- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#42
Spoiler for Episode 10:
Kling!
"Selamat si... Eh gue kira pelanggan, taunya monsteryang dateng." Kata Ferdi.
Ku tegakkan hidung menggunakan jari telunjuk dan membuatku nampak seperti babi untuk menanggapinya. Kemudian aku berlalu menuju Bella yang sedang tertunduk menatap layar handphonenya.
"Cie kan udah ada gebetan baru jadinya nunduk mulu." Kataku.
"Eh Mas Adrian..." Bella mengikuti kemana langkahku, "mana ada gebetan Mas, ini lagi liatin sosmed aja."
Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil mengenakan apron. Siang hari, pelanggan pun tidak terlalu ramai. Aku memutuskan untuk menuju mesin kopi dan memeriksa instrumennya.
"Eh gue mau cerita nih." Ucap Ferdi dari mesin kasir.
"Apaan?" Tanyaku juga tanpa berpaling.
"Jadi kemarin gue kan pergi ke Taman x buat hunting, dapet deh beberapa shot yang oke deh. Terus gue ngeliat cewe cantik banget duduk di bangku taman sendirian. Gue nekat aja kenalan terus gue sepik-sepikin buat ngambil foto sambil ada dianya. Nah abis itu..." Ferdi menatap ke arahku, "lu dengerin gue ngga sih?"
Aku menatap Ferdi dengan cepat, "Eh... denger gue denger."
"Gue ngomong apa barusan?" Tanya Ferdi.
"Ng... Itu soal... Itu..." Aku menggaruk kepala beberapa kali, "soal kopi kan?"
"Gigi lu gondrong..." Ferdi mendorong kepalaku pelan, "gue lagi ngomongin cewe kenapa jadi kopi."
"Sorry, sorry, tadi lagi fokus sama Kivandra malah diajak ngomong. Yaudah ulang-ulang cerita apaan tadi?" Kataku.
Kling!
"Selamat si... ang..." Ucap Ferdi.
Kernyitan dahi yang ku lakukan nampaknya cukup untuk menunjukkan sebuah keanehan yang dilakukan Ferdi siang ini, ia menyapa pelanggan dengan nada yang tidak biasa. Aku pun menengok ke arah pelanggan yang baru saja datang. Seorang wanita berdiri seorang diri, nampaknya ia pertama kali datang ke sini karena aku pun tidak terlalu mengenali wajahnya.
"Loh yang kemarin minta foto itu ya?" Kata wanita tersebut.
"Halo, kita ketemu lagi..." Ferdi bersalaman dengan wanita tersebut, "ada yang bisa dibantu?"
Aku menendang kaki Ferdi pelan untuk memberikan isyarat, tapi tidak diperdulikan olehnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menunggu pesanan wanita tersebut. Tiket pun keluar, aku mulai membuatkan pesanannya hingga selesai.
"Bel, meja..."
"Eh biar gue aja yang anterin..." Ferdi meraih cangkir tersebut, "Bella, jaga kasir."
Ferdi meninggalkan aku dan Bella dalam kebingungan melihat tingkahnya yang tidak biasa. Aku melihat Ferdi mengantarkan minuman tersebut ke meja di mana wanita tersebut duduk seorang diri, setelah pesanan diantarkan ia tidak langsung kembali melainkan duduk menemani wanita tersebut.
"Bang Ferdi kenapa sih Mas?" Tanya Bella.
Aku menggelengkan kepala beberapa kali, "Lagi kesurupan kayaknya, ngga ngerti deh dia kenapa."
Beberapa pelanggan mulai berdatangan, Ferdi yang menyadari hal itu pun kembali menuju kasir. Aku mulai membuatkan pesanan pelanggan, Ferdi pun menyempatkan diri untuk bercerita.
"Itu tuh cewe yang tadi gue ceritain sama lu." Katanya.
"Lu yakin sama cewe itu?" Tanyaku.
"Tuh lu mah gitu ngga pernah dukung gue kalau ngedeketin cewe." Kata Ferdi.
"Bukan ngga ngedukung, eh Bel meja 1..." Aku menyerahkan cangkir kepada Bella untuk diantar, "lu itu orangnya gampang banget suka sama cewe. Perlu gue ungkit-ungkit lagi nih yang udah-udah?"
