Kaskus

Story

agityunitaAvatar border
TS
agityunita
[JTPH] Bertemu Cinta Pertama
    

[JTPH] Bertemu Cinta Pertama 


Bertemu Cinta Pertama 




     Apa yang kau tahu tentang cinta pertama. Apa ia sebuah rasa yang indah atau sesuatu yang menyakitkan? Tapi kenapa semua orang sepertinya senang sekali menceritakan cinta pertama mereka. Meskipun mereka bilang cinta pertama itu tidak selalu berakhir bersama. Tetapi tetap saja cinta namanya. 

     Dan apakah semua orang harus merasakan cinta pertama? Dimana kebanyakan orang bercerita bahwa pertama kali mereka jatuh pada cinta adalah saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Terutama SMA.

     Tapi tidak dengan Aira. Sampai usianya menginjak 20 tahun. Ia masih bertanya-tanya bagaimana rasanya cinta pertama itu. Bukan Aira anak yang tertutup. Kawannya banyak, laki-laki ataupun perempuan. Tapi soal siapa yang bisa menjatuhkan hatinya pada cinta, belum ada. 

***

     “Maaf mas, ada apa ya?”

     “Tuch, temen lo, nganterin menu salah melulu!”

     “Oh, biar saya ganti ya mas?” 

     “Gak usah, gue udah gak mood makan di sini!” Si lelaki itu pun pergi meninggalkan cafe.

      Eh, apa nih?

       Aira menemukan buku di atas meja. Oh, apa ini punya laki-laki tadi ya? tanya Aira dalam hatinya. Dia pun langsung membawa buku tersebut. Dan menaruhnya di meja kasir. Siapa tahu si pemilik buku kembali karena sadar ada yang tertinggal.

       Sore harinya, Aira pun memutuskan untuk membawa pulang buku yang tertinggal itu. Ia takut, buku itu dibuang oleh pelayan kafe yang lain. Karena berpikir itu buku yang tidak terpakai. 

***

        Keesokan harinya, 

        Buku yang ternyata berisi sketsa-sketsa gambar itu, Aira bawa serta dalam tasnya, saat kuliah hari ini. Dia berpikir, siapa tahu lelaki itu datang lagi ke cafe tempatnya bekerja. 

         Sesampainya di kampus…

Aira segera bergegas masuk ke kelas. Tapi sebelum sampai di kelasnya, sekilas ia melihat seseorang. Seseorang yang dia hafal cara bicaranya. Lebih tepatnya cara marah-marahnya.

Ah, dia itu kan?

         Iya, dia adalah laki-laki yang sama dengan yang kemarin marah-marah di kafe. Aira jadi greget deh, liat orang kok senengnya marah-marah gitu.

        Tanpa Aira sadari, ia mendekati laki-laki yang sedang bertengkar dengan kawannya itu. Dan dengan beraninya Aira langsung menarik tangannya dan membawa jauh lelaki itu dari pertengkarannya. 

     “Hey, hey, berhenti, kamu mau bawa aku kemana?”

      Eh, Aira langsung berhenti dan menoleh pada orang yang sedang ia genggam tangannya. Dengan cepat Aira melepas gandengannya. 

      Ya, ampun, aku ngapain sih? Sesal Aira sambil memukul keningnya. 

       “Heh, ngapain kamu narik-narik tangan aku, kalau mau kenalan itu bilang baik-baik kali, gak usah culik aku kayak gini!”

       “Apa, kenalan, siapa yang mau kenalan sama kamu, tadi itu, tadi itu… Aku cuma kesel lihat kamu berisik, jadi kamu mau aku buang ke situ!” sambil Aira menunjuk kolam ikan kecil yang tidak jauh dari mereka berdiri. 

Laki-laki itu malah tertawa.

      “Heh, kok malah ketawa, harusnya kamu takut!” 

