Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#558
Part 5


"Kamu ini sibuk ngurusin apa? Ini milikmu, bukan?" Adel memperlihatkan sebuah surat tagihan pada suaminya. Lembaran rangkap tiga itu diperolehnya dari seorang sales yang datang. Adel tak sempat berkata apa-apa, karena sales tersebut terburu pergi.

"Oh, itu ... iya, itu milikku." Lelaki berdarah Turki itu menatap sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Hal tersebut benar-benar memancing rasa ingin tahu Adel. "Ita-itu apa, sih? Ini apaan? Hanya ada kode-kode, tapi segini banyaknya," katanya dengan nada keras. Enver hanya tersenyum kecil. Ia saku kembali ponselnya, sambil menarik surat tersebut dari tangan sang istri.

"Bukan apa-apa. Dia datang cuma ngasih ini saja, kan? Nggak minta uang ke kamu, kan?"

"Lantas itu apa?"

"Lho, kok kamu jadi ingin tahu begini? Bukankah kamu bilang, kita urusi urusan masing-masing. Ha ha ...."

"GR! Yang mau ngurusin urusan kamu juga siapa?"

"Lalu, kenapa maksa bertanya? Ha ha ha ...."

Tawa dari Enver terkesan mengejek bagi Adel. Ia kemudian berpaling dengan sengaja menghentakkan high heels-nya begitu keras. Bukannya jengkel, peristiwa itu malah membuat Enver semakin tertawa. Sampai sepeninggal istrinya pun, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu, sifat sang istri bertolak belakang dengan sifatnya dulu, sepenuturan Adam --saudara lelaki Adel-- semenjak Dani meninggalkannya. Ia pun tahu, Adel tak pernah suka dengannya. Di mata sang istri, hanya Dani-lah lelaki yang bisa menundukkan hatinya. Sampai-sampai ia bingung, sebenarnya apa yang telah dilakukan Dani, hingga Adel terkesan belum bisa move on?

Tak mau berlarut-larut memikirkan sang istri yang labil, Enver pun mencoba melihat secarik kertas panjang yang dibawanya. Lalu, bergegas mengambil laptop yang ia bawa, dan mulai menyalakannya. Sekian detik menunggu, tangannya pun mulai beraksi. Entah apa yang dilihatnya pada monitor. Namun setelah itu, Mmtanya mulai berlarian. Menatap monitor, menatap kertas, lalu melihat ke monitor lagi, balik lagi melihat kertas. Seakan mencocokkan sesuatu.

Lama terdiam, ia lalu berkata lagi, "Hmmm ... lumayan besar juga, ya? Tapi, tak apalah. Kita lihat saja nanti, hasil akhirnya."

Lalu, lelaki berparas tampan itu tersenyum dengan bangganya.

****

Rinai hujan telah sirna sekian detik lalu, menyisakan buliran embun pada dedaunan, berikut dengan aroma tanah yang menguar bercampur dengan lembabnya sekitar. Masih terasa hawa sejuknya kala hilir sang bayu menerpa ....

Dani masih tetap di tempat semula. Di teras rumah, menghadap ke arah jalanan, dengan secangkir kopi menemani di meja. Kopi yang kepulan asapnya sudah hilang itu, masih belum dijamahnya. Bahkan, kursi yang ia duduki dua jam yang lalu, tak terasa panasnya seperti yang dirasakannya dulu saat lama terpaku. Mungkin karena hawa dingin yang menyeruak, atau mungkin karena ia yang sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar?

Kini, di rumahnya masih banyak saudara berkunjung. Seperti kemarin lusa, semuanya berkumpul sekadar bantu-bantu menjelang acara. Hari ini akan ada tahlil memperingati setahunnya wafat ibu Sefti. Ia bahkan tak turut andil dalam semua ini. Masih sang istri yang berperan besar tentang masalah pemasukan dan pengeluaran. Terkadang, melihat mandirinya Sefti yang dalam keadaan hamil tua seperti itu, Dani benar-benar merasa malu. Sadar, bahwa ia kini menjadi suami yang sangat tak berguna. Ia ingin sekali mencari pekerjaan di luar, tapi Sefti masih saja melarang, demi untuk mempertahankan toko onderdilnya.

"Ini hanya cobaan sementara. Kita harus kuat! Ingatlah usaha keras almarhum ayah saat merintis toko ini mulai dari nol, jangan mengecewakannya dengan mau menutup usaha ini. Rejeki itu sudah ada yang mengatur, Sayang! dan kita termasuk dilimpahkan rejeki yang sangat baik. Kalau sekarang rejeki kita diperantarakan lewat usahaku, mungkin saja nanti berganti jalannya melalui toko onderdil kamu." Kata-kata dari Sefti kemarin malam menjelang tidur, masih saja terngiang di telinganya. Sefti memang neriman. Ia juga tak pandai mengeluh. Hal ini yang kemudian membuat Dani mulai masa bodoh dengan sekelilingnya. Ia begitu acuh, karena menurut saja apa yang istrinya bilang. Terkesan, menggantungkan hidup.

"Dan, karpetnya jangan lupa ditata! Siapa tahu ada yang dateng pagi-pagi." Seruan Mbak Diah mulai membuyarkan lamunannya. Ia mengiyakan ucapan saudaranya, sambil beranjak masuk ke rumah. Diambilnya dua buah karpet yang terlipat di sisi buffet, lalu beralih ke ruang tamu. Kursi-kursi sudah terlebih dulu ia pindahkan ke luar, sehingga dengan waktu singkat, karpet sudah tergelar rapi.

"Dan!"

Suara di belakang Dani, lagi-lagi mengagetkannya. Ia lalu berbalik badan. Terdiam, karena menunggu perintah apa yang akan dikatakan lagi oleh saudaranya.

"Dan, bisa kita ngomong?" Setelah berkata begitu, Mbak Diah menggiringnya ke teras rumah. Sadar akan diinterogasi sesuatu, Dani pun menarik napas dalam-dalam.

Mbak Diah mengambil duduk di sebuah kursi yang menghadap ke sisi rumah, sementara Dani duduk di kursi yang tadi, menghadap ke jalan. Kali ini, disruputnya kopi yang sudah dingin di atas meja. Tentu perasaannya penuh was-was. Mereka terdiam sesaat. Sebenarnya, Mbak Diah merasa tak enak memulai pembicaraan. Ia sudah menangkap bahwa pembicaraan Pakdhe Narto mengenai bangkrutnya usaha Dani itu benar adanya. Namun, ia sedang mengatur pembicaraan, agar jangan sampai kata-katanya itu melukai hati sang adik.

Lalu, sambil mengupas wortel di tangan, Mbak Diah berseru lirih, "Bagaimana harga kulak onderdilnya sekarang, Dan? Semua serba naik, kira-kira naik juga tidak?"

Sempat Dani terhenyak. Ia bahkan tak mampu menjawab, karena sudah lama tak berniat untuk kulak barang. "Ehhmmm, ya lumayan, Mbak."

"Dulu 'kan naiknya kisaran seribu - seribu limaratusan, ya? Sekarang pasti selisih banyak harganya dari waktu aku yang jaga dulu."

"Ehm ... iya, Mbak."

Kali ini, berganti Mbak Diah yang tak bisa berkata lagi. Cara Dani yang menjawab dengan singkat-singkat, benar-benar membuntu caranya mengorek lebih dalam lagi. Ia sadar, ada sesuatu yang sedang ditutupi adiknya. Dulu Dani tak pernah seperti itu jika dengannya.

Lama terdiam, Mbak Diah teringat lagi tentang toko onderdil di dekat pasar sepenuturan sang Pakdhe. Ia pun kalap, saat Dani mulai beranjak dari tempat. Spontan ia berseru, "Dan, benar ya ... ada toko onderdil baru di dekat pasar?" Lagi-lagi, Dani terpaksa duduk kembali di tempat untuk meladeni omongan kakaknya. Wanita itu sendiri merasa bersalah, karena refleks saja berkata demikian, demi mencegah adiknya pergi.

"Iya, Mbak." Dani menjawab singkat sambil menelan ludah. Menangkap raut wajah sang adik berubah, Mbak Diah pun mulai meletakkan wadah berisi kupasan wortel tersebut ke sisi. Dengan lirih, ia bertanya lagi, "Tapi, benar 'kan ... tak mempengaruhi toko kamu?"

Tak ada jawaban dari mulut Dani.

"Tokonya masih aman saja, kan?" Wanita itu terus melontarkan tanya. Lagi-lagi tak ada jawaban tertangkap ke pendengaran, membuatnya sepintas yakin jika omongan Pakdhe Narto benar adanya. Toko Dani kalah saing!

Lama membisu, membuat Dani menyulutkan api ke batang rokok yang baru saja diambilnya dari saku. Ia begitu malas jika membahas masalah tentang toko. Ingin marah, tapi tak ada yang salah atas semuanya. Ingin pergi ke luar, tapi tak enak sendiri, mengingat di rumah kerepotan. Sementara Mbak Diah, terus saja memaksa bertanya yang benar-benar memancing rasa marahnya. Bahkan ia tahu, istrinya saja tak pernah memaksa bertanya sedetail itu.

"Ceritalah! Kamu terlihat ada beban. Mungkin aku bisa bantu kamu, Dan. Kita bersaudara, kan? Aku tak bisa melihat saudaraku punya masalah tapi dipendam sendiri. Aku tahu, kamu tak akan mungkin menceritakannya pada ibu. Tapi kamu bisa percaya aku untuk masalahmu. Walau tak bisa membanty secara materi, karena mbakmu ini masih tergolong cukup untuk sehari-hari."

"Tak ada masalah apa-apa, Mbak."

"Kamu juga semakin kurus, Dan. Kamu sebenarnya kepikiran apa? Kalian ada tabungan 'kan, untuk biaya lahiran?"

Mendengar itu, amarah Dani sudah tak terbendung. Ia menyesap rokok dalam-dalam, mengembuskannya kasar, lalu membuang rokok yang masih separuh utuh itu ke pelataran. "Kenapa merembet ke biaya lahiran, Mbak? Sumpah, aku tak akan berani merepotkan samean, kalaupun nantinya aku tak punya uang sepeser pun!" sentaknya kemudian.

Melongo. Hanya itu ekspresi Mbak Diah.

"Meskipun onderdilku tak seramai dulu, tapi aku tak pernah menyusahkan orangtua dengan menghabiskan harta yang sudah diberinya." Kali ini Dani mulai menyindir saudaranya.

"Setidaknya aku beruntung punya istri Sefti, yang meskipun aku berbulan-bulan tak berpenghasilan dan terus menyusahkannya, ia masih setia di sampingku. Tak meninggalkanku demi menginginkan kehidupan yang layak," lanjutnya lagi. Semua perkataannya tanpa disadari tengah melukai hati Mbak Diah. Mana mungkin adiknya bisa berkata begitu, sementara Dani pun tahu bahwa ia tak bersalah. Mbak Diah adalah korban dari sifat buruk suaminya. Dani juga sadar betul, Mbak Diah meninggalkannya karena suaminya duluan yang minggat dari rumah, sementara ia baru saja melahirkan si bungsu Bobi. Tegakah orang yang melihatnya seperti itu? Ia pulang ke rumah atas kepedulian almarhum ayahnya yang dengan rela hati menyusulnya kala hujan lebat mengguyur.

Sakit hati niat baiknya disalah artikan, buliran bening pun menetes dari balik kelopak. Dani sedikit bersalah saat mengetahui itu. Dan tanpa mereka sadari ... telinga sang ibu tanpa sengaja menguping dari balik pintu yang terkuak.

"Emmmmhhh, Daniiiiii!! Awas koen, yoooo!!!!" Sang ibu mulai celamitan dalam batin.

(Butuh cendol, butuh komen, dan butuh kalian semua pastinya. Hhhhh. Mood lagi baik, moga aja gak kumat malesnya lagi ntar)
emoticon-Big Kissemoticon-Big Kiss
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 21:44
i4munited
pulaukapok
erman123
erman123 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.