di tes aja dulu. Toh diawal gue ngajak main dulu aja, bukan resmi mau direkrut.
Pada akhirnya kami membawakan lagu-lagu yang udah ditentukan Emi. agak gagap juga kami semua karena udah lama nggak latihan di studio barengan. Tetapi yang namanya chemistry yang udah sekian lama dibentuk, apalagi antara gue, Arko dan Drian dari jaman kami masih sekolah, sudah hampir 15 tahun bersama ketika itu, minus beberapa tahun terakhir nggak ngeband bareng, dirasa cukup.
Memang terbukti tidak canggung sama sekali, hanya ritmenya aja diawal mulai latihan masih agak kacau, tapi setelah setengah jam, ritme sudah seirama lagi. Tetapi masih ada yang kurang karena bassist belum juga datang.
Kemampuan Vino di gitar cukup mumpuni diawal latihan ini, walaupun masih jauh dibawah Ito secara teknik bermain maupun mengatur sinkronisasi alatnya. Pengaturan sound masih jadi kendala utama band ini kala itu. Masih susah menemukan sebuah hasil sound yang balance, sehingga enak untuk didengarkan. Bermain metal pun bisa enak didengar kalau mainnya rapi dan juga pengaturan sound-nya baik. Sebaliknya, pop akan terdengar sangat mengganggu ketika hal tersebut abai dilakukan.
Saat itu kami membawakan dua buah lagu dari One Ok Rock, sesuai dengan riset awal Emi. Semua terlihat nyaman membawakan lagu ini. Tapi harus diakui bahwa musik band ini nggak terlalu masuk di hati gue, mungkin juga di hati Arko dan Drian. Kami bisa membawakannya dengan baik, meskipun kenyataannya, secara feel, lagu-lagu band ini nggak tersampaikan dengan baik. Hal ini juga yang dirasakan Emi sebagai manajer, dan juga penonton awam yang nggak ngerti soal teknik bermusik.
“Aku kok ngerasa masih ada yang kurang ya.” kata Emi disela istirahat kami didalam studio.
“Iya, maklum sih, baru awal-awal. Mungkin juga karena instrumennya belum lengkap.” Kata gue yang mengisi posisi bass sambil bernyanyi, suatu hal yang sulit dan membuat gue nggak konsen antara nyanyi atau bermain bass dengan baik.
“Iya nih, maaf juga ya. gue kan sebelumnya udah lama banget nggak ngeband rutin kayak kalian. Makanya gue masih agak gugup sama keadaan ini.” Vino, si pendiam yang cerdas akhirnya bersuara juga.
“Tapi ini si bassist kemana ya? coba hubungin deh Mi.” usul Drian.
“Nggak tau nih, tadi pas kalian latihan didalam aku udah coba hubungin. Tapi nggak diangkat. Mungkin dia lagi dijalan kali.” Kata Emi.
Sampai akhirnya kami selesai latihan pertama, sang bassist nggak nampak batang hidungnya. Ada rasa kecewa di raut wajah Emi. gue pun berusaha untuk menyenangkannya, dengan berbagai macam cara. Tapi sepertinya Emi pun juga lagi nggak mau terlalu dekat dengan gue. entah kenapa. Atau dia mulai curiga dengan sikap gue? entahlah. Gue juga nggak mau berasumsi.
Pada akhirnya kami pulang kerumah masing-masing. Gue pun mengantar Emi pulang kerumahnya. Dia katanya mau nyicil juga urusan dengan skripsinya yang sempat tertunda. Dia mau mengajukan jadwal seminar hasil skripsinya dan juga berencana mengajukan jadwal sidang skripsinya.
Semakin hari, komunikasi gue dan Emi benar-benar berkisar urusan profesional dan sangat kaku. Nggak ada keluwesan sama sekali. gue pun akhirnya memutuskan untuk menjaga percakapan gue, demi bisa mendapatkan rasa kangen dengan dia. Hal ini gue lakukan karena gangguan yang nggak berhenti dari Alya dan Dee.
“Kang, kostan sebelah gue baru aja abis. Kosong tuh sekarang. Lo nggak minat ngekost disini? Kan dekat juga dari kantor lo.” kata Alya di suatu chat malam.