      “Takut, nih, aku malah rela dilempar ke situ sama perempuan galak semanis kamu!” Yang dibilang manis langsung merasa panas mukanya, Aira pun memutuskan untuk pergi. Ia tidak mau laki-laki itu melihat muka merahnya.

      “Hey, kok malah pergi sich?”

***

         Akhirnya, selesai juga kuliah hari ini. Sebelum menuju ke cafe, Aira memutuskan untuk makan dulu di kantin kampus nya.  

          Tiba-tiba, Seseorang datang seperti habis berlari jauh dan meminum habis es jeruk yang di pesan Aira.

       “Hey, itu kan punya aku?!”

       “Oh, ya ampun, sorry-sorry, habis haus banget sih, aku pesenin lagi ya!’

Laki-laki itu, tidak lain adalah yang tadi pagi Aira tarik tangannya. Tiba-tiba, irama jantung Aira jadi tidak karuan.

      “Hey, kok malah bengong?” 

      “Eh, gak kok!” Aira pun memutuskan untuk pergi saja. Meskipun bakso yang dia makan belum habis.

      “Hey, mau kemana? Tuh baksonya belum habis, kasihan kan, lagian aku kan baru pesan es jeruk lagi, masa harus aku yang ngabisin?”

       Iya juga sih, sayang banget bakso nya, aku juga masih lapar… tapi…

Aira pun duduk kembali, dan meneruskan makan baksonya. Dan ia teringat pada buku sketsa itu.

      “Hey, ini, ini punya kamu kan?”

      “Apa?” 

      “Ini buku kamu kan, kemarin ketinggalan di cafe!” 

      “Oh, ya ampun, aku pikir ilang, makasih ya!”

      “Iya, sama-sama!”

      “Kamu lihat-lihat ya isinya?”

      “Eh, emang gak boleh ya, ya ampun maaf ya!” Aira langsung panik. 

Laki-laki itu malah tertawa. Ia senang melihat wajah Aira yang panik seperti itu.

     “Kamu ngerjain aku ya?”

    “Haha, siapa yang ngerjain kamu, aku kan cuma nanya, ya kalau kamu buka-buka juga gak apa-apa. Aku kan gak bilang gak bokeh!”.

      Iya juga sih, Aira jadi malu sendiri. Ia langsung segera menghabiskan makanan dan minumnya. Dia merasa tidak bisa lama-lama dekat dengan laki-laki ini, bisa sesak nafasnya. 

      “Ya udah, aku duluan!” 

      “Eh, kamu mau ke cafe?”

      “Iya!”

      “Aku ikut!”

Aira tidak bisa melarang laki-laki itu untuk mengikutinya. Dan membuat kerja Aira jadi tidak tenang. Ia seperti merasa terus diperhatikan. Iya, laki-laki itu terus memperhatikannya. Baru saja mereka beradu pandang. Dan laki-laki itu tersenyum ke arahnya.

     “Hey, kamu gak akan pulang?” Aira memberanikan diri bertanya pada laki-laki itu.  

     “Aku kan mau pulang bareng kamu!” 

     “Kok, kenapa?” 

     “Ya gak apa-apa, atau udah ada yang jemput kamu pulang ya? Tapi kayaknya sih gak ada, aku perhatiin kamu kemana-mana sendiri, pasti masih jomblo, hehe!”

     “Kamu suka ngikutin aku ya?”

     “Haha, ngapain, aku kan suka nongkrong di cafe ini, kamu aja yang gak pernah sadar ada cowok seganteng aku duduk di sini!”

      “Ih, pede banget sih!” Aira pun berlalu, ia meninggalkan lelaki yang tertawa itu. Sebentar lagi memang waktunya pulang. 

       Kafe pun tutup dan Aira tidak mendapati laki-laki itu di kursinya. Baguslah, dia pulang duluan. Aira pun ke luar dari cafe.

       “Hey, nyari aku ya!”

Aira kaget, tiba-tiba laki-laki itu ada di hadapannya. Memberikan senyumannya yang manis. Oh, ya ampun, jantung Aira kembali berdetak tak karuan. 

      “Gak, kok, siapa yang nyariin kamu, malah aku seneng kalo kamu udah pulang!” 

      “Oh gitu ya, tapi muka kamu kayak yang seneng lho liat aku!”

Aira segera mengusap wajahnya. Ia jadi salah tingkah, ah ya ampun. Siapa sih laki-laki ini?

        Tanpa ada yang mengiyakan atau menolak. Mereka pun pulang bersama. Naik bus kota. Aira sudah biasa.

***

         Dan sejak saat itu, entah kenapa mereka jadi dekat. Ah, bukan berarti Aira berani lama-lama menatap wajah laki-laki yang ternyata bernama Nandy itu. Nandy yang selalu dengan senang hati menemani Aira, meski Aira tidak pernah memintanya. Dia yang lebih banyak bercerita daripada Aira. 

         Hingga lama-lama, Aira pun merasakan keberadaan Nandy di dekatnya memberi warna baru dalam hari-harinya. Ia sudah tidak merasa canggung lagi. Meskipun wajahnya tetap merah jika beradu pandang dengan Nandy. 

         Apakah Aira sedang jatuh Cinta?

         Jika iya, ini adalah cinta pertamanya. Tapi Aira masih mencoba menampik itu. Dia merasa, Nandy teman yang baik. Meski dia memang tampan. 

Hingga beberapa bulan kemudian….

         “Ra, besok kamu ada acara gak?”

         “Besok, hari minggu ya, kayaknya sih gak, emangnya kenapa?”

         “Besok aku ingin ngajak kamu jalan-jalan, gimana?” 

         “Kemana?”

         “Ya kemana aja, namanya juga jalan-jalan, mau ya!”

         Nandy menggenggam tangan Aira. Yang dipegang tangannya cuma masang wajah merah dan mengangguk perlahan.

         Dan besoknya, mereka pun jalan-jalan. Nandy menggunakan motornya menjemput Aira sekitar pukul 7 pagi.

        “Nan, ini masih pagi lho, dan ini hari minggu, aku masih ngantuk!”

         “Tapi kamu udah mandi kan?” goda Nandy pada Aira dan Ia mendapatkan dorongan lembut dari Aira.

          Mereka pun pergi meninggalkan rumah Aira. Entah mereka mau kemana. 

          Tadi malam, sebelum tidur, Aira memikirkan perasaannya pada Nandy. Dia menerka-nerka, apakah ia menyukai Nandy. Dan itu membuat Naira senyum-senyum sendiri. Dan dia berjanji akan menyimpan ini sendiri saja. Nandy tidak perlu tahu. Aira tidak mau, pertemanan nya dengan Nandy jadi berantakan. Hanya karena perkara jatuh cintanya itu.

         Dan sampailah mereka, di sebuah pantai. Aira yang sedari tadi asyik dengan pikirannya sendiri. Tidak menyangka akan dibawa oleh Nandy sejauh ini.

        “Gimana, kamu suka gak?”

        “Indah banget Nan, aku udah lama gak main ke Pantai, makasih ya!” tanpa sadar Aira merangkul lengan Nandy, karena terlalu senang. Langsung Aira melepaskan tangannya dari lengan Nandy, tapi ditahan oleh Nandy.

        “Gak apa-apa kan kayak gini, kamu tuh kalau dekat aku, kayak yang takut gitu!”

         “Eh, gak kok Nan, aku bukannya takut sama kamu!”

         “Terus kenapa? Malu ya jalan sama aku, kenal sama aku, apalagi kalau aku ajak ngobrol kamu, kayaknya kamu tuh ingin cepat-cepat pergi dari aku!” sambil terus memegang tangan Aira yang melingkar di lengannya, Nandy menunduk. Membuat Aira jadi tak enak hati. 

        “Nan, kamu kok bisa mikir kayak gitu sih? Aku tuh seneng ngobrol sama kamu, aku seneng kok kenal sama kamu, aku juga gak malu kalau dekat-dekat sama kamu!”

        “Beneran?” 

        “Iya, bener!”

        “Kalau gitu, hari ini kita jalan-jalan berdua, kamu harus mau ikut kemana pun aku ajak!”

        “Emang kita masih mau pergi lagi?”

        “Hhmm iya, tapi kita makan siang dulu, tuh ada warung makan, di sana ikan bakarnya enak banget, yuk!” Nandy menggandeng dangan Aira. 

          Ah, Nandy. Aku jadi ingin tahu. Apa kamu juga menyukaiku. Tapi apa aku harus menanyakannya langsung padamu. Ya ampun, bagaimana kalau kamu menertawakan perasaan ku ini. Apalagi ini kali Pertama nya aku jatuh cinta. 

          Selesai makan, Nandy membawa Aira menaiki bukit yang ada di sekitar pantai. 

          “Ra, aku mau kasih kamu sesuatu!”

          “Apa?”

           Nandy memberikan buku sketsanya.

           “Buat kamu!”

           “Buat aku, tapi ini kan buku gambar kamu, nanti kamu gambar pake apa?

           “Kamu tuh lucu banget sih ra!” Nandy menyentuh dagu Aira, membuat wajah Aira memerah. 

           “Aku masih punya banyak kok, lagian itu sketsa lama. Kira-kira dari setahun yang lalu.” 

           “Hmm, makasih kalau gitu Nan, Boleh aku lihat isinya?”

           “Bolehlah, disimpan lho ya, jangan buat bungkus gorengan, hehe!”

           “Ya gak dong Nan, Apalagi isinya…..!” Aira terkejut, melihat lembar demi lembar sketsa itu. Memang warna kertasnya mulai menguning. Mungkin karena yang tadi Nandy Bilang, itu sudah setahun usianya. Tapi, yang lebih membuat Aira tidak dapat berkata apa-apa adalah. Apa yang Nandy gambarkan di setiap lembar kertasnya. Itu adalah gambar dirinya.

              “Ini, aku?” Aira merasa terharu, hampir saja ia membasahi kertas itu dengan air matanya.

             “Iya, Ra, itu kamu… kamu benar waktu kamu bilang aku tukang ngikutin. Karena memang aku sudah memperhatikanmu sejak lama, maafin aku, aku suka sama kamu Ra!” pengakuan Nandy jelas membuat Aira kaget. Tapi tidak dipungkiri jika hatinya merasa senang.

       Cinta pertamanya, ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

           “Kamu, kenapa malah nangis? Maafin aku Ra, kalau apa yang aku lakuin ini gak kamu suka, kamu gak perlu kasih aku jawaban apa-apa kok, aku cuma mau jujur aja sama kamu!”

Aira menghapus Air matanya. Ia tersenyum pada Nandy. Merangkulkan tangannya di lengan Nandy dengan lebih erat. Dan Menyandarkan kepalanya di bahu Nandy. Untuk pertama kalinya, Nandy yang merasa salah tingkah.

         “Aku nangis karena bahagia Nan, jujur, aku juga suka sama kamu. Aku jatuh cinta sama semua yang kamu lakuin ke aku. Dan kamu cinta pertama buat aku!”

          Bukan Nandy, kalau bertahan serius lama.

          “Wah, jadi aku cinta pertama kamu nih, senangnya, jadi mulai hari ini kita resmi pacaran, ya udah yuk pulang!”

Aira bengong. Sikap romantis Nandy buyar sudah, kembali ke Nandy yang berisik dan sedikit nyeleneh. Tapi Aira Langsung tersadar. Itulah yang membuat ia menyukai Nandy. Berbeda.