"Ya ngga usah diungkit lagi juga, cuma untuk yang ini coba lah bantu temen buat didukung abis patah hati." Jelasnya.
"Iya gue bakalan dukung cuma bukan cewe yang ini..."
Kling! Masuklah seorang pelanggan yang disambut oleh wanita yang sedari tadi kami perbincangkan. Ia lalu duduk bersama dengan wanita tersebut, aku dan Ferdi hanya bisa melihat secara diam-diam.
"Gue bilang apa?" Kataku.
"Lama-lama beneran jadi cenayang juga lu bisa prediksi kayak gini." Kata Ferdi.
"Bukan masalah cenayang atau apapun, eh Bel meja 5..." Aku menyerahkan gelas kepada Bella, "lu terlalu buru-buru. Apa-apa maunya langsung ayo dikejar tanpa tau backgroundnya gimana. Lama-lama kayak bocah ngacen*an tau ngga?"
Ferdi pun tertawa mendengar apa yang baru saja ku katakan yang membuatku juga ikut tertawa, "Udah lah jangan buru-buru, santai aja dulu. Nikmatin yang ada."
"Iya juga ya, jangan kayak bocah ngacen*an."
Kami pun kembali tertawa mendengar kata itu lagi. Memang seharusnya kita tidak perlu terburu-buru untuk mendapatkan apa yang kita mau, terkadang kita belum membutuhkannya lagi. Hanya ada nafsu yang membuat kita ingin selalu terburu-buru, lebih baik dipikirkan lagi apakah benar kita sudah membutuhkannya atau tidak.
Tak terasa malam sudah tiba, pukul 9 malam para pelanggan sudah tidak ada lagi di dalam ruangan ini mau pun yang ada di luar. Kami memutuskan untuk tutup lebih awal dari biasanya. Beres dengan semuanya, kami pun keluar menuju teras lalu mengunci pintu ruko ini. Aku dan Bella sudah duduk dengan santai sedangkan Ferdi baru kembali dengan membawakan minuman botol. Ku nyalakan sebatang rokok diikuti oleh Ferdi, dan ternyata Bella mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tasnya lalu ikut menyalakan rokok tersebut.
"Loh kamu ngerokok Bel?" Tanya Ferdi heran.
Setelah menghembuskan asap putih Bella pun tersenyum malu, "Iya Bang, nggapapa kan?"
"Nggapapa kok santai aja." Jawabku.
Tak terasa satu batang rokok habis begitu saja. Ting! Ku ambil handphone dari saku kemeja lalu ku baca pesan yang baru saja masuk, kemudian ku balas lalu aku berdiri dari duduk.
"Gue balik duluan deh ya, kalian masih pada mau di sini?" Kataku.
"Balik juga lah tapi gue mau makan dulu, Bel mau ikut ngga?" Ucap Ferdi.
Bella pun mengangguk pertanda setuju, dan kami pun berpisah di parkiran menuju tujuan kami masing-masing. Beberapa menit berlalu, akhirnya aku pun memasuki jalanan komplek perumahan seperti biasa. Setelah melewati belokan terakhir menuju rumah, ku lihat ada orang yang berdiri di depan pagar. Ku nyalakan lampu jauh untuk melihat siapa orang tersebut, Renata yang sedang berdiri di depan pagar.
"Renata..." ku matikan mesin motorku, "kok ngga masuk aja ke dalem?"
"Aku ngga enak dong masa main masuk-masuk aja ke rumah orang, orangnya belum pulang lagi." Katanya.
"Ya daripada kamu nunggu berdiri di sini..." ku buka helm yang ku kenakan, "yaudah ayo masuk."
Renata menuju teras terlebih dahulu sementara aku memasukkan motor ke dalam garasi. Kemudian kami pun masuk ke dalam rumah dan menuju lantai dua.
"Eh iya..." ku letakkan tas di tempat biasa, "aku ngga liat mobil kamu di depan."
"Aku ngga bawa. Tadi abis ada acara di deket sini, berangkatnya sama Ari. Yaudah Ari aku suruh pulang aja terus aku naik taksi." Jelasnya.
"Loh Ari ngga kamu ajak ke sini?" Tanyaku.
"Kalau dia liat Syailendra bisa-bisa ngga pulang dia nanti." Kata Renata.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian aku berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu aku keluar dan melihat Renata sedang membuka tempat makan dari dalam tasnya. Ia pun menyadari bahwa aku sudah keluar dari kamar mandi.
"Eh Adrian, ini aku bawain makanan." Katanya.
"Makanan?..." Aku berjalan mendekat ke arahnya, "kamu beli dimana Ren?"
"Ini aku beli di tempat acara tadi, dimakan ya." Katanya.
Setelah menggantung handuk, aku pun duduk di sebelahnya. Ada beberapa macam makanan yang ada di atas meja, aku pun mulai memakan makanan tersebut. Beberapa suapan sudah ku lakukan lalu aku memandang ke arah Renata, "Kamu ngga ikut makan juga?"
"Aku kan tadi udah makan di sana Adrian, ini emang sengaja buat kamu." Jawabnya.
Aku mengangguk kemudian melanjutkan makan lagi hingga habis. Ku bereskan tempat makan ini menuju dapur di lantai bawah, kemudian ku ambil gelas berisi air dingin lalu kembali ke kamar. Renata sedang fokus dengan layar handphonennya, aku pun duduk di sampingnya.
"Ngeliatin apa kok serius banget?" Tanyaku.
"Ini loh yang lagi ramai dibicarain sama orang-orang..." Renata menunjukkan layar handphonnya lalu bersandar di bahuku, "tau kan?"
"Oalah kamu baca gituan, aku kira apaan." Kataku.
"Lagian aneh aja, masa iya ada orang yang..."
Ia pun mulai bercerita sedangkan aku hanya mendengarkan. Beberapa penjelasan mengenaik topik yang memang sedang naik daun belakangan ini, kadang ia pun ikut kesal membahas hal tersebut. Entah sudah berapa lama ia membahas hal ini hingga ia pun bosan sendiri.
"Ah udah jangan dibahas lagi malah bikin kesel." Katanya.
"Yaudah jangan kamu bahas lagi..." ku ambil handphone miliknya lalu ku matikan layarnya, "toh kamu yang mulai malah kamu yang sebel sendiri jadinya."
"Ya abis gimana dong Adrian, aku kan..."
Ku tutup mulutnya dengan jari telunjuk tangan kananku, "Sst! Udah jangan dibahas lagi, mending nonton re-run Lakers tadi pagi."
Renata pun berhasil terdiam, ku ambil remot TV lalu ku nyalakan dan mencari channel yang ku maksud. Renata tak merubah posisinya, masih duduk dan tersandar di bahu kananku. Kami pun larut dalam tayangan ulang pertandingan, dan tak terasa pertandingan pun habis.
"Kamu suka Lakers meskipun tadi kalah?" Tanya Renata.
"Tetep suka dong meskipun kalah, yang penting loyal bukan karbitan." Kataku.
"Karbitan?" Tanyanya lagi.
"Jadi karbitan itu sebutan untuk fans yang tiba-tiba aja suka sama tim yang juara, padahal ngga tau sejarahnya gimana. Tau-tau jadi pendukung tim yang juara aja." Jelasku.
"Jadi kamu suka sama Lakers dari..."
"Musim 1999-2000..." kataku memotong pembicaraanya, "itu pertama kali aku suka sama Lakers. Dan entah kenapa meskipun udah jarang juara lagi tapi aku tetep suka."
"Waw sampai sekarang udah berapa tahun berarti..." Renata menatapku dan aku pun menatapnya, "setia juga kamu orangnya."
Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian aku berlalu menuju kamar mandi. Sekembalinya dari kamar mandi, ku lihat Renata sedang melihat-lihat beberapa tayangan. Aku pun kembali duduk di sampingnya dan membiarkan ia memilih tayangan di TV.
"Adrian, kamu tau film ini ngga?" Tanya Renata.
"Eternal Sunshine of The Spotless Mind? Aku baru denger sih, siapa yang main?" Kataku.
"Aku juga baru liat nih. Jim Carrey yang main ternyata sama Kate Winslet." Katanya.
"Kate Winslet? Rose di film Titanic?" Tanyaku.
Renata mengangguk, kami pun memutuskan untuk menonton film tersebut. Ini adalah salah satu film yang ku rekomendasikan untuk kalian tonton, tak hanya cerita yang menarik tapi bagaimana tiap pemeran dapat meluapkan emosinya masing-masing secara baik. Yang ku kira awalnya akan menjadi film komedi-romantis karena ada Jim Carrey ternyata tidak, film ini lebih cenderung ke arah romantis saja.
Entah sudah berapa lama, akhirnya film yang kami tonton pun habis. Renata sudah terlelap dalam tidurnya, aku masih duduk di bangku menatap layar laptop yang menyala.
"How happy is the blameless vestal's lot,
The World forgetting, by the World forgot,
Eternal sunshine of the spotless mind,
Each pray'r accepted, and each wish resign'd"
Aku sedang mencari-cari apa maksud dari sepenggal puisi tersebut karena menurutku kalimat yang disampaikan bukanlah hal yang biasa, sepenggal puisi dari film tersebut membuatku teringang-ngiang setelah menontonnya. Beberapa sumber referensi ku temukan di intermet, aku pun mulai membacanya satu per satu.
"Hmm..." ku baca penjelasan yang cukup panjang mengenai puisi tersebut, "gila sih ini."
"Adrian..."
Aku menatapnya, entah bagaimana bisa Renata terbangun padahal baru saja ia memejamkan mata. Aku menghampirinya lalu ikut berbaring di sampingnya.
"Kenapa?" Tanyaku singkat.
"Kamu lagi ngapain?" Tanyanya dengan suara pelan.
"Aku lagi baca-baca aja, kamu..."
Renata memeluk lengan tanganku, ia mendekatkan tubuhnya. Tak lama berselang matanya kembali terpejam. Heningnya malam yang hanya menemaniku, memandangi wajahnya yang sudah kembali tertidur. Ku seka rambut yang menutupi wajahnya, ku lihat ada kedamaian di sana. Pikiranku melayang-layang, akan momen yang indah. Entah berapa lama aku kembali tersadar, dia hanya temanku. Ya, Renata adalah temanku untuk beberapa waktu lalu dan untuk saat ini. Masa yang akan datang? Aku tidak bisa meyakinkan bahkan untuk diriku sendiri, ada hal yang mengganjal untuk semuanya. Namun aku percaya semua akan ada jalan keluarnya, meskipun itu menyakitkan.
*
"Adrian, emang nggapapa?" Tanya Renata.
Ku kenakan helm pada Renata, "Nggapapa, lagian apa salahnya nganterin kamu pulang daripada harus bayar taksi. Sip, naik deh Ren."
Renata memegang pundakku lalu ia naik ke bangku belakang motor. Setelah siap kami pun berangkat menuju rumah Renata. Pagi hari, jalanan masih nampak sepi. Dengan santai aku mengendarai Syailendra. Sesekali aku melihat ke arah Renata lewat kaca spion, dan tak jarang pula Renata membalas tatapanku yang membuatnya tersenyum. Beberapa waktu di perjalanan akhirnya kami tiba di rumahnya. Renata pun turun, ku lepaskan helm dari kepalanya.
"Adrian, makasih ya udah mau nganterin. Aku jadi ngga enak kamu harus lebih pagi keluar rumah buat..."
"Renata..."
Sesaat Renata terdiam, "Makasih ya Adrian."
"Iya sama-sama, oh iya..." ku rogoh saku jaket mencari sebuah benda, "nih pegang aja."
"Kunci?" Tanya Renata heran.
"Iya itu duplikat kunci rumah aku, jadi kalau kamu mau ke rumah tapi aku belum pulang ya masuk aja." Jelasku.
Awalnya Renata cukup bingung, kemudian ia membuka tas miliknya. Ia nampak mencari sebuah barang, kemudian ia memintaku membuka telapak tangan. Sebuah kunci yang juga ia berikan kepadaku, "Nah kalau ini kunci apa?"
"Kamu simpen aja, nanti aku kasih tau itu kunci apa." Jawabnya.
Aku mengangguk lalu ku masukkan kunci ke dalam saku kemeja. Aku pun berpamitan kepada Renata, ku tinggalkan ia di depan rumahnya seorang diri.
"Ka Renata..." Ari keluar dari balik pintu pagar, "tadi Bang Adrian ya?"
"Loh ngangetin aja kamu, iya tadi Adrian yang nganterin pulang." Jawabnya.
"Tadi siapa Ren?"
***
"Selamat si... Eh gue kira pelanggan, taunya monsteryang dateng." Kata Ferdi.
Ku tegakkan hidung menggunakan jari telunjuk dan membuatku nampak seperti babi untuk menanggapinya. Kemudian aku berlalu menuju Bella yang sedang tertunduk menatap layar handphonenya.
"Cie kan udah ada gebetan baru jadinya nunduk mulu." Kataku.
"Eh Mas Adrian..." Bella mengikuti kemana langkahku, "mana ada gebetan Mas, ini lagi liatin sosmed aja."
Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil mengenakan apron. Siang hari, pelanggan pun tidak terlalu ramai. Aku memutuskan untuk menuju mesin kopi dan memeriksa instrumennya.
"Eh gue mau cerita nih." Ucap Ferdi dari mesin kasir.
"Apaan?" Tanyaku juga tanpa berpaling.
"Jadi kemarin gue kan pergi ke Taman x buat hunting, dapet deh beberapa shot yang oke deh. Terus gue ngeliat cewe cantik banget duduk di bangku taman sendirian. Gue nekat aja kenalan terus gue sepik-sepikin buat ngambil foto sambil ada dianya. Nah abis itu..." Ferdi menatap ke arahku, "lu dengerin gue ngga sih?"
Aku menatap Ferdi dengan cepat, "Eh... denger gue denger."
"Gue ngomong apa barusan?" Tanya Ferdi.
"Ng... Itu soal... Itu..." Aku menggaruk kepala beberapa kali, "soal kopi kan?"
"Gigi lu gondrong..." Ferdi mendorong kepalaku pelan, "gue lagi ngomongin cewe kenapa jadi kopi."
"Sorry, sorry, tadi lagi fokus sama Kivandra malah diajak ngomong. Yaudah ulang-ulang cerita apaan tadi?" Kataku.
Kling!
"Selamat si... ang..." Ucap Ferdi.
Kernyitan dahi yang ku lakukan nampaknya cukup untuk menunjukkan sebuah keanehan yang dilakukan Ferdi siang ini, ia menyapa pelanggan dengan nada yang tidak biasa. Aku pun menengok ke arah pelanggan yang baru saja datang. Seorang wanita berdiri seorang diri, nampaknya ia pertama kali datang ke sini karena aku pun tidak terlalu mengenali wajahnya.
"Loh yang kemarin minta foto itu ya?" Kata wanita tersebut.
"Halo, kita ketemu lagi..." Ferdi bersalaman dengan wanita tersebut, "ada yang bisa dibantu?"
Aku menendang kaki Ferdi pelan untuk memberikan isyarat, tapi tidak diperdulikan olehnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menunggu pesanan wanita tersebut. Tiket pun keluar, aku mulai membuatkan pesanannya hingga selesai.
"Bel, meja..."
"Eh biar gue aja yang anterin..." Ferdi meraih cangkir tersebut, "Bella, jaga kasir."
Ferdi meninggalkan aku dan Bella dalam kebingungan melihat tingkahnya yang tidak biasa. Aku melihat Ferdi mengantarkan minuman tersebut ke meja di mana wanita tersebut duduk seorang diri, setelah pesanan diantarkan ia tidak langsung kembali melainkan duduk menemani wanita tersebut.
"Bang Ferdi kenapa sih Mas?" Tanya Bella.
Aku menggelengkan kepala beberapa kali, "Lagi kesurupan kayaknya, ngga ngerti deh dia kenapa."
Beberapa pelanggan mulai berdatangan, Ferdi yang menyadari hal itu pun kembali menuju kasir. Aku mulai membuatkan pesanan pelanggan, Ferdi pun menyempatkan diri untuk bercerita.
"Itu tuh cewe yang tadi gue ceritain sama lu." Katanya.
"Lu yakin sama cewe itu?" Tanyaku.
"Tuh lu mah gitu ngga pernah dukung gue kalau ngedeketin cewe." Kata Ferdi.
"Bukan ngga ngedukung, eh Bel meja 1..." Aku menyerahkan cangkir kepada Bella untuk diantar, "lu itu orangnya gampang banget suka sama cewe. Perlu gue ungkit-ungkit lagi nih yang udah-udah?"
"Ya ngga usah diungkit lagi juga, cuma untuk yang ini coba lah bantu temen buat didukung abis patah hati." Jelasnya.
"Iya gue bakalan dukung cuma bukan cewe yang ini..."
Kling! Masuklah seorang pelanggan yang disambut oleh wanita yang sedari tadi kami perbincangkan. Ia lalu duduk bersama dengan wanita tersebut, aku dan Ferdi hanya bisa melihat secara diam-diam.
"Gue bilang apa?" Kataku.
"Lama-lama beneran jadi cenayang juga lu bisa prediksi kayak gini." Kata Ferdi.
"Bukan masalah cenayang atau apapun, eh Bel meja 5..." Aku menyerahkan gelas kepada Bella, "lu terlalu buru-buru. Apa-apa maunya langsung ayo dikejar tanpa tau backgroundnya gimana. Lama-lama kayak bocah ngacen*an tau ngga?"
Ferdi pun tertawa mendengar apa yang baru saja ku katakan yang membuatku juga ikut tertawa, "Udah lah jangan buru-buru, santai aja dulu. Nikmatin yang ada."
"Iya juga ya, jangan kayak bocah ngacen*an."
Kami pun kembali tertawa mendengar kata itu lagi. Memang seharusnya kita tidak perlu terburu-buru untuk mendapatkan apa yang kita mau, terkadang kita belum membutuhkannya lagi. Hanya ada nafsu yang membuat kita ingin selalu terburu-buru, lebih baik dipikirkan lagi apakah benar kita sudah membutuhkannya atau tidak.
Tak terasa malam sudah tiba, pukul 9 malam para pelanggan sudah tidak ada lagi di dalam ruangan ini mau pun yang ada di luar. Kami memutuskan untuk tutup lebih awal dari biasanya. Beres dengan semuanya, kami pun keluar menuju teras lalu mengunci pintu ruko ini. Aku dan Bella sudah duduk dengan santai sedangkan Ferdi baru kembali dengan membawakan minuman botol. Ku nyalakan sebatang rokok diikuti oleh Ferdi, dan ternyata Bella mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tasnya lalu ikut menyalakan rokok tersebut.
"Loh kamu ngerokok Bel?" Tanya Ferdi heran.
Setelah menghembuskan asap putih Bella pun tersenyum malu, "Iya Bang, nggapapa kan?"
"Nggapapa kok santai aja." Jawabku.
Tak terasa satu batang rokok habis begitu saja. Ting! Ku ambil handphone dari saku kemeja lalu ku baca pesan yang baru saja masuk, kemudian ku balas lalu aku berdiri dari duduk.
"Gue balik duluan deh ya, kalian masih pada mau di sini?" Kataku.
"Balik juga lah tapi gue mau makan dulu, Bel mau ikut ngga?" Ucap Ferdi.
Bella pun mengangguk pertanda setuju, dan kami pun berpisah di parkiran menuju tujuan kami masing-masing. Beberapa menit berlalu, akhirnya aku pun memasuki jalanan komplek perumahan seperti biasa. Setelah melewati belokan terakhir menuju rumah, ku lihat ada orang yang berdiri di depan pagar. Ku nyalakan lampu jauh untuk melihat siapa orang tersebut, Renata yang sedang berdiri di depan pagar.
"Renata..." ku matikan mesin motorku, "kok ngga masuk aja ke dalem?"
"Aku ngga enak dong masa main masuk-masuk aja ke rumah orang, orangnya belum pulang lagi." Katanya.
"Ya daripada kamu nunggu berdiri di sini..." ku buka helm yang ku kenakan, "yaudah ayo masuk."
Renata menuju teras terlebih dahulu sementara aku memasukkan motor ke dalam garasi. Kemudian kami pun masuk ke dalam rumah dan menuju lantai dua.
"Eh iya..." ku letakkan tas di tempat biasa, "aku ngga liat mobil kamu di depan."
"Aku ngga bawa. Tadi abis ada acara di deket sini, berangkatnya sama Ari. Yaudah Ari aku suruh pulang aja terus aku naik taksi." Jelasnya.
"Loh Ari ngga kamu ajak ke sini?" Tanyaku.
"Kalau dia liat Syailendra bisa-bisa ngga pulang dia nanti." Kata Renata.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian aku berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu aku keluar dan melihat Renata sedang membuka tempat makan dari dalam tasnya. Ia pun menyadari bahwa aku sudah keluar dari kamar mandi.
"Eh Adrian, ini aku bawain makanan." Katanya.
"Makanan?..." Aku berjalan mendekat ke arahnya, "kamu beli dimana Ren?"
"Ini aku beli di tempat acara tadi, dimakan ya." Katanya.
Setelah menggantung handuk, aku pun duduk di sebelahnya. Ada beberapa macam makanan yang ada di atas meja, aku pun mulai memakan makanan tersebut. Beberapa suapan sudah ku lakukan lalu aku memandang ke arah Renata, "Kamu ngga ikut makan juga?"
"Aku kan tadi udah makan di sana Adrian, ini emang sengaja buat kamu." Jawabnya.
Aku mengangguk kemudian melanjutkan makan lagi hingga habis. Ku bereskan tempat makan ini menuju dapur di lantai bawah, kemudian ku ambil gelas berisi air dingin lalu kembali ke kamar. Renata sedang fokus dengan layar handphonennya, aku pun duduk di sampingnya.
"Ngeliatin apa kok serius banget?" Tanyaku.
"Ini loh yang lagi ramai dibicarain sama orang-orang..." Renata menunjukkan layar handphonnya lalu bersandar di bahuku, "tau kan?"
"Oalah kamu baca gituan, aku kira apaan." Kataku.
"Lagian aneh aja, masa iya ada orang yang..."
Ia pun mulai bercerita sedangkan aku hanya mendengarkan. Beberapa penjelasan mengenaik topik yang memang sedang naik daun belakangan ini, kadang ia pun ikut kesal membahas hal tersebut. Entah sudah berapa lama ia membahas hal ini hingga ia pun bosan sendiri.
"Ah udah jangan dibahas lagi malah bikin kesel." Katanya.
"Yaudah jangan kamu bahas lagi..." ku ambil handphone miliknya lalu ku matikan layarnya, "toh kamu yang mulai malah kamu yang sebel sendiri jadinya."
"Ya abis gimana dong Adrian, aku kan..."
Ku tutup mulutnya dengan jari telunjuk tangan kananku, "Sst! Udah jangan dibahas lagi, mending nonton re-run Lakers tadi pagi."
Renata pun berhasil terdiam, ku ambil remot TV lalu ku nyalakan dan mencari channel yang ku maksud. Renata tak merubah posisinya, masih duduk dan tersandar di bahu kananku. Kami pun larut dalam tayangan ulang pertandingan, dan tak terasa pertandingan pun habis.
"Kamu suka Lakers meskipun tadi kalah?" Tanya Renata.
"Tetep suka dong meskipun kalah, yang penting loyal bukan karbitan." Kataku.
"Karbitan?" Tanyanya lagi.
"Jadi karbitan itu sebutan untuk fans yang tiba-tiba aja suka sama tim yang juara, padahal ngga tau sejarahnya gimana. Tau-tau jadi pendukung tim yang juara aja." Jelasku.
"Jadi kamu suka sama Lakers dari..."
"Musim 1999-2000..." kataku memotong pembicaraanya, "itu pertama kali aku suka sama Lakers. Dan entah kenapa meskipun udah jarang juara lagi tapi aku tetep suka."
"Waw sampai sekarang udah berapa tahun berarti..." Renata menatapku dan aku pun menatapnya, "setia juga kamu orangnya."
Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian aku berlalu menuju kamar mandi. Sekembalinya dari kamar mandi, ku lihat Renata sedang melihat-lihat beberapa tayangan. Aku pun kembali duduk di sampingnya dan membiarkan ia memilih tayangan di TV.
"Adrian, kamu tau film ini ngga?" Tanya Renata.
"Eternal Sunshine of The Spotless Mind? Aku baru denger sih, siapa yang main?" Kataku.
"Aku juga baru liat nih. Jim Carrey yang main ternyata sama Kate Winslet." Katanya.
"Kate Winslet? Rose di film Titanic?" Tanyaku.
Renata mengangguk, kami pun memutuskan untuk menonton film tersebut. Ini adalah salah satu film yang ku rekomendasikan untuk kalian tonton, tak hanya cerita yang menarik tapi bagaimana tiap pemeran dapat meluapkan emosinya masing-masing secara baik. Yang ku kira awalnya akan menjadi film komedi-romantis karena ada Jim Carrey ternyata tidak, film ini lebih cenderung ke arah romantis saja.
Entah sudah berapa lama, akhirnya film yang kami tonton pun habis. Renata sudah terlelap dalam tidurnya, aku masih duduk di bangku menatap layar laptop yang menyala.
"How happy is the blameless vestal's lot,
The World forgetting, by the World forgot,
Eternal sunshine of the spotless mind,
Each pray'r accepted, and each wish resign'd"
Aku sedang mencari-cari apa maksud dari sepenggal puisi tersebut karena menurutku kalimat yang disampaikan bukanlah hal yang biasa, sepenggal puisi dari film tersebut membuatku teringang-ngiang setelah menontonnya. Beberapa sumber referensi ku temukan di intermet, aku pun mulai membacanya satu per satu.
"Hmm..." ku baca penjelasan yang cukup panjang mengenai puisi tersebut, "gila sih ini."
"Adrian..."
Aku menatapnya, entah bagaimana bisa Renata terbangun padahal baru saja ia memejamkan mata. Aku menghampirinya lalu ikut berbaring di sampingnya.
"Kenapa?" Tanyaku singkat.
"Kamu lagi ngapain?" Tanyanya dengan suara pelan.
"Aku lagi baca-baca aja, kamu..."
Renata memeluk lengan tanganku, ia mendekatkan tubuhnya. Tak lama berselang matanya kembali terpejam. Heningnya malam yang hanya menemaniku, memandangi wajahnya yang sudah kembali tertidur. Ku seka rambut yang menutupi wajahnya, ku lihat ada kedamaian di sana. Pikiranku melayang-layang, akan momen yang indah. Entah berapa lama aku kembali tersadar, dia hanya temanku. Ya, Renata adalah temanku untuk beberapa waktu lalu dan untuk saat ini. Masa yang akan datang? Aku tidak bisa meyakinkan bahkan untuk diriku sendiri, ada hal yang mengganjal untuk semuanya. Namun aku percaya semua akan ada jalan keluarnya, meskipun itu menyakitkan.
*
"Adrian, emang nggapapa?" Tanya Renata.
Ku kenakan helm pada Renata, "Nggapapa, lagian apa salahnya nganterin kamu pulang daripada harus bayar taksi. Sip, naik deh Ren."
Renata memegang pundakku lalu ia naik ke bangku belakang motor. Setelah siap kami pun berangkat menuju rumah Renata. Pagi hari, jalanan masih nampak sepi. Dengan santai aku mengendarai Syailendra. Sesekali aku melihat ke arah Renata lewat kaca spion, dan tak jarang pula Renata membalas tatapanku yang membuatnya tersenyum. Beberapa waktu di perjalanan akhirnya kami tiba di rumahnya. Renata pun turun, ku lepaskan helm dari kepalanya.
"Adrian, makasih ya udah mau nganterin. Aku jadi ngga enak kamu harus lebih pagi keluar rumah buat..."
"Renata..."
Sesaat Renata terdiam, "Makasih ya Adrian."
"Iya sama-sama, oh iya..." ku rogoh saku jaket mencari sebuah benda, "nih pegang aja."
"Kunci?" Tanya Renata heran.
"Iya itu duplikat kunci rumah aku, jadi kalau kamu mau ke rumah tapi aku belum pulang ya masuk aja." Jelasku.
Awalnya Renata cukup bingung, kemudian ia membuka tas miliknya. Ia nampak mencari sebuah barang, kemudian ia memintaku membuka telapak tangan. Sebuah kunci yang juga ia berikan kepadaku, "Nah kalau ini kunci apa?"
"Kamu simpen aja, nanti aku kasih tau itu kunci apa." Jawabnya.
Aku mengangguk lalu ku masukkan kunci ke dalam saku kemeja. Aku pun berpamitan kepada Renata, ku tinggalkan ia di depan rumahnya seorang diri.
"Ka Renata..." Ari keluar dari balik pintu pagar, "tadi Bang Adrian ya?"
"Loh ngangetin aja kamu, iya tadi Adrian yang nganterin pulang." Jawabnya.
"Tadi siapa Ren?"
***
Diubah oleh beavermoon 26-02-2020 13:42
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas