- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#43
Spoiler for Episode 11:
"Pagi Mas Adrian..."
"Pagi Bel..." aku berjalan melewatinya, "Ferdi kemana?"
"Lagi di kamar mandi Mas." Jawabnya.
Ku letakkan tas dan sweaterdi tempat biasa, kemudian ku kenakan apron lalu menuju ke mesin kopi. Tak lama berselang keluarlah Ferdi dari dalam kamar mandi sambil mengusap-usap perutnya, tentu saja itu membuatku bertanya-tanya.
"Ngandung Fer? Subur juga." Kataku.
"Ngandung? Mata lu sempal, gimana caranya coba..." Ferdi berjalan menuju tempat kami, "kayaknya kemarin salah makan nih. Bukan salah makan sih tapi sambelnya kebanyakan."
"Oh yang semalem kita makan pecel lele itu Bang?" Sahut Bella.
Ferdi mengangguk kepadanya kemudian aku pun mendekat, "Lu makan sambel? Sejak kapan Fer?"
"Loh emang Bang Ferdi ngga bisa makan sambel? Tapi kemarin kok nambah sambelnya?" Tanya Bella penasaran.
"Nambah?..." Aku menengok ke arah Ferdi dengan cepat, "kesetanan lu ya? Dari seumur gue kenal sama lu, ngga pernah sekalipun lu mau gue ajak makan yang ada sambelnya."
"Tenang saudara-saudara sekalian..." tangan Ferdi seperti melerai, "saya akan menjelaskan satu per satu, jangan ada kegaduhan di pagi hari ini. Jadi pertama yang harus saya klarifikasi adalah memang benar saya tidak pernah makan sambel selama hidup saya sampai tadi malam."
"Edan udah kayak presscon artis aja." Kataku.
"Udah diem dulu..." Ferdi protes kepadaku, "jadi semalem gue sama Bella makan di pecel lele deket rumahnya. Ngga tau kenapa bau sambelnya tuh enak banget dan gue coba deh untuk pertama kalinya. Loh kok enak, jadi selama ini sambel-sambel yang ngga pernah gue makan itu rasanya enak. Ya gue abisin jadinya tuh sambel."
"Dan sampai nambah. Aku pikir Bang Fer emang seneng sama sambel jadi ya biasa aja ngeliatnya. Eh taunya malah belum pernah makan sambel." Jelas Bella.
Beberapa kali aku tepuk tangan, "Hebat juga kamu Bel bisa bikin orang yang ngga bisa makan pedes sampai nambah loh."
Kling! Tak terasa pelanggan pertama pada pagi hari ini sudah tiba, kami menghentikan pembicaraan kami untuk kembali bertugas. Ferdi yang kondisinya sedang tidak baik harus bolak-balik ke kamar mandi dan membuat Bella harus menjaga mesin kasir.
"Bel, tetep di kasir aja biar ngga bolak-balik." Kataku.
Ferdi pun harus merelakan kasirnya dan ia bertugas sebagai runner pada hari ini. Pukul 9, semua sudah kembali normal. Ferdi memutuskan keluar untuk pergi ke apotek membeli obat.
"Aku jadi ngga enak Mas ngajak Bang Fer makan pedes." Ucap Bella.
"Ya sebenernya bukan salah kamu juga, dia biasanya emang ngga makan sambel meskipun ke tempat yang sambelnya enak. Entah beruntung atau apes sih sampai akhirnya dia makan pedes." Kataku.
Waktu berlalu hingga siang hari. Ferdi sudah meminum obatnya, nampak kondisinya lebih baik dari tadi pagi hingga aku bisa menyuruh Bella untuk istirahat.
"Mendingan?" Tanyaku.
"Gue ngerti sih kenapa obat yang tadi gue beli mahal banget, ternyata ampuh banget. Ini udah jauh lebih baik..." Ferdi melihat ke arah pintu belakang, "tapi diem-diem aja jangan cerita ke Bella."
"Cerita apaan?" Tanyaku penasaran.
"Awalnya gue pengen keliatan bisa makan sambel aja, tapi lama-kelamaan malah jadi nagih sampai kelewatan." Katanya.
Aku tertawa menanggapinya hingga Ferdi memukul tanganku pelan, "Tapi itu sebuah pencapaian bagus buat lu, jadi kapan-kapan kita bisa makan sambel Bu Rudi."
Melupakan tentang sambel dan seisinya, malam pun tiba. Ferdi sedang mengunci pintu ruko, tak lama kemudian ia bergabung denganku dan Bella di anak tangga.
"Pinjem korek dong..." ia menadah tangan kepadaku, "korek gue abis."
"Bawa aja tuh, gue masih ada di rumah." Kataku sambil menyerahkan korek padanya.
Setelah berhasil menyalakan sebatang rokok, Ferdi pun duduk di antara aku dan Bella. Kebulan asap putih keluar dari mulutnya, "Oh iya udah masuk jatah per enam bulan nih, jadi mau kapan?"
Sedikit penjelasan mengenai apa yang baru saja Ferdi katakan. Kedai yang kami buat memilih hari Minggu untuk libur setiap minggunya, namun akan ada tiga hari libur mulai dari Jum'at hingga Minggu setiap 6 bulan sekali agar kami tidak merasa jenuh dengan rutinitas.
