- Beranda
- Stories from the Heart
AIR MATA AISYAH
...
TS
Khadafi05
AIR MATA AISYAH
Mampukah Aisyah bertahan di kondisi yang sangat sulit ini?
Sumber foto : Di sini
Aisyah, seorang gadis kecil yang berjuang seorang diri demi merawat dan membesarkan sang adik, usia Aisyah sepuluh tahun dan adik yang bernama Budi berusia eman tahun.
Mereka tinggal di sudut desa yang sangat jauh dari kota.
Satu tahun yang lalu Aisyah kehilangan Ayahnya, meninggal dunia karena sakit kanker yang diderita. Selang beberapa waktu Aisyah kembali berduka, kali ini Aisyah harus kehilangan Ibunda tercinta. Musibah ini datang terlalau cepat bagi diri Aisyah, harus kehilangan dua sayap pelindung tanpa sanak saudara yang ada.
Mampukah Aisyah berjuang dalam kondisi yang sangat sulit ini?
***
Banyak warga desa yang peduli dengan nasib mereka, namun Aisyah tidak mengharapkan itu sepenuhnya. Setelah memutuskan untuk berhenti sekolah, tidak banyak hal yang dapat ia lakuka. Demi tercukupnya kebutuhan sehari-hari Aisyah hanya bekerja mengumpulkan barang bekas di sekeliling desa.
Sebelum rutinitas dimulai, Aisyah pergi ke rumah Bik Inah, hanya Bik Inah tempat ternyaman Aisyah untuk menitipkan si Budi
"Assalammualaikum, Bik," ucap Salam Aisyah kepada Bik Inah yang sedang menyapu halaman.
"Waalaikumsalam," tersentak Bik Inah menjawab salam dari Aisyah
"Bik, Aisyah titip Budi, ya," harap Aisyah sambil menyerahkan Budi dari tuntunannya.
"Oh, iya, Aisyah. Biar Budi, bibik yang, jaga," senang hati Bik Inah menerima Budi yang sangat tampan dan lucu "kamu, hati-hati ya, Aisyah," kembali ucap Bik Inah pada Aisyah.
"Iya, Bik, Aisyah berangkat, ya, assalammualaikum," pamit Aisyah kepada Bik Inah untuk melanjutkan aktivitas
"Waalaikumsalam." Bergegas Bik Inah membawa Budi masuk ke dalam rumah.
***
Hari mulai senja, Aisyah menukarkan barang bekas yang sudah banyak ia kumpulkan.
Dan uang hasil penukaran ia belikan beras dan telur untuk dimasak dan dimakan malam ini.
Adik yang sudah menunggu, bertanya kepada Bik Inah.
"Bik, kakak, kemana? Kenapa belum jemput, Budi?" Cemas Budi yang sudah lama menunggu.
"Sabar, ya, nak. Sebentar lagi kakak juga datang," jawab Bik Inah sambil memberi sedikit hiburan kepada Budi.
Dari jarak pandang yang jauh, Budi melihat Aisyah yang sedang berjalan menuju rumah Bik Inah.
"Hore ... kakak, pulang," bahagia Budi melihat kedatangan sosok yang ia tunggu.
"Assalammualaikum," ucap salam Aisyah yang sudah sampai di rumah Bik Inah.
"Waalaikumsalam," Bik Inah menjawab salam dari Aisyah.
"Yuk, dik, kita pulang," mengelus kepala Budi seraya mengajak untuk pulang "Aisyah, pulang, ya, Bik, makasih uda jagain Budi, seharian," tutur lembut Aisyah kepada Bik Inah.
"Iya, sama-sama, besok titipin Budi di sini lagi, ya," harap Bik Inah yang senang hati sudah menjaga Budi.
"Iya, Bik. Assalammualaikum," Aisyah pun pamit.
"Waalaikumsalam," jawab Bik Inah dengan memberikan senyum.
***
Senja berganti malam, Aisyah yang sedang duduk di ruang tamu meratap kepada gambar yang terpajang. Hati kecil Aisyah berbisik 'Ayah ... Ibu ... kenapa, harus secepat ini kalian, pergi?' Air mata mulai menetes. Budi yang melihat sang Kakak menangis langsung berkata.