Mungkin karena keinginan gue untuk membentuk sebuah band sebagai pelarian dari real-life yang cukup membosankan terwujud. Apalagi dengan adanya Emi sebagai manajer baru memberikan warna yang berbeda di band ini. Dia jauh lebih baik dari Ara dalam hal mengkonsep sebuah band.
Emi mau belajar untuk mengerti masalah teknik di band, dan bagaimana dia mau juga melakukan riset tentang pergerakan penonton atau fans di acara jepangan. Dia bisa mengidentifikasi apa sih yang di inginkan oleh para penggemar musik jepangan yang datang ke event jepangan di Jabodetabek.
Pada akhirnya datanglah kesimpulan kalau band yang biasa gue bawakan dulu dan band kesenangan Emi sudah lewat masanya. Sekarang adalah masanya untuk membawakan musik yang sama sekali berbeda dengan yang biasa kami bawakan dulu.
Kenapa menurut Emi harus begitu? Namanya juga band ini adalah band baru yang walaupun sebenarnya isinya adalah orang-orang lama. Dan kami nggak seberuntung band-band yang sudah eksis dari lama di jepangan dan nggak pernah benar-benar meninggal skena ini. Sedangkan kami, masing-masing individunya sudah lama nggak berkecimpung dan berhubungan dengan entitas komunitas ini. Ternyata Emi pun sama. ini yang menjadi kesulitan tersendiri, tapi inilah tantangan baru dan Emi sukses meyakinkan kami kalau dia bisa buat kami jaya seperti dulu dalam waktu kurang dari satu tahun.
Gue selalu percaya dengan kemampuan Emi. Gue tau Emi masih tergolong amatir dan minim pengalaman untuk mengurusi urusan band seperti ini. Tapi gue selalu yakin dia bisa karena pengalaman dia mengurus komunitas pecinta band XYZ sampai ke ranah internasional serta mengelola berbagai macam blog serta komunitas lainnya yang berhubungan dengan jepangan, di sela-sela kesibukannya sebagai anak SMA percepatan dan setelahnya menjadi bagian dari almamater jurusan gue yang sibuknya juga nggak kira-kira.
Urusan manajemen seperti ini gue nggak pernah meragukan Emi. bahkan di urusan hubungan personal kamipun, Emi berhasil mengatur segala sesuatunya menjadi lebih baik. Ini pulalah yang membuat gue seperti terbuai dan keenakan dengan adanya Emi disamping gue.
Gue jadi lebih leluasa untuk bergerak karena semuanya sudah tersedia dan tinggal enaknya doang, ketika Emi selalu berada disamping gue. Gue pun seperti ketergantungan dengan Emi. Nggak ada Emi, entah bagaimana gue melanjutkan hidup gue yang terlanjur suka-sukanya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Termasuk perasaan Emi sendiri.
Gue seperti terlalu banyak berbuat negatif yang pada akhirnya menyakiti hati Emi. Tetapi hal itu selalu nggak sadar gue lakukan. Semuanya seolah berjalan normal sesuai dengan keinginan gue tanpa sadar kalau sebenarnya itu membuat kerugian dimata orang lain.
Keberadaan Alya dan juga Dee membuat kehidupan gue menjadi berwarna. Tapi warnanya tentu saja hitam. Hitam karena ini merupakan sebuah kesalahan besar. Emi sudah melakukan yang terbaik untuk gue, tetapi ternyata gue selalu saja mengecewakannya. Mungkin dengan Dee, Emi sudah mengetahui urusannya. Tapi kalau dengan Alya? Dia belum mengetahui sama sekali.
Gue sendiri juga nggak pernah benar-benar mengetahui motif Alya mendekati gue untuk apa. Gue sudah mau berkonsentrasi untuk Emi aja, tapi selalu aja ada halangan dan distraksi perasaan yang bikin semuanya selalu menjadi berantakan. Berantakan di tatanan pikiran gue, bukan di Emi. tapi gue udah tau juga kalau semua ini Emi ketahui, maka akan berantakan juga dipikirannya.
Di titik inilah ujian ini selalu datang. Ujian kesetiaan, ujian kesabaran, serta ujian lainnya bertubi-tubi datang mengiringi hubungan gue dan Emi yang penuh liku dan cukup terjal dibandingkan dengan hubungan-hubungan gue sebelumnya.
