"Meja 4 ya Ren..."
Renata mengangguk, kemudian ia membawa minuman tersebut kepada pelanggan yang memesannya. Aku kembali menuju mesin kopi untuk membuat pesanan yang lain, Bella sedang mencuci gelas dan piring kotor, dan juga Ferdi yang menanyakan pesanan pelanggan.
Hampir satu minggu, tepatnya sudah 5 hari Renata membantu kami di sini. Awalnya ia hanya ingin melakukannya 3 hari untuk membantuku saat acara, nyatanya ia terus datang dengan dalih sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Besok adalah waktunya aku dan Renata akan mengisi boothdi sebuah acara, dan rencananya sore ini aku akan membawa peralatan yang harus di bawa untuk acara besok.
Jam makan siang pun sudah selesai, pelanggan sudah mulai sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Aku memutuskan untuk membawa barang ke tempat yang di tuju.
"Apalagi sih yang dibutuhin?" Tanyaku.
Ferdi memeriksa catatan yang ia pegang, "Aman sih udah semuanya, udah tinggal berangkat aja. Tapi yang berangkat siapa?"
"Aku jaga kasir aja deh..."
Aku menatap ke arah Renata yang mendekat, "biar kalian berangkat bawa barang, aku di kasir sekalian waitress, Bella di mesin."
"Fair enough..." Ferdi mengangguk setuju, "yaudah ayo berangkat."
Aku dan Ferdi mulai mengangkut barang-barang keperluan lalu dimasukkan ke dalam mobilnya. Ferdi sudah masuk di dalam mobil sedangkan aku masih memeriksa barang di bagasi sekali lagi.
Kling! "Udah semua kan ngga ada yang ketinggalan?" Tanya Renata.
"Aman kok..." aku menutup pintu bagasi mobil, "yaudah aku berangkat dulu ya."
Ia tersenyum padaku. Aku pun ikut masuk ke dalam mobil dan akhirnya aku dan Ferdi berangkat menuju lokasi. Jalanan sore ini cukup bersahabat, belum ada tanda-tanda kemacetan terjadi.
"Jadi akhirnya ya setelah sekian lama." Kata Ferdi.
"Sekian lama?..." ku nyalakan sebatang rokok di tangan, "maksudnya gimana?"
"Ya... akhirnya lu kembali membuka hati setelah berapa tahun menyendiri, berkat Renata semuanya berubah." Jelasnya.
"Jangan ngomong sembarangan." Kataku singkat.
"Adrian, gue udah kenal sama lu dari kita SMA kelas 1. Gue tau gimana tanda-tandanya kalau lu suka sama cewe. Jadi percuma aja mau ngelak kayak gimana juga." Kata Ferdi.
"Emang gimana tanda-tandanya kalau gue suka sama cewe?" Tanyaku.
"Mata lu berbicara..." Ferdi menyalakan sebatang rokok, "ketika lu udah bener-bener suka sama cewe, mata lu yang berbicara. Mata lu ngga akan sedikit pun berpaling pandangannya, sebagaimana lu selalu aja ngeliatin Renata. Entah dia lagi anter pesenan, entah lagi beres-beres meja, entah lagi cuci gelas sama piring. Dan juga ketika ngobrol, mata lu tuh beda pandangannya, antara lagi ngobrol sama Renata atau Bella deh."
Aku menganggukkan kepala ku beberapa kali, "Hebat juga pengagum senja yang satu ini bisa tau sampai segitunya."
"Dikira lu doang yang bisa jadi detektif, gue juga bisa." Katanya.
Sebenarnya aku tidak tau apa benar yang ia bicarakan barusan, aku pun tidak menyadari hal itu. Meninggalkan yang kami bicarakan, kami pun tiba di lokasi. Dari kejauhan, Ferdi melihat Vero yang sedang melambaikan tangannya. Ia pun memarkirkan mobilnya dekat dengan booth yang aku pikir adalah tempat yang disediakan untuk kami.
"Halo Adrian, Hai Fer..." Vero mendekat ke arah kami, "udah siap kan buat besok?"
Aku melambaikan tangan padanya kemudian menuju bagasi mobil, sedangkan Ferdi menghampirinya, "Udah dong, kalau ngga siap ya ngga bakalan dateng hari ini."
Setelah itu kami pun langsung membenahi barang-barang dari dalam mobil untuk diletakkan di tempatnya. Satu demi satu barang ku letakkan, ku atur semudah mungkin agar besok tidak terlalu membuang waktu mencari barang-barang.
"Gimana semuanya? Aman?"
Aku melihat ke arah sumber suara tersebut bersamaan dengan Ferdi. Vero sedang berpelukan dengan seorang laki-laki. Ku senggol Ferdi menggunakan siku beberapa kali, "Fokus, fokus, fokus. Coba lu cek list barang yang di belakang."
Ferdi mengerti maksud pembicaraanku, ia pun pergi ke belakang untuk memeriksa barang yang tidak harus di cek lagi karena sudah kami lakukan berulang kali. Aku mulai mengamati Vero dan laki-laki itu, ku coba melihat lebih jelas ke arah jari Vero. Ia masih mengenakan cincin yang diceritakan oleh Ferdi, dan aku tinggal menunggu apakah laki-laki tersebut mengenakan cincin yang sama dengan Vero.
Aku memikirkan bagaimana caranya agar bisa melihat jari laki-laki itu, "Eh Vero, sorry ganggu. Mau nanya soal teknisnya gimana buat besok?"
Vero mendekat ke arahku bersama dengan laki-laki itu, "Teknisnya sederhana aja Adrian. Oh iya sebelumnya kenalin ini..."
Cincin yang sama. Ya, cincin yang sama persis dipakai oleh laki-laki tersebut dari warna hingga modelnya. Setelah menjelaskan kepadaku, mereka berpamitan untuk melihat kondisi booth yang lain. Ferdi pun kembali setelah memerika barang di bekakang.
"Profesional aja, jangan norak." Kataku.
"Ini gue berusaha profesional, untung besok lu yang di sini. Jatah profesional gue cuma sehari." Katanya.
Aku memandang malas kepadanya. Setelah merasa cukup, kami pun memberikan catatan barang dan perlengkapan kepada panitia yang akan bertanggung jawab menjaga. Selesai dengan urusan tersebut, kami memutuskan untuk kembali menuju kedai.
"Bener juga."
"Bener apanya?" Tanya Ferdi bingung.
Aku hanya memberi isyarat kepada Ferdi, ku tunjuk beberapa kali jari manisku, "Yang dipakai sama persis, jadi kata lu waktu itu bener."
"Tuh kan bener apa kata gue waktu itu! Batu sih gue bilangin..."
"Ngga pake teriak berapa sih?..." Aku memotong pembicaraannya yang cukup keras, "tapi itu belum bisa valid sih."
"Jangan belagak gila Adrian, mau bukti apa lagi. Yang lu liat tadi kurang konkret?" Ucapnya masih dengan nada cukup keras.
"Biasa aja dong jangan ngegas, jangan sampai jok belakang gue kencingin nih." Kataku.
"Anj*ng!"
Aku hanya bisa tertawa menanggapinya. Beberapa menit di perjalanan, akhirnya kami kembali tiba di kedai. Kling! Bella dan Renata menatap ke arah pintu, kami berjalan sambil melihat ke arah pelanggan yang sudah menempati meja-meja. Setelah mengenakan apron, aku mendekat ke arah mereka.
"Ladies, silahkan menuju halaman belakang untuk istirahat. Kami ambil alih mulai sekarang." Kataku.
"Oke Mas, yuk Ka Ren." Kata Bella.
Ferdi berjalan menuju mesin kasir, Renata seperti menyadari sesuatu. Ia mendekat ke arahku, "Ferdi kenapa? Beda dari berangkat sama sekarang."
"Nanti aku ceritain, kamu istirahat aja dulu sama Bella." Kataku.
Ia pun setuju kemudian beranjak menuju halaman belakang. Aku kembali menuju mesin dan bersiap-siap jika ada pesanan. Beberapa menit hingga pelanggan kembali berdatangan. Aku mulai membuatkan pesanan satu per satu, sesekali aku melihat ke arah Ferdi. Wajahnya tidak seperti biasanya, ku senggol kakinya menggunakan kaki ku. Ia mulai sadar dan mencoba kembali seperti biasa.
Bukan hanya sekali, Ferdi kembali terlihat tidak biasa saat berinterkasi dengan pelanggan yang akan memesan. Bella dan Renata sudah kembali dari istirahat, aku kembali menyenggol kakinya. Kali ini bukan hanya isyarat, "Fer, profesional. Fokus, fokus, fokus."
Ia mengusap wajahnya beberapa kali. Aku yang melihat hal itu pun langsung mengusulkan, "Renata, ambil alih kasir. Fer, cabut ke belakang sana."
Renata mulai mengambil alih kasir. Aku mengisyaratkan Bella untuk menemani Ferdi di halaman belakang. Aku dan Renata kembali pada pekerjaan kami.
Disela-sela pekerjaan, Renata pun penasaran dengan apa yang terjadi, "Ferdi kenapa?"
"Begitu deh, suka sama orang yang ternyata udah punya orang lain." Kataku.
Waktu berlalu begitu saja tanpa permisi, pukul 9 malam sudah tidak ada lagi pelanggan yang datang. Aku memutuskan untuk menutup kedai ini lebih cepat. Kami mulai membereskan barang-barang dan peralatan kembali pada tempatnya. Kemudian aku mulai mengunci pintu dan juga rolling door. Renata, Bella, dan juga Ferdi sudah berada di teras depan.
"Besok kalau emang lu masih belum bisa biasa, kedai close aja. Gue ngga mau kejadian tadi keulang lagi." Kataku.
"Sorry banget sorry." Ucap Ferdi.
"Yaudah kita cabut sekarang, benerin isi otak. Jangan belagak gila kalau masih kayak gini terus besok buka." Kataku.
Kami berpisah di parkiran ini. Selama perjalanan, aku hanya memandangi jalanan lewat jendela yang terbuka. Renata pun menatapku, "Adrian, udah jangan dipikirin lagi."
"Iya..." aku pun menatapnya, "aku bisa maklumin sih, cuma ya maksudnya profesional aja."
Mobil pun tiba di rumahku, aku keluar terlebih dahulu untuk membuka pintu garasi. Renata mulai memasukkan mobilnya ke dalam garasi, setelah selesai ia keluar dari dalam mobil. Sengaja aku mengajak Renata untuk menginap hari ini agar lebih dekat ke tempat acara.
"Kamu mau makan dulu Ren?" Tanyaku.
"Ngga deh, aku masih kenyang tadi makan sama Bella." Jawabnya.
Kami pun naik ke lantai atas. Aku membuka pintu kamar lalu menaruh tas di bawah meja. Renata mengikutiku dari belakang dan melakukan hal yang sama.
"Aku mandi duluan ya Ren." Kataku.
"Oke, kalau gitu aku baca cerita lagi ya di laptop kamu." Katanya.
Aku pun berlalu menuju kamar mandi. Nampaknya tidak perlu diceritakan apa yang ku lakukan ketika mandi, "Adrian, password laptop apa ya?"
"Kamu ngomong apa Ren? Ngga kedengeran." Kataku.
"Password laptop apa?" Tanyanya lagi.
"Kim Jong Un!" Kataku.
Selesai dengan urusan kamar mandi, aku keluar sudah mengenakan pakaian lengkap. Biasanya tidak aku lakukan, namun karena ada Renata semuanya harus berubah. Aku melihatnya sedang serius menatap layar laptop, aku mendekat ke arahnya sambil mengeringkam rambut dengan handuk.
"Kamu mandi gih." Kataku.
"Bentar, tanggung bentar lagi abis nih episode 2." Jawabnya.
Aku menuju lantai bawah menuju dapur, ku buka kulkas lalu ku ambil botol minuman, "Loh udah mau abis ternyata.". Aku pun kembali menuju kamar, ku lihat Renata sudah tidak ada di depan laptop melainkan ia sudah berada di dalam kamar mandi. Ku letakkan sebotol minuman di atas meja, lalu aku berjalan menuju balkon kamar.
Beberapa menit berlalu, aku mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Tak berapa lama, ia berjalan menuju tempat aku berada sambil membawa botol minuman.
"Buat aku kan?" Tanyanya.
Aku mengangguk sambil minum. Ku nyalakan sebatang rokok yang diikuti oleh Renata. Malam berlalu, kami pun sudah berada di dalam kamar.
"Adrian, aku tidur di sofa aja ya..."
"Eh jangan..." aku memotong perkataannya, "kamu di kasur aja biar aku di sofa."
"Aku ngga enak, ini kan kamar kamu." Katanya.
"Kamu tamu aku, lebih ngga enak mana?" Kataku menyanggahnya.
"Adrian..."
"Nope, mohon maaf kali ini kata-kata itu ngga mempan..." aku sedikit mendorongnya mengarah ke kasur, "silahkan tidur di kasur biar aku di sofa aja."
Ia pun duduk di atas kasur, ku matikan lampu dan menyisakan lampu sorot meja yang menyala. Aku mulai berbaring, di sofa. Ku pandangi langit-langit kamar, terdiam beberapa saat.
"Adrian..."
"Hmm..."
"Makasih ya..."
"Buat apa Ren..."
"Apa pun... Selamat tidur Adrian..."
"Selamat tidur Ren..."
*