"Kakak, kenapa' nangis?" dengan menempelkan kedua tangannya ke pipi Aisyah "Budi, sayang sama Kakak, Budi enggak ingin liat Kakak nangis, kakak, harus kuat, kak!" Tanpa bisa berkata Aisyah memeluk Budi dengan erat yang saat itu Budi juga ikut menangis.
Dalam pelukan Budi juga berkata "Budi, janji, setelah Budi dewasa nanti, Budi yang akan jagain, kakak. Kakak jangan sedih lagi, ya," air mata Aisyah tidak terbendung pelukan itu semakin erat kepada Budi.
***
Lima belas tahun berlalu ....
Budi tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan, sopan dan mudah memberi senyum.
Hidungnya yang mancung membuat dirinya jauh lebih berkarismatik.
Kedewasaan merubah fikirnya jauh lebih matang.
Aisyah yang sedang melipat kain dihampiri oleh Budi yang ingin menyampaikan sesuatu.
"Kak," sapanya terhadap Aisyah
"Saya, dik?" Aisyah melihat Budi yang memanggil.
"Mm ... Budi ... merantau ke kota ya, kak," ungkapnya kepada Aisyah memohon minta restu.
Lagi-Lagi Aisyah menangis sedih karena harus jauh dari Budi sementara waktu.
"Sini!" Dengan membuka lebar kedua tangan isyarat mengajak Budi untuk pelukan "kalau, Budi nanti di kota jadi orang sukses, Budi jangan lupain Kakak, ya," pintanya dengan memberi izin kepada Budi yang ingin merantau.
"Budi, janji! Budi, enggak akan ngelupain, kakak," memberi keyakinan kepada sang Kakak dengan menatap kedua mata Aisyah.
***
Tidak terasa sudah setahun Aisyah sendiri tanpa Budi.
Tidak ada sepucuk pesan dari Budi tentang kabarnya, membuat Aisyah gelisah menahan rindu.
Apakah, Budi lupa dengan sayap pelindungnya?
"Woi!" Kejut Beno kepada Budi "ngelamun lu, Bud?" Tanyanya
"Lagi teringat sama kakak gue, Ben," lesu Budi yang sedang menahan rindu.
"Mm ... eh, kecubung! Elu, ngapain bingung, elu kan, bisa cuti, kalau elu, mau? ujar Beno dengan memberi solusi.
"Emang, lu, ngijinin kalau gue, cuti?" Tanya Budi kepada Beno.
"Bud, lu, dengerin baik-baik! Ni, cafe milik gue, dan elu adalah sahabat gue. Bebas! Kapan aja elu mau, cuti," Beno sebagai pemilik cafe memberi izin cuti kepada sahabatnya "eitss ... tapi, elu ingat!" Jari telunjuk menuju ke arah Budi "jangan, lama-lama cutinya, ntar, cabe-cabean yang sering nongkrong dimari, kangen sama idung mancung, lu," sambil tertawa Beno memberi candaan kepada Budi.
"Siiapp ... bos!" Dengan memberi hormat kepada Beno.
_______ .
Udara sejuk dan bukit-bukit mengingatkan masa indah sewaktu dulu di desa,
Budi yang sampai di gerbang pintu desa terbayang dengan semua kenangan itu.
Dia berlalari, menuju rumah tercinta.
"Assalammualiakum," salam Budi ketika sampai di rumah.
"Waalaikumsalam," Aisyah yang membuka pintu terpaku dengan kedatangan Budi, air mata keduanya tidak terbendung saat bertemu kepada sosok yang sangat dicintai.
Senja menutup lembaran rindu dan menjelma menjadi malam yang menghanyutkan seluruh duka.
Tamat.
Sumber ( Opri )
Sumber foto : Di sini
Aisyah, seorang gadis kecil yang berjuang seorang diri demi merawat dan membesarkan sang adik, usia Aisyah sepuluh tahun dan adik yang bernama Budi berusia eman tahun.
Mereka tinggal di sudut desa yang sangat jauh dari kota.
Satu tahun yang lalu Aisyah kehilangan Ayahnya, meninggal dunia karena sakit kanker yang diderita. Selang beberapa waktu Aisyah kembali berduka, kali ini Aisyah harus kehilangan Ibunda tercinta. Musibah ini datang terlalau cepat bagi diri Aisyah, harus kehilangan dua sayap pelindung tanpa sanak saudara yang ada.
Mampukah Aisyah berjuang dalam kondisi yang sangat sulit ini?
***
Banyak warga desa yang peduli dengan nasib mereka, namun Aisyah tidak mengharapkan itu sepenuhnya. Setelah memutuskan untuk berhenti sekolah, tidak banyak hal yang dapat ia lakuka. Demi tercukupnya kebutuhan sehari-hari Aisyah hanya bekerja mengumpulkan barang bekas di sekeliling desa.
Sebelum rutinitas dimulai, Aisyah pergi ke rumah Bik Inah, hanya Bik Inah tempat ternyaman Aisyah untuk menitipkan si Budi
"Assalammualaikum, Bik," ucap Salam Aisyah kepada Bik Inah yang sedang menyapu halaman.
"Waalaikumsalam," tersentak Bik Inah menjawab salam dari Aisyah
"Bik, Aisyah titip Budi, ya," harap Aisyah sambil menyerahkan Budi dari tuntunannya.
"Oh, iya, Aisyah. Biar Budi, bibik yang, jaga," senang hati Bik Inah menerima Budi yang sangat tampan dan lucu "kamu, hati-hati ya, Aisyah," kembali ucap Bik Inah pada Aisyah.
"Iya, Bik, Aisyah berangkat, ya, assalammualaikum," pamit Aisyah kepada Bik Inah untuk melanjutkan aktivitas
"Waalaikumsalam." Bergegas Bik Inah membawa Budi masuk ke dalam rumah.
***
Hari mulai senja, Aisyah menukarkan barang bekas yang sudah banyak ia kumpulkan.
Dan uang hasil penukaran ia belikan beras dan telur untuk dimasak dan dimakan malam ini.
Adik yang sudah menunggu, bertanya kepada Bik Inah.
"Bik, kakak, kemana? Kenapa belum jemput, Budi?" Cemas Budi yang sudah lama menunggu.
"Sabar, ya, nak. Sebentar lagi kakak juga datang," jawab Bik Inah sambil memberi sedikit hiburan kepada Budi.
Dari jarak pandang yang jauh, Budi melihat Aisyah yang sedang berjalan menuju rumah Bik Inah.
"Hore ... kakak, pulang," bahagia Budi melihat kedatangan sosok yang ia tunggu.
"Assalammualaikum," ucap salam Aisyah yang sudah sampai di rumah Bik Inah.
"Waalaikumsalam," Bik Inah menjawab salam dari Aisyah.
"Yuk, dik, kita pulang," mengelus kepala Budi seraya mengajak untuk pulang "Aisyah, pulang, ya, Bik, makasih uda jagain Budi, seharian," tutur lembut Aisyah kepada Bik Inah.
"Iya, sama-sama, besok titipin Budi di sini lagi, ya," harap Bik Inah yang senang hati sudah menjaga Budi.
"Iya, Bik. Assalammualaikum," Aisyah pun pamit.
"Waalaikumsalam," jawab Bik Inah dengan memberikan senyum.
***
Senja berganti malam, Aisyah yang sedang duduk di ruang tamu meratap kepada gambar yang terpajang. Hati kecil Aisyah berbisik 'Ayah ... Ibu ... kenapa, harus secepat ini kalian, pergi?' Air mata mulai menetes. Budi yang melihat sang Kakak menangis langsung berkata.
"Kakak, kenapa' nangis?" dengan menempelkan kedua tangannya ke pipi Aisyah "Budi, sayang sama Kakak, Budi enggak ingin liat Kakak nangis, kakak, harus kuat, kak!" Tanpa bisa berkata Aisyah memeluk Budi dengan erat yang saat itu Budi juga ikut menangis.
Dalam pelukan Budi juga berkata "Budi, janji, setelah Budi dewasa nanti, Budi yang akan jagain, kakak. Kakak jangan sedih lagi, ya," air mata Aisyah tidak terbendung pelukan itu semakin erat kepada Budi.
***
Lima belas tahun berlalu ....
Budi tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan, sopan dan mudah memberi senyum.
Hidungnya yang mancung membuat dirinya jauh lebih berkarismatik.
Kedewasaan merubah fikirnya jauh lebih matang.
Aisyah yang sedang melipat kain dihampiri oleh Budi yang ingin menyampaikan sesuatu.
"Kak," sapanya terhadap Aisyah
"Saya, dik?" Aisyah melihat Budi yang memanggil.
"Mm ... Budi ... merantau ke kota ya, kak," ungkapnya kepada Aisyah memohon minta restu.
Lagi-Lagi Aisyah menangis sedih karena harus jauh dari Budi sementara waktu.
"Sini!" Dengan membuka lebar kedua tangan isyarat mengajak Budi untuk pelukan "kalau, Budi nanti di kota jadi orang sukses, Budi jangan lupain Kakak, ya," pintanya dengan memberi izin kepada Budi yang ingin merantau.
"Budi, janji! Budi, enggak akan ngelupain, kakak," memberi keyakinan kepada sang Kakak dengan menatap kedua mata Aisyah.
***
Tidak terasa sudah setahun Aisyah sendiri tanpa Budi.
Tidak ada sepucuk pesan dari Budi tentang kabarnya, membuat Aisyah gelisah menahan rindu.
Apakah, Budi lupa dengan sayap pelindungnya?
Quote:
"Woi!" Kejut Beno kepada Budi "ngelamun lu, Bud?" Tanyanya
"Lagi teringat sama kakak gue, Ben," lesu Budi yang sedang menahan rindu.
"Mm ... eh, kecubung! Elu, ngapain bingung, elu kan, bisa cuti, kalau elu, mau? ujar Beno dengan memberi solusi.
"Emang, lu, ngijinin kalau gue, cuti?" Tanya Budi kepada Beno.
"Bud, lu, dengerin baik-baik! Ni, cafe milik gue, dan elu adalah sahabat gue. Bebas! Kapan aja elu mau, cuti," Beno sebagai pemilik cafe memberi izin cuti kepada sahabatnya "eitss ... tapi, elu ingat!" Jari telunjuk menuju ke arah Budi "jangan, lama-lama cutinya, ntar, cabe-cabean yang sering nongkrong dimari, kangen sama idung mancung, lu," sambil tertawa Beno memberi candaan kepada Budi.
"Siiapp ... bos!" Dengan memberi hormat kepada Beno.
_______ .
Udara sejuk dan bukit-bukit mengingatkan masa indah sewaktu dulu di desa,
Budi yang sampai di gerbang pintu desa terbayang dengan semua kenangan itu.
Dia berlalari, menuju rumah tercinta.
"Assalammualiakum," salam Budi ketika sampai di rumah.
"Waalaikumsalam," Aisyah yang membuka pintu terpaku dengan kedatangan Budi, air mata keduanya tidak terbendung saat bertemu kepada sosok yang sangat dicintai.
Senja menutup lembaran rindu dan menjelma menjadi malam yang menghanyutkan seluruh duka.
Tamat.
Sumber ( Opri )
Diubah oleh Khadafi05 06-04-2020 00:24
wanagustiari793 dan 40 lainnya memberi reputasi
41
4.5K
115
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Khadafi05
#37
Meraih Mimpi
Ketika diri semangat berjuang, mimpi akan mudah diraih

Sumber foto : Di sini

Sumber foto : Di sini
Seluruh perjuangan yang dilalui kini mimpi itu menjadi nyata.
Ikhlas menjalani apa yang ada, sabar atas segala cobaan, seketika duka menjadi tawa.
Tentunya bukan gue, tetapi Gio.
Gio adalah tulang punggung bagi keluarga, memiliki sosok yang ramah, perilaku yang sopan, ringan tangan menjadi karakter yang sangat terpuji bagi dirinya.
Gio anak laki-laki pertama dari satu orang adik perempuan di bawahnya. Di pagi hari Gio membantu sang ibu membereskan macam-macam pekerjaan rumah. Dari mencuci, menyapu rumah, sampai menghantarkan si adik yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Gio benar-benar bisa menggantikan peran almarhum Ayahnya, melanjutkan tanggung jawab yang sudah seharusnya ia terima.
Gelar sarjana yang masih belum menemui hasil, Gio rela bekerja apa saja, tak peduli seberapa rendah, asal rezeki yang dibawa pulang halal penuh berkah.
Setiap hari ia pergi ke pasar untuk menjadi kuli pengantar barang dengan imbalan berupa ikhlas tanpa penentuan. Begitupun, tak sedikit orang-orang yang senang memberi imbalam lebih kepadanya.
Gue Mael, sebagai sahabat gue begitu senang bisa berteman dengannya, setiap sore Gio menyempatkan diri mampir ke rumah, bercerita suka duka tentang lelahnya bekerja. Dirinya juga terlihat nyaman rebahan di ruang tengah sambil menonton siaran Televisi. Sesekali ia juga canda tawa kepada ibu yang sudah menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri.
Sampai waktu di mana beberapa hari Gio sudah terasa jarang mampir ke rumah.
Dan itu menjadi pertanyaan bagi gue dan ibu.
"El, si Gio apa kabarnya? Uda lama kagak main ke rumah?" tanya Ibu yang duduk di samping gue sambil menonton siaran drama di Televisi
"kagak tau, Bu, sibuk kerja kali," jawab gue
"Rajin ya dia, kagak kayak elu! yang kerjanya cuma molor, buang-buang waktu gak jelas di depan laptop," ungkap ibu sambil tertawa.
"Yaelah, Bu, saya kan seniman, mana level kerja sama orang," terang gue kepada ibu.
"Ha ha ... ngeles aja lu, emang," ketus ibu dengan mengelus kepala anak kesayangannya.
Kebosanan jiwa yang membelenggu membawa hati ingin menikmati suasana senja.
sore itu gue memilih keliling kampung dengan sepeda antik milik ibu waktu muda
Di perempatan lorong gue ketemu Susi, tetangga sebelah rumah Gio. gue sapa dan basa-basi menanyakan kabar tentang Gio
"Eh, Sus," sapa gue kepada Susi yang baru saja membeli siomay.
"Eh, El, dari mana mau ke mana, lu?" tanya Susi semilikiti.
"Biasa, lagi cari yang segar-segar," jawab gue sambil menaik turunkan alis sedikit genit.
"Woo, dasar!" jawab Susi dangan kesal
"Sus, lu kagak ada ketemu, Gio?" tanya gue lagi.
"Lah, dia mah uda pergi merantau, El," jawabnya.
"Merantau ke mana, Sus?" Gue semakain ingin tahu.
"lah, buakannya lu berdua sahabatan? masa kagak tau temen sendiri pergi ke mana," mendadak raut wajah Susi terlihat heran "seminggu yang lalu dia pergi ke bekasi, bareng pak Kosim adik dari almarhum Ayahnya."
"Oh, gitu. Kalau meu pergi, dia kenapa kagak ada bialang gue, ya?" tanya gue dengan heran.
"Dadakan mungkin El, udah, ah. gue balik ya, uda sore." Pamit Susi buru-bura balik.
"iya deh, Sus."
Berhubung badan mulai terasa tak wangi, gue juga langsung putar arah balik ke rumah.
Mandi, ibadah dan langsung makan malam kbersama ibunda tercinta.
Kini tiga tahun berlalu ....
Gue yang lagi nongkrong di simpang lorong melihat mobil kijang inova masuk ke lorong rumah Gio.
Sedikit akal bertanya-tanya, siapa?
Karena tidak biasanya ada mobil mewah masuk ke lorong itu.
gue yang malas pusing, coba abai tentang siapa itu? mungkin saja orang kaya baru yang juga baru pindah beberapa hari di kampung ini.
Gue balik! Selepas waktu magrib dan isya, tiba-tiba rumah gue kedatangan tamu.
"Tok ... tok." Suara pintu yang diketok.
"Ya, sabar," jawab gue dari dalam.
Begitu gue buka pintu, terlihat lelaki berkemeja putih dengan aroma farfum yang sangat membahana, berdiri senyum tepat di hadapan gue. ternyata tamu itu Gio
"Eh, anak setan! apa kabar lu?" ketus gue sedikit canda.
" he he he." Gio tertawa dan langsung memeluk gue
"eh, ibu lu, mana?" tanyanya.
"Ada, noh, di belakang."
Gio langsung nyelonong masuk menghampiri ibu.
"Ibu apa kabar?" sapanya terhadap ibu.
"Masyaallah Gio, ini bener lu?" Ibu pangling serasa Gio berbeda.
"Bener dong, Bu. Ibu sehat, 'kan?"
"Alhamdulillah ibu sehat, rapi bener lu, lu gimana kabarnya? Kerja apa di Bekasi?" tanya ibu kepada Gio.
"Alahamdulillah, saya jadi maneger sekarang, Bu. di salah satu perusahan property Bekasi."
"Bener-bener hebat lu, Gio." Ibu mengelus pundak Gio dlam raut wajah yang sangat gembira.
Gue dengan ibu sangat bahagia dengan keberhasilan Gio.
Dengan kesungguhannya dia mampu meraih impiannya, dunia yang sudah mampu diraih tidak sedikit pun merusak kepribadiannya, dirinya tetap masih Gio yang dulu, baik dan sayang kepada keluarga.
perubahannya begitu menginspirasi, salah satunya gue, gue yang ingin terlihat maju sama sepertinya.
Dari sini gue akan mulai untuk meraih sebuah mimpi, impian yang menari-nari dalam bentuk imajinasi.
Perlahan mendaki tingginya himalaya, sampai semua akan terlihat berbeda. Berenang dalam luasnya samudra, hingga menepi bersama raihan mimpi.
Ikhlas menjalani apa yang ada, sabar atas segala cobaan, seketika duka menjadi tawa.
Tentunya bukan gue, tetapi Gio.
Gio adalah tulang punggung bagi keluarga, memiliki sosok yang ramah, perilaku yang sopan, ringan tangan menjadi karakter yang sangat terpuji bagi dirinya.
Gio anak laki-laki pertama dari satu orang adik perempuan di bawahnya. Di pagi hari Gio membantu sang ibu membereskan macam-macam pekerjaan rumah. Dari mencuci, menyapu rumah, sampai menghantarkan si adik yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Gio benar-benar bisa menggantikan peran almarhum Ayahnya, melanjutkan tanggung jawab yang sudah seharusnya ia terima.
Gelar sarjana yang masih belum menemui hasil, Gio rela bekerja apa saja, tak peduli seberapa rendah, asal rezeki yang dibawa pulang halal penuh berkah.
Setiap hari ia pergi ke pasar untuk menjadi kuli pengantar barang dengan imbalan berupa ikhlas tanpa penentuan. Begitupun, tak sedikit orang-orang yang senang memberi imbalam lebih kepadanya.
Gue Mael, sebagai sahabat gue begitu senang bisa berteman dengannya, setiap sore Gio menyempatkan diri mampir ke rumah, bercerita suka duka tentang lelahnya bekerja. Dirinya juga terlihat nyaman rebahan di ruang tengah sambil menonton siaran Televisi. Sesekali ia juga canda tawa kepada ibu yang sudah menganggap dirinya sebagai keluarga sendiri.
Sampai waktu di mana beberapa hari Gio sudah terasa jarang mampir ke rumah.
Dan itu menjadi pertanyaan bagi gue dan ibu.
"El, si Gio apa kabarnya? Uda lama kagak main ke rumah?" tanya Ibu yang duduk di samping gue sambil menonton siaran drama di Televisi
"kagak tau, Bu, sibuk kerja kali," jawab gue
"Rajin ya dia, kagak kayak elu! yang kerjanya cuma molor, buang-buang waktu gak jelas di depan laptop," ungkap ibu sambil tertawa.
"Yaelah, Bu, saya kan seniman, mana level kerja sama orang," terang gue kepada ibu.
"Ha ha ... ngeles aja lu, emang," ketus ibu dengan mengelus kepala anak kesayangannya.
***
Kebosanan jiwa yang membelenggu membawa hati ingin menikmati suasana senja.
sore itu gue memilih keliling kampung dengan sepeda antik milik ibu waktu muda
Di perempatan lorong gue ketemu Susi, tetangga sebelah rumah Gio. gue sapa dan basa-basi menanyakan kabar tentang Gio
"Eh, Sus," sapa gue kepada Susi yang baru saja membeli siomay.
"Eh, El, dari mana mau ke mana, lu?" tanya Susi semilikiti.
"Biasa, lagi cari yang segar-segar," jawab gue sambil menaik turunkan alis sedikit genit.
"Woo, dasar!" jawab Susi dangan kesal
"Sus, lu kagak ada ketemu, Gio?" tanya gue lagi.
"Lah, dia mah uda pergi merantau, El," jawabnya.
"Merantau ke mana, Sus?" Gue semakain ingin tahu.
"lah, buakannya lu berdua sahabatan? masa kagak tau temen sendiri pergi ke mana," mendadak raut wajah Susi terlihat heran "seminggu yang lalu dia pergi ke bekasi, bareng pak Kosim adik dari almarhum Ayahnya."
"Oh, gitu. Kalau meu pergi, dia kenapa kagak ada bialang gue, ya?" tanya gue dengan heran.
"Dadakan mungkin El, udah, ah. gue balik ya, uda sore." Pamit Susi buru-bura balik.
"iya deh, Sus."
Berhubung badan mulai terasa tak wangi, gue juga langsung putar arah balik ke rumah.
Mandi, ibadah dan langsung makan malam kbersama ibunda tercinta.
***
Kini tiga tahun berlalu ....
Gue yang lagi nongkrong di simpang lorong melihat mobil kijang inova masuk ke lorong rumah Gio.
Sedikit akal bertanya-tanya, siapa?
Karena tidak biasanya ada mobil mewah masuk ke lorong itu.
gue yang malas pusing, coba abai tentang siapa itu? mungkin saja orang kaya baru yang juga baru pindah beberapa hari di kampung ini.
Gue balik! Selepas waktu magrib dan isya, tiba-tiba rumah gue kedatangan tamu.
"Tok ... tok." Suara pintu yang diketok.
"Ya, sabar," jawab gue dari dalam.
Begitu gue buka pintu, terlihat lelaki berkemeja putih dengan aroma farfum yang sangat membahana, berdiri senyum tepat di hadapan gue. ternyata tamu itu Gio
"Eh, anak setan! apa kabar lu?" ketus gue sedikit canda.
" he he he." Gio tertawa dan langsung memeluk gue
"eh, ibu lu, mana?" tanyanya.
"Ada, noh, di belakang."
Gio langsung nyelonong masuk menghampiri ibu.
"Ibu apa kabar?" sapanya terhadap ibu.
"Masyaallah Gio, ini bener lu?" Ibu pangling serasa Gio berbeda.
"Bener dong, Bu. Ibu sehat, 'kan?"
"Alhamdulillah ibu sehat, rapi bener lu, lu gimana kabarnya? Kerja apa di Bekasi?" tanya ibu kepada Gio.
"Alahamdulillah, saya jadi maneger sekarang, Bu. di salah satu perusahan property Bekasi."
"Bener-bener hebat lu, Gio." Ibu mengelus pundak Gio dlam raut wajah yang sangat gembira.
Gue dengan ibu sangat bahagia dengan keberhasilan Gio.
Dengan kesungguhannya dia mampu meraih impiannya, dunia yang sudah mampu diraih tidak sedikit pun merusak kepribadiannya, dirinya tetap masih Gio yang dulu, baik dan sayang kepada keluarga.
perubahannya begitu menginspirasi, salah satunya gue, gue yang ingin terlihat maju sama sepertinya.
Dari sini gue akan mulai untuk meraih sebuah mimpi, impian yang menari-nari dalam bentuk imajinasi.
Perlahan mendaki tingginya himalaya, sampai semua akan terlihat berbeda. Berenang dalam luasnya samudra, hingga menepi bersama raihan mimpi.
Diubah oleh Khadafi05 28-02-2020 11:01
putri27448 dan 8 lainnya memberi reputasi
9