"Gimana Bel? Kali ini kamu yang tentuin mau kapan." Kataku.
"Hm..." sejenak Bella berpikir, "gimana kalau lusa? Pas kan hari Jum'at?"
"Aku sih yes, gimana Mas Anang?" Kata Ferdi.
Kami pun tertawa mendengar hal tersebut, "Udah kayak Indonesian Idol aja, berarti lu Ahmad Dhani ya Fer?"
"Ngga ada mirip-miripnya. Oke kalau gitu lusa ya, nanti gue woro-woro di sosmed. Eh iya ngomong-ngomong Renata kemana? Kok ngga pernah keliatan lagi?" Kata Ferdi.
"Ya sibuk kali." Jawabku singkat.
"Loh Mas Adrian ngga kontakan emangnya sampai ngga tau?" Tanya Bella.
"Bukannya udah jadian?" Tanya Ferdi dengan cepat.
"Tenang saudara-saudara, sekarang waktunya saya klarifikasi..." tanganku seperti melerai, "satu-satu ya, soal kontakan ya jarang ngga tiap hari. Untuk jadian ya mana mungkin."
"Mana mungkin? Maksudnya gimana?" Tanya Ferdi penasaran.
"Ya... mana mungkin aja." Kataku bingung.
"Tapi kalau aku liat-liat nih Mas, Ka Renata kayaknya suka deh sama Mas Adrian. Keliatan kok dari tingkah lakunya." Kata Bella.
"Kamu tau dari mana Bel kan ngga semua orang sama." Kata Ferdi.
"Bukan gitu, maksudnya aku juga perempuan loh Bang jadi seenggaknya bisa tau kalau Ka Renata tuh suka sama Mas Adrian." Jelas Bella.
"Iya juga sih kamu perempuan, cuma kan..."
Perdebatan yang tak terduga pun dimulai antara Ferdi dan Bella, aku hanya bisa mengangguk atau menggelengkan kepala mendengar argumen kedua orang ini. Pikiranku tiba-tiba mengarah ke Renata entah kenapa, aku jadi memikirkan apakah seharusnya aku menyatakan perasaanku secara jujur? Atau mungkin menjalani ini semua tanpa ada kejelasan adalah cara yang lebih baik?
Entah, aku pun tidak tau harus bagaimana. Nampak seperti pengecut yang lari dari sebuah masalah, namun apakah itu adalah sebuah masalah? Lagi-lagi aku tidak tau. Yang pasti sebentar lagi aku akan sampai ke rumah, tinggal belokan terakhir.
Rutinitas yang sama jika aku tiba di rumah. Kali ini aku sedang memegang handphone, menatap layar yang menyala dengan tatapan kosong. Lagi-lagi aku terdiam, kembali memikirkan Renata. Rasanya cukup egois jika aku membiarkan semua ini berjalan tanpa ada sebuah kejelasan.
"Tapi..."
Aku kembali ragu. Terlalu banyak ketakutan yang aku pikirkan. Ku letakkan handphone di meja, ku usap beberapa kali wajahku lalu ku ambil lagi handphone itu. Hingga akhirnya aku bangun dari duduk, berjalan keluar menuju balkon dengan rokok yang sudah menyala. Ya, aku memutuskan untuk menjalani semuanya tanpa ada kejelasan.
*
"Mas, beneran besok tutup sampai Minggu?"
"Bro, buka lagi senin nih?"
Beberapa pertanyaan yang terus berulang terngiang-ngiang di telingaku selagi aku membuat pesanan mereka. Ferdi pun harus menjawab pertanyaan itu berulang kali hingga aku hafal apa jawaban yang ia berikan. Beberapa pelanggan sangat menyayangkan akan hal tersebut, namun layaknya manusia biasa kami pun punya rasa jenuh dalam bekerja atau menjalani rutinitas. Jadi tidak ada salahnya jika sesekali libur kami lebih lama dari biasanya.
"Berbusa nih mulut gue jawabin pertanyaan yang sama." Kata Ferdi pelan padaku.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Bella kembali dari meja pelanggan sambil menarik panjang nafasnya, "Kamu kenapa Bel?"
"Pelanggan pada ngga percaya Mas kalau kita tiga hari libur. Aku udah jelasin berapa kali juga tapi mereka masih tetep nanya." Jelasnya.
"Udah nggapapa..." Ku tepuk pundaknya pelan beberapa kali, "yang penting profesional aja ke pelanggan."
Kling!
"Selamat sore, ada yang bisa dibantu?" Ucap Ferdi seperti biasa.
"Sore, yang spesial di sini apa ya?" Tanya pelanggan.
Ferdi menjelaskan secara detil apa saja informasi tentang menu kami seperti biasa. Hingga pelanggan tersebut memesan beberapa menu untuk dibawa pulang. Butuh beberapa menit untuk membuat semua pesanannya hingga selesai. Ferdi pun memberikan pesanan itu kepada pelanggan beserta kembaliannya.
"Oh kembaliannya buat Mas Adrian aja, terima kasih ya Mas Adrian kopinya." Kata pelanggan itu menatapku.
Ia pergi meninggalkan tempat ini dan membuat kami bertiga terdiam begitu saja mendengar apa yang baru saja ia katakan. Ferdi mendekat ke arahku, "Kok kenalan lu ngga nyapa dari awal?"
"Kenalan dari mana, gue aja ngga kenal dia siapa." Jelasku.
"Loh kok dia tau nama Mas Adrian?" Tanya Bella.
"Nah itu dia makanya gue mikir dia kenalan lu, padahal dia ngga nanya-nanya soal nama." Kata Ferdi lagi.
Kami bertiga pun berhasil dibuat bingung oleh pelanggan itu karena jujur saja aku memang tidak mengenal orang tersebut. Jika memang aku pernah bertemu dengannya sekali saja, maka aku akan ingat siapa orang itu. Namun untuk kali ini aku tidak pernah bertemu dengannya namun ia tau siapa namaku.
Meninggalkan siapa orang tersebut, hari semakin malam. Pelanggan masih memenuhi meja-meja dengan urusan mereka masing-masing, kami hanya tinggal menunggu waktu untuk tutup.
"Mas Adrian mau kemana tiga hari besok?" Tanya Bella.
"Ah dia mah ketebak liburannya ngapain..." Ferdi yang menjawab pertanyaan tersebut, "kalau ngga di rumah doang, ya wisata kopi."
"Nah bener, tapi kayaknya gue ngga wisata kali ini." Kataku.
"Wisata kopi?" Tanya Bella.
"Iya, jadi wisata kopi itu..."
Aku mulai menjelaskan apa itu wisata kopi, sebuah kegiatan yang ku lakukan untuk mendatangi beberapa kedai kopi dalam 3 hari. Bukan hanya sekedar liburan, namun terkadang ada beberapa pertimbangan yang bisa ku dapat untuk memperbaiki kedai ini.
Dan akhirnya kami pun menutup kedai ini, aku sudah duduk di atas Syailendra sedangkan Ferdi dan Bella sudah berada di dalam mobil. Aku meninggalkan ruko ini terlebih dahulu menuju rumah.
"Tiga hari ngapain ya..."
Rasanya ingin beristirahat saja di rumah, namun yang ku bayangkan akan sangat membosankan. Selama perjalanan aku mencoba untuk memikirkan agenda apa saja yang akan ku lakukan. Hingga aku memasuki komplek perumahan tanpa terasa, belokan terakhir sudah ku lalui dan sebentar lagi aku akan tiba.
Ku matikan mesin motor di depan garasi, aku menatap lebih lama ke arah garasi. Sampai akhirnya ku masukkan motor ke dalamnya, lalu aku berlalu ke pintu depan. Kali ini aku juga menatap ke arah lantai pintu depan lebih lama, lalu kemudian aku masuk ke dalam.
"Hai Adrian, udah pulang?"
Tangan kananku sedang memegang sepatuku sedangkan tangan kiriku sedang memegang sepatu Renata, "Iya, sepatu kamu bawa masuk dong jangan di luar."
Ku letakkan sepatu kami bersebelahan. Ya, Renata sudah ada di rumahku lebih dulu. Aku kembali ingat tentang kunci rumah yang ku berikan padanya. Mengenai garasi, sudah ada mobilnya lebih dahulu hingga aku parkir tidak terlalu leluasa.
"Oh iya aku lupa..." Renata menghampiriku, "makasih ya. Eh kamu belum makan kan? Aku masakin buat kamu."
Ia menggandeng tanganku lalu mengajakku ke dapur. Ku lihat memang ia baru saja selesai memasak, bisa dilihat dari beberapa peralatan yang masih di tempat cuci. Kemudian ku lihat apa yang ia masak, "Serius kamu masak ini? Udang goreng mentega kan?"
Ia mengangguk sambil tersenyum. Ia menyuruhku untuk duduk, kemudian Renata mengambilkan nasi yang baru matang. Aku melihat ke arahnya, "Makasih ya Ren."
"Selamat makan Adrian."
Ia berlalu menuju tempat cuci dan mulai membersihkan peralatan. Aku pun mulai makan, tak lama berselang ia duduk di sampingku dan ikut makan juga. Tak ku sangka Renata bisa memasak, bukan bermaksud untuk memandang sebelah mata.
"Kamu bisa masak ini dari mana?" Tanyaku penasaran.
"Hm..." Ia berpikir sambil mengunyah makanan, "kalau ini sih resepnya nyari di internet, cuma kalau bisa masak dari dulu udah hobi kayaknya. Jadi ya bisa nyesuaiin sama resep lain."
Beberapa menit kami habiskan dengan makan sambil berbincang. Selesai dengan makan, kami pun sudah berada di dalam kamarku. Duduk di sebuah sofa, menonton sebuah acara di TV, dengan rokok di tangan kami masing-masing.
"Eh iya besok kamu libur sampai Minggu?" Tanya Renata.
"Hm..." Aku mengangguk beberapa kali, "libur enam bulan sekali biar ngga jenuh aja."
"Apa rencana kamu buat liburan?" Tanyanya lagi.
"Awalnya sih ngga ada, cuma berhubung ada kamu di sini kayaknya aku punya rencana deh." Kataku.
"Oh ya? Kita mau ngapain? Dan seandainya kamu ngga punya rencana pun, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat." Kata Renata.
"Suatu tempat?" Tanyaku.
*
60 km/jam, speedometer motor ini konstan. Aku mengajak Renata ke sebuah tempat pada pagi hari ini. Sudah hampir 45 menit kami berkendara dari rumah, hingga kecepatan motor ini memelan memasuki sebuah jalanan.
"Adrian, kamu beneran ngajak aku ke sini?" Tanya Renata penasaran.
Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hingga ku matikan mesin motor ini di tepi jalanan. Renata pun turun begitu juga denganku. Melepas helm lalu meletakkannya di atas motor, ku gandeng tangannya berjalan kaki. Renata masih nampak kebingungan, aku dapat melihat dari raut wajahnya.
Langkahku terhenti, begitu juga dengannya. Ku buka sweater yang ku kenakan, lalu kubentangkan di rerumputan. Renata menutup mulutnya, raut wajahnya cukup terkejut.
"Ini... Bram?" Suaranya pelan.
Aku mengangguk pelan, ku persilahkan Renata untuk duduk beralaskan sweater milikku, sedangkan aku hanya berlutut. Sebuah makam, dengan batu nisan yang kokoh menancap ke tanah. Tertulis sebuah nama, tanggal kelahiran, dan tanggal kematian dengan sangat jelas.
"Aku sengaja ajak kamu ke sini, karena kamu salah satu pembaca cerita yang aku tau. Sekalian kita berdo'a semoga mendiang hidup dengan tenang di alam sana." Kataku.
Renata mengangguk. Kami pun mulai mendo'akan mendiang sesuai dengan kepercayaan kami masing-masing. Renata masih memandangi makam tersebut selagi aku membersihkan beberapa daun kering yang tertinggal.
"Pasti berat banget ya..." Renata berhasil membuatku menoleh ke arahnya, "aku aja ngga bisa ngebayangin kalau jadi dia."
"Jangan dibayangin, cukup jadi bahan bacaan aja." Jawabku.
Selesai dengan semuanya, kami pun mulai beranjak dari makam ini. Ku kenakan kembali sweater milikku, dari belakang Renata menepuk-nepuk jaketku untuk membersihkan daun-daun yang menempel. Renata menggandeng tanganku, kami akan melanjutkan perjalanan menuju motor. Namun aku sama sekali tidak melangkah, aku terdiam begitu juga dengan Renata.
Seorang perempuan, berdiri tepat di hadapan kami. Berpakaian serba hitam, tidak lupa dengan kacamata hitamnya yang berhasil membuatku tidak mengenalinya. Kami saling beradu pandang untuk beberapa saat, hingga akhirnya perempuan itu mengulurkan tangannya padaku. Dengan ragu aku pun menjabat tangannya.
"Kamu yang buat cerita itu?" Tanyanya.
Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas kepala, kemudian ia tersenyum kepada kami.
"Ceritanya bagus, aku udah baca. Terima kasih." Ucapnya.
Entah kenapa aku benar-benar terdiam memandangi perempuan ini, sampai Renata menyadarkanku dengan menggenggam tanganku lebih keras. Akhirnya kami pun berpisah, ia menuju makam sedangkan kami kembali ke motor.
"Muka kamu kok sampai merah gitu?" Tanya Renata.
Aku bingung, kemudian ku lihat melalui spion motor dan memang benar wajahku nampak memerah.
"Iya juga ya merah..." Aku menatap ke arah Renata, "kalau aku boleh jujur sih kayaknya gara-gara tadi ngeliatin perempuan itu."
"Aku setuju! Aku pun yang perempuan aja ngeliat perempuan yang tadi tuh cantik banget. Matanya bagus natural, keliatan banget ngga pake lensa. Terus senyumannya itu juga bikin aku jadi kayak gimana gitu. Tapi ngomong-ngomong tadi itu siapa ya?" Kata Renata.
Kami pun naik ke atas motor, kemudian aku memutar balikkan Syailendra mengarah ke jalan keluar. Belum sampai 3 meter, aku berhenti.
"Kenapa Adrian?" Tanya Renata.
"Pretty eyes..." Aku menengok ke arah Renata, "Pirate smile."
Renata membuka matanya lebar lalu menepuk pundakku cukup keras, "Wi... Widya?"
Aku kembali memandangi tempat di mana kami bertemu dengannya tadi, sayangnya tidak terlihat karena teehalang oleh bukit kecil. Ada niatan hati untuk turun dari motor lalu kembali menemui wanita itu karena aku sangat penasaran dengannya. Namun aku dan Renata sudah mempunyai janji lain hari ini. Sangat disayangkan.
Selama di perjalanan aku kembali memikirkan apa yang baru saja terjadi, di mana aku bisa bertemu seseorang yang hanya ku dengar dari cerita orang. Seseorang yang perangainya baik dari cerita orang, dan akhirnya aku pun bisa melihatnya secara nyata meskipun tak berbicara lama.
Dan akhirnya Renata menyuruhku untuk masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran yamg belum pernah ku masuki. Setelah memarkirkan motor, Renata menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam bangunan tersebut.
Di lobi kantor tersebut ada sebuah kedai kopi, aku dan Renata pun memesan minuman lalu menunggu di sebuah sofa. Renata nampaknya menghubungi seseorang lewat handphonenya, sedangkan aku masih melihat-lihat kantor ini.
"Hai Ren..."
Aku menoleh ke arah orang tersebut, pelukan dari Renata adalah sebuah sambutan yang sangat hangat. Dengan cepat aku berdiri setelah melihat orang tersebut, "Yang waktu itu..."
"Adrian, kenalin ini Papa aku..."
***
"Pagi Bel..." aku berjalan melewatinya, "Ferdi kemana?"
"Lagi di kamar mandi Mas." Jawabnya.
Ku letakkan tas dan sweaterdi tempat biasa, kemudian ku kenakan apron lalu menuju ke mesin kopi. Tak lama berselang keluarlah Ferdi dari dalam kamar mandi sambil mengusap-usap perutnya, tentu saja itu membuatku bertanya-tanya.
"Ngandung Fer? Subur juga." Kataku.
"Ngandung? Mata lu sempal, gimana caranya coba..." Ferdi berjalan menuju tempat kami, "kayaknya kemarin salah makan nih. Bukan salah makan sih tapi sambelnya kebanyakan."
"Oh yang semalem kita makan pecel lele itu Bang?" Sahut Bella.
Ferdi mengangguk kepadanya kemudian aku pun mendekat, "Lu makan sambel? Sejak kapan Fer?"
"Loh emang Bang Ferdi ngga bisa makan sambel? Tapi kemarin kok nambah sambelnya?" Tanya Bella penasaran.
"Nambah?..." Aku menengok ke arah Ferdi dengan cepat, "kesetanan lu ya? Dari seumur gue kenal sama lu, ngga pernah sekalipun lu mau gue ajak makan yang ada sambelnya."
"Tenang saudara-saudara sekalian..." tangan Ferdi seperti melerai, "saya akan menjelaskan satu per satu, jangan ada kegaduhan di pagi hari ini. Jadi pertama yang harus saya klarifikasi adalah memang benar saya tidak pernah makan sambel selama hidup saya sampai tadi malam."
"Edan udah kayak presscon artis aja." Kataku.
"Udah diem dulu..." Ferdi protes kepadaku, "jadi semalem gue sama Bella makan di pecel lele deket rumahnya. Ngga tau kenapa bau sambelnya tuh enak banget dan gue coba deh untuk pertama kalinya. Loh kok enak, jadi selama ini sambel-sambel yang ngga pernah gue makan itu rasanya enak. Ya gue abisin jadinya tuh sambel."
"Dan sampai nambah. Aku pikir Bang Fer emang seneng sama sambel jadi ya biasa aja ngeliatnya. Eh taunya malah belum pernah makan sambel." Jelas Bella.
Beberapa kali aku tepuk tangan, "Hebat juga kamu Bel bisa bikin orang yang ngga bisa makan pedes sampai nambah loh."
Kling! Tak terasa pelanggan pertama pada pagi hari ini sudah tiba, kami menghentikan pembicaraan kami untuk kembali bertugas. Ferdi yang kondisinya sedang tidak baik harus bolak-balik ke kamar mandi dan membuat Bella harus menjaga mesin kasir.
"Bel, tetep di kasir aja biar ngga bolak-balik." Kataku.
Ferdi pun harus merelakan kasirnya dan ia bertugas sebagai runner pada hari ini. Pukul 9, semua sudah kembali normal. Ferdi memutuskan keluar untuk pergi ke apotek membeli obat.
"Aku jadi ngga enak Mas ngajak Bang Fer makan pedes." Ucap Bella.
"Ya sebenernya bukan salah kamu juga, dia biasanya emang ngga makan sambel meskipun ke tempat yang sambelnya enak. Entah beruntung atau apes sih sampai akhirnya dia makan pedes." Kataku.
Waktu berlalu hingga siang hari. Ferdi sudah meminum obatnya, nampak kondisinya lebih baik dari tadi pagi hingga aku bisa menyuruh Bella untuk istirahat.
"Mendingan?" Tanyaku.
"Gue ngerti sih kenapa obat yang tadi gue beli mahal banget, ternyata ampuh banget. Ini udah jauh lebih baik..." Ferdi melihat ke arah pintu belakang, "tapi diem-diem aja jangan cerita ke Bella."
"Cerita apaan?" Tanyaku penasaran.
"Awalnya gue pengen keliatan bisa makan sambel aja, tapi lama-kelamaan malah jadi nagih sampai kelewatan." Katanya.
Aku tertawa menanggapinya hingga Ferdi memukul tanganku pelan, "Tapi itu sebuah pencapaian bagus buat lu, jadi kapan-kapan kita bisa makan sambel Bu Rudi."
Melupakan tentang sambel dan seisinya, malam pun tiba. Ferdi sedang mengunci pintu ruko, tak lama kemudian ia bergabung denganku dan Bella di anak tangga.
"Pinjem korek dong..." ia menadah tangan kepadaku, "korek gue abis."
"Bawa aja tuh, gue masih ada di rumah." Kataku sambil menyerahkan korek padanya.
Setelah berhasil menyalakan sebatang rokok, Ferdi pun duduk di antara aku dan Bella. Kebulan asap putih keluar dari mulutnya, "Oh iya udah masuk jatah per enam bulan nih, jadi mau kapan?"
Sedikit penjelasan mengenai apa yang baru saja Ferdi katakan. Kedai yang kami buat memilih hari Minggu untuk libur setiap minggunya, namun akan ada tiga hari libur mulai dari Jum'at hingga Minggu setiap 6 bulan sekali agar kami tidak merasa jenuh dengan rutinitas.
"Gimana Bel? Kali ini kamu yang tentuin mau kapan." Kataku.
"Hm..." sejenak Bella berpikir, "gimana kalau lusa? Pas kan hari Jum'at?"
"Aku sih yes, gimana Mas Anang?" Kata Ferdi.
Kami pun tertawa mendengar hal tersebut, "Udah kayak Indonesian Idol aja, berarti lu Ahmad Dhani ya Fer?"
"Ngga ada mirip-miripnya. Oke kalau gitu lusa ya, nanti gue woro-woro di sosmed. Eh iya ngomong-ngomong Renata kemana? Kok ngga pernah keliatan lagi?" Kata Ferdi.
"Ya sibuk kali." Jawabku singkat.
"Loh Mas Adrian ngga kontakan emangnya sampai ngga tau?" Tanya Bella.
"Bukannya udah jadian?" Tanya Ferdi dengan cepat.
"Tenang saudara-saudara, sekarang waktunya saya klarifikasi..." tanganku seperti melerai, "satu-satu ya, soal kontakan ya jarang ngga tiap hari. Untuk jadian ya mana mungkin."
"Mana mungkin? Maksudnya gimana?" Tanya Ferdi penasaran.
"Ya... mana mungkin aja." Kataku bingung.
"Tapi kalau aku liat-liat nih Mas, Ka Renata kayaknya suka deh sama Mas Adrian. Keliatan kok dari tingkah lakunya." Kata Bella.
"Kamu tau dari mana Bel kan ngga semua orang sama." Kata Ferdi.
"Bukan gitu, maksudnya aku juga perempuan loh Bang jadi seenggaknya bisa tau kalau Ka Renata tuh suka sama Mas Adrian." Jelas Bella.
"Iya juga sih kamu perempuan, cuma kan..."
Perdebatan yang tak terduga pun dimulai antara Ferdi dan Bella, aku hanya bisa mengangguk atau menggelengkan kepala mendengar argumen kedua orang ini. Pikiranku tiba-tiba mengarah ke Renata entah kenapa, aku jadi memikirkan apakah seharusnya aku menyatakan perasaanku secara jujur? Atau mungkin menjalani ini semua tanpa ada kejelasan adalah cara yang lebih baik?
Entah, aku pun tidak tau harus bagaimana. Nampak seperti pengecut yang lari dari sebuah masalah, namun apakah itu adalah sebuah masalah? Lagi-lagi aku tidak tau. Yang pasti sebentar lagi aku akan sampai ke rumah, tinggal belokan terakhir.
Rutinitas yang sama jika aku tiba di rumah. Kali ini aku sedang memegang handphone, menatap layar yang menyala dengan tatapan kosong. Lagi-lagi aku terdiam, kembali memikirkan Renata. Rasanya cukup egois jika aku membiarkan semua ini berjalan tanpa ada sebuah kejelasan.
"Tapi..."
Aku kembali ragu. Terlalu banyak ketakutan yang aku pikirkan. Ku letakkan handphone di meja, ku usap beberapa kali wajahku lalu ku ambil lagi handphone itu. Hingga akhirnya aku bangun dari duduk, berjalan keluar menuju balkon dengan rokok yang sudah menyala. Ya, aku memutuskan untuk menjalani semuanya tanpa ada kejelasan.
*
"Mas, beneran besok tutup sampai Minggu?"
"Bro, buka lagi senin nih?"
Beberapa pertanyaan yang terus berulang terngiang-ngiang di telingaku selagi aku membuat pesanan mereka. Ferdi pun harus menjawab pertanyaan itu berulang kali hingga aku hafal apa jawaban yang ia berikan. Beberapa pelanggan sangat menyayangkan akan hal tersebut, namun layaknya manusia biasa kami pun punya rasa jenuh dalam bekerja atau menjalani rutinitas. Jadi tidak ada salahnya jika sesekali libur kami lebih lama dari biasanya.
"Berbusa nih mulut gue jawabin pertanyaan yang sama." Kata Ferdi pelan padaku.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Bella kembali dari meja pelanggan sambil menarik panjang nafasnya, "Kamu kenapa Bel?"
"Pelanggan pada ngga percaya Mas kalau kita tiga hari libur. Aku udah jelasin berapa kali juga tapi mereka masih tetep nanya." Jelasnya.
"Udah nggapapa..." Ku tepuk pundaknya pelan beberapa kali, "yang penting profesional aja ke pelanggan."
Kling!
"Selamat sore, ada yang bisa dibantu?" Ucap Ferdi seperti biasa.
"Sore, yang spesial di sini apa ya?" Tanya pelanggan.
Ferdi menjelaskan secara detil apa saja informasi tentang menu kami seperti biasa. Hingga pelanggan tersebut memesan beberapa menu untuk dibawa pulang. Butuh beberapa menit untuk membuat semua pesanannya hingga selesai. Ferdi pun memberikan pesanan itu kepada pelanggan beserta kembaliannya.
"Oh kembaliannya buat Mas Adrian aja, terima kasih ya Mas Adrian kopinya." Kata pelanggan itu menatapku.
Ia pergi meninggalkan tempat ini dan membuat kami bertiga terdiam begitu saja mendengar apa yang baru saja ia katakan. Ferdi mendekat ke arahku, "Kok kenalan lu ngga nyapa dari awal?"
"Kenalan dari mana, gue aja ngga kenal dia siapa." Jelasku.
"Loh kok dia tau nama Mas Adrian?" Tanya Bella.
"Nah itu dia makanya gue mikir dia kenalan lu, padahal dia ngga nanya-nanya soal nama." Kata Ferdi lagi.
Kami bertiga pun berhasil dibuat bingung oleh pelanggan itu karena jujur saja aku memang tidak mengenal orang tersebut. Jika memang aku pernah bertemu dengannya sekali saja, maka aku akan ingat siapa orang itu. Namun untuk kali ini aku tidak pernah bertemu dengannya namun ia tau siapa namaku.
Meninggalkan siapa orang tersebut, hari semakin malam. Pelanggan masih memenuhi meja-meja dengan urusan mereka masing-masing, kami hanya tinggal menunggu waktu untuk tutup.
"Mas Adrian mau kemana tiga hari besok?" Tanya Bella.
"Ah dia mah ketebak liburannya ngapain..." Ferdi yang menjawab pertanyaan tersebut, "kalau ngga di rumah doang, ya wisata kopi."
"Nah bener, tapi kayaknya gue ngga wisata kali ini." Kataku.
"Wisata kopi?" Tanya Bella.
"Iya, jadi wisata kopi itu..."
Aku mulai menjelaskan apa itu wisata kopi, sebuah kegiatan yang ku lakukan untuk mendatangi beberapa kedai kopi dalam 3 hari. Bukan hanya sekedar liburan, namun terkadang ada beberapa pertimbangan yang bisa ku dapat untuk memperbaiki kedai ini.
Dan akhirnya kami pun menutup kedai ini, aku sudah duduk di atas Syailendra sedangkan Ferdi dan Bella sudah berada di dalam mobil. Aku meninggalkan ruko ini terlebih dahulu menuju rumah.
"Tiga hari ngapain ya..."
Rasanya ingin beristirahat saja di rumah, namun yang ku bayangkan akan sangat membosankan. Selama perjalanan aku mencoba untuk memikirkan agenda apa saja yang akan ku lakukan. Hingga aku memasuki komplek perumahan tanpa terasa, belokan terakhir sudah ku lalui dan sebentar lagi aku akan tiba.
Ku matikan mesin motor di depan garasi, aku menatap lebih lama ke arah garasi. Sampai akhirnya ku masukkan motor ke dalamnya, lalu aku berlalu ke pintu depan. Kali ini aku juga menatap ke arah lantai pintu depan lebih lama, lalu kemudian aku masuk ke dalam.
"Hai Adrian, udah pulang?"
Tangan kananku sedang memegang sepatuku sedangkan tangan kiriku sedang memegang sepatu Renata, "Iya, sepatu kamu bawa masuk dong jangan di luar."
Ku letakkan sepatu kami bersebelahan. Ya, Renata sudah ada di rumahku lebih dulu. Aku kembali ingat tentang kunci rumah yang ku berikan padanya. Mengenai garasi, sudah ada mobilnya lebih dahulu hingga aku parkir tidak terlalu leluasa.
"Oh iya aku lupa..." Renata menghampiriku, "makasih ya. Eh kamu belum makan kan? Aku masakin buat kamu."
Ia menggandeng tanganku lalu mengajakku ke dapur. Ku lihat memang ia baru saja selesai memasak, bisa dilihat dari beberapa peralatan yang masih di tempat cuci. Kemudian ku lihat apa yang ia masak, "Serius kamu masak ini? Udang goreng mentega kan?"
Ia mengangguk sambil tersenyum. Ia menyuruhku untuk duduk, kemudian Renata mengambilkan nasi yang baru matang. Aku melihat ke arahnya, "Makasih ya Ren."
"Selamat makan Adrian."
Ia berlalu menuju tempat cuci dan mulai membersihkan peralatan. Aku pun mulai makan, tak lama berselang ia duduk di sampingku dan ikut makan juga. Tak ku sangka Renata bisa memasak, bukan bermaksud untuk memandang sebelah mata.
"Kamu bisa masak ini dari mana?" Tanyaku penasaran.
"Hm..." Ia berpikir sambil mengunyah makanan, "kalau ini sih resepnya nyari di internet, cuma kalau bisa masak dari dulu udah hobi kayaknya. Jadi ya bisa nyesuaiin sama resep lain."
Beberapa menit kami habiskan dengan makan sambil berbincang. Selesai dengan makan, kami pun sudah berada di dalam kamarku. Duduk di sebuah sofa, menonton sebuah acara di TV, dengan rokok di tangan kami masing-masing.
"Eh iya besok kamu libur sampai Minggu?" Tanya Renata.
"Hm..." Aku mengangguk beberapa kali, "libur enam bulan sekali biar ngga jenuh aja."
"Apa rencana kamu buat liburan?" Tanyanya lagi.
"Awalnya sih ngga ada, cuma berhubung ada kamu di sini kayaknya aku punya rencana deh." Kataku.
"Oh ya? Kita mau ngapain? Dan seandainya kamu ngga punya rencana pun, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat." Kata Renata.
"Suatu tempat?" Tanyaku.
*
60 km/jam, speedometer motor ini konstan. Aku mengajak Renata ke sebuah tempat pada pagi hari ini. Sudah hampir 45 menit kami berkendara dari rumah, hingga kecepatan motor ini memelan memasuki sebuah jalanan.
"Adrian, kamu beneran ngajak aku ke sini?" Tanya Renata penasaran.
Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hingga ku matikan mesin motor ini di tepi jalanan. Renata pun turun begitu juga denganku. Melepas helm lalu meletakkannya di atas motor, ku gandeng tangannya berjalan kaki. Renata masih nampak kebingungan, aku dapat melihat dari raut wajahnya.
Langkahku terhenti, begitu juga dengannya. Ku buka sweater yang ku kenakan, lalu kubentangkan di rerumputan. Renata menutup mulutnya, raut wajahnya cukup terkejut.
"Ini... Bram?" Suaranya pelan.
Aku mengangguk pelan, ku persilahkan Renata untuk duduk beralaskan sweater milikku, sedangkan aku hanya berlutut. Sebuah makam, dengan batu nisan yang kokoh menancap ke tanah. Tertulis sebuah nama, tanggal kelahiran, dan tanggal kematian dengan sangat jelas.
"Aku sengaja ajak kamu ke sini, karena kamu salah satu pembaca cerita yang aku tau. Sekalian kita berdo'a semoga mendiang hidup dengan tenang di alam sana." Kataku.
Renata mengangguk. Kami pun mulai mendo'akan mendiang sesuai dengan kepercayaan kami masing-masing. Renata masih memandangi makam tersebut selagi aku membersihkan beberapa daun kering yang tertinggal.
"Pasti berat banget ya..." Renata berhasil membuatku menoleh ke arahnya, "aku aja ngga bisa ngebayangin kalau jadi dia."
"Jangan dibayangin, cukup jadi bahan bacaan aja." Jawabku.
Selesai dengan semuanya, kami pun mulai beranjak dari makam ini. Ku kenakan kembali sweater milikku, dari belakang Renata menepuk-nepuk jaketku untuk membersihkan daun-daun yang menempel. Renata menggandeng tanganku, kami akan melanjutkan perjalanan menuju motor. Namun aku sama sekali tidak melangkah, aku terdiam begitu juga dengan Renata.
Seorang perempuan, berdiri tepat di hadapan kami. Berpakaian serba hitam, tidak lupa dengan kacamata hitamnya yang berhasil membuatku tidak mengenalinya. Kami saling beradu pandang untuk beberapa saat, hingga akhirnya perempuan itu mengulurkan tangannya padaku. Dengan ragu aku pun menjabat tangannya.
"Kamu yang buat cerita itu?" Tanyanya.
Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas kepala, kemudian ia tersenyum kepada kami.
"Ceritanya bagus, aku udah baca. Terima kasih." Ucapnya.
Entah kenapa aku benar-benar terdiam memandangi perempuan ini, sampai Renata menyadarkanku dengan menggenggam tanganku lebih keras. Akhirnya kami pun berpisah, ia menuju makam sedangkan kami kembali ke motor.
"Muka kamu kok sampai merah gitu?" Tanya Renata.
Aku bingung, kemudian ku lihat melalui spion motor dan memang benar wajahku nampak memerah.
"Iya juga ya merah..." Aku menatap ke arah Renata, "kalau aku boleh jujur sih kayaknya gara-gara tadi ngeliatin perempuan itu."
"Aku setuju! Aku pun yang perempuan aja ngeliat perempuan yang tadi tuh cantik banget. Matanya bagus natural, keliatan banget ngga pake lensa. Terus senyumannya itu juga bikin aku jadi kayak gimana gitu. Tapi ngomong-ngomong tadi itu siapa ya?" Kata Renata.
Kami pun naik ke atas motor, kemudian aku memutar balikkan Syailendra mengarah ke jalan keluar. Belum sampai 3 meter, aku berhenti.
"Kenapa Adrian?" Tanya Renata.
"Pretty eyes..." Aku menengok ke arah Renata, "Pirate smile."
Renata membuka matanya lebar lalu menepuk pundakku cukup keras, "Wi... Widya?"
Aku kembali memandangi tempat di mana kami bertemu dengannya tadi, sayangnya tidak terlihat karena teehalang oleh bukit kecil. Ada niatan hati untuk turun dari motor lalu kembali menemui wanita itu karena aku sangat penasaran dengannya. Namun aku dan Renata sudah mempunyai janji lain hari ini. Sangat disayangkan.
Selama di perjalanan aku kembali memikirkan apa yang baru saja terjadi, di mana aku bisa bertemu seseorang yang hanya ku dengar dari cerita orang. Seseorang yang perangainya baik dari cerita orang, dan akhirnya aku pun bisa melihatnya secara nyata meskipun tak berbicara lama.
Dan akhirnya Renata menyuruhku untuk masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran yamg belum pernah ku masuki. Setelah memarkirkan motor, Renata menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam bangunan tersebut.
Di lobi kantor tersebut ada sebuah kedai kopi, aku dan Renata pun memesan minuman lalu menunggu di sebuah sofa. Renata nampaknya menghubungi seseorang lewat handphonenya, sedangkan aku masih melihat-lihat kantor ini.
"Hai Ren..."
Aku menoleh ke arah orang tersebut, pelukan dari Renata adalah sebuah sambutan yang sangat hangat. Dengan cepat aku berdiri setelah melihat orang tersebut, "Yang waktu itu..."
"Adrian, kenalin ini Papa aku..."
***
Diubah oleh beavermoon 28-02-2020 13:35
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup