- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#557
Part 4
"Sayang."
Sebuah suara muncul bersamaan dengan sedikit tepukan yang melayang pada bahu Dani. Sontak ia tergugah, serta-merta menolehkan pandang.
"Lho?" Lelaki itu langsung menunjukkan ekspresi heran. "Samean habis dari pasar sendirian?" tanyanya pada sang istri, yang saat itu sibuk menenteng dua kresek besar belanjaan. Tanpa menunggu jawaban sang istri, Dani segera bangkit dari kasur, dan meraih barang belanjaan tersebut.
"Pasar juga gak jauh-jauh banget, sih, aku 'kan gak mau manja, he he he ...." jawabnya slengekan, sambil mengekor di belakang suaminya yang berjalan menuju dapur. "Lho, ibu mana?" Wanita itu berkata lagi, setelah sadar sejak datang tak menjumpai sang mertua berada dalam rumah. Suaminya tak menjawab apa-apa. Hanya meletakkan belanjaan tersebut pada meja di sisi kompor, lalu mengedarkan pandang.
"Kayaknya, samean belanja barengan sama ibu, tuh. Nah, itu ... siapa yang beli?" Dani kemudian menunjuk pada sebuah kresek besar di sisi rak. Tampak lusinan wadah plastik ada di dalamnya. "Memang, mengundang berapa orang? Katanya jamaah tahlil perempuan hanya empat puluhan. Nah, ini ... samean beli wadah plastik juga," lanjutnya lagi.
"Nggak apa. Itu ibu nyiapin untuk acara tingkep. Lah, ini aku beli buat tahlil satu tahunnya wafat ibuku."
"Lho, kok nggak bilang aku? Kapan?"
"Masih lusa, kok. Aduuuuh, masalah beginian, tugas antar perempuan. Biar aku dan ibu saja yang sibuk. Lelaki cukup mencari uang saja, sudah," jawab sang istri sambil mengulas senyum. Sedangkan Dani memilih diam mendengar ucapan itu. Perlahan kemudian mengambil langkah pergi. Gontai ... berasa ada sebuah cambuk yang menghantam keras punggungnya.
Ia merasa tak berguna kali ini. Sudah sadar jauh-jauh hari jika usahanya tak seramai dulu. Terlebih bengkel-bengkel yang sudah biasa berlangganan kini punya stok barang sendiri. Kalau tak karena Sefti yang menyemangati, tak mungkin ia tetap bertahan dengan tokonya, sedang beberapa bulan belakangan, ia ingin gulung tikar.
"Hadeeeehh, mendekati Hari Raya Qurban, apa-apa serba naik. Ckckck!" Sang ibu masuk dari pintu depan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata menatap coretan di secarik kertas kecil. Melenggang begitu saja melewati Dani. Mendengar ucapan itu, kepala Dani terasa berputar. Entah berapa uang yang telah digelontorkan istrinya untuk dua acara yang seharusnya menjadi tanggungannya tersebut. Ada rasa tak enak hati sendiri, mengingat sejauh ini usaha Sefti lah yang telah melancarkan rezeki. Segala tanggungan hidup, mulai dari urusan makan, pengobatan ibunya, listrik, air, dan lain lain, ia tak tahu sama sekali. Ia hanya memberi uang sang istri seadanya, sesuai dengan penghasilan toko yang semakin hari semakin sepi. Lain dengan bisnis istrinya. Jangankan sekadar cukup, bahkan mungkin Dani belum pernah bisa mendapatkan total uang yang banyaknya sekian, selama ia bekerja dulu.
Sefti sukses menjalankan usaha. Teramat sukses. Berbanding terbalik dengan usaha Dani yang pernah dirintis almarhum ayahnya dari nol. Sepi, dan seperti rejekinya mati. Lelaki itu tampak pesimis.
"Jangan pernah mengeluh, Sayang. Tetap semangat dan terus berdoa. Jangan pernah tampakkan sedihmu di depan ibu! Kamu tak ingin beliau mikir, kan?" Masih teringat jelas penuturan Sefti waktu itu padanya. Ya, Sefti pun ingin menutupi semua ini dari ibu Dani. Jadi, sepengetahuan ibunya, usaha mereka lancar adanya.
Sampai di suatu ketika ....
"Dan, barangmu sik payu? (barangnya masih laku)" Pakdhe Narto berkata dengan suara lantangnya yang khas, saat bertamu di rumah Dani, mengantarkan istrinya untuk bantu-bantu acara kerepotan.
Spontan seruan tersebut memancing sorotan dari beberapa pasang mata. Termasuk Mbak Diah, ibunya, juga kerabat-kerabat yang lain.
Dani bermuka masam. Kaku terasa bibirnya. Sadar akan situasi, sang istri langsung menyahut, "Alhamdulillah, meski tak seramai yang almarhum ayah kelola dulu, tapi selalu mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, Pakdhe."
"Ya, alhamdulillah kalo gitu. Soalnya di pasar ada agen onderdil gede. Baru tahu aku. Rame bener," balas Pakdhe lagi. Dani semakin ciut nyali. Ia sendiri baru tahu jika ada agen besar di tempatnya. Semakin tak percaya diri, ia pun mencoba mengalihkan pandangan dengan mengajak Boby -sang ponakan- pergi. "Hei, Om punya sesuatu buat kamu. Yuk, ikut!" ujarnya. Boby sebenarnya tak menanggapi, tapi Dani langsung menggandengnya paksa. Mbak Diah tampak berkerut dahi. Seperti sadar ada sesuatu dibalik pancingan omongan tersebut. Sementara, Sefti tercenung di tempat, memandangi sang suami sampai kejauhan, yang sepertinya tengah sakit hati.
"Lah, trus kenapa kalau rame? Toko Dani juga rame, kok." Ibu tiba-tiba berseru dengan nada sedikit sinis. Dari dulu sifatnya tetap sensitif, tak berubah sama sekali. Mendengar nada tak enak itu, Pakdhe Narto dipelototi oleh istrinya, sehingga ia berkata, "Yo gak popo lah (ya gak apa lah). Maksudku tadi, mending Dani kulak di sana saja. Sepertinya murah."
"Halah, paling yo unda-undi (paling juga 11-12)!!" Ketus ibu menanggapi. Sefti jadi sedikit menelan ludah, ia sadar suasana memanas. Tak ingin semakin melebar, ia pun beranjak, menghampiri sang ibu yang tengah memotong daun pisang. "Bu, ikut saya keluar sebentar, ya? Ambil pesanan kue," ajaknya.
"Lho, katanya jam empat sore? Ini masih jam berapa?"
Sefti diam sejenak, sedikit kikuk dengan alasannya. Namun, kemudian berkata lagi, "Sekalian dilihat, Bu. Saya juga ada perlu keluar. Ibu dari pagi sibuk terus, cari angin sebentar, yuk, ikut saya!"
Akhirnya, usahanya meredakan emosi ibu berhasil. Segera ia meraih kontak motor di atas kulkas, sambil menuntun mertuanya itu pergi. Ia selalu tahu diri ketika ibunya berubah mood. Sebelum sampai emosinya meledak, ia selalu mencari cara untuk mengambil hatinya kembali. Ia ingin hidup serumah tentram, seakan ada ruang longgar dalam dadanya. Terbukti, sang mertua tak pernah meledak-ledak setelah Dani mempersuntingnya.
"Kamu seharusnya sudah tak boleh wara-wiri di jalan, Nak! Kandungan kamu memasuki usia tujuh bulan. Pamali." Belum sampai Sefti naik ke motor, ibu sudah menasehati.
"Oh, begitu ya, Bu? Kalau begitu, biar suami saja yang pergi, ya?"
"Ya iya, lho! Lah, Dani ngapain, kok kamu yang repot sendiri. Toko juga tutup, nggak buka."
"Iya, Bu. Biar saya minta tolong dia. Kalau begitu, kita duduk saja, Bu, di teras. Rehat bentar." Sefti memegang kedua pundak sang mertua. Berganti menuntunnya untuk mengambil duduk di teras. Seusai mendudukkan ibu ke salah satu kursi, ia pamit menemui Dani. Lalu, ia pun masuk ke kamar, menemui sang suami yang tengah merenung, meski tatapan kosongnya menghadap pada sang ponakan.
"Kamu nggak papa, kan?" Sefti berseru lirih.
Dani yang sedang tiduran miring di kasur, langsung terkesiap menolehkan pandangan ke sang istri. "Omongan seperti tadi, jangan terlalu diambil hati," lanjutnya lagi, sembari mengambil duduk di samping suami. Ia belai lembut pipi Dani dengan tangannya yang dingin, sambil tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi.
"Sudah ada aku yang menguatkan, jadi ... jangan rapuh, ya?" Bibir ranum itu berkata lagi. Ia tahu betul karakter suaminya. Terlalu perasa, kurang tegas, serta kurang percaya diri. Dani masih tak berkata apa pun, tapi ia tersenyum di hadapan istrinya. Seakan memastikan, ia biasa saja.
"Coba ini, tanyakan, sudah selesai apa belum? Ambil saja kue yang selesai, lainnya tinggal dulu, ambil sorean. Itu ada lebihannya ... buat incipan saudara dan keponakan." Sefti lalu menyodorkam sebuah nota pada Dani.
"Ini yang di perumahan deket minimarket itu?"
"Ya."
Dani diam sejenak, menilik deretan angka yang tertulis paling bawah pada nota. Rp. 837.500,- untuk enam macam jenis kue yang dipesan. Lagi-lagi, rasa bersalahnya muncul. 'Untuk kue saja sekian, lantas untuk yang lain berapa?' Suara batinnya terus meronta seakan menyalahkan diri sendiri. Namun akhirnya, ia langsung memasukkan nota itu ke jaket. Sementara sang istri sudah meninggalkannya beberapa detik lalu.
"Mau ikut, Bob?" Dialihkannya pandangan pada Bobi yang sedang asyik nonton Youtube di gawai.
"Ke mana?"
"Jalan-jalan."
Boby pun beranjak. Jingkrak-jingkrak menghampiri om-nya sambil tersenyum lebar. Berbeda dengan perasaan dalam hati Dani. Entahlah ... ia bingung sekali.
***
Di sebuah perumahan elite, di tengah kota ....
"Aku tak habis pikir, kau masih menginginkanku bersamamu. Padahal, tempat kita tinggal sudah jauh dari orangtua masing-masing." Seorang lelaki berpenampilan parlente menuang air putih ke dalam wadah gelas, sambil menatap lamat perempuan yang ada di depannya.
"Itu karena kau masih ada di negara ini. Tak mungkin kau kutinggalkan berada di tempat lain, selain bersamaku. Kalau kau pulang, mengurus bisnismu di Turki, mungkin aku bisa lebih bernapas lega karena kau sudah lenyap dari pandangan." Perempuan itu membuang mukanya ke lain sisi.
"Kau ingin aku lenyap? Kenapa tak kau tembak mati saja?" gertak si lelaki. Memancing jawaban dari wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu.
Kali ini, perempuan itu menatap sengit lelaki di hadapannya. Napasnya begitu memburu karena kesal. Lalu, ia berdiri dari tangan sofa, menunjuk wajah si lelaki dengan begitu murkanya. Sambil berkata, "Ucapanmu tak lepas selalu membuat emosiku naik. Kau bukannya membantuku untuk bisa melupakan masa lalu, tapi malah berkata-kata yang selalu memancing kadar kewarasanku. Dengar aku, Enver! Kau pikir, aku senang tinggal bersama satu atap denganmu? Tidak sama sekali."
Lelaki bernama Enver itu tersenyum menyeringai. Hal itu semakin menambah naiknya emosi sang istri. "Kenapa kau menertawakanku, haaahh??" sentaknya kemudian.
"Aku? Menertawakanmu?" Enver mengangkat kedua alisnya, seolah tak paham dengan maksud perempuan itu. Ia lalu mendekat, sedangkan si perempuan mencoba untuk mundur. Semakin perempuan itu menampakkan wajah takutnya, semakin Enver tak kuat menahan tawa.
"Diam kau di situ! Jangan berani macam-macam, atau kau ...." Belum sempat ia berkata, Enver menyahutnya dengan sebuah desisan. Sontak, mulut lawan bicaranya pun terbungkam.
"Adelia, wajahmu polos ... tapi, tak sepolos sifat dan hatimu. Kamu labil di usiamu yang sudah matang. Kamu perlu bercermin diri, kenapa akhirnya kamu ditinggalkan oleh masa lalumu. Seharusnya, pikiranmu begitu." Lirih lelaki itu berucap, sembari membalikkan badannya. Mendengar itu, perempuan bernama Adel tersebut, langsung memelototkan mata. Seakan panas rasa kepala meletup-letup sudah.
"Maaf, jika bicaraku menyinggung. Jika kamu tak diberitahu seperti itu, sampai kapanpun kamu tetap saja akan buta. Kamu pikir, kamu bisa merebut Dani dari istrinya? Kamu tak bisa lihat, setegas apa ia menolak saat kamu menantangnya di wedding party waktu itu? Jelas sekali bahwa ia sangat mencintai istrinya demi apapun," lanjutnya lagi.
Grrrrrrr!!! Gigi Adel terasa berkerat saat mendengar ucapan demi ucapan terlontar dari mulut lelaki itu. Semakin hari, ia semakin membenci sosok Enver. Terlebih, saat lelaki itu berkali-kali menampakkan senyumnya yang menyeringai. Ia sampai tak kuat mengatur napas yang seakam kembang-kempis merasakan ejekan demi ejekan terlontar dari bibir suaminya itu.
Tak tahan melihat wajah yang semakin hari semakin bertambah menyebalkan, Adel pun meraih tasnya yang tergeletak di nakas. Dengan kesal, ia melangkah pergi dari tempat, dengan sebuah bantingan keras dari pintu depan yang sangat mengagetkan.
Lelaki itu tak lagi memperlihatkan seringai sinisnya. Sepeninggal Adel, raut wajahnya berubah datar, tanpa ekspresi. Masih terluka dan sakit hati, sepertinya. Kemudian, ia ambil gawai dari saku, mulai menekan benda pipih tersebut. Tak lama, suara di seberang menyapa.
"Bagaimana?" Enver langsung mengungkapkan tanya.
Ucapan demi ucapan yang didengarnya membuat ia terdiam. Sesaat kemudian, diraihnya sebuah notes dari dalam tas, lalu sebuah pen. Ia mulai mencatat semua yang didengarkannya melalui sambungan telepon.
"Oh, sudah, ya? Oke. Terima kasih!" Enver lalu mematikan teleponnya, dengan mata masih awas menatap notes di hadapan. Sekilas kemudian membuang pandang ke arah daun pintu yang tampak sedikit terkuak.
"Semua sudah kujalankan. Kita lihat nanti, bagaimana selanjutnya. Akan kupatahkan ego-mu suatu saat nanti," ujarnya lirih.
Enver kembali menatap notes di tangannya. Entah rencana apa yang ingin dilakukannya. Namun, tatapannya begitu yakin. Begitu pasti ....
------
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 21:44
erman123 dan 5 lainnya memberi reputasi
6