- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#27
Spoiler for Episode 8B:
"Udah siap?"
Renata mengangguk, kami pun berangkat menuju lokasi acara. Jalanan masih nampak sepi, hari Sabtu pukul 6 pagi selayaknya orang-orang masih berada di rumah mereka. Dan itu pula yang membuat kami lebih cepat sampai di lokasi acara.
Setelah memarkirkan mobil, kami pun beranjak menuju tenda di mana kami akan berada sampai sore ini atau jika memang sudah habis terjual kami akan tutup lebih cepat.
"Adrian, ini..."
Ku kenakan apron dari belakang pada Renata, ia pun terdiam. Setelah itu, ku balikkan badannya menghadap ke arah aku berdiri, "Biasain langsung di pakai, jangan nunggu nanti-nanti."
Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali. Kami pun mulai mempersiapkan alat-alat dan bahan-bahan yang akan menjadi komposisi minuman kami. Tidak semua menu kami jual, hanya ada Ice Coffee Almond Lattedan Ice Americano.
"Aku emang sengaja cuma mau jual menu itu aja, jadi orang ngga kelamaan antre buat milih. Mau yang simpel atau mau yang the best." Kataku.
"Sistem kerjanya sama aja kan ya kayak di sana?" Tanya Renata.
"Lebih mudah karena ngga perlu cuci gelas." Kataku.
"Halo, halo..." Vero menghampiri kami, "gimana? Udah siap kan?"
"Udah kok Ver tinggal eksekusi aja. Oh iya kenalin ini Renata. Renata, ini Vero yang ngajakin kita untuk acara ini." Kataku.
Mereka saling memperkenalkan diri, "Oh aku kira si Ferdi yang jaga di sini."
"Ferdi nyuruh aku yang di sini soalnya dia mau ketemu sama siapa gitu di kedai hari ini." Kataku.
Setelah perbincangan singkat, Vero meninggalkan kami untuk mempersiapkan hal yang lain. Tak lama kemudian, acara sudah di mulai. Pintu gerbang sudah terbuka, banyak orang-orang yang berjalan santai untuk melihat-lihat sekitar tempat acara ini. Pesanan pun mulai berdatangan, tidak terlalu ramai karena hari masih pagi. Dengan teliti Renata mulai berinteraksi dengan pelanggan sedangkan aku membuatkan pesanan mereka.
Satu demi satu pesanan berdatangan, satu demi satu pula pesanan selesai. Semakin siang, pengunjung acara ini semakin ramai. Hingga aku sadari bahwa sudah ada antrean memanjang di tempat kami, aku pun mempercepat tugas ku agar mereka tidak lama untuk menunggu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, pesanan sudah selesai semua hingga tak nampak lagi antrean panjang.
"Ren, makan dulu gih mumpung sepi." Kataku.
Ia mengambil kotak makanan yang disediakan oleh panitia, lalu duduk di kursi yang persis berada di belakang ku. "Kamu ngga mau makan juga?"
Ku nyalakan sebatang rokok lalu ku gelengkan kepalaku padanya.
"Ini porsinya banyak banget Adrian, aku mana abis sendirian..." Ia memberikan sesendok nasi beserta lauknya, "ayo makan bantuin abisin."
"Kamu kan tau aku ngga pernah makan siang." Kataku.
"Adrian..."
Ku hela nafas panjang lalu aku memakannya. Renata tersenyum setelah itu yang tentu saja membuatku bingung. Suapan demi suapan, hingga akhirnya makanan tersebut habis. Renata membuang kotak tersebut lalu mengambilkan segelas air dingin padaku, "Nah akhirnya aku bisa liat kamu makan siang juga."
Aku meminum air dingin itu, "Bakalan ngantuk deh bentar lagi."
Ia tertawa pelan menanggapinya, kami pun saling menyalakan rokok masing-masing sambil menunggu pesanan lain jika ada. Pukul 2 siang, matahari sedang terik-teriknya. Kembali munculnya antrean orang-orang yang membeli minuman kami dan aku rasa antrean ini lebih panjang dari yang sebelumnya.