            “Nandy, tunggu, siapa bilang kita pacaran” 

            “Akulah, aku kan cinta pertama kamu!” Nandy berlari meninggalkan Aira menuju ke pantai. Dan mereka pun  menghabiskan waktu di sana hingga matahari terbenam. 

Aira senang. Bisa berada dalam dekapan Nandy. Semoga cinta pertamanya ini, juga  menjadi cinta terakhir baginya.


Selesai




Cerita Kedua

Cerita Ketiga

Cerita Keempat

Cerita Kelima

Cerita Keenam

Cerita Ketujuh

Cerita Kedelapan

Cerita Kesembilan

Cerita Kesepuluh

Cerita Kesebelas

Cerita Kedua Belas

Cerita Ketiga Belas

Cerita Keempat Belas

Cerita Kelima Belas


@agityunita




Kumpulan Cerita Selanjutnya
Diubah oleh agityunita 02-03-2020 08:51
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 18 lainnya memberi reputasi
17
4K
54
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
agityunitaAvatar border
TS
agityunita
#49
Pertanda dari Tuhan




      Harum berlari menuju gang kecil jalan pintas menuju kantornya. Seperti pagi yang sudah-sudah, ia terlambat lagi. Beberapa hari ini, setelah kemarin malam akhirnya hubungannya dengan Danu berakhir, ia jadi sulit tidur.

        Entah apa yang ia lamunkan. Namun itu sangat mengganggu aktivitasnya di pagi hari. Apalagi jika penerbitan tempatnya bekerja sedang sibuk sekali. Deadline di depan mata sudah seperti hantu yang menakutkan. Tapi Harum selalu berusaha tenang. Meski akhirnya, omelan dari atasan harus ia dapatkan.

***

     Namun keterlambatan kali ini sepertinya tidak seperti biasanya. 

“Harum, saya sudah tidak tahu lagi harus berkata apa sama kamu?” ucap Mas Anto yang langsung memanggil Harum ke ruangannya. Saat melihat kedatangan Harum yang mengendap-endap.

       Yang kadang Harum lupa, kalau kantornya bersekat kaca besar-besar. Membuat semua gerak-geriknya terlihat dari ruangan Mas Anto, meski ia tidak mau melihatnya.

        Yang ditegur hanya menunduk. Kali ini ia benar-benar menyesali segala keterlambatannya. Ia merutuki dirinya sendiri yang terlalu melankolis ditinggal Danu tak berhati itu.

“Maaf, untuk kali ini, saya tidak bisa mempertahankanmu lagi!” ucap Mas Anto akhirnya.

Harum langsung mengangkat kepalanya dan menggeleng cepat. Dia tidak mau dipecat. Namun sayang, keputusan Mas Anto tidak dapat diganggu gugat lagi.

***

     Putus cinta dan dipecat. Apakah ini sudah terlihat begitu lengkap? 

Harum memilih untuk diam di pinggir jembatan penyebrangan dekat gang kecil yang biasa ia lewati. Melihat mobil yang lalu lalang. Sebenarnya menambah pening kepalanya karena ia takut ketinggian. Tapi hanya itu yang ingin ia lakukan.

       Tak terasa, pipinya terasa hangat. Ada sesak yang tiba-tiba memenuhi rongga dadanya. 

“Danu!” bibir Harum memanggil nama itu tanpa sadar. 

Ternyata, patah hati pertama kalinya ini membuatnya begitu rapuh. 

         Kepala dan kakinya mulai terasa berat. Phobia ketinggian nya tak dapat ia lawan. Hampir saja Harum terjatuh, namun sepasang tangan menahan bahunya.

“Hey, kamu sakit?” pemilik tangan itu bertanya dengan sangat khawatir. 

Harum mencoba menyeimbangkan badannya untuk bisa berdiri, namun kakinya terlalu lemas. 

“Aku duduk saja!” pinta Harum pada laki-laki yang masih memegangi bahunya itu. 

Seperti porselen yang rapuh, laki-laki itu memegangi bahu harum dan membantunya untuk duduk dengan sangat hati-hati. 

“Kamu sakit?” laki-laki itu menanyakan hal yang sama.

Harum hanya menggeleng. Dia melihat langit mulai berangsur berwarna jingga. Harum pun berniat untuk segera pulang saja. 

“Terima kasih, aku mau pulang!” ucap Harum akhirnya. 

“Kamu bisa sendiri?”

“Bisa, aku tidak sakit, aku hanya takut ketinggian!”

“Oh, kalau takut ketinggian, kenapa kamu diam di sini, oh, ya ampun, jangan-jangan… !” wajah laki-laki itu berubah terkejut.

“Apa?” membuat Harum pun bingung.

“Kamu mau bunuh diri?” 

Harum langsung tertawa mendengar pertanyaan laki-laki itu. Ya tawa lepas pertamanya setelah dia pikir, patah hati telah memutus urat ketawanya.

***

     Dia Fatih. Sore itu, mereka pun berjalan bersama sambil menunggu bus untuk kembali ke rumah masing-masing. Sayangnya mereka tidak satu jurusan. Hingga pertemuan singkat itu pun harus berakhir begitu saja. 

     Dan Harum pun hanya menganggap itu sebuah kebetulan. Meski memang tidak pernah ada kebetulan di dunia ini. Namun ia harus menghibur dirinya sendiri, agar tidak banyak bertanya. Siapa Fatih?


Keesokan harinya…

       Hari pertama, Harum menjadi seorang pengangguran. Dulu, kenapa ia yang seorang Sarjana Pendidikan bisa terdampar di sebuah penerbitan, karena ia memang tertarik. Namun ternyata ketertarikannya tak dapat membantunya apa-apa saat dia dipecat seperti ini.

Harum menjadi merasa bodoh sekali. Hanya perkara hati, ia harus kehilangan sesuatu yang sudah lama ia dapatkan. 

        Harum pun memutuskan untuk istirahat sejenak. Ia tidak akan langsung mencari tempat bekerja yang baru. Ia merasa ia harus menata hatinya terlebih dahulu. 

Namun sayang, niat memperbaiki suasana hatinya harus terusik oleh berita yang dia dengar dari pesawat telepon. Itu adalah hubungan interlokal ibunya yang tinggal di luar kota. 

       Tanpa basa-basi menanyakan tentang kabar Harum. Sang ibu langsung mengatakan hal yang saat ini sama sekali tidak ingin Harum dengar sebenarnya. 

“Kami sudah memutuskan untuk berpisah!”

“Ayah, ibu?”

“Iya Rum, dan setelah ini, karena kamu sudah bukan anak kecil lagi. Kamu berhak memilih akan tinggal dengan siapa?”

Air matanya semalam terasa belum mengering. Ditambah dengan berita mengejutkan ini, hati yang yang tadinya hanya retak kini hancur berantakan. 

       Harum tidak menyangka orang tuanya akan mengambil keputusan seperti itu. Sekali lagi, dia mengingat hubungan nya dengan Danu. Betapa pedih perpisahan itu. Apalagi jika pernikahan itu telah lama terlalui. Kemana perginya cinta yang dulu menyatukan mereka?

        Dengan tangis yang masih membasahi pipi. Harum pun menutup telepon dan melangkahkan kakinya keluar rumah. Dia butuh hiburan. Mungkin jembatan penyeberangan masih terlihat asyik untuk hukuman dirinya sendiri.

        Ya biarlah phobia ketinggian itu menggerogoti segala rasa tak karuan dalam hatinya. Harum merasa benar-benar tak tahu harus melakukan apa.

***

      Berada di jembatan penyebrangan ini lagi. Dengan kaki gemetar dan keringat dingin. Harum memberanikan diri untuk berdiri dan memandang sekitarnya dari atas sana. Lalu ia berteriak, berharap segala penat pun ikut hilang diterbangkan angin.

“Hey, kamu lagi?” suara yang tak asing.

Harum menoleh kepada pemilik suara.

Fatih berdiri tidak jauh dari dirinya.

         Dan Harum langsung menghamburkan pelukannya pada Fatih. Menangislah ia di sana. Fatih yang terkejut, lalu membelai rambut Harum perlahan. 

“Menangislah, keluarkan segala yang membuat hati dan pikiranmu penat, aku tidak akan menyuruhmu berhenti menangis, aku hanya ingin mengingatkanmu pasti akan ada saatnya air mata itu berhenti. Dan jika sudah tak menetes lagi jangan pernah mencari alasan agar ia kembali jatuh!”

Dekapan Harum semakin erat. Ia lupa, bahwa Fatih sama sekali belum dikenalnya. 

Dan beberapa saat kemudian, isak Harum pun reda. Tersadar sudah memeluk Fatih terlalu lama, ia pun mundur selangkah dari Fatih.

“Maaf!” ucap Harum sambil menunduk. Wajahnya pasti sudah seperti kepiting rebus.

“Ada apa? Kalau kamu mau cerita, aku dengarkan!”

“Aku gak apa-apa, menangis di pelukanmu sudah cukup membuatku tenang, terima kasih!”

“Baiklah, kita duduk di sini saja, tenangkan hati dan pikiranmu, aku temani!”

“Kenapa kamu baik banget sama aku, padahal kita belum begitu saling kenal?”

“Tangismu yang ngebuat bajuku basah ini, sudah lebih dari cukup membuatku mengerti siapa kamu, dan aku senang bisa berada di dekatmu, karena esok lusa, mungkin belum tentu aku bisa berada di sini lagi!”

“Kenapa?”

“Karena kamu punya kehidupan sendiri, belum tentu berakhir bersamaku!”

          Harum mencoba mencerna apa yang dikatakan Fatih padanya. Namun tak dia temukan jawabannya.

Sampai tanpa diminta, harum menceritakan segala kemalangannya. Dimulai dengan rasa patah hatinya. Kini ia yang pengangguran. Hingga hal yang paling menyedihkan, tentang perceraian orang tuanya.

“Satu yang harus kamu yakini di dalam hati. Semua itu adalah pertanda dari Tuhan!”

“Maksud kamu?”

“Ya, seperti saat kamu patah hati, seharusnya kamu bersyukur pernah merasakannya. Itu akan membuatmu belajar memilih yang terbaik dan memperbaiki diri!”

          Harum mengangguk mengerti. Laki-laki di sampingnya ini terasa begitu istimewa baginya.

“Lalu untuk kamu yang dipecat, ya mungkin Allah sedangkan menunjukkan, di sana bukan tempat terbaik untuk potensi yang kamu miliki. Dan sebagai pengingat jangan sekali-kali meremehkan waktu!”

Harum mengangguk lagi. 

Kemudian Fatih menggenggam jemari Harum.

“Dan untuk masalahmu yang ketiga, jujur, aku punya nasib yang sama soal itu. Dan sampai hari ini, terkadang aku masih belum bisa menerima keputusan mereka. Tapi genggaman tanganku ini, semoga juga sebagai pertanda dari Tuhan, kalau kamu gak sendirian!”

         Hati Harum semakin terasa tenang. Jika tak selamanya ia dan Fatih bisa sedekat ini. Tak Apa. Ia sudah sangat merasa senang bisa berbagi dengan Fatih. 

        Awalnya Harum hanya tidak memahami apa tanda-tanda yang Allah berikan untuknya. Namun penjelasan sederhana dari Fatih, membuat nya percaya bahwa apa yang Allah berikan padanya adalah yang terbaik untuk dirinya.

***

      Dan malam pun berlalu. Hari-hari setelah kebersamaan itu, semakin menguatkan langkah Harum menyusuri hidupnya.



Selesai
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.