Kaskus

Story

agityunitaAvatar border
TS
agityunita
[JTPH] Bertemu Cinta Pertama
    

[JTPH] Bertemu Cinta Pertama 


Bertemu Cinta Pertama 




     Apa yang kau tahu tentang cinta pertama. Apa ia sebuah rasa yang indah atau sesuatu yang menyakitkan? Tapi kenapa semua orang sepertinya senang sekali menceritakan cinta pertama mereka. Meskipun mereka bilang cinta pertama itu tidak selalu berakhir bersama. Tetapi tetap saja cinta namanya. 

     Dan apakah semua orang harus merasakan cinta pertama? Dimana kebanyakan orang bercerita bahwa pertama kali mereka jatuh pada cinta adalah saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Terutama SMA.

     Tapi tidak dengan Aira. Sampai usianya menginjak 20 tahun. Ia masih bertanya-tanya bagaimana rasanya cinta pertama itu. Bukan Aira anak yang tertutup. Kawannya banyak, laki-laki ataupun perempuan. Tapi soal siapa yang bisa menjatuhkan hatinya pada cinta, belum ada. 

***

     “Maaf mas, ada apa ya?”

     “Tuch, temen lo, nganterin menu salah melulu!”

     “Oh, biar saya ganti ya mas?” 

     “Gak usah, gue udah gak mood makan di sini!” Si lelaki itu pun pergi meninggalkan cafe.

      Eh, apa nih?

       Aira menemukan buku di atas meja. Oh, apa ini punya laki-laki tadi ya? tanya Aira dalam hatinya. Dia pun langsung membawa buku tersebut. Dan menaruhnya di meja kasir. Siapa tahu si pemilik buku kembali karena sadar ada yang tertinggal.

       Sore harinya, Aira pun memutuskan untuk membawa pulang buku yang tertinggal itu. Ia takut, buku itu dibuang oleh pelayan kafe yang lain. Karena berpikir itu buku yang tidak terpakai. 

***

        Keesokan harinya, 

        Buku yang ternyata berisi sketsa-sketsa gambar itu, Aira bawa serta dalam tasnya, saat kuliah hari ini. Dia berpikir, siapa tahu lelaki itu datang lagi ke cafe tempatnya bekerja. 

         Sesampainya di kampus…

Aira segera bergegas masuk ke kelas. Tapi sebelum sampai di kelasnya, sekilas ia melihat seseorang. Seseorang yang dia hafal cara bicaranya. Lebih tepatnya cara marah-marahnya.

Ah, dia itu kan?

         Iya, dia adalah laki-laki yang sama dengan yang kemarin marah-marah di kafe. Aira jadi greget deh, liat orang kok senengnya marah-marah gitu.

        Tanpa Aira sadari, ia mendekati laki-laki yang sedang bertengkar dengan kawannya itu. Dan dengan beraninya Aira langsung menarik tangannya dan membawa jauh lelaki itu dari pertengkarannya. 

     “Hey, hey, berhenti, kamu mau bawa aku kemana?”

      Eh, Aira langsung berhenti dan menoleh pada orang yang sedang ia genggam tangannya. Dengan cepat Aira melepas gandengannya. 

      Ya, ampun, aku ngapain sih? Sesal Aira sambil memukul keningnya. 

       “Heh, ngapain kamu narik-narik tangan aku, kalau mau kenalan itu bilang baik-baik kali, gak usah culik aku kayak gini!”

       “Apa, kenalan, siapa yang mau kenalan sama kamu, tadi itu, tadi itu… Aku cuma kesel lihat kamu berisik, jadi kamu mau aku buang ke situ!” sambil Aira menunjuk kolam ikan kecil yang tidak jauh dari mereka berdiri. 

Laki-laki itu malah tertawa.

      “Heh, kok malah ketawa, harusnya kamu takut!” 

      “Takut, nih, aku malah rela dilempar ke situ sama perempuan galak semanis kamu!” Yang dibilang manis langsung merasa panas mukanya, Aira pun memutuskan untuk pergi. Ia tidak mau laki-laki itu melihat muka merahnya.

      “Hey, kok malah pergi sich?”

***

         Akhirnya, selesai juga kuliah hari ini. Sebelum menuju ke cafe, Aira memutuskan untuk makan dulu di kantin kampus nya.  

          Tiba-tiba, Seseorang datang seperti habis berlari jauh dan meminum habis es jeruk yang di pesan Aira.

       “Hey, itu kan punya aku?!”

       “Oh, ya ampun, sorry-sorry, habis haus banget sih, aku pesenin lagi ya!’

Laki-laki itu, tidak lain adalah yang tadi pagi Aira tarik tangannya. Tiba-tiba, irama jantung Aira jadi tidak karuan.

      “Hey, kok malah bengong?” 

      “Eh, gak kok!” Aira pun memutuskan untuk pergi saja. Meskipun bakso yang dia makan belum habis.

      “Hey, mau kemana? Tuh baksonya belum habis, kasihan kan, lagian aku kan baru pesan es jeruk lagi, masa harus aku yang ngabisin?”

       Iya juga sih, sayang banget bakso nya, aku juga masih lapar… tapi…

Aira pun duduk kembali, dan meneruskan makan baksonya. Dan ia teringat pada buku sketsa itu.

      “Hey, ini, ini punya kamu kan?”

      “Apa?” 

      “Ini buku kamu kan, kemarin ketinggalan di cafe!” 

      “Oh, ya ampun, aku pikir ilang, makasih ya!”

      “Iya, sama-sama!”

      “Kamu lihat-lihat ya isinya?”

      “Eh, emang gak boleh ya, ya ampun maaf ya!” Aira langsung panik. 

Laki-laki itu malah tertawa. Ia senang melihat wajah Aira yang panik seperti itu.

     “Kamu ngerjain aku ya?”

    “Haha, siapa yang ngerjain kamu, aku kan cuma nanya, ya kalau kamu buka-buka juga gak apa-apa. Aku kan gak bilang gak bokeh!”.

      Iya juga sih, Aira jadi malu sendiri. Ia langsung segera menghabiskan makanan dan minumnya. Dia merasa tidak bisa lama-lama dekat dengan laki-laki ini, bisa sesak nafasnya. 

      “Ya udah, aku duluan!” 

      “Eh, kamu mau ke cafe?”

      “Iya!”

      “Aku ikut!”

Aira tidak bisa melarang laki-laki itu untuk mengikutinya. Dan membuat kerja Aira jadi tidak tenang. Ia seperti merasa terus diperhatikan. Iya, laki-laki itu terus memperhatikannya. Baru saja mereka beradu pandang. Dan laki-laki itu tersenyum ke arahnya.

     “Hey, kamu gak akan pulang?” Aira memberanikan diri bertanya pada laki-laki itu.  

     “Aku kan mau pulang bareng kamu!” 

     “Kok, kenapa?” 

     “Ya gak apa-apa, atau udah ada yang jemput kamu pulang ya? Tapi kayaknya sih gak ada, aku perhatiin kamu kemana-mana sendiri, pasti masih jomblo, hehe!”

     “Kamu suka ngikutin aku ya?”

     “Haha, ngapain, aku kan suka nongkrong di cafe ini, kamu aja yang gak pernah sadar ada cowok seganteng aku duduk di sini!”

      “Ih, pede banget sih!” Aira pun berlalu, ia meninggalkan lelaki yang tertawa itu. Sebentar lagi memang waktunya pulang. 

       Kafe pun tutup dan Aira tidak mendapati laki-laki itu di kursinya. Baguslah, dia pulang duluan. Aira pun ke luar dari cafe.

       “Hey, nyari aku ya!”

Aira kaget, tiba-tiba laki-laki itu ada di hadapannya. Memberikan senyumannya yang manis. Oh, ya ampun, jantung Aira kembali berdetak tak karuan. 

      “Gak, kok, siapa yang nyariin kamu, malah aku seneng kalo kamu udah pulang!” 

      “Oh gitu ya, tapi muka kamu kayak yang seneng lho liat aku!”

Aira segera mengusap wajahnya. Ia jadi salah tingkah, ah ya ampun. Siapa sih laki-laki ini?

        Tanpa ada yang mengiyakan atau menolak. Mereka pun pulang bersama. Naik bus kota. Aira sudah biasa.

***

         Dan sejak saat itu, entah kenapa mereka jadi dekat. Ah, bukan berarti Aira berani lama-lama menatap wajah laki-laki yang ternyata bernama Nandy itu. Nandy yang selalu dengan senang hati menemani Aira, meski Aira tidak pernah memintanya. Dia yang lebih banyak bercerita daripada Aira. 

         Hingga lama-lama, Aira pun merasakan keberadaan Nandy di dekatnya memberi warna baru dalam hari-harinya. Ia sudah tidak merasa canggung lagi. Meskipun wajahnya tetap merah jika beradu pandang dengan Nandy. 

         Apakah Aira sedang jatuh Cinta?

         Jika iya, ini adalah cinta pertamanya. Tapi Aira masih mencoba menampik itu. Dia merasa, Nandy teman yang baik. Meski dia memang tampan. 

Hingga beberapa bulan kemudian….

         “Ra, besok kamu ada acara gak?”

         “Besok, hari minggu ya, kayaknya sih gak, emangnya kenapa?”

         “Besok aku ingin ngajak kamu jalan-jalan, gimana?” 

         “Kemana?”

         “Ya kemana aja, namanya juga jalan-jalan, mau ya!”

         Nandy menggenggam tangan Aira. Yang dipegang tangannya cuma masang wajah merah dan mengangguk perlahan.

         Dan besoknya, mereka pun jalan-jalan. Nandy menggunakan motornya menjemput Aira sekitar pukul 7 pagi.

        “Nan, ini masih pagi lho, dan ini hari minggu, aku masih ngantuk!”

         “Tapi kamu udah mandi kan?” goda Nandy pada Aira dan Ia mendapatkan dorongan lembut dari Aira.

          Mereka pun pergi meninggalkan rumah Aira. Entah mereka mau kemana. 

          Tadi malam, sebelum tidur, Aira memikirkan perasaannya pada Nandy. Dia menerka-nerka, apakah ia menyukai Nandy. Dan itu membuat Naira senyum-senyum sendiri. Dan dia berjanji akan menyimpan ini sendiri saja. Nandy tidak perlu tahu. Aira tidak mau, pertemanan nya dengan Nandy jadi berantakan. Hanya karena perkara jatuh cintanya itu.

         Dan sampailah mereka, di sebuah pantai. Aira yang sedari tadi asyik dengan pikirannya sendiri. Tidak menyangka akan dibawa oleh Nandy sejauh ini.

        “Gimana, kamu suka gak?”

        “Indah banget Nan, aku udah lama gak main ke Pantai, makasih ya!” tanpa sadar Aira merangkul lengan Nandy, karena terlalu senang. Langsung Aira melepaskan tangannya dari lengan Nandy, tapi ditahan oleh Nandy.

        “Gak apa-apa kan kayak gini, kamu tuh kalau dekat aku, kayak yang takut gitu!”

         “Eh, gak kok Nan, aku bukannya takut sama kamu!”

         “Terus kenapa? Malu ya jalan sama aku, kenal sama aku, apalagi kalau aku ajak ngobrol kamu, kayaknya kamu tuh ingin cepat-cepat pergi dari aku!” sambil terus memegang tangan Aira yang melingkar di lengannya, Nandy menunduk. Membuat Aira jadi tak enak hati. 

        “Nan, kamu kok bisa mikir kayak gitu sih? Aku tuh seneng ngobrol sama kamu, aku seneng kok kenal sama kamu, aku juga gak malu kalau dekat-dekat sama kamu!”

        “Beneran?” 

        “Iya, bener!”

        “Kalau gitu, hari ini kita jalan-jalan berdua, kamu harus mau ikut kemana pun aku ajak!”

        “Emang kita masih mau pergi lagi?”

        “Hhmm iya, tapi kita makan siang dulu, tuh ada warung makan, di sana ikan bakarnya enak banget, yuk!” Nandy menggandeng dangan Aira. 

          Ah, Nandy. Aku jadi ingin tahu. Apa kamu juga menyukaiku. Tapi apa aku harus menanyakannya langsung padamu. Ya ampun, bagaimana kalau kamu menertawakan perasaan ku ini. Apalagi ini kali Pertama nya aku jatuh cinta. 

          Selesai makan, Nandy membawa Aira menaiki bukit yang ada di sekitar pantai. 

          “Ra, aku mau kasih kamu sesuatu!”

          “Apa?”

           Nandy memberikan buku sketsanya.

           “Buat kamu!”

           “Buat aku, tapi ini kan buku gambar kamu, nanti kamu gambar pake apa?

           “Kamu tuh lucu banget sih ra!” Nandy menyentuh dagu Aira, membuat wajah Aira memerah. 

           “Aku masih punya banyak kok, lagian itu sketsa lama. Kira-kira dari setahun yang lalu.” 

           “Hmm, makasih kalau gitu Nan, Boleh aku lihat isinya?”

           “Bolehlah, disimpan lho ya, jangan buat bungkus gorengan, hehe!”

           “Ya gak dong Nan, Apalagi isinya…..!” Aira terkejut, melihat lembar demi lembar sketsa itu. Memang warna kertasnya mulai menguning. Mungkin karena yang tadi Nandy Bilang, itu sudah setahun usianya. Tapi, yang lebih membuat Aira tidak dapat berkata apa-apa adalah. Apa yang Nandy gambarkan di setiap lembar kertasnya. Itu adalah gambar dirinya.

              “Ini, aku?” Aira merasa terharu, hampir saja ia membasahi kertas itu dengan air matanya.

             “Iya, Ra, itu kamu… kamu benar waktu kamu bilang aku tukang ngikutin. Karena memang aku sudah memperhatikanmu sejak lama, maafin aku, aku suka sama kamu Ra!” pengakuan Nandy jelas membuat Aira kaget. Tapi tidak dipungkiri jika hatinya merasa senang.

       Cinta pertamanya, ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.

           “Kamu, kenapa malah nangis? Maafin aku Ra, kalau apa yang aku lakuin ini gak kamu suka, kamu gak perlu kasih aku jawaban apa-apa kok, aku cuma mau jujur aja sama kamu!”

Aira menghapus Air matanya. Ia tersenyum pada Nandy. Merangkulkan tangannya di lengan Nandy dengan lebih erat. Dan Menyandarkan kepalanya di bahu Nandy. Untuk pertama kalinya, Nandy yang merasa salah tingkah.

         “Aku nangis karena bahagia Nan, jujur, aku juga suka sama kamu. Aku jatuh cinta sama semua yang kamu lakuin ke aku. Dan kamu cinta pertama buat aku!”

          Bukan Nandy, kalau bertahan serius lama.

          “Wah, jadi aku cinta pertama kamu nih, senangnya, jadi mulai hari ini kita resmi pacaran, ya udah yuk pulang!”

Aira bengong. Sikap romantis Nandy buyar sudah, kembali ke Nandy yang berisik dan sedikit nyeleneh. Tapi Aira Langsung tersadar. Itulah yang membuat ia menyukai Nandy. Berbeda.

            “Nandy, tunggu, siapa bilang kita pacaran” 

            “Akulah, aku kan cinta pertama kamu!” Nandy berlari meninggalkan Aira menuju ke pantai. Dan mereka pun  menghabiskan waktu di sana hingga matahari terbenam. 

Aira senang. Bisa berada dalam dekapan Nandy. Semoga cinta pertamanya ini, juga  menjadi cinta terakhir baginya.


Selesai




Cerita Kedua

Cerita Ketiga

Cerita Keempat

Cerita Kelima

Cerita Keenam

Cerita Ketujuh

Cerita Kedelapan

Cerita Kesembilan

Cerita Kesepuluh

Cerita Kesebelas

Cerita Kedua Belas

Cerita Ketiga Belas

Cerita Keempat Belas

Cerita Kelima Belas


@agityunita




Kumpulan Cerita Selanjutnya
Diubah oleh agityunita 02-03-2020 08:51
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 18 lainnya memberi reputasi
17
4K
54
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
agityunitaAvatar border
TS
agityunita
#42
Cerita Kesembilan
Tentang Dia





        Apakah sebuah penantian itu bukti kesetiaan? Jika iya, ibuku telah melakukannya dengan sangat baik. Dia, wanita yang sedang terbaring di rumah sakit itu adalah ibuku. Sosok satu-satunya yang aku miliki. 

         Jangan tanya padaku dimana ayahku. Karena aku akan menjawabnya tidak tahu. Sudah dua puluh lima tahun sejak aku dilahirkan hingga hari ini. Aku sama sekali belum pernah melihat seseorang yang bisa aku panggil ayah.

          Sedangkan untuk bertanya pada ibuku. Tak mungkin aku lakukan. Dalam diamnya, ibu seperti menyimpan duka. Satu waktu dia berkata, “Ayahmu itu pria yang tampan, Nak!” namun satu waktu, dia akan memaki ayah sambil berteriak hingga pingsan.

           Wahai kau yang mungkin bisa aku panggil ayah, apa yang telah kau lakukan pada ibuku dahulu.

***

     Hari ini seperti biasa sepulang bekerja aku langsung menjenguk ibu di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, aku melihat ibu sedang berbincang dengan seseorang. Tapi aku tidak mengenalnya.

      Ibu terlihat begitu tenang dan senang. Aku pun mendekati mereka.

“Assalamualaikum Bu!”

“Waalaikumsalam, Rajni!”

Seseorang yang mengobrol dengan ibuku adalah seorang laki-laki. Usianya aku tebak sama denganku. 

Dia senyum padaku. Aku pun membalas senyumnya.

“Rajni, kenalin, ini Nalendra tadi ia menemani ibu jalan-jalan di taman!”

Kami pun berjabat tangan. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Tapi aku tidak mengenalnya. 

         Aku pun menemani ibu beristirahat. Aku lihat Nalendra masih menunggu di luar. Setelah ibu terlihat sudah nyenyak tertidur, aku keluar kamar untuk menemui Nalendra.

“Ibu tidak pernah kedatangan tamu, kamu tamu pertamanya!” ucapku pada lelaki berkacamata itu. Bentuk wajahnya tidak berbeda dengan wajahku. Hanya warna kulit dan tingginya yang membedakan.

“Ah, aku tadi kebetulan aja lihat ibu Kemuning duduk sendiri di taman, jadi aku menemaninya!”

“Terima kasih, kamu sendiri ke sini ada yang ditengok juga?”

“Oh, eh, itu… aku, relawan baru di sini, kegiatan kampus!” jawabnya dengan sedikit kikuk. 

         Dalam hati, ada rasa penasaran. Siapa sebenarnya Nalendra ini. Tapi kehadiran Nalendra seperti membawa angin segar untuk ibu. Sepanjang hari ini, ibu nampak tenang. Tak ada teriakan, tak ada drama air mata.

***

        Sejak hari itu, Nalendra semakin rajin datang menjenguk ibu. Setiap kutanya apa itu termasuk dari tugas kuliahnya. Dia selalu menjawab iya. Tapi tetap saja aku merasa dia seperti menutupi sesuatu. 

         Malam ini, aku hendak pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti untuk ibu. Dan membawa pakaian yang kotor untuk pulang. Sebenarnya di rumah sakit ini ada laundry yang bersedia mencucikan. Tapi karena besok hari minggu dan kerjaku libur, jadi aku memilih untuk mencuci pakaian ibu sendiri. 

“Bu, Rajni pulang dulu ya, besok Rajni ke sini lagi!”

“Iya, hati-hati, ouh iya biar Nalendra antar kamu ya?’

“Tidak usah bu!”

“Iya bu, nanti saya akan antar Rajni pulang!”

“Tuch kan Nalendra mau antar kamu pulang!”

 Sebenarnya aku tidak biasa diantar pulang, apalagi oleh seorang pria. Tapi aku tidak mau mengecewakan ibu, maka kuiyakan saja dulu. Di luar nanti, aku bisa menolaknya.

         Tapi ternyata Nalendra memang ingin mengantarku pulang. Penolakanku untuk diantar malah ditolaknya juga. Akhirnya Nalendra pun mengantarkan aku pulang. Seperti biasa aku naik bus kota jurusan menuju rumah. 

“Kamu biasa naik bus seperti ini?”

“Iya, kenapa?” tanyaku pada Nalendra yang tampak kasihan padaku. Tapi dia tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menggeleng dan tersenyum.

           Sesampainya di rumah, aku dan Nalendra berbincang sebentar di teras rumah. Aku suguhkan ia segelas teh hangat dan satu toples cemilan. 

“Kamu, mungkin bisa berbohong pada ibuku, tapi tidak padaku!”

“Maksud kamu?”

“Kamu itu bukan relawan kan? Kamu memang sengaja datang ke rumah sakit untuk menjenguk ibuku. Jadi coba katakan padaku, siapa kamu sebenarnya?”

Nalendra hanya tertawa. Tapi apa yang lucu?

“Tenang saja Rajni, kamu bicara seperti itu, seperti aku ini seorang penjahat saja. Ok-ok. Aku akan jujur padamu. Tapi tidak hari ini.”

“Kenapa?” aku mendesaknya. Dia tidak takut. Dia malah tersenyum manis padaku. Ah, kenapa laki-laki ini?

“Karena apa yang akan aku jelaskan, membutuhkan waktu yang cukup lama. Tapi aku janji, aku akan menceritakan semuanya padamu!”

Setelah itu, Nalendra pun pamit pulang. Siapa dia sebenarnya?

***

      Sejak malam itu, Nalendra tidak kelihatan batang hidung nya lagi. Apa dia takut? Ibu menanyakan Nalendra terus. Aku hanya bisa menjawab, mungkin ia sedang sibuk. Dan sikap ibu pun berubah lagi. Dia jadi banyak melamun. Ah, mengapa begitu berpengaruhnya kehadiran Nalendra itu. 

       Hingga satu minggu kemudian, aku mendapati Nalendra berbincang dengan ibu sambil memberikan ibuku potongan buah. Aku lihat ibu menggenggam sebuah foto. Tapi aku tidak berani bertanya foto siapa itu. 

        Aku bertanya pada Nalendra, setelah ibu beristirahat.

“Kamu kemana saja!” tanyaku pada Nalendra tanpa basa-basi.

“Kamu kangen?” jawab Nalendra dengan tawa khasnya.

“Mungkin ibu iya, tapi aku tidak, aku pikir kamu gak akan balik lagi karena takut!”

“Haha, takut? Kenapa?”

“Ya, barangkali kamu tidak bisa menjelaskan Apa-apa padaku!” jawabku asal.

       Nalendra memberiku selembar foto. Sepertinya foto yang sama dengan yang dipeluk ibu. 

“Siapa dia?” tanyaku karena aku memang tidak mengenalnya.

“Namanya Bayu. Itu foto masa mudanya. Maaf aku tidak membawa foto masa sekarang. Karena hanya wajah itu, yang masih ibu Kemuning ingat!”

“Ibuku mengenalnya?”

Nalendra mengangguk. Pikiranku langsung melayang jauh. Sosok laki-laki yang ibu kenal. Tidak ada yang lain. Siapa lagi kalau bukan, yang ibu panggil Mas itu. Dia Ayahku.

        Spontan aku langsung mengembalikan foto itu pada Nalendra. Aku merasa tidak mengenalnya dan tidak mau jadi membencinya. Jika harus terus melihat wajahnya, maka yang aku lihat adalah penderitaan selama dua puluh lima tahun usiaku.

        Dia hidup. Tapi jiwanya melayang entah kemana. Aku terluka melihat ibu seperti itu seumur hidupku. Mungkin dulu waktu aku masih kecil, aku belum memahami apa pun tapi kini saat aku dewasa, aku mencoba memahami banyak hal. Biarpun sebenarnya aku ragu, apa aku benar-benar mengerti atau tidak. 

“Apa dia masih hidup?” tanyaku akhirnya 

“Nanti kamu akan tahu, tapi sebelum itu, besok aku akan mengajakmu ke suatu tempat!”

“Kemana?”

“Besok juga kamu pasti tahu!” 

***

       Kedatangan Nalendra yang membawa berita tentang ayah cukup membuatku terkejut. Mungkin aku memang sudah mencurigainya sejak awal. Tapi aku tidak sampai berpikir jika ia akan memberikan kabarnya padaku. 

       Kabar tentang dia yang belum pernah aku tahu sosoknya sejak aku lahir. Tentang dia yang kenapa tidak pernah datang untuk menjenguk ibu. Apakah ia pernah mencintai ibu seperti ibu mencintainya? Dan bagaimanakah caraku untuk menerima ini semua?

        Semalaman aku tak nyenyak tidur. Aku menunggu datangnya esok pagi karena akan mengetahui banyak hal. 

Nalendra pun datang menjemputku di rumah sakit. Setelah berpamitan dengan ibu, kami pun pergi. Entah ia akan mengajakku kemana. Tapi hatiku berdetak tak beraturan. 

        Kali ini, kami tidak naik bus kota. Nalendra ternyata memiliki mobil sendiri. Sebenarnya, apa hubungan Nalendra dengan dia yang mungkin seharusnya aku panggil ayah?

“Rajni, sebelum kita sampai ke tempat yang akan kita tuju. Aku ingin bertanya sesuatu padamu!”

“Apa?” tanyaku dengan heran. Sudah hampir setengah jam perjalanan, akhirnya ia memecahkan kesunyian dengan pertanyaan yang aneh.

“Apa kamu tidak ingat aku?”

“Maksudnya?” aku semakin heran saja.

“Aku tidak pernah berada jauh dari sisimu. Sejak kecil aku sudah diperintahkan Pak Bayu untuk selalu bersamamu. Saat-saat kamu sekolah, saat-saat kamu kuliah. Atau bahkan saat sekarang kamu sudah bekerja!”

Aku diam memperhatikan penjelasan Nalendra. Nalarku berputar, mencari jawaban dari pertanyaannya. Sejak awal wajah Nalendra memang terasa tidak asing. Namun aku tidak  apa pun.

“Ah, kamu memang sudah lupa denganku? Tapi tidak apa-apa. Aku senang bisa menjagamu sampai detik ini. Dulu kamu memang tidak pernah benar-benar memperhatikan aku. Hmm… bukan-bukan, sebenarnya aku yang malu dekat-dekat dengan perempuan secantik kamu!” nalendra mencoba membuatku tertawa.

           Penjagaku. Aku terkejut dan menutup mulut dengan kedua tanganku. Aku mulai mengingatnya. Dia adalah anak laki-laki itu. Laki-laki yang tidak pernah aku tahu namanya. Tapi dia selalu ada jika aku menangis karena ejekan dari kawan-kawan sekolahku. 

“Kamu?” 

“Haha, apa kamu sudah ingat?” Nalendra tersenyum padaku sambil mengusap kepalaku.

             Ya dia penjagaku. Seseorang yang kadang aku abaikan tapi dia tak pernah berhenti datang jika aku sedang bersedih. Laki-laki berkacamata ini, seperti sosok pengganti ayahku.

“Kamu, ada hubungan apa dengan ayahku?”

“Ah, akhirnya kamu bertanya juga. Tapi sebelum itu. Kita sudah sampai!” 

Nalendra membawaku ke sebuah komplek pemakaman. Aku semakin tidak mengerti apa hubungan semua ini.

Nalendra menggandeng tanganku. Dan mengajakku masuk ke area pemakaman. Tidak jauh dari pintu masuk, langkah Nalendra pun berhenti.

“Maafkan aku, baru bisa datang saat ini dan memberitahumu. Pak Bayu melarang aku untuk menceritakan tentang keadaannya padamu, apalagi pada ibumu!”

Di depanku kini, terlihat jelas sebuah batu nisan bertuliskan Bayu Prayoga. Nama yang sebenarnya tidak asing untukku, karena ibu sering menyebutkannya. Tapi yang tidak aku sangka, kenapa yang harus aku temui hanya pusaranya saja. Padahal sejak kecil, aku merindukan bisa menatap wajahnya.

          Tak terasa, pipiku basah. Aku berlutut di samping pusara ayah. Meremas tanah makamnya. Menunduk menahan isak. Aku tak ingin menangis. Tapi air mataku berontak untuk menetes. 

Nalendra pun berlutut di sampingku dan memelukku.

“Ayah dan ibumu hanyalah korban keegoisan sebuah keluarga. Mungkin dari luar ayahmu terlihat sebagai sosok yang kuat. Tapi hatinya, tak jauh berbeda dengan hancurnya hati Ibu Kemuning. Satu yang ia inginkan, kamu mengetahui kalau dia tidak pernah meninggalkanmu. Dia selalu ada untukmu meski harus melalui perantara. Yaitu aku!”

“Apa hubunganmu dengan ayah?”

“Aku hanya anak angkatnya saja!”

         Hening. Pikiranku penuh dengan pertanyaan mengapa? Bagaimana caraku memberitahukan tentang ini pada ibu? Aku tidak ingin melihat ibu semakin hancur.

***

      Sejak hari itu, aku dan Nalendra lebih sering menghabiskan waktu bersama. Aku memintanya menceritakan apa pun tentang sosok Bayu, ayahku. Sesekali aku terisak mendengar ceritanya. Namun sesekali juga entah mengapa, aku merasa dekat dengannya.

        Ah ibu, lelaki yang kau cinta itu telah lama tiada. Ia menjaga cintanya untukmu seperti dirimu. Esok lusa jika kau sudah pulih. Aku akan mengajakmu ke tempat peristirahatan terakhir sosok yang begitu kau rindukan itu.

         Ayah, jika di dunia aku tidak pernah mengetahui bagaimana wajahmu. Maka semoga di Surganya Allah kita dapat bertemu dan berkumpul bersama. Aku, ibu dan kau.


Selesai
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.