Sesekali aku melihat ke arah Renata, ia beberapa kali menyeka keringat yang ada di dahinya. Dan tak jarang pula mata kami bertemu, tanpa suara aku hanya bisa mengucapkan "Semangat" yang dibalas senyum olehnya.
Pesanan terakhir pun selesai, ku gantungkan papan bertuliskan "Sold Out" di depan tenda karena memang bahan yang dipersiapkan sudah habis tak bersisa. Beberapa orang nampak kecewa, ku ucapkan maaf kepada mereka dan ku arahkan menuju kedai.
Renata sudah memarkirkan mobilnya dekat dengan tenda, ia membuka bagasi mobil untuk meletakkan barang-barang bawaan kami.
"Udah kamu duduk aja, biar aku yang masukin." Kataku.
"Ya jangan dong Adrian, kamu capek banget tadi masa iya aku ngga bantuin." Katanya.
"Renata, ngga masalah. Lagian kan kamu yang nyetir, jadi aku aja yang ngangkutin barang-barang semuanya..." aku mendorong tubuhnya mengarah ke tempat duduk, "udah, duduk diem sambil ngerokok. Enjoy."
Aku mulai memasukkan barang-barang lalu menyusunnya agar muat untuk dibawa kembali menuju tempat asalnya. Beberapa menit berlalu, hingga semua barang-barang beres. Renata pun menghampiriku di dekat mobil, "Udah semuanya?"
"Kita sambut bintang tamu berikutnya, Tulus!"
"Tulus?..." Renata menatap ke arah panggung utama, kemudian ia menarik tanganku, "Adrian, nonton dulu yuk."
Aku mengikutinya. Kami berjalan menuju kerumunan orang-orang yang sudah sangat antusias sedari pagi hari ini. Dari kejauhan kami dapat melihat Tulus yang akan membawakan lagu-lagu miliknya.
Nada demi nada terlantun, sorak sorai penonton tak mau kalah. Sesekali aku melihat ke arah Renata yang menikmati lagu tersebut, "kamu suka sama Tulus?"
Ia mengangguk sambil tersenyum, kami pun larut dalam suasana sore ini. Entah mengapa tangan kami saling bergandengan seperti biasa saja. Lagu demi lagu sudah dinyanyikan, hingga kami memutuskan untuk kembali menuju mobil. Masih bergandengan tangan.
"Aku ngga tau kalau ada Tulus di acara ini. Kamu tau?" Katanya.
Ku gelengkan kepala ku, "Aku ngga pernah baca siapa aja bintang tamunya, dan ini baru pertama kali juga abis jaga booth terus nonton acaranya. Sebelumnya ngga pernah."
"Oh pertama kali?..." Ia menatapku, "makasih ya Adrian."
Renata mencium pipiku, aku hanya tersenyum menanggapinya. Kami pun masuk ke dalam mobil lalu bergegas menuju kedai menjelang malam hari ini. Jalanan memang tidak pernah bersahabat pada hari Sabtu, aku menatap kosong ke arah jalan.
"Kamu bosen ya?"
Aku menatap Renata dengan cepat lalu ku tegakkan posisi dudukku, "Eh, ngga kok."
"Udah lah kamu ngga bisa bohong soal ini." Katanya.
Aku hanya tersenyum menjawabnya, dan memang benar saja. Rasanya cukup bosan berlama-lama di dalam mobil dengan kemacetan yang terus menerus ada. Butuh waktu kurang lebih satu setengah jam untuk kami bisa kembali ke kedai.
Mobil sudah terparkir mundur, aku membuka pintu bagasi dan bersiap-siap mengangkut barang-barang kembali ke asalnya. Ferdi pun keluar untuk membantuku, ia mulai mengangkat mesin kopi berukuran sedang ke dalam.
"Pelan-pelan ngangkat Simona, lecet dikit gue pukulin lu." Kataku.
"Bang*at, jadi pentingan Simona daripada gue?" Tanyanya.
Kami pun berlalu menuju gudang dan meletakkan barang-barang tersebut pada tempatnya. Selesai dengan itu, kami beranjak menunju mesin kasir.
"Ya pentingan Simona lah, gila kali." Jawabku.
"Kalau sama ini?" Tanya Bella menunjuk mesin kopi yang ada di kedai.
"Kivandra mah jauh di atas segalanya Bel." Jawabku lagi.
"Simona? Kivandra?" Renata bingung.
"Itu loh Mas Adrian selalu namain barang-barang kesayangannya. Mesin kopi warna putih tadi itu namanya Simona, nah kalau ini..." Bella menunjuk ke arah mesin kopi, "yang warna silver namanya Kivandra."
"Wah aku baru tau, aku kira cuma motor doang yang ada namanya." Kata Renata.
Aku menyerahkan amplop berisi uang kepada Ferdi untuk dikelola. Uang hasil acara tadi pun mulai dihitung, mulai dari modal yang dikeluarkan hingga biaya operasional. Angka pun muncul, "Gue ngga ngerti kenapa tiap isi booth selalu sold out gini. Terus pembagiannya gimana nih?"
"Ya bagi empat lah." Kataku.
"Bagi empat? Kan aku di sini Mas ngga bantuin di sana." Kata Bella.
"Udah bagi empat aja. Transfer ke rekening masing-masing Fer." Kataku lagi.
Hanya membutuhkan beberapa menit hingga selesai, "Oke, cek rekening masing-masing ya."
"Mas Adrian, aku ngga enak jadinya..."
"Udah nggapapa kok..." Renata menepuk pundak Bella pelan, "terima aja Bel."
"Oke kalau gitu kalian istirahat aja di halaman belakang atau mau cabut boleh kok." Ucap Ferdi.
"Jangan belagak gila, gue juga kerja di sini. Lagian tanggung bentar lagi juga closing..." aku menatap ke arah Renata, "kamu istirahat gih di belakang."
"Aku bantuin boleh dong, kan ini hari terakhir aku bantu kalian." Ucap Renata.
Aku dan Ferdi hanya saling menatap satu sama lain, yang pada akhirnya kami berempat berjaga sesuai dengan tugas kami masing-masing. Beberapa jam berlalu hingga akhirnya kedai ini tutup. Renata, Bella, Ferdi sudah duduk di teras. Aku membawa empat botol minuman yang ku beli dari warung sebelah.
"Mas Adrian..." Bella menerima botol minuman tersebut, "beneran nggapapa aku juga dibagi? Kan Mas Adrian sama Ka Renata yang di sana."
"Terus, terus, dibahas lagi, tak plites endasmu." Kataku.
Ferdi dan Bella tertawa mendengar perkataanku sedangkan Renata hanya tersenyum menanggapinya lalu berkata, "Kamu bisa bahasa jawa?"
Aku hanya mengangguk sambil minum ditemani suara tertawa Ferdi dan Bella.
Tik! Tik! Tik! Gerimis turun malam ini, kami pun memutuskan untuk pulang. Aku dan Renata sudah masuk ke dalam mobil sedangkan Ferdi dan Bella sudah lebih dulu meninggalkan tempat ini, dan kami pun akhirnya juga meninggalkan tempat ini.
Beberapa menit berlalu, mobil Renata sudah masuk ke dalam garasi rumahku. Kami pun masuk ke dalam rumah, "Kok bisa tiba-tiba hujan ya? Padahal tadi siang panas banget."
"Wah aku ngga paham deh Ren, namanya juga cuaca." Jawabku.
Kami pun berlalu ke lantai dua. Ku letakkan tas seperti biasa diikuti oleh Renata, "Adrian aku mandi duluan ya."
Aku pun menyetujuinya. Ia sudah masuk ke dalam kamar mandi, aku pun merebahkan badanku di atas sofa sambil memejamkan mata. Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata, rasanya sangat tenang. Merebahkan diri ditemani oleh suara hujan dari luar.
"Adrian, bangun..."
Ku buka mataku dengan cepat, Renata menatapku cukup dekat. Aku hanya diam, begitu pun Renata. Suara hujan yang menjadi musik latar kebisuan kami beberapa saat.
"Aku... Aku... Mandi..." Kataku.
"I... Iya... Mandi..." Ucapnya.
Aku pun berlalu menuju kamar mandi meninggalkan Renata. Beberapa menit hingga aku pun selesai. Ku buka pintu kamar mandi, Renata sedang duduk di sofa tanpa melakukan apa-apa.
"Ren..."
Ia menoleh kemudian tersenyum. Ku letakkan handuk pada tempatnya, kemudian aku ikut duduk di sofa. Aku memutuskan untuk menyalakan sebatang rokok, yang diikuti oleh Renata. Suara hujan nampaknya semakin menjadi-jadi, aku melihat ke arah balkon yang tembus karena pintu kaca. Hujan nampaknya memang semakin deras, ditambah terpaan angin yang cukup kuat.
"Tambah deres ya?" Tanya Renata.
"Iya nih tambah deres, aneh juga ya." Kataku.
Beberapa menit berlalu, sebatang rokok pun habis. Kami memutuskan untuk istirahat saja karena hari ini cukup melelahkan. Renata sudah membaringkan badannya di kasur, aku pun menyusul di sofa seperti kemarin. Terhitung cepat untukku langsung terpejam dan hilang kesadaran. Entah sudah berapa lama aku pun tak tau.
"Adrian..."
"Adrian..."
"Hmm..." ku buka mataku perlahan, ku lihat Renata sedang menatapku dari balik selimut, "kenapa Ren?"
"Aku takut... petir." Katanya.
"Petir? Kayaknya ngga..."
Dar! Aku terbangun sangat cepat dan ku sadar Renata sudah memelukku cukup erat. Kilatan putih yang sangat terang dan suara yang sangat keras di telinga pun ku rasa cukup menyeramkan. Renata belum melepas pelukannya, cengkraman tangannya di lenganku masih sangat terasa. Ku usap pundaknya beberapa kali agar ia tenang, ia pun mulai memelankan pelukannya.
"Udah nggapapa Ren." Kataku.
"Takut..."
"Terus gimana dong?" Tanyaku bingung.
"Kamu... tidur di samping... aku aja." Ucapnya.
"Yaudah iya." Kataku tanpa pikir panjang.
Renata sudah membaringkan badannya terlebih dahulu, aku pun menyematkan selimut padanya lalu aku ikut berbaring di sampingnya. Rasa kantuk yang ku rasa tadi hilang begitu saja, entah karena petir yang mengagetkan, entah karena ada Renata di sampingku. Beberapa saat aku terdiam memandangi langit-langit, kilatan putih kembali terlihat jelas dari pintu balkon. Renata menggenggam lenganku, aku pun dengan cepat menutupi telinganya.
Dar! Kembali lagi terdengar suara tersebut. Tanpa sadar kami pun sudah berpelukan, sangat dekat. Aku dapat melihat jelas Renata yang menutup matanya karena ketakutan, ia benar-benar takut. Sampai akhirnya ia membuka matanya, mata kami beradu dalam diam ditemani suara hujan yang terus turun tak berhenti.
Tanganku masih menutupi telinganya, ia pun masih menggenggam tanganku. Sesekali aku dapat mendengar nafasnya, ia pun mungkin merasakan hal yang sama. Entah mengapa, wajah kami saling mendekat. Semakin dekat, hingga kami saling memejamkan mata. Bibir ini saling bersentuhan, bukan hanya diam. Cukup lama, aku pun tak menyadarinya. Malam ini terasa sangat berbeda, entah aku, entah dia, entah kita.
***
Renata mengangguk, kami pun berangkat menuju lokasi acara. Jalanan masih nampak sepi, hari Sabtu pukul 6 pagi selayaknya orang-orang masih berada di rumah mereka. Dan itu pula yang membuat kami lebih cepat sampai di lokasi acara.
Setelah memarkirkan mobil, kami pun beranjak menuju tenda di mana kami akan berada sampai sore ini atau jika memang sudah habis terjual kami akan tutup lebih cepat.
"Adrian, ini..."
Ku kenakan apron dari belakang pada Renata, ia pun terdiam. Setelah itu, ku balikkan badannya menghadap ke arah aku berdiri, "Biasain langsung di pakai, jangan nunggu nanti-nanti."
Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali. Kami pun mulai mempersiapkan alat-alat dan bahan-bahan yang akan menjadi komposisi minuman kami. Tidak semua menu kami jual, hanya ada Ice Coffee Almond Lattedan Ice Americano.
"Aku emang sengaja cuma mau jual menu itu aja, jadi orang ngga kelamaan antre buat milih. Mau yang simpel atau mau yang the best." Kataku.
"Sistem kerjanya sama aja kan ya kayak di sana?" Tanya Renata.
"Lebih mudah karena ngga perlu cuci gelas." Kataku.
"Halo, halo..." Vero menghampiri kami, "gimana? Udah siap kan?"
"Udah kok Ver tinggal eksekusi aja. Oh iya kenalin ini Renata. Renata, ini Vero yang ngajakin kita untuk acara ini." Kataku.
Mereka saling memperkenalkan diri, "Oh aku kira si Ferdi yang jaga di sini."
"Ferdi nyuruh aku yang di sini soalnya dia mau ketemu sama siapa gitu di kedai hari ini." Kataku.
Setelah perbincangan singkat, Vero meninggalkan kami untuk mempersiapkan hal yang lain. Tak lama kemudian, acara sudah di mulai. Pintu gerbang sudah terbuka, banyak orang-orang yang berjalan santai untuk melihat-lihat sekitar tempat acara ini. Pesanan pun mulai berdatangan, tidak terlalu ramai karena hari masih pagi. Dengan teliti Renata mulai berinteraksi dengan pelanggan sedangkan aku membuatkan pesanan mereka.
Satu demi satu pesanan berdatangan, satu demi satu pula pesanan selesai. Semakin siang, pengunjung acara ini semakin ramai. Hingga aku sadari bahwa sudah ada antrean memanjang di tempat kami, aku pun mempercepat tugas ku agar mereka tidak lama untuk menunggu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, pesanan sudah selesai semua hingga tak nampak lagi antrean panjang.
"Ren, makan dulu gih mumpung sepi." Kataku.
Ia mengambil kotak makanan yang disediakan oleh panitia, lalu duduk di kursi yang persis berada di belakang ku. "Kamu ngga mau makan juga?"
Ku nyalakan sebatang rokok lalu ku gelengkan kepalaku padanya.
"Ini porsinya banyak banget Adrian, aku mana abis sendirian..." Ia memberikan sesendok nasi beserta lauknya, "ayo makan bantuin abisin."
"Kamu kan tau aku ngga pernah makan siang." Kataku.
"Adrian..."
Ku hela nafas panjang lalu aku memakannya. Renata tersenyum setelah itu yang tentu saja membuatku bingung. Suapan demi suapan, hingga akhirnya makanan tersebut habis. Renata membuang kotak tersebut lalu mengambilkan segelas air dingin padaku, "Nah akhirnya aku bisa liat kamu makan siang juga."
Aku meminum air dingin itu, "Bakalan ngantuk deh bentar lagi."
Ia tertawa pelan menanggapinya, kami pun saling menyalakan rokok masing-masing sambil menunggu pesanan lain jika ada. Pukul 2 siang, matahari sedang terik-teriknya. Kembali munculnya antrean orang-orang yang membeli minuman kami dan aku rasa antrean ini lebih panjang dari yang sebelumnya.
Sesekali aku melihat ke arah Renata, ia beberapa kali menyeka keringat yang ada di dahinya. Dan tak jarang pula mata kami bertemu, tanpa suara aku hanya bisa mengucapkan "Semangat" yang dibalas senyum olehnya.
Pesanan terakhir pun selesai, ku gantungkan papan bertuliskan "Sold Out" di depan tenda karena memang bahan yang dipersiapkan sudah habis tak bersisa. Beberapa orang nampak kecewa, ku ucapkan maaf kepada mereka dan ku arahkan menuju kedai.
Renata sudah memarkirkan mobilnya dekat dengan tenda, ia membuka bagasi mobil untuk meletakkan barang-barang bawaan kami.
"Udah kamu duduk aja, biar aku yang masukin." Kataku.
"Ya jangan dong Adrian, kamu capek banget tadi masa iya aku ngga bantuin." Katanya.
"Renata, ngga masalah. Lagian kan kamu yang nyetir, jadi aku aja yang ngangkutin barang-barang semuanya..." aku mendorong tubuhnya mengarah ke tempat duduk, "udah, duduk diem sambil ngerokok. Enjoy."
Aku mulai memasukkan barang-barang lalu menyusunnya agar muat untuk dibawa kembali menuju tempat asalnya. Beberapa menit berlalu, hingga semua barang-barang beres. Renata pun menghampiriku di dekat mobil, "Udah semuanya?"
"Kita sambut bintang tamu berikutnya, Tulus!"
"Tulus?..." Renata menatap ke arah panggung utama, kemudian ia menarik tanganku, "Adrian, nonton dulu yuk."
Aku mengikutinya. Kami berjalan menuju kerumunan orang-orang yang sudah sangat antusias sedari pagi hari ini. Dari kejauhan kami dapat melihat Tulus yang akan membawakan lagu-lagu miliknya.
Nada demi nada terlantun, sorak sorai penonton tak mau kalah. Sesekali aku melihat ke arah Renata yang menikmati lagu tersebut, "kamu suka sama Tulus?"
Ia mengangguk sambil tersenyum, kami pun larut dalam suasana sore ini. Entah mengapa tangan kami saling bergandengan seperti biasa saja. Lagu demi lagu sudah dinyanyikan, hingga kami memutuskan untuk kembali menuju mobil. Masih bergandengan tangan.
"Aku ngga tau kalau ada Tulus di acara ini. Kamu tau?" Katanya.
Ku gelengkan kepala ku, "Aku ngga pernah baca siapa aja bintang tamunya, dan ini baru pertama kali juga abis jaga booth terus nonton acaranya. Sebelumnya ngga pernah."
"Oh pertama kali?..." Ia menatapku, "makasih ya Adrian."
Renata mencium pipiku, aku hanya tersenyum menanggapinya. Kami pun masuk ke dalam mobil lalu bergegas menuju kedai menjelang malam hari ini. Jalanan memang tidak pernah bersahabat pada hari Sabtu, aku menatap kosong ke arah jalan.
"Kamu bosen ya?"
Aku menatap Renata dengan cepat lalu ku tegakkan posisi dudukku, "Eh, ngga kok."
"Udah lah kamu ngga bisa bohong soal ini." Katanya.
Aku hanya tersenyum menjawabnya, dan memang benar saja. Rasanya cukup bosan berlama-lama di dalam mobil dengan kemacetan yang terus menerus ada. Butuh waktu kurang lebih satu setengah jam untuk kami bisa kembali ke kedai.
Mobil sudah terparkir mundur, aku membuka pintu bagasi dan bersiap-siap mengangkut barang-barang kembali ke asalnya. Ferdi pun keluar untuk membantuku, ia mulai mengangkat mesin kopi berukuran sedang ke dalam.
"Pelan-pelan ngangkat Simona, lecet dikit gue pukulin lu." Kataku.
"Bang*at, jadi pentingan Simona daripada gue?" Tanyanya.
Kami pun berlalu menuju gudang dan meletakkan barang-barang tersebut pada tempatnya. Selesai dengan itu, kami beranjak menunju mesin kasir.
"Ya pentingan Simona lah, gila kali." Jawabku.
"Kalau sama ini?" Tanya Bella menunjuk mesin kopi yang ada di kedai.
"Kivandra mah jauh di atas segalanya Bel." Jawabku lagi.
"Simona? Kivandra?" Renata bingung.
"Itu loh Mas Adrian selalu namain barang-barang kesayangannya. Mesin kopi warna putih tadi itu namanya Simona, nah kalau ini..." Bella menunjuk ke arah mesin kopi, "yang warna silver namanya Kivandra."
"Wah aku baru tau, aku kira cuma motor doang yang ada namanya." Kata Renata.
Aku menyerahkan amplop berisi uang kepada Ferdi untuk dikelola. Uang hasil acara tadi pun mulai dihitung, mulai dari modal yang dikeluarkan hingga biaya operasional. Angka pun muncul, "Gue ngga ngerti kenapa tiap isi booth selalu sold out gini. Terus pembagiannya gimana nih?"
"Ya bagi empat lah." Kataku.
"Bagi empat? Kan aku di sini Mas ngga bantuin di sana." Kata Bella.
"Udah bagi empat aja. Transfer ke rekening masing-masing Fer." Kataku lagi.
Hanya membutuhkan beberapa menit hingga selesai, "Oke, cek rekening masing-masing ya."
"Mas Adrian, aku ngga enak jadinya..."
"Udah nggapapa kok..." Renata menepuk pundak Bella pelan, "terima aja Bel."
"Oke kalau gitu kalian istirahat aja di halaman belakang atau mau cabut boleh kok." Ucap Ferdi.
"Jangan belagak gila, gue juga kerja di sini. Lagian tanggung bentar lagi juga closing..." aku menatap ke arah Renata, "kamu istirahat gih di belakang."
"Aku bantuin boleh dong, kan ini hari terakhir aku bantu kalian." Ucap Renata.
Aku dan Ferdi hanya saling menatap satu sama lain, yang pada akhirnya kami berempat berjaga sesuai dengan tugas kami masing-masing. Beberapa jam berlalu hingga akhirnya kedai ini tutup. Renata, Bella, Ferdi sudah duduk di teras. Aku membawa empat botol minuman yang ku beli dari warung sebelah.
"Mas Adrian..." Bella menerima botol minuman tersebut, "beneran nggapapa aku juga dibagi? Kan Mas Adrian sama Ka Renata yang di sana."
"Terus, terus, dibahas lagi, tak plites endasmu." Kataku.
Ferdi dan Bella tertawa mendengar perkataanku sedangkan Renata hanya tersenyum menanggapinya lalu berkata, "Kamu bisa bahasa jawa?"
Aku hanya mengangguk sambil minum ditemani suara tertawa Ferdi dan Bella.
Tik! Tik! Tik! Gerimis turun malam ini, kami pun memutuskan untuk pulang. Aku dan Renata sudah masuk ke dalam mobil sedangkan Ferdi dan Bella sudah lebih dulu meninggalkan tempat ini, dan kami pun akhirnya juga meninggalkan tempat ini.
Beberapa menit berlalu, mobil Renata sudah masuk ke dalam garasi rumahku. Kami pun masuk ke dalam rumah, "Kok bisa tiba-tiba hujan ya? Padahal tadi siang panas banget."
"Wah aku ngga paham deh Ren, namanya juga cuaca." Jawabku.
Kami pun berlalu ke lantai dua. Ku letakkan tas seperti biasa diikuti oleh Renata, "Adrian aku mandi duluan ya."
Aku pun menyetujuinya. Ia sudah masuk ke dalam kamar mandi, aku pun merebahkan badanku di atas sofa sambil memejamkan mata. Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata, rasanya sangat tenang. Merebahkan diri ditemani oleh suara hujan dari luar.
"Adrian, bangun..."
Ku buka mataku dengan cepat, Renata menatapku cukup dekat. Aku hanya diam, begitu pun Renata. Suara hujan yang menjadi musik latar kebisuan kami beberapa saat.
"Aku... Aku... Mandi..." Kataku.
"I... Iya... Mandi..." Ucapnya.
Aku pun berlalu menuju kamar mandi meninggalkan Renata. Beberapa menit hingga aku pun selesai. Ku buka pintu kamar mandi, Renata sedang duduk di sofa tanpa melakukan apa-apa.
"Ren..."
Ia menoleh kemudian tersenyum. Ku letakkan handuk pada tempatnya, kemudian aku ikut duduk di sofa. Aku memutuskan untuk menyalakan sebatang rokok, yang diikuti oleh Renata. Suara hujan nampaknya semakin menjadi-jadi, aku melihat ke arah balkon yang tembus karena pintu kaca. Hujan nampaknya memang semakin deras, ditambah terpaan angin yang cukup kuat.
"Tambah deres ya?" Tanya Renata.
"Iya nih tambah deres, aneh juga ya." Kataku.
Beberapa menit berlalu, sebatang rokok pun habis. Kami memutuskan untuk istirahat saja karena hari ini cukup melelahkan. Renata sudah membaringkan badannya di kasur, aku pun menyusul di sofa seperti kemarin. Terhitung cepat untukku langsung terpejam dan hilang kesadaran. Entah sudah berapa lama aku pun tak tau.
"Adrian..."
"Adrian..."
"Hmm..." ku buka mataku perlahan, ku lihat Renata sedang menatapku dari balik selimut, "kenapa Ren?"
"Aku takut... petir." Katanya.
"Petir? Kayaknya ngga..."
Dar! Aku terbangun sangat cepat dan ku sadar Renata sudah memelukku cukup erat. Kilatan putih yang sangat terang dan suara yang sangat keras di telinga pun ku rasa cukup menyeramkan. Renata belum melepas pelukannya, cengkraman tangannya di lenganku masih sangat terasa. Ku usap pundaknya beberapa kali agar ia tenang, ia pun mulai memelankan pelukannya.
"Udah nggapapa Ren." Kataku.
"Takut..."
"Terus gimana dong?" Tanyaku bingung.
"Kamu... tidur di samping... aku aja." Ucapnya.
"Yaudah iya." Kataku tanpa pikir panjang.
Renata sudah membaringkan badannya terlebih dahulu, aku pun menyematkan selimut padanya lalu aku ikut berbaring di sampingnya. Rasa kantuk yang ku rasa tadi hilang begitu saja, entah karena petir yang mengagetkan, entah karena ada Renata di sampingku. Beberapa saat aku terdiam memandangi langit-langit, kilatan putih kembali terlihat jelas dari pintu balkon. Renata menggenggam lenganku, aku pun dengan cepat menutupi telinganya.
Dar! Kembali lagi terdengar suara tersebut. Tanpa sadar kami pun sudah berpelukan, sangat dekat. Aku dapat melihat jelas Renata yang menutup matanya karena ketakutan, ia benar-benar takut. Sampai akhirnya ia membuka matanya, mata kami beradu dalam diam ditemani suara hujan yang terus turun tak berhenti.
Tanganku masih menutupi telinganya, ia pun masih menggenggam tanganku. Sesekali aku dapat mendengar nafasnya, ia pun mungkin merasakan hal yang sama. Entah mengapa, wajah kami saling mendekat. Semakin dekat, hingga kami saling memejamkan mata. Bibir ini saling bersentuhan, bukan hanya diam. Cukup lama, aku pun tak menyadarinya. Malam ini terasa sangat berbeda, entah aku, entah dia, entah kita.
***
Diubah oleh beavermoon 21-02-2020 19:04
oktavp dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup