- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.2K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#32
Spoiler for Episode 9:
Mata ku terbuka, ku sadar hari sudah pagi. Beberapa kali aku mengedipkan mata ini, tiba-tiba aku tersenyum kecil. Menatapnya, yang masih tertidur pulas dalam mimpi.
Ku sadari, aku memeluknya. Begitu juga dia, tertidur memeluk dengan lenganku sebagai bantalnya. Aku mencoba sebisa mungkin tidak membangunkannya, ku angkat kepalanya agar lengan ku dapat terlepas. Berhasil, ku letakkan kepalanya pada bantal secara perlahan. Aku memutuskan untuk bangun dan berlalu menuju lantai bawah.
Menuju dapur, ku ambil gelas dari tempatnya lalu ku isi penuh air dingin dari kulkas. Beberapa tegukan, aku pun kembali menuju kamarku. Renata masih memejamkan matanya dengan damai, aku berlalu menuju balkon kamar. Bekas hujan semalam masih nampak dengan beberapa genangan di lantai. Ku nyalakan sebatang rokok, memandang jauh pagi hari ini dalam hening.
Kembali teringat semalam, ketika hujan deras dengan petir yang cukup keras ke telinga. Ku hembuskan asap putih dari dalam mulut, sesekali aku melihat ke arah Renata. Aku tidak pernah menduga, akan mencium seorang wanita yang baru saja ku kenal. Seorang wanita yang bahkan mau membantuku tanpa ada sebab, dan seorang wanita yang mampu membuatku menatapnya untuk waktu yang sangat lama.
Sumpah serapahku beberapa tahun yang lalu nampaknya terpatahkan ketika Renata hadir di kehidupanku. Beberapa tahun yang lalu, aku masih ingat. Ku lontarkan sebuah kalimat dengan lantang, "Gue udah males jatuh cinta lagi."Ferdi yang mendengar itu hanya bisa terdiam membiarkan aku meluapkan amarah yang ku pendam sejak lama.
"Adrian..."
Pandanganku beralih, ku lihat Renata sedang duduk menatapku. Aku hanya bisa tersenyum selagi ia mengucapkan, "Selamat pagi."
Ia bangun, lalu berjalan pelan menuju tempat aku berada. Ku serahkan gelas berisi air padanya, namun diabaikan. Ia memelukku dalam diam, aku hanya bisa membiarkan semuanya hingga berakhir. Kali ini wajahnya nampak jelas ku pandang selagi ia menghabiskan gelas berisi air tersebut.
"Adrian, makasih ya." Katanya pelan.
Aku mengangguk. Beberapa menit kami habiskan hanya saling menatap satu sama lain, hingga matahari pun mulai menampakkan cahayanya.
*
"Selamat pagi Ka Renata. Tumben ngga sendirian ke sini."
"Iya, sekarang ada yang nemenin." Jawab Renata.
Kami berdua sedang berada di sebuah toko yang menjual berbagai macam jenis bunga. Hari ini Renata memutuskan untuk kembali mengajakku ke sini setelah beberapa waktu lalu gagal karena toko tersebut tutup.
Renata masih berbincang dengan florist toko ini, aku pun memutuskan untuk melihat-lihat tempat ini. Harum adalah kesan pertama yang bisa ku dapat di toko ini, dan mungkin sangat warna-warni dari penampilannya.
"Mawar... Melati..." aku berbicara sendiri sambil menunjuk satu per satu bunga yang ku kenal, "Tulip... ini apa ya?"
"Adrian..."
Aku menuju Renata yang memanggilku, ku lihat sudah ada rangkaian bunga di tangannya namun tak seragam. Kemudian florist memberikan satu tangkai bunga yang terbungkus dengan koran kepada Renata.
"Ada lagi Ka Renata? Kok tumben beli bunga..."
Renata memberikan isyarat diam kepada florist yang sayangnya aku tak melihatnya, "Udah itu aja, jadi berapa semuanya?"
Renata pun membayar, kemudian kami pergi meninggalkan toko ini.
"Kamu suka sama bunga?" Tanyaku.
"Suka banget, dari kecil ngga tau kenapa suka ngerawat bunga-bunga dan keterusan sampai sekarang. Makanya aku beli yang ngga seragam karena emang nanti bakalan ditempatin kepisah." Jawabnya.
Aku mengangguk, "Oh jadi gitu... Eh ini mau ke rumah kamu?"
Renata mengangguk sambil tersenyum, "Aku mau kamu juga tau di mana aku tinggal, ngga adil aja kalau cuma aku yang tau. Nggapapa kan?"
Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata, karena aku tidak tau jika ia ingin mengajaknya ke rumah. Hampir satu jam di perjalanan, mobil Renata berhenti di sebuah rumah yang besar.
Tin! Tin! Tak lama kemudian gerbang dibuka dari dalam, seorang yang mengenakan safari membuka gerbang tersebut yang tentu saja membuatku sedikit terkejut. Mobil Renata pun masuk ke dalam halaman di depan garasi, di sana aku melihat seseorang yang sedang sibuk di balik kap mesin mobil. Kami pun keluar dari dalam mobil.
"Ari, kamu masih benerin mobil juga?" Tanya Renata.
"Iya Ka, demi kemaslahatan umat." Jawabnya tanpa berpaling.
"Eh ini kenalin dulu, jangan benerin mobil terus."
Ia pun mengalihkan pandangannya padaku, nampaknya ia cukup terkejut mengetahui bukan hanya ada Renata saja di sana. Ia membersihkan tangannya dengan kain.
"Halo, Adrian."
Ia menjabat tanganku, "Halo Bang Adrian, saya Ariawan. Panggil aja Ari, adiknya Ka Renata."
"Papa sama Mama ada?" Tanya Renata.
"Belum pulang Ka, kayaknya malem deh..." Ari kembali melihat ke arah mesin mobilnya, "ajak ke dalem aja Ka."
"Mobilnya kenapa Ri?" Tanyaku.
"Biasa Bang ambekan bulanan, ngga ngerti deh ini kenapa." Jawabnya.
Aku mendekat padanya, ku lihat mesin mobil tua miliknya. Aku mulai memeriksa satu per satu komponen mesin mobil tersebut, tentu saja Ari yang melihat bingung.
"Bang Adrian ngerti mesin?" Tanyanya.
"Nyoba ngga ada salahnya kan?..." aku tak mengalihkan pandangan dari mesin ini, "tolong ambilin kunci 8 sama 12 Ri."
Ia mulai membantuku mengambilkan barang yang ku butuhkan. Beberapa menit membongkar pasang komponen mesin, Renata datang membawakan minuman untuk kami. Aku hanya mengiyakan namun tetap fokus pada mesin mobil.
"Ri, coba starter." Kataku.
Ia masuk ke dalam mobil dan mencoba menyalakan mesin mobil miliknya. Dan berhasil, mobilnya pun kembali hidup. Kemudian Ari keluar dari dalam mobil dengan sumringah hingga memelukku.
"Bang Adrian! Makasih banget akhirnya bisa nyala lagi! Makasih Bang makasih!" Katanya sambil memelukku.
Aku hanya bisa terdiam sambil melihat Renata yang tersenyum menatapku, "Udah nggapapa Ri santai, santai."
Renata menghampiri kami sambil memberikan minuman, kami pun mulai minum. Nampak dari raut wajah Ari yang benar-benar senang karena mobilnya kembali bisa digunakan lagi, aku pun ikut bahagia melihatnya.
"Ngga jadi dijual, yes!" Kata Ari.
"Dijual?" Aku bertanya heran.
"Iya mobil ini tadinya mau dijual kalau ngga bener juga..." Renata meletakkan tangannya di pundakku, "eh tapi sekarang udah bener, ngga jadi dijual deh."
"Aku juga ngga bakalan rela kalau Merry dijual, barang klasik gini susah nyarinya." Jawab Ari.
"Aku ngerti sekarang kenapa Merry mau nyala lagi, soalnya yang benerin pemilik Syailendra. Sama-sama klasik." Kata Renata.
"Syailendra siapa Ka?" Tanya Ari.
"Motor klasiknya Adrian." Jawabnya.
Matanya terbuka lebar menatapku, "Bang Adrian punya motor klasik, serius?"
"Iya punya satu-satunya. Nanti sore mau diambil di bengkel." Kataku.
"Bang, kapan-kapan dibawa dong ke sini aku mau pinjem. Boleh ya? Boleh boleh?" Ajak Ari.
"Ari jangan gitu dong." Kata Renata.
Aku menatap Renata mengisyaratkan tidak apa-apa, kemudian "Iya nanti dibawa ke sini."
Ari nampak senang. Mungkin karena ia menemukan seseorang yang berselera sama dengannya, dan mungkin aku akan melakukan hal yang juga sama. Klasik punya daya tarik tersendiri untukku, entah kenapa meskipun sudah termakan zaman namun nilainya tak tergantikan.
"Kamu nanti bawa Merry aja ya, Kakak mau pergi dulu sama Adrian." Kata Renata.
"Iya santai aja Ka." Jawab Ari.
"Adrian, aku ganti baju bentar ya."
Aku mengangguk, Renata pun masuk ke dalam rumah dan tersisalah aku dan Ari di teras rumah ini. Ari mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya lalu menawarkanku, aku menolak dengan mengeluarkan kotak rokok dari saku celana juga.
"Bang Adrian..." Ari menyalakan sebatang rokok, "pacarnya Ka Renata?"
Aku ikut menyalakan sebatang rokok, "Hmm... Jelasin definisi pacaran dulu."
"Definisi pacaran?..." Ari menatapku heran, "yang aku tau kalau dua orang saling suka, terus saling nyatain perasaan atau salah satu deh, terus yang satu lagi mau, namanya pacaran."
"Kalau itu definisi pacaran menurut lu berarti gue ngga pacaran sama Renata." Jawabku.
"Serius ngga pacaran? Ka Renata ngga pernah bawa cowo ke rumah kecuali mereka udah pacaran loh Bang." Katanya cukup kaget.
"Oh ya? Gue baru tau loh." Kataku.
"Kalau Bang Adrian bukan pacarnya... Hmm... Ada yang berubah berarti dari Ka Renata. Kok jadi kepikiran gini ya." Katanya lagi.
Aku pun tidak mengetahui akan hal itu, jika memang ia hanya pernah membawa pacarnya ke rumah sedangkan aku bukan pacarnya memang cukup mencurigakan bagi Ari.
"Tapi kalau emang ngga pacaran seenggaknya jangan bikin Ka Renata kayak dulu ya Bang." Kata Ari.
"Kayak dulu?..." aku menghadap ke Ari lebih serius, "maksudnya gimana?"
"Tapi jangan cerita-cerita ya kalau aku ngasih tau ini..." Ari celingak-celinguk melihat keadaan sekitar, "antara dua tahun lalu kalau aku ngga salah, Ka Renata pernah sakit hati gara-gara satu cowo. Mantan terakhirnya, aku juga lupa siapa namanya. Ketika Ka Renata lagi jatuh cintanya banget sama cowo itu, eh si cowo itu malah main-main. Sampai Ka Renata pernah sumpah serapah kalau dia ngga bakalan mau jatuh cinta lagi."
Uhuk! Uhuk! Dengan cepat aku meminum minuman lagi hingga tak bersisa, Ari pun heran dengan apa yang terjadi dan aku memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Tak lama berselang Renata keluar dari dalam rumah.
"Ngobrolin apa sih kok seru banget?" Tanya Renata.
"Obrolan laki-laki sejati, Ka Renata ngga boleh tau." Jawab Ari.
Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala, dan akhirnya aku dan Renata memutuskan untuk pergi. Aku masuk ke dalam mobil, Ari pun mendekatiku.
"Bang Adrian bagi nomer kontak dong." Katanya.
"Buat apa Ri nanya nomernya Adrian?" Tanya Renata.
"Rahasia."
Renata menggeleng-gelengkan kepalanya selagi aku memberikan nomer padanya, Adrian ternyata berbisik pelan kepadaku, "Jangan sampai Ka Renata tau ya Bang."
Aku hanya mengangguk pelan sambil mengembalikan handphone miliknya, dan kemudian aku dan Renata meninggalkan rumah ini.
"Ari cerita apa aja ke kamu? Atau dia nanya-nanya apa gitu?" Tanya Renata.
"Soal mobil sama motor aja kok ngga ada yang lain." Kataku berbohong.
Menjelang siang hari ini, Renata mengajakku untuk menonton salah satu film di sebuah bioskop. Tidak membutuhkan waktu cukup lama, kami sudah tiba. Memasuki kawasan Mall, tempat yang ku masuki hanya jika ingin ke bioskop, tidak pernah aku sekedar jalan-jalan atau hanya melihat-lihat.
Kami pun tiba di bioskop, ternyata Renata sudah memesan tiket terlebih dahulu yang membuat kami tidak perlu mengantre untuk membeli tiket. Berhasil mendapatkan tiket, ku lihat keterangan yang ada di tiket tersebut.
"Sekarang pukul 12, film mulai pukul 12.30. Kamu mau ikut salat dulu?" Kataku.
Renata menatapku beberapa saat dalam diam, "Aku... di sini aja."
Aku pun mengangguk, kemudian aku berjalan keluar menuju tempat salat. Beberapa menit berlalu, aku kembali masuk ke bioskop dan menemukan Renata yang sedang duduk di lantai sambil memainkan handphonenya.
"Sibuk banget, lagi liatin apa?" Kataku mendekat padanya.
"Eh kaget aku..." ia menatapku, "ini lagi liatin buku-buku."
Tak berselang lama, pengumuman terdengar bahwa studio tempat kami akan menonton sudah di buka. Kami pun bergegas menuju studio tersebut.
130 menit berlalu, kami pun keluar dari studio tersebut. Kami pun memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat makan yang juga berada di kawasan Mall ini. Tempatnya cukup ramai, beruntunglah kami masih mendapatkan tempat. Setelah duduk, kami pun mulai memesan makanan.
"Eh iya kamu hari ini mau ambil Syailendra kan?" Tanya Renata.
"Iya nanti, santai aja kok bengkelnya sampai malem bukanya." Jawabku.
"Berarti kamu bisa nemenin aku dulu nanti?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk menyanggupinya. Tak lama berselang pesanan kami tiba di meja. Entah sudah berapa lama, kami pun sudah selesai makan lalu meninggalkan tempat ini. Tersadar hari sudah sore, kami pun masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat ini.
Beberapa menit berlalu, Renata membelokkan mobilnya hingga masuk ke dalam sebuah parkiran. Aku melihat-lihat tempat ini dari balik kaca mobil.
"Aku..."
"Iya..." aku pun menatap Renata kemudian tersenyum, "aku nunggu di sebelah nggapapa kan?"
Renata tersenyum. Kami pun keluar dari dalam mobil menuju arah yang berbeda, Renata masuk ke dalam Gereja sedangkan aku pergi ke kedai yang berada persis di samping gedung ini.
Tak banyak yang ku lakukan, hanya meminum kopi sambil membaca buku yang disediakan tempat ini. Tak terasa matahari semakin tenggelam, ku lihat langit berwarna jingga. Ting! Pandanganku beralih ke handphone yang ku letakkan di meja, pesan masuk dari Renata yang mengabarkan bahwa ia telah selesai. Aku pun bergegas pergi meninggalkan tempat ini, kemudian aku melihat Renata sedang berdiri di samping mobilnya.
"Udah selesai?" Tanyaku.
Renata mengangguk, "Maaf ya kamu nungguin lama."
"Ngga perlu minta maaf buat ibadah Ren." Kataku.
Ia pun tersenyum, kemudian kami pun meninggalkan tempat ini.
"Eh iya, gimana kalau mobil di rumah kamu dulu." Ajak Renata.
"Maksudnya gimana?" Tanyaku.
"Ya jadi mobil aku di rumah kamu, biar pulang dari bengkel naik moror kamu. Aku belum pernah dibonceng Syailendra." Jelasnya.
"Emangnya kamu mau naik motor? Tanyaku.
"Ih kok gitu sih ngomongnya..." Renata memukul lenganku, "aku mau kok naik motor, lagian kenapa kamu nanya kayak gitu?"
"Ngga kok, yaudah iya ntar naik Syailendra pulangnya." Kataku.
Mobil sudah terparkir di depan rumah, sesuai permintaan Renata kami pun menuju bengkel menggunakan ojol agar ia bisa menaiki Syailendra. Dan akhirnya kami pun tiba di bengkel tempat biasa aku memperbaiki motor, terpajanglah Syailendra di pojokan ruko di antara motor-motor generasi baru.
"Aki, Syailendra udah aman kan?" Tanyaku.
"Udah tuh siap buat..." ia melihat Renata dengan heran, "siapa nih? Kok gue ngga pernah tau lu punya gacoan?"
Aku pun memperkenalkan Renata pada Aki, montir langganan sekaligus orang yang paling paham dengan Syailendra. Mungkin jika beberapa tahun lalu aku tidak bertemu dengannya, Syailendra sudah laku terjual entah kemana.
"Duduk dulu neng, mau minum apa nih?" Tanya Aki.
"Samain aja lah kayak gue Ki biar cepet." Kataku.
"Loh dia juga doyan?..." Aki membuka pintu kulkas dan memberikan dua botol minuman kepadaku, "hebat juga hasutan lu."
Krek! Ku berikan yang sudah terbuka pada Renata lalu ia ku suruh untuk duduk di sebuah bangku panjang. Aku dan Aki mendekat ke arah Syailendra, kami pun mulai membahas masalah apa saja yang membuatnya kemarin mogok total tidak seperti biasanya. Sesekali aku melihat ke arah Renata yang dibalas dengan senyuman. Setelah selesai aku pun membayar tagihan perbaikan Syailendra.
"Lu yakin ngga mau jual Syailendra?..." Aki menyerahkan catatan pembelian kepadaku, "kemarin ada orang ke sini ngeliat motor lu, ditawar 60 juta."
"60 juta?" Renata terkejut mendengar hal tersebut.
"Iya neng 60 juta, pasti ngga masuk akal kan dengernya? Cuma ya kenyataannya emang begitu." Kata Aki.
"Ngga sekarang deh gue jualnya, kapan-kapan. Kalau gitu gue cabut ya Ki, makasih ya." Kataku.
Aku dan Renata berpamitan untuk meninggalkan bengkel ini. Ku kenakan helm untuk Renata dan kemudian aku naik ke atas motor disusul Renata.
"Adrian, gimana kalau jalan-jalan dulu?" Ajak Renata.
"Jalan-jalan?" Tanyaku.
Aku pun menyetujuinya, kami pun bergegas untuk sekedar jalan-jalan pada malam ini. Jalanan cukup ramai, banyak sekali orang-orang yang keluar entah ke mana atau sekedar jalan-jalan sama seperti dengan kami. Tak terasa sudah satu jam, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Renata turun dari motor kemudian aku memasukkan motor ke dalam garasi.
"Aku ngerti sekarang..." Renata ikut masuk ke dalam garasi, "kenapa kamu ngga mau jual Syailendra atau beli yang baru."
Ku buka helm yang ku kenakan, "Kenapa tuh?"
"Nyaman..." Renata menepuk jok beberapa kali, "itu yang bikin kamu ngga mau gantiin dia."
"Soal itu aku setuju, meskipun umurnya udah ngga banget tapi nyamannya belum bisa digantiin." Kataku.
Kemudian kami saling diam dan hanya menatap, helm masih ku pegang begitu juga dengan Renata. Kami pun mendekat satu sama lain dan secara bersamaan kami meletakkan helm di atas Syailendra. Renata berjinjit lalu mengalungkan tangannya di leherku, aku pun sedikit menundukkan kepala dan wajah kami berdekatan.
Nyalakan lampu bila kamu takut. Bias lampu tak hanya sekedar menerangi, namun bisa menemani dalam keadaan gelap. Renata berhasil menyalakan lampu yang sudah ku simpan sekian lama dalam gelap, nyatanya rasa takut yang selalu menghantui pun hilang begitu saja. Aku hanya bisa berharap lampu ini akan selalu terang dan menemaniku dalam keadaan apapun.
***
Ku sadari, aku memeluknya. Begitu juga dia, tertidur memeluk dengan lenganku sebagai bantalnya. Aku mencoba sebisa mungkin tidak membangunkannya, ku angkat kepalanya agar lengan ku dapat terlepas. Berhasil, ku letakkan kepalanya pada bantal secara perlahan. Aku memutuskan untuk bangun dan berlalu menuju lantai bawah.
Menuju dapur, ku ambil gelas dari tempatnya lalu ku isi penuh air dingin dari kulkas. Beberapa tegukan, aku pun kembali menuju kamarku. Renata masih memejamkan matanya dengan damai, aku berlalu menuju balkon kamar. Bekas hujan semalam masih nampak dengan beberapa genangan di lantai. Ku nyalakan sebatang rokok, memandang jauh pagi hari ini dalam hening.
Kembali teringat semalam, ketika hujan deras dengan petir yang cukup keras ke telinga. Ku hembuskan asap putih dari dalam mulut, sesekali aku melihat ke arah Renata. Aku tidak pernah menduga, akan mencium seorang wanita yang baru saja ku kenal. Seorang wanita yang bahkan mau membantuku tanpa ada sebab, dan seorang wanita yang mampu membuatku menatapnya untuk waktu yang sangat lama.
Sumpah serapahku beberapa tahun yang lalu nampaknya terpatahkan ketika Renata hadir di kehidupanku. Beberapa tahun yang lalu, aku masih ingat. Ku lontarkan sebuah kalimat dengan lantang, "Gue udah males jatuh cinta lagi."Ferdi yang mendengar itu hanya bisa terdiam membiarkan aku meluapkan amarah yang ku pendam sejak lama.
"Adrian..."
Pandanganku beralih, ku lihat Renata sedang duduk menatapku. Aku hanya bisa tersenyum selagi ia mengucapkan, "Selamat pagi."
Ia bangun, lalu berjalan pelan menuju tempat aku berada. Ku serahkan gelas berisi air padanya, namun diabaikan. Ia memelukku dalam diam, aku hanya bisa membiarkan semuanya hingga berakhir. Kali ini wajahnya nampak jelas ku pandang selagi ia menghabiskan gelas berisi air tersebut.
"Adrian, makasih ya." Katanya pelan.
Aku mengangguk. Beberapa menit kami habiskan hanya saling menatap satu sama lain, hingga matahari pun mulai menampakkan cahayanya.
*
"Selamat pagi Ka Renata. Tumben ngga sendirian ke sini."
"Iya, sekarang ada yang nemenin." Jawab Renata.
Kami berdua sedang berada di sebuah toko yang menjual berbagai macam jenis bunga. Hari ini Renata memutuskan untuk kembali mengajakku ke sini setelah beberapa waktu lalu gagal karena toko tersebut tutup.
Renata masih berbincang dengan florist toko ini, aku pun memutuskan untuk melihat-lihat tempat ini. Harum adalah kesan pertama yang bisa ku dapat di toko ini, dan mungkin sangat warna-warni dari penampilannya.
"Mawar... Melati..." aku berbicara sendiri sambil menunjuk satu per satu bunga yang ku kenal, "Tulip... ini apa ya?"
"Adrian..."
Aku menuju Renata yang memanggilku, ku lihat sudah ada rangkaian bunga di tangannya namun tak seragam. Kemudian florist memberikan satu tangkai bunga yang terbungkus dengan koran kepada Renata.
"Ada lagi Ka Renata? Kok tumben beli bunga..."
Renata memberikan isyarat diam kepada florist yang sayangnya aku tak melihatnya, "Udah itu aja, jadi berapa semuanya?"
Renata pun membayar, kemudian kami pergi meninggalkan toko ini.
"Kamu suka sama bunga?" Tanyaku.
"Suka banget, dari kecil ngga tau kenapa suka ngerawat bunga-bunga dan keterusan sampai sekarang. Makanya aku beli yang ngga seragam karena emang nanti bakalan ditempatin kepisah." Jawabnya.
Aku mengangguk, "Oh jadi gitu... Eh ini mau ke rumah kamu?"
Renata mengangguk sambil tersenyum, "Aku mau kamu juga tau di mana aku tinggal, ngga adil aja kalau cuma aku yang tau. Nggapapa kan?"
Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata, karena aku tidak tau jika ia ingin mengajaknya ke rumah. Hampir satu jam di perjalanan, mobil Renata berhenti di sebuah rumah yang besar.
Tin! Tin! Tak lama kemudian gerbang dibuka dari dalam, seorang yang mengenakan safari membuka gerbang tersebut yang tentu saja membuatku sedikit terkejut. Mobil Renata pun masuk ke dalam halaman di depan garasi, di sana aku melihat seseorang yang sedang sibuk di balik kap mesin mobil. Kami pun keluar dari dalam mobil.
"Ari, kamu masih benerin mobil juga?" Tanya Renata.
"Iya Ka, demi kemaslahatan umat." Jawabnya tanpa berpaling.
"Eh ini kenalin dulu, jangan benerin mobil terus."
Ia pun mengalihkan pandangannya padaku, nampaknya ia cukup terkejut mengetahui bukan hanya ada Renata saja di sana. Ia membersihkan tangannya dengan kain.
"Halo, Adrian."
Ia menjabat tanganku, "Halo Bang Adrian, saya Ariawan. Panggil aja Ari, adiknya Ka Renata."
"Papa sama Mama ada?" Tanya Renata.
"Belum pulang Ka, kayaknya malem deh..." Ari kembali melihat ke arah mesin mobilnya, "ajak ke dalem aja Ka."
"Mobilnya kenapa Ri?" Tanyaku.
"Biasa Bang ambekan bulanan, ngga ngerti deh ini kenapa." Jawabnya.
Aku mendekat padanya, ku lihat mesin mobil tua miliknya. Aku mulai memeriksa satu per satu komponen mesin mobil tersebut, tentu saja Ari yang melihat bingung.
"Bang Adrian ngerti mesin?" Tanyanya.
"Nyoba ngga ada salahnya kan?..." aku tak mengalihkan pandangan dari mesin ini, "tolong ambilin kunci 8 sama 12 Ri."
Ia mulai membantuku mengambilkan barang yang ku butuhkan. Beberapa menit membongkar pasang komponen mesin, Renata datang membawakan minuman untuk kami. Aku hanya mengiyakan namun tetap fokus pada mesin mobil.
"Ri, coba starter." Kataku.
Ia masuk ke dalam mobil dan mencoba menyalakan mesin mobil miliknya. Dan berhasil, mobilnya pun kembali hidup. Kemudian Ari keluar dari dalam mobil dengan sumringah hingga memelukku.
"Bang Adrian! Makasih banget akhirnya bisa nyala lagi! Makasih Bang makasih!" Katanya sambil memelukku.
Aku hanya bisa terdiam sambil melihat Renata yang tersenyum menatapku, "Udah nggapapa Ri santai, santai."
Renata menghampiri kami sambil memberikan minuman, kami pun mulai minum. Nampak dari raut wajah Ari yang benar-benar senang karena mobilnya kembali bisa digunakan lagi, aku pun ikut bahagia melihatnya.
"Ngga jadi dijual, yes!" Kata Ari.
"Dijual?" Aku bertanya heran.
"Iya mobil ini tadinya mau dijual kalau ngga bener juga..." Renata meletakkan tangannya di pundakku, "eh tapi sekarang udah bener, ngga jadi dijual deh."
"Aku juga ngga bakalan rela kalau Merry dijual, barang klasik gini susah nyarinya." Jawab Ari.
"Aku ngerti sekarang kenapa Merry mau nyala lagi, soalnya yang benerin pemilik Syailendra. Sama-sama klasik." Kata Renata.
"Syailendra siapa Ka?" Tanya Ari.
"Motor klasiknya Adrian." Jawabnya.
Matanya terbuka lebar menatapku, "Bang Adrian punya motor klasik, serius?"
"Iya punya satu-satunya. Nanti sore mau diambil di bengkel." Kataku.
"Bang, kapan-kapan dibawa dong ke sini aku mau pinjem. Boleh ya? Boleh boleh?" Ajak Ari.
"Ari jangan gitu dong." Kata Renata.
Aku menatap Renata mengisyaratkan tidak apa-apa, kemudian "Iya nanti dibawa ke sini."
Ari nampak senang. Mungkin karena ia menemukan seseorang yang berselera sama dengannya, dan mungkin aku akan melakukan hal yang juga sama. Klasik punya daya tarik tersendiri untukku, entah kenapa meskipun sudah termakan zaman namun nilainya tak tergantikan.
"Kamu nanti bawa Merry aja ya, Kakak mau pergi dulu sama Adrian." Kata Renata.
"Iya santai aja Ka." Jawab Ari.
"Adrian, aku ganti baju bentar ya."
Aku mengangguk, Renata pun masuk ke dalam rumah dan tersisalah aku dan Ari di teras rumah ini. Ari mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya lalu menawarkanku, aku menolak dengan mengeluarkan kotak rokok dari saku celana juga.
"Bang Adrian..." Ari menyalakan sebatang rokok, "pacarnya Ka Renata?"
Aku ikut menyalakan sebatang rokok, "Hmm... Jelasin definisi pacaran dulu."
"Definisi pacaran?..." Ari menatapku heran, "yang aku tau kalau dua orang saling suka, terus saling nyatain perasaan atau salah satu deh, terus yang satu lagi mau, namanya pacaran."
"Kalau itu definisi pacaran menurut lu berarti gue ngga pacaran sama Renata." Jawabku.
"Serius ngga pacaran? Ka Renata ngga pernah bawa cowo ke rumah kecuali mereka udah pacaran loh Bang." Katanya cukup kaget.
"Oh ya? Gue baru tau loh." Kataku.
"Kalau Bang Adrian bukan pacarnya... Hmm... Ada yang berubah berarti dari Ka Renata. Kok jadi kepikiran gini ya." Katanya lagi.
Aku pun tidak mengetahui akan hal itu, jika memang ia hanya pernah membawa pacarnya ke rumah sedangkan aku bukan pacarnya memang cukup mencurigakan bagi Ari.
"Tapi kalau emang ngga pacaran seenggaknya jangan bikin Ka Renata kayak dulu ya Bang." Kata Ari.
"Kayak dulu?..." aku menghadap ke Ari lebih serius, "maksudnya gimana?"
"Tapi jangan cerita-cerita ya kalau aku ngasih tau ini..." Ari celingak-celinguk melihat keadaan sekitar, "antara dua tahun lalu kalau aku ngga salah, Ka Renata pernah sakit hati gara-gara satu cowo. Mantan terakhirnya, aku juga lupa siapa namanya. Ketika Ka Renata lagi jatuh cintanya banget sama cowo itu, eh si cowo itu malah main-main. Sampai Ka Renata pernah sumpah serapah kalau dia ngga bakalan mau jatuh cinta lagi."
Uhuk! Uhuk! Dengan cepat aku meminum minuman lagi hingga tak bersisa, Ari pun heran dengan apa yang terjadi dan aku memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Tak lama berselang Renata keluar dari dalam rumah.
"Ngobrolin apa sih kok seru banget?" Tanya Renata.
"Obrolan laki-laki sejati, Ka Renata ngga boleh tau." Jawab Ari.
Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala, dan akhirnya aku dan Renata memutuskan untuk pergi. Aku masuk ke dalam mobil, Ari pun mendekatiku.
"Bang Adrian bagi nomer kontak dong." Katanya.
"Buat apa Ri nanya nomernya Adrian?" Tanya Renata.
"Rahasia."
Renata menggeleng-gelengkan kepalanya selagi aku memberikan nomer padanya, Adrian ternyata berbisik pelan kepadaku, "Jangan sampai Ka Renata tau ya Bang."
Aku hanya mengangguk pelan sambil mengembalikan handphone miliknya, dan kemudian aku dan Renata meninggalkan rumah ini.
"Ari cerita apa aja ke kamu? Atau dia nanya-nanya apa gitu?" Tanya Renata.
"Soal mobil sama motor aja kok ngga ada yang lain." Kataku berbohong.
Menjelang siang hari ini, Renata mengajakku untuk menonton salah satu film di sebuah bioskop. Tidak membutuhkan waktu cukup lama, kami sudah tiba. Memasuki kawasan Mall, tempat yang ku masuki hanya jika ingin ke bioskop, tidak pernah aku sekedar jalan-jalan atau hanya melihat-lihat.
Kami pun tiba di bioskop, ternyata Renata sudah memesan tiket terlebih dahulu yang membuat kami tidak perlu mengantre untuk membeli tiket. Berhasil mendapatkan tiket, ku lihat keterangan yang ada di tiket tersebut.
"Sekarang pukul 12, film mulai pukul 12.30. Kamu mau ikut salat dulu?" Kataku.
Renata menatapku beberapa saat dalam diam, "Aku... di sini aja."
Aku pun mengangguk, kemudian aku berjalan keluar menuju tempat salat. Beberapa menit berlalu, aku kembali masuk ke bioskop dan menemukan Renata yang sedang duduk di lantai sambil memainkan handphonenya.
"Sibuk banget, lagi liatin apa?" Kataku mendekat padanya.
"Eh kaget aku..." ia menatapku, "ini lagi liatin buku-buku."
Tak berselang lama, pengumuman terdengar bahwa studio tempat kami akan menonton sudah di buka. Kami pun bergegas menuju studio tersebut.
130 menit berlalu, kami pun keluar dari studio tersebut. Kami pun memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat makan yang juga berada di kawasan Mall ini. Tempatnya cukup ramai, beruntunglah kami masih mendapatkan tempat. Setelah duduk, kami pun mulai memesan makanan.
"Eh iya kamu hari ini mau ambil Syailendra kan?" Tanya Renata.
"Iya nanti, santai aja kok bengkelnya sampai malem bukanya." Jawabku.
"Berarti kamu bisa nemenin aku dulu nanti?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk menyanggupinya. Tak lama berselang pesanan kami tiba di meja. Entah sudah berapa lama, kami pun sudah selesai makan lalu meninggalkan tempat ini. Tersadar hari sudah sore, kami pun masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat ini.
Beberapa menit berlalu, Renata membelokkan mobilnya hingga masuk ke dalam sebuah parkiran. Aku melihat-lihat tempat ini dari balik kaca mobil.
"Aku..."
"Iya..." aku pun menatap Renata kemudian tersenyum, "aku nunggu di sebelah nggapapa kan?"
Renata tersenyum. Kami pun keluar dari dalam mobil menuju arah yang berbeda, Renata masuk ke dalam Gereja sedangkan aku pergi ke kedai yang berada persis di samping gedung ini.
Tak banyak yang ku lakukan, hanya meminum kopi sambil membaca buku yang disediakan tempat ini. Tak terasa matahari semakin tenggelam, ku lihat langit berwarna jingga. Ting! Pandanganku beralih ke handphone yang ku letakkan di meja, pesan masuk dari Renata yang mengabarkan bahwa ia telah selesai. Aku pun bergegas pergi meninggalkan tempat ini, kemudian aku melihat Renata sedang berdiri di samping mobilnya.
"Udah selesai?" Tanyaku.
Renata mengangguk, "Maaf ya kamu nungguin lama."
"Ngga perlu minta maaf buat ibadah Ren." Kataku.
Ia pun tersenyum, kemudian kami pun meninggalkan tempat ini.
"Eh iya, gimana kalau mobil di rumah kamu dulu." Ajak Renata.
"Maksudnya gimana?" Tanyaku.
"Ya jadi mobil aku di rumah kamu, biar pulang dari bengkel naik moror kamu. Aku belum pernah dibonceng Syailendra." Jelasnya.
"Emangnya kamu mau naik motor? Tanyaku.
"Ih kok gitu sih ngomongnya..." Renata memukul lenganku, "aku mau kok naik motor, lagian kenapa kamu nanya kayak gitu?"
"Ngga kok, yaudah iya ntar naik Syailendra pulangnya." Kataku.
Mobil sudah terparkir di depan rumah, sesuai permintaan Renata kami pun menuju bengkel menggunakan ojol agar ia bisa menaiki Syailendra. Dan akhirnya kami pun tiba di bengkel tempat biasa aku memperbaiki motor, terpajanglah Syailendra di pojokan ruko di antara motor-motor generasi baru.
"Aki, Syailendra udah aman kan?" Tanyaku.
"Udah tuh siap buat..." ia melihat Renata dengan heran, "siapa nih? Kok gue ngga pernah tau lu punya gacoan?"
Aku pun memperkenalkan Renata pada Aki, montir langganan sekaligus orang yang paling paham dengan Syailendra. Mungkin jika beberapa tahun lalu aku tidak bertemu dengannya, Syailendra sudah laku terjual entah kemana.
"Duduk dulu neng, mau minum apa nih?" Tanya Aki.
"Samain aja lah kayak gue Ki biar cepet." Kataku.
"Loh dia juga doyan?..." Aki membuka pintu kulkas dan memberikan dua botol minuman kepadaku, "hebat juga hasutan lu."
Krek! Ku berikan yang sudah terbuka pada Renata lalu ia ku suruh untuk duduk di sebuah bangku panjang. Aku dan Aki mendekat ke arah Syailendra, kami pun mulai membahas masalah apa saja yang membuatnya kemarin mogok total tidak seperti biasanya. Sesekali aku melihat ke arah Renata yang dibalas dengan senyuman. Setelah selesai aku pun membayar tagihan perbaikan Syailendra.
"Lu yakin ngga mau jual Syailendra?..." Aki menyerahkan catatan pembelian kepadaku, "kemarin ada orang ke sini ngeliat motor lu, ditawar 60 juta."
"60 juta?" Renata terkejut mendengar hal tersebut.
"Iya neng 60 juta, pasti ngga masuk akal kan dengernya? Cuma ya kenyataannya emang begitu." Kata Aki.
"Ngga sekarang deh gue jualnya, kapan-kapan. Kalau gitu gue cabut ya Ki, makasih ya." Kataku.
Aku dan Renata berpamitan untuk meninggalkan bengkel ini. Ku kenakan helm untuk Renata dan kemudian aku naik ke atas motor disusul Renata.
"Adrian, gimana kalau jalan-jalan dulu?" Ajak Renata.
"Jalan-jalan?" Tanyaku.
Aku pun menyetujuinya, kami pun bergegas untuk sekedar jalan-jalan pada malam ini. Jalanan cukup ramai, banyak sekali orang-orang yang keluar entah ke mana atau sekedar jalan-jalan sama seperti dengan kami. Tak terasa sudah satu jam, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Renata turun dari motor kemudian aku memasukkan motor ke dalam garasi.
"Aku ngerti sekarang..." Renata ikut masuk ke dalam garasi, "kenapa kamu ngga mau jual Syailendra atau beli yang baru."
Ku buka helm yang ku kenakan, "Kenapa tuh?"
"Nyaman..." Renata menepuk jok beberapa kali, "itu yang bikin kamu ngga mau gantiin dia."
"Soal itu aku setuju, meskipun umurnya udah ngga banget tapi nyamannya belum bisa digantiin." Kataku.
Kemudian kami saling diam dan hanya menatap, helm masih ku pegang begitu juga dengan Renata. Kami pun mendekat satu sama lain dan secara bersamaan kami meletakkan helm di atas Syailendra. Renata berjinjit lalu mengalungkan tangannya di leherku, aku pun sedikit menundukkan kepala dan wajah kami berdekatan.
Nyalakan lampu bila kamu takut. Bias lampu tak hanya sekedar menerangi, namun bisa menemani dalam keadaan gelap. Renata berhasil menyalakan lampu yang sudah ku simpan sekian lama dalam gelap, nyatanya rasa takut yang selalu menghantui pun hilang begitu saja. Aku hanya bisa berharap lampu ini akan selalu terang dan menemaniku dalam keadaan apapun.
***
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas
Tutup