Alya semenjak pertemuan pertama dengan gue itu semakin aktif dan agresif saja untuk menghubungi gue. Gilanya, dia juga tau kalau gue mau ngeband lagi. Padahal gue nggak pernah cerita dengan siapapun. Entah dia mengetahui hal ini dari siapa gue nggak pernah tau.
Semakin hari, intensitas percakapan gue dengan Alya semakin kencang saja. Kalau dari siang menjelang malam, obrolannya ya biasa-biasa aja. tapi kalau sudah masuk malam hari dan lewat dari jam 9 malam, percakapan selalu menjurus ke hal-hal yang iya-iya. Selalu saja yang membuka topik tersebut Alya, nggak pernah dari gue. Anak ini seperti nggak melihat gue dulu adalah seniornya di Paskib dan berbeda beberapa angkatan.
Jika menurut Alya, gue menempatkan diri gue sebagai apa adanya gue, nggak menempatkan diri sebagai seniornya dia. makanya dia nyaman aja. sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Nurul dulu, begitu juga dengan Diani, Dee bahkan sampai ke Anis dulu juga berbicara seperti itu.
Keadaan seperti ini juga yang dialami Emi. Emi menganggap gue sebagai orang yang seumuran dengan dia yang memiliki hobi yang sama. Bukan senior dia yang angkatannya berbeda cukup jauh. Hal ini menjadi suatu compliment untuk gue. Berarti usaha gue yang selalu mau mengikuti arus perkembangan jaman cukup berhasil.
--
Latihan perdana sudah tinggal menunggu waktu aja. Gue dan Arko serta Emi sudah lebih dulu datang ke studio. Emi belum juga memastikan siapa gitaris yang satunya lagi selain Vino. Sementara bassist kami yang bernama Rahman belum juga menampakkan diri.
Setelah sekitar menunggu setengah jam dan sudah mau masuk ke studio, Vino datang. Kebetulan Arko sudah tidak perlu kenalan lagi karena kami sempat bekerjasama dimasa lalu. Jadi udah kenal dari lama. Jelang masuk, kejutan terjadi.
Ternyata Emi berhasil 100% membujuk Drian untuk bergabung dengan band ini. Alasan pertemanan yang sudah lama menjadi keutamaan katanya.
“Wah ternyata lo Dri yang jadi gitaris. Anjir ini mah berasa reuni jaman dulu kita. Hahaha.” Ujar Arko.
“Hahaha. Iya, gue disuruh diem aja sama Emi. padahal kita kan masih punya grup WA.” Kata Drian santai.
“Gimana? Tokcer kan SSI aku.” Kata Emi bangga.
“Betul banget lah udah dia jadi manajer Ja. mantap udah. Mudah-mudahan ntar dia juga bisa negosiasi sama panitia-panitia acara ye. Jangan mau kalah sama manajer terdahulu kita ya Mi. gue yakin kok lo mampu. Apalagi lo kan sama almamaternya sama Ija dan Vino. Jadi secara otak juga pasti diatas rata-rata kemampuannya.” Puji Arko.
“Ah suka begitu bapak Arko ini…hehehehe.” Emi menyahut dengan nada ala-ala bapak-bapak mesum.
“Hahaha, Emi gokil juga lo ya.” kata Drian.
“Berarti tinggal nunggu si Rahman aja ya ini? Udah tinggal lima menitan lagi nih. Gimana? Mau masuk duluan nggak?” tawar Arko.
“Bisa sih ini masuk dulu. Lo kan bawa peralatan paling banyak, nyeting juga paling makan waktu.” Kata gue.
“Iya mending masuk dulu aja. bilang aja ntar kita mau nyeting dulu, jadi itung waktu mainnya sesuai normal aja. biarin kita tes dulu si Emi bisa nggak nih nego sama abang-abang yang jaga studio.” Kata Arko.
“Lah, aku di tes nih jadinya sama kalian?” tanya Emi.
“Dikit. Biar makin yakin. Hahahaha.” Sahut gue.
“Wah a*u sekali anda sekalian ya.” kata Emi, ekspresi mukanya merengut lucu.
Arko berbisik juga ke gue kalau Vino sebenarnya belum resmi banget. Tes aja dulu, kalau Drian sih udah pasti. Dulu kan Vino kelihatan skillnya sebagai bassist. Sedangkan sekarang dia mau diajak sebagai gitaris tandemnya Drian. Jadi baiknya di tes aja dulu. Toh diawal gue ngajak main dulu aja, bukan resmi mau direkrut.
Pada akhirnya kami membawakan lagu-lagu yang udah ditentukan Emi. agak gagap juga kami semua karena udah lama nggak latihan di studio barengan. Tetapi yang namanya chemistry yang udah sekian lama dibentuk, apalagi antara gue, Arko dan Drian dari jaman kami masih sekolah, sudah hampir 15 tahun bersama ketika itu, minus beberapa tahun terakhir nggak ngeband bareng, dirasa cukup.
Memang terbukti tidak canggung sama sekali, hanya ritmenya aja diawal mulai latihan masih agak kacau, tapi setelah setengah jam, ritme sudah seirama lagi. Tetapi masih ada yang kurang karena bassist belum juga datang.
Kemampuan Vino di gitar cukup mumpuni diawal latihan ini, walaupun masih jauh dibawah Ito secara teknik bermain maupun mengatur sinkronisasi alatnya. Pengaturan sound masih jadi kendala utama band ini kala itu. Masih susah menemukan sebuah hasil sound yang balance, sehingga enak untuk didengarkan. Bermain metal pun bisa enak didengar kalau mainnya rapi dan juga pengaturan sound-nya baik. Sebaliknya, pop akan terdengar sangat mengganggu ketika hal tersebut abai dilakukan.
Saat itu kami membawakan dua buah lagu dari One Ok Rock, sesuai dengan riset awal Emi. Semua terlihat nyaman membawakan lagu ini. Tapi harus diakui bahwa musik band ini nggak terlalu masuk di hati gue, mungkin juga di hati Arko dan Drian. Kami bisa membawakannya dengan baik, meskipun kenyataannya, secara feel, lagu-lagu band ini nggak tersampaikan dengan baik. Hal ini juga yang dirasakan Emi sebagai manajer, dan juga penonton awam yang nggak ngerti soal teknik bermusik.
“Aku kok ngerasa masih ada yang kurang ya.” kata Emi disela istirahat kami didalam studio.
“Iya, maklum sih, baru awal-awal. Mungkin juga karena instrumennya belum lengkap.” Kata gue yang mengisi posisi bass sambil bernyanyi, suatu hal yang sulit dan membuat gue nggak konsen antara nyanyi atau bermain bass dengan baik.
“Iya nih, maaf juga ya. gue kan sebelumnya udah lama banget nggak ngeband rutin kayak kalian. Makanya gue masih agak gugup sama keadaan ini.” Vino, si pendiam yang cerdas akhirnya bersuara juga.
“Tapi ini si bassist kemana ya? coba hubungin deh Mi.” usul Drian.
“Nggak tau nih, tadi pas kalian latihan didalam aku udah coba hubungin. Tapi nggak diangkat. Mungkin dia lagi dijalan kali.” Kata Emi.
Sampai akhirnya kami selesai latihan pertama, sang bassist nggak nampak batang hidungnya. Ada rasa kecewa di raut wajah Emi. gue pun berusaha untuk menyenangkannya, dengan berbagai macam cara. Tapi sepertinya Emi pun juga lagi nggak mau terlalu dekat dengan gue. entah kenapa. Atau dia mulai curiga dengan sikap gue? entahlah. Gue juga nggak mau berasumsi.
Pada akhirnya kami pulang kerumah masing-masing. Gue pun mengantar Emi pulang kerumahnya. Dia katanya mau nyicil juga urusan dengan skripsinya yang sempat tertunda. Dia mau mengajukan jadwal seminar hasil skripsinya dan juga berencana mengajukan jadwal sidang skripsinya.
Semakin hari, komunikasi gue dan Emi benar-benar berkisar urusan profesional dan sangat kaku. Nggak ada keluwesan sama sekali. gue pun akhirnya memutuskan untuk menjaga percakapan gue, demi bisa mendapatkan rasa kangen dengan dia. Hal ini gue lakukan karena gangguan yang nggak berhenti dari Alya dan Dee.
“Kang, kostan sebelah gue baru aja abis. Kosong tuh sekarang. Lo nggak minat ngekost disini? Kan dekat juga dari kantor lo.” kata Alya di suatu chat malam.
itkgid dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup