- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#14
Spoiler for Episode 5:
Drrt! Drrt! Drrt!Aku membuka mataku, jam dinding menunjukan pukul 5 pagi. Ku bangunkan badanku menjadi posisi duduk di atas kasur, beberapa detik pandanganku kosong hingga aku memutuskan untuk bangun. Ku ambil sebatang rokok dari kotaknya, ku nyalakan lalu aku keluar kamar menuju lantai bawah. Pintu kulkas ku buka, botol minuman ku ambil lalu aku kembali menuju kamar.
"Mana ya?..." aku mencari-cari remot TV di sekeliling meja, namun aku tidak menemukannya. Aku mencoba mencari di tempat lain, "nah ini dia ketemu juga. Tapi kenapa bisa di belakang pintu?"
TV sudah ku nyakakan, botol minuman sudah ku buka, rokok sudah menyala, adalah rutinitas hari libur yang bahagia. Beberapa jam sudah ku lalui hanya dengan menonton TV, hingga ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 8.
Ting! Ku ambil handphone dari atas meja, ada pesan masuk dari beberapa orang. Satu yang membuat mataku tertuju cukup lama yaitu pesan dari Renata, "Nanti aku jemput aja ya biar sekalian." Teringat semalam ketika aku sedang membaca tulisanku, tiba-tiba ada panggilan dari Renata.
"Halo Renata."
"Hai Adrian, aku ganggu ya?"
"Ngga kok, udah di rumah juga lagi santai."
"Oh gitu. Eh iya sweater kamu kebawa juga tadi sama aku."
"Nggapapa kok santai aja."
"Gini aja deh, besok bisa ketemuan ngga? Sekalian aku mau balikin sweater sama sendal kamu. Aku ke tempat kamu deh besok."
"Ngga bisa di sana, kita tiap hari Minggu libur."
"Oh gitu. Kalau di x mau ngga?"
"Boleh kok."
"Hm... Kamu lagi ngapain?"
Aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi karena Renata akan menuju rumahku pukul 9. Tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan semuanya, hingga selesai dan memakai baju seperti biasa hanya membutuhkan waktu 20 menit. Handphone, dompet, tidak lupa rokok sudah ada di tangan kanan dan tas kecil yang biasa ku gunakan ketika libur di tangan kiri. Kemudian aku turun ke lantai bawah, baru saja aku membuka pintu rumah datanglah mobil Renata yang perlahan parkir di depan rumah. Ia keluar dari mobil bersamaan dengan aku yang membuka pintu gerbang.
"Hai." Sapanya kemudian tersenyum.
"Hai..." aku menatap Renata beberapa saat hingga aku kembali tersadar, "silahkan masuk."
Renata berjalan masuk, aku mengikutinya dari belakang. Aku mempersilahkannya masuk ke ruang tamu, kemudian ia duduk di sofa.
"Eh aku nggapapa ke sini pagi-pagi?" Tanyanya.
"Nggapapa kok..." aku berjalan menuju dapur, "kamu mau minum apa Ren?"
Renata bangun dari duduknya lalu menghampiriku ke dapur dengan cepat, "Eh ngga usah malah ngerepotin masih pagi gini."
"Kalau gitu biar ngga ngerepotin..." aku mengambil botol minuman yang biasa ku minum, "ini ngga ngerepotin cuma kamu mau apa ngga?"
"Itu nggapapa, aku mau kok. Eh tapi kayaknya kamu suka banget sama minuman ini, kemarin pas balik dari kantin kamu beliin aku ini juga kan?" Katanya.
Krek! Aku membuka tutup botol lalu memberikan minuman itu kepada Renata, "Loh merhatiin ternyata, iya aku suka sama minuman ini."
Kami pun beranjak kembali menuju ruang tamu. Aku memutuskan untuk menyalakan TV entah kenapa, mungkin agar tidak terlalu sepi keadaan di ruang tamu ini.
"Ngomong-ngomong..." Renata menghadap ke arahku, "rumah kamu sepi banget, lagi pada keluar ya?"
"Kebetulan aku lagi sendirian sekarang, Ayah sama Ibu kerja di luar." Kataku.
"Oh kamu ngga ikut mereka?" Tanya Renata.
"Sayangnya ngga bisa..." aku mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tas kecil, "aku buka usaha jalan sebulan tiba-tiba mereka harus pindah tugas. Ngga mungkin aku ninggalin kerjaan aku di sini jadi ya sekarang sendirian deh. Eh aku ngerokok boleh?"
"Oh kamu ngerokok? Aku kira kamu ngga ngerokok." Renata sedikit terkejut.
"Emang ngga cocok ya kayak aku gini ngerokok? Tanyaku.
"Bukan gitu, soalnya kemarin pas kita selesai acara kan kamu sama sekali ngga ngerokok, jadi aku pikir kamu ngga ngerokok..." Renata membuka tas miliknya lalu mengeluarkan bungkus rokok, "sebenernya aku juga perokok, cuma ya karena kemarin aku pikir kamu lelaki sehat-sehat aja jadi aku tahan."
"Loh ya tinggal ngerokok aja kenapa ditahan? Yaudah lah sekarang udah sama-sama tau jadi silahkan." Kataku.
Kami saling menyalakan rokok kami masing-masing. Ting! Handphone milik Renata berbunyi, ia mengambilnya dari dalam tas. Aku tidak ingin mengganggu privasinya, hingga aku menghadapkan pandanganku pada TV. Aku sempat mengganti-ganti channel TV hingga Renata pun berkata, "Yah, kayaknya batal nih."
"Batal?..." aku kembali menatap Renata, "apa yang batal?"
"Ini loh kemarin kan aku ngajakin kamu ke x, cuma yang punya toko bilang kalau dia ngga jadi buka hari ini gara-gara ada urusan mendadak. Ngga jadi deh ke sana." Ucap Renata dengan nada sedikit kecewa.
"Kamu ngga punya tempat selain di situ? Kayaknya ada beberapa deh di deket kampus kita." Kataku.
"Aku kayak punya kebiasaan gitu, jadi sekalinya udah nemu tempat yang cocok bakalan ke sana terus mau ada yang lebih murah di tempat lain." Jelasnya.
"Yaudah lain kali aja nggapapa..." aku teringat akan satu hal tentang Renata, "oh iya kamu udah selesai baca Buku Harian Airin?"
Ia menoleh ke arahku cukup cepat, "Udah! Dan aku kaget aja kenapa si penulis..."
"Bentar!" aku memotong perkataan Renata yang membuatnya terdiam, "kamu mau ikut ke atas?"
Renata menyetujuinya, kami memutuskan untuk meninggalkan ruang tamu dan beranjak menuju kamarku. Ia mengikutiku dari belakang, ku buka pintu kamarku lalu ia pun masuk ke dalam. Aku mempersilahkannya untuk duduk di kursi sementara aku menyalakan laptop milikku.
"Kamu mau ngapain?" Tanyanya heran.
"Just tell me..." mataku tertuju pada layar laptop, "pendapat kamu tentang Buku Harian Airin."
Awalnya Renata terdiam dan nampak kebingungan dengan apa yang ku lakukan hingga akhirnya ia mulai angkat bicara, "Kalau boleh jujur, that was a good story. Si penulis udah nemuin gaya nulisnya, keliatan dari seri sebelumnya ke Buku Harian Airin. Plotnya juara menurutku, dari apa yang terjadi saat ini, apa yang terjadi pada masa lalu, dan apa yang terjadi di dalam buku harian. Karakternya pun punya kekuatan masing-masing yang bisa bikin semuanya punya kesan tersendiri..."
"Tapi ada yang bikin kecewa..." kali ini aku menatap matanya, "tiga update terakhir terlalu cepet, harusnya bisa dijelasin lagi lebih detail. Kemarin itu kesannya kayak si penulis mau buru-buru udahan entah karena apa, mungkin ada satu dan lain hal tapi sayang aja akhirnya harus secepat itu."
"Emang ada alasannya sih kenapa aku bikin lebih cepet daripada seharusnya..." aku mengarahkan layar laptop pada Renata, "aku ngerasa ngga pantes aja nyeritain yang lebih detail tentang orang yang udah ngga ada, dan permasalahannya ya aku ini bukan siapa- siapa."
Renata menatap ke arah layar laptop tersebut, beberapa saat ia terdiam hingga ia nampak terkejut lalu menatapku.
"Kamu..."
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil. Renata kembali menatap laptop, aku pun duduk di sampingnya. Aku membuka laci meja, beberapa tumpukkan buku dan kertas sudah bersatu.
"Ini harusnya lanjutan dari Buku Harian Airin?" Tanya Renata.
"Dan ini..." aku meletakkan buku catatan di atas meja, "saksinya."
Renata mengambil buku tersebut dan aku berhasil membuatnya terkejut untuk ke dua kalinya. Bukan satu, melainkan ada dua buku catatan yang ku berikan padanya.
Buku pertama adalah buku yang diisi oleh tulisan tangan yang sangat bagus dengan tulisan sambungnya yang sangat gampang sekali untuk dibaca, dan halaman pertama buku tersebut ada sebuah tulisan yang cukup besar menggunakan tinta merah bertuliskan "Airin".
Buku kedua, buku yang sebenarnya aku harap tidak pernah ada. Isi buku ini bukan hanya sebuah tulisan melainkan ada beberapa gambar skesta yang dibuat oleh sang pemilik sebelumnya. Sangat disayangkan dengan skesta yang sebagus itu tidak diikuti dengan tulisan yang baik. Tulisannya tidak teratur bahkan beberapa tulisan tidak selaras dengan garis buku, kertasnya pun nampak seperti kertas basah yang sudah dikeringkan lagi.
"Ini noda apa ya?" Tanya Renata.
Beberapa noda membekas di kertas tersebut. Nampak seperti bercak, dengan warnanya yang sudah menjadi coklat pikiranku pun melayang kemana-mana. Namun, aku akan selalu beranggapan bahwa, "Itu noda kopi, kamu pasti ngerti."
Beberapa saat Renata membaca tulisan-tulisan itu, lalu ia kembali menatap layar laptop, "Kamu ngga akan publish ini?"
"I stop the show untuk serial ini..." ku nyalakan sebatang rokok, "tapi kamu bisa baca itu di sini, tapi jangan minta aku buat kasih filenya. Lebih baik baca di sini aja."
Renata mengangguk pertanda setuju, ia pun mulai membaca satu dari sekian episode yang sudah ku buat. Ting! aku meraih handphoneku, ku lihat ada pesan dari Ferdi. Ia mengingatkan bahwa nanti malam kita akan menghadiri pernikahan mantan terakhirnya, aku pun membalas pesan tersebut.
"Ngomong-ngomong..." Renata menatapku, "kenapa kamu mau kasih liat aku semuanya?"
"You deserve it..." ku letakkan handphone di atas meja lalu aku pun menatapnya, "untuk pertama kalinya aku ketemu sama orang yang sama sekali ngga aku kenal terus dia baca apa yang aku buat di hadapan aku kayak waktu seminar kemarin. Itu momen terbaik yang pernah aku alamin. So, you deserve it."
"Makasih..." Renata pun tersenyum, kemudian ia menutup laptop milikku, "aku bisa baca ini lain kali kan Adrian?"
"Kamu tinggal ke sini aja kalau mau, soalnya aku jarang banget bawa laptop kemana-mana." Kataku.
"Oke aku setuju. Eh ngomong-ngomong aku nggapapa di kamar kamu?" Tanya Renata.
"Nggapapa kok cuma kalau kamu ngerasa ngga nyaman kita ke ruang tamu aja." Kataku.
"Bukan gitu, malah aku takutnya kamu yang ngga nyaman ada orang lain di kamar kamu." Jelasnya.
Aku pun tidak masalah dengan hal tersebut, meskipun harus aku akui bahwa Renata adalah teman wanita pertama yang masuk ke dalam kamarku. Selama ini aku selalu menjaga kamarku untuk tidak dimasuki wanita, entah kenapa rasanya tidak nyaman. Bertolak belakang dengan apa yang baru saja aku katakan, dengan mudahnya aku mempersilahkan Renata untuk masuk begitu saja ke dalam kamarku.
"Kamu suka main game?" Tanya Renata sambil menunjuk PS milikku.
"Salah satu hiburan yang bisa aku dapet ya dari main game..." aku menyalakan TV, "kadang game juga ngebantu buat inspirasi sih."
"Final Fantasy?"
Aku sangat terkejut mendengar apa yang baru saja ku dengar, "Loh kamu tau juga?"
Renata pun duduk di sampingku lalu berkata, "Aku juga suka main game kok. Bukan punya aku sih tapi punya adik aku, jadi kalau dia lagi ngga mainin ya aku mainin. Malah kadang-kadang aku yang beli gamenya."
"Waw..." aku tepuk tangan beberapa kali, "dan aku baru pertama kali lagi nih ketemu sama cewe yang suka main game ini. Mana yang menurut kamu paling bagus dari game ini?"
"Overall, Final Fantasy 6. Soalnya..."
"Ha? Kamu main semua serinya FF?" Kataku memotong pembicaraannya karena terkejut.
"Ngga sih, aku baru main tuh dari yang 3." Katanya.
"Oke oke oke, lanjutin." Kataku.
"Jadi kenapa menurut aku yang ke 6 yang paling bagus karena..."
Ia mulai menjelaskan dengan detil yang membuatku jujur saja kagum. Belakangan memang fenomena wanita dan game sedang naik daun bahkan ada atlet yang beranggotakan wanita semua. Namun ini berbeda, Renata yang ku pikir adalah seorang wanita yang tidak pernah menyentuh game malah menjadi seorang wanita yang cukup paham tentang game.
Tak terasa sudah dua jam kami bermain secara bergantian, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sudah merasa cukup, kami pun menyudahi permainan tersebut.
"Eh kamu pergi jam berapa nanti?" Tanya Renata.
"Sore sih jam 4 atau 5, soalnya agak jauh di x." Kataku.
"Kalau gitu aku pulang aja deh..."
"Eh ntar dulu..." aku memotong pembicaraannya, "kata Ibu kalau ada tamu harus dikasih makan sama minum. Jangan sampai pulang dari sini dia beli makan sendiri. Jadi tunggu sampe makan siang baru deh kamu boleh pulang."
"Tuh kan malah aku yang ngerepotin lagi, ngga usah lah." Kata Renata.
"Itu amanah dari Ibu loh..." aku membuka pintu kamar, "udah ayo makan dulu."
Kami pun turun menuju ruang tamu. Karena saat ini aku tinggal sendirian, aku lebih sering membeli makanan di luar. Singkat cerita makanan pun tiba, kami mulai memakan makanan tersebut. Sesekali kami masih membicarakan tentang game atau hal lainnya.
Tepat jam 3 sore, akhirnya Renata berpamitan untuk pulang. Aku pun mengantarmya menuju mobil.
"Adrian, makasih ya buat hari ini. Aku pulang ya." Kata Renata.
Aku tersenyum membalasnya, mobilnya pun melaju meninggalkan rumah dan menghilang di belokan jalan. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap untuk pergi. Selang 30 menit kemudian, aku melihat di luar sudah ada mobil terparkir. Ku buka pintu rumah dan aku menemukan Ferdi sedang duduk di teras dengan rokok yang sudah menyala di tangan kanannya.
"Ngapain lu di luar bukannya masuk ke dalem?" Tanyaku.
Ia tidak menjawab, aku pun menghampirinya. Aku melihat Ferdi dengan tatapan kosong, ku pikir ada sesuatu yang aneh terjadi padanya hingga aku menamparnya pelan.
Plak! Ia pun terkejut, "Kenapa gue ditampar?"
"Loh gue pikir lu kesurupan, diem gitu aja tatapan kosong." Kataku.
"Mana ada kesurupan sore-sore begini..." Ia menegakkan posisi duduknya, "ada-ada aja lu."
Aku pun duduk di sampingnya lalu menyalakan sebatang rokok, "Ada lah, lu ngga inget dulu siang-siang aja di sekolah ada yang kesurupan massal. Ngomong-ngomong kenapa bengong lu?"
Kebulan asap keluar dari dalam mulutnya, lalu ia berkata, "Kok gue ragu ya mau dateng ke sana, apa kita batalin aja?"
"Jangan belagak gila, apa susahnya tinggal dateng terus salaman, makan, pulang? Lagian juga udah diundang, kita libur pula." Kataku.
Ferdi terdiam lalu menatapku, "Jadi ini ya yang lu rasain pas si itu nikah?"
"Bajing*n!" aku berdiri lalu mengambil kunci mobilnya, "udah ayo berangkat."
Ia tertawa, dan akhirnya kami pun berangkat pada sore ini. Tempat yang kami tuju memang cukup jauh, rasanya memang malas untuk datang. Namun undangan diberikan langsung yang membuatku berfikir untuk tetap datang sejauh apapun.
Satu jam berlalu, kami masih berada di jalan tol. Ferdi sibuk dengan kemudinya sedangkan aku hanya diam memandangi jalanan sambil mendengarkan lagu dari mobilnya. Ting! Pesan Renata masuk, aku pun membacanya lalu membalasnya. Kegiatan itu aku lakukan cukup lama hingga Ferdi pun menyadarinya.
"Tumben amat lu nunduk terus? Kayaknya udah ada pendamping nih kalau diliat-liat dari fotonya." Kata Ferdi.
"Mana ada pendamping..." ku masukkan handphone ke dalam saku batik, "nah lu udah bahas pendamping gue jadi inget, buat acara yang itu gimana?"
"Oh itu, aman terkendali semuanya. Malah kita dapet keuntungan gitu lah buat di sana. Berarti kita tinggal cari asisten buat lu di sana nih, masalahnya belum ada yang oke. Lu ngga punya rekomendasi orang gitu? Soalnya H-3 kita harus report buat ID Card." Kata Ferdi.
"Belum ada sih. Ntar gue coba cari deh." Kataku.
Satu jam kembali berlalu, total sudah dua jam kami berada di dalam mobil ini. Hingga akhirnya mobil ini keluar dari jalan tol dan kami memasuki sebuah hotel dimana acara pernikahan itu diselenggarakan. Setelah parkir, kami pun masuk ke dalam hotel menuju ballroom menggunakan lift.
Ting! Pintu lift terbuka, kami pun keluar dan sudah melihat cukup banyak orang yang datang. Kami memilih bangku yang dekat dengan akses jalan, dan tak lama kemudian acara pun dimulai.
Sambutan dari masing-masing keluarga sudah terucap, kemudian masuklah kedua mempelai berjalan dengan anggun melewati para tamu undangan yang bertepuk tangan dengan meriah. Sesekali aku melihat ke arah Ferdi, ia ikut bertepuk tangan namun wajahnya tanpa ekspresi.
Pengantin sudah mengucap janji suci, mereka pun berciuman diikuti tepuk tangan para tamu undangan yang semakin meriah. Aku kembali melihat ke arah Ferdi, ia masih sama. Aku pun mengajaknya untuk makan terlebih dahulu karena cukup ramai orang-orang yang menyalami mereka.
Ferdi pun masih sama, ia nampak kosong meskipun sedang memakan makanan kesukaannya. Tidak banyak yang bisa aku lakukan, aku hanya memberinya waktu untuk dirinya sendiri. Dan akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri kedua mempelai.
"Selamat ya atas pernikahannya..." kataku menyalami mempelai pria, lalu aku beranjak menuju mempelai wanita, "Dela, selamat ya atas pernikahannya."
"Adrian, makasih ya udah dateng jauh-jauh..." ia menjabat tanganku, "kamu dateng sendiri?"
"Kamu pasti tau lah aku dateng sama siapa..."
Ferdi pun menghampirinya lalu mengulurkan tangan padanya, "Selamat ya Del atas pernikahannya." Dan akhirnya aku bisa melihat Ferdi tersenyum saat ini.
Dela menjabat tangan Ferdi, "Makasih ya Fer udah mau dateng juga, aku kira yang dateng cuma Adrian sendiri."
"Ngga mungkin dong, masa iya dia mau naik motornya ke sini. Dia juga ngga bisa nyetir." Jelas Ferdi.
"Udah lah basa-basinya, ngga enak udah banyak yang ngantri tuh. Sekali lagi selamat ya Del." Kataku.
Ferdi ikut berpamitan, kami pun memutuskan untuk langsung pulang meninggalkan tempat ini. Mobil sudah keluar dari parkiran, aku dan Ferdi sudah menyalakan sebatang rokok. Aku menatap Ferdi sekali lagi, nampaknya ia sudah bisa menerima semuanya.
"Ngapain lu ngeliatin gue begitu? Ntar naksir, gue masih normal." Katanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
"Lega kan?" Tanyaku singkat.
"Banget! Berasa semua yang ada di dalem hati gue keluar gitu aja, lepas tanpa ada halangan." Katanya.
"Kan gue bilang apa tadi sore. Sekarang tinggal pendekatan aja sama si wanita itu." Kataku.
"Wanita itu? Vero?" Kata Ferdi bingung.
"Oh jadi namanya Vero? Baru tau gue, iya itu sama si Vero." Kataku.
"Mana ada urusannya sama dia, dia kan partner kita buat acara itu. Lagian juga gue ngga ada pikiran buat ngedeketin dia." Jelasnya.
"Lamban laun juga lu bakalan kepincut sama dia..." aku mengeluarkan dompet dari saku celana, "abis acara itu selesai, gue berani taruhan pakai semua isi dompet gue. Lu bakalan cerita ke gue soal pendekatan sama Vero."
"Serius semua isi dompet lu? Termasuk semua depositonya?" Tanya Ferdi penasaran.
Aku mengangguk, kemudian, "Tapi harus ada yang setimpal kalau ucapan gue bener. Lu mau ngasih gue apa?"
Ferdi menunjuk ke seberang jalan, ada showroom mobil di sana. Ia pun berkata, "Pilih mau yang mana kalau ucapan lu bener."
"Ah bangke! Udah tau gue ngga bisa nyetir." Kataku.
Ferdi pun tertawa, kami pun melanjutkan perjalanan kami pada malam hari ini. Aku merasa bangga ketika Ferdi sudah bisa menerima kenyataan dan tidak larut dalam kesedihan yang oernah ia alami. Begitu pun juga dengan semua orang, mereka berhak untuk bersedih namun tidak untuk larut dalam kesedihan.
"Kenapa sih lu ngga mau nyetir?"
"Berisik!"
***
"Mana ya?..." aku mencari-cari remot TV di sekeliling meja, namun aku tidak menemukannya. Aku mencoba mencari di tempat lain, "nah ini dia ketemu juga. Tapi kenapa bisa di belakang pintu?"
TV sudah ku nyakakan, botol minuman sudah ku buka, rokok sudah menyala, adalah rutinitas hari libur yang bahagia. Beberapa jam sudah ku lalui hanya dengan menonton TV, hingga ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 8.
Ting! Ku ambil handphone dari atas meja, ada pesan masuk dari beberapa orang. Satu yang membuat mataku tertuju cukup lama yaitu pesan dari Renata, "Nanti aku jemput aja ya biar sekalian." Teringat semalam ketika aku sedang membaca tulisanku, tiba-tiba ada panggilan dari Renata.
"Halo Renata."
"Hai Adrian, aku ganggu ya?"
"Ngga kok, udah di rumah juga lagi santai."
"Oh gitu. Eh iya sweater kamu kebawa juga tadi sama aku."
"Nggapapa kok santai aja."
"Gini aja deh, besok bisa ketemuan ngga? Sekalian aku mau balikin sweater sama sendal kamu. Aku ke tempat kamu deh besok."
"Ngga bisa di sana, kita tiap hari Minggu libur."
"Oh gitu. Kalau di x mau ngga?"
"Boleh kok."
"Hm... Kamu lagi ngapain?"
Aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi karena Renata akan menuju rumahku pukul 9. Tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan semuanya, hingga selesai dan memakai baju seperti biasa hanya membutuhkan waktu 20 menit. Handphone, dompet, tidak lupa rokok sudah ada di tangan kanan dan tas kecil yang biasa ku gunakan ketika libur di tangan kiri. Kemudian aku turun ke lantai bawah, baru saja aku membuka pintu rumah datanglah mobil Renata yang perlahan parkir di depan rumah. Ia keluar dari mobil bersamaan dengan aku yang membuka pintu gerbang.
"Hai." Sapanya kemudian tersenyum.
"Hai..." aku menatap Renata beberapa saat hingga aku kembali tersadar, "silahkan masuk."
Renata berjalan masuk, aku mengikutinya dari belakang. Aku mempersilahkannya masuk ke ruang tamu, kemudian ia duduk di sofa.
"Eh aku nggapapa ke sini pagi-pagi?" Tanyanya.
"Nggapapa kok..." aku berjalan menuju dapur, "kamu mau minum apa Ren?"
Renata bangun dari duduknya lalu menghampiriku ke dapur dengan cepat, "Eh ngga usah malah ngerepotin masih pagi gini."
"Kalau gitu biar ngga ngerepotin..." aku mengambil botol minuman yang biasa ku minum, "ini ngga ngerepotin cuma kamu mau apa ngga?"
"Itu nggapapa, aku mau kok. Eh tapi kayaknya kamu suka banget sama minuman ini, kemarin pas balik dari kantin kamu beliin aku ini juga kan?" Katanya.
Krek! Aku membuka tutup botol lalu memberikan minuman itu kepada Renata, "Loh merhatiin ternyata, iya aku suka sama minuman ini."
Kami pun beranjak kembali menuju ruang tamu. Aku memutuskan untuk menyalakan TV entah kenapa, mungkin agar tidak terlalu sepi keadaan di ruang tamu ini.
"Ngomong-ngomong..." Renata menghadap ke arahku, "rumah kamu sepi banget, lagi pada keluar ya?"
"Kebetulan aku lagi sendirian sekarang, Ayah sama Ibu kerja di luar." Kataku.
"Oh kamu ngga ikut mereka?" Tanya Renata.
"Sayangnya ngga bisa..." aku mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tas kecil, "aku buka usaha jalan sebulan tiba-tiba mereka harus pindah tugas. Ngga mungkin aku ninggalin kerjaan aku di sini jadi ya sekarang sendirian deh. Eh aku ngerokok boleh?"
"Oh kamu ngerokok? Aku kira kamu ngga ngerokok." Renata sedikit terkejut.
"Emang ngga cocok ya kayak aku gini ngerokok? Tanyaku.
"Bukan gitu, soalnya kemarin pas kita selesai acara kan kamu sama sekali ngga ngerokok, jadi aku pikir kamu ngga ngerokok..." Renata membuka tas miliknya lalu mengeluarkan bungkus rokok, "sebenernya aku juga perokok, cuma ya karena kemarin aku pikir kamu lelaki sehat-sehat aja jadi aku tahan."
"Loh ya tinggal ngerokok aja kenapa ditahan? Yaudah lah sekarang udah sama-sama tau jadi silahkan." Kataku.
Kami saling menyalakan rokok kami masing-masing. Ting! Handphone milik Renata berbunyi, ia mengambilnya dari dalam tas. Aku tidak ingin mengganggu privasinya, hingga aku menghadapkan pandanganku pada TV. Aku sempat mengganti-ganti channel TV hingga Renata pun berkata, "Yah, kayaknya batal nih."
"Batal?..." aku kembali menatap Renata, "apa yang batal?"
"Ini loh kemarin kan aku ngajakin kamu ke x, cuma yang punya toko bilang kalau dia ngga jadi buka hari ini gara-gara ada urusan mendadak. Ngga jadi deh ke sana." Ucap Renata dengan nada sedikit kecewa.
"Kamu ngga punya tempat selain di situ? Kayaknya ada beberapa deh di deket kampus kita." Kataku.
"Aku kayak punya kebiasaan gitu, jadi sekalinya udah nemu tempat yang cocok bakalan ke sana terus mau ada yang lebih murah di tempat lain." Jelasnya.
"Yaudah lain kali aja nggapapa..." aku teringat akan satu hal tentang Renata, "oh iya kamu udah selesai baca Buku Harian Airin?"
Ia menoleh ke arahku cukup cepat, "Udah! Dan aku kaget aja kenapa si penulis..."
"Bentar!" aku memotong perkataan Renata yang membuatnya terdiam, "kamu mau ikut ke atas?"
Renata menyetujuinya, kami memutuskan untuk meninggalkan ruang tamu dan beranjak menuju kamarku. Ia mengikutiku dari belakang, ku buka pintu kamarku lalu ia pun masuk ke dalam. Aku mempersilahkannya untuk duduk di kursi sementara aku menyalakan laptop milikku.
"Kamu mau ngapain?" Tanyanya heran.
"Just tell me..." mataku tertuju pada layar laptop, "pendapat kamu tentang Buku Harian Airin."
Awalnya Renata terdiam dan nampak kebingungan dengan apa yang ku lakukan hingga akhirnya ia mulai angkat bicara, "Kalau boleh jujur, that was a good story. Si penulis udah nemuin gaya nulisnya, keliatan dari seri sebelumnya ke Buku Harian Airin. Plotnya juara menurutku, dari apa yang terjadi saat ini, apa yang terjadi pada masa lalu, dan apa yang terjadi di dalam buku harian. Karakternya pun punya kekuatan masing-masing yang bisa bikin semuanya punya kesan tersendiri..."
"Tapi ada yang bikin kecewa..." kali ini aku menatap matanya, "tiga update terakhir terlalu cepet, harusnya bisa dijelasin lagi lebih detail. Kemarin itu kesannya kayak si penulis mau buru-buru udahan entah karena apa, mungkin ada satu dan lain hal tapi sayang aja akhirnya harus secepat itu."
"Emang ada alasannya sih kenapa aku bikin lebih cepet daripada seharusnya..." aku mengarahkan layar laptop pada Renata, "aku ngerasa ngga pantes aja nyeritain yang lebih detail tentang orang yang udah ngga ada, dan permasalahannya ya aku ini bukan siapa- siapa."
Renata menatap ke arah layar laptop tersebut, beberapa saat ia terdiam hingga ia nampak terkejut lalu menatapku.
"Kamu..."
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil. Renata kembali menatap laptop, aku pun duduk di sampingnya. Aku membuka laci meja, beberapa tumpukkan buku dan kertas sudah bersatu.
"Ini harusnya lanjutan dari Buku Harian Airin?" Tanya Renata.
"Dan ini..." aku meletakkan buku catatan di atas meja, "saksinya."
Renata mengambil buku tersebut dan aku berhasil membuatnya terkejut untuk ke dua kalinya. Bukan satu, melainkan ada dua buku catatan yang ku berikan padanya.
Buku pertama adalah buku yang diisi oleh tulisan tangan yang sangat bagus dengan tulisan sambungnya yang sangat gampang sekali untuk dibaca, dan halaman pertama buku tersebut ada sebuah tulisan yang cukup besar menggunakan tinta merah bertuliskan "Airin".
Buku kedua, buku yang sebenarnya aku harap tidak pernah ada. Isi buku ini bukan hanya sebuah tulisan melainkan ada beberapa gambar skesta yang dibuat oleh sang pemilik sebelumnya. Sangat disayangkan dengan skesta yang sebagus itu tidak diikuti dengan tulisan yang baik. Tulisannya tidak teratur bahkan beberapa tulisan tidak selaras dengan garis buku, kertasnya pun nampak seperti kertas basah yang sudah dikeringkan lagi.
"Ini noda apa ya?" Tanya Renata.
Beberapa noda membekas di kertas tersebut. Nampak seperti bercak, dengan warnanya yang sudah menjadi coklat pikiranku pun melayang kemana-mana. Namun, aku akan selalu beranggapan bahwa, "Itu noda kopi, kamu pasti ngerti."
Beberapa saat Renata membaca tulisan-tulisan itu, lalu ia kembali menatap layar laptop, "Kamu ngga akan publish ini?"
"I stop the show untuk serial ini..." ku nyalakan sebatang rokok, "tapi kamu bisa baca itu di sini, tapi jangan minta aku buat kasih filenya. Lebih baik baca di sini aja."
Renata mengangguk pertanda setuju, ia pun mulai membaca satu dari sekian episode yang sudah ku buat. Ting! aku meraih handphoneku, ku lihat ada pesan dari Ferdi. Ia mengingatkan bahwa nanti malam kita akan menghadiri pernikahan mantan terakhirnya, aku pun membalas pesan tersebut.
"Ngomong-ngomong..." Renata menatapku, "kenapa kamu mau kasih liat aku semuanya?"
"You deserve it..." ku letakkan handphone di atas meja lalu aku pun menatapnya, "untuk pertama kalinya aku ketemu sama orang yang sama sekali ngga aku kenal terus dia baca apa yang aku buat di hadapan aku kayak waktu seminar kemarin. Itu momen terbaik yang pernah aku alamin. So, you deserve it."
"Makasih..." Renata pun tersenyum, kemudian ia menutup laptop milikku, "aku bisa baca ini lain kali kan Adrian?"
"Kamu tinggal ke sini aja kalau mau, soalnya aku jarang banget bawa laptop kemana-mana." Kataku.
"Oke aku setuju. Eh ngomong-ngomong aku nggapapa di kamar kamu?" Tanya Renata.
"Nggapapa kok cuma kalau kamu ngerasa ngga nyaman kita ke ruang tamu aja." Kataku.
"Bukan gitu, malah aku takutnya kamu yang ngga nyaman ada orang lain di kamar kamu." Jelasnya.
Aku pun tidak masalah dengan hal tersebut, meskipun harus aku akui bahwa Renata adalah teman wanita pertama yang masuk ke dalam kamarku. Selama ini aku selalu menjaga kamarku untuk tidak dimasuki wanita, entah kenapa rasanya tidak nyaman. Bertolak belakang dengan apa yang baru saja aku katakan, dengan mudahnya aku mempersilahkan Renata untuk masuk begitu saja ke dalam kamarku.
"Kamu suka main game?" Tanya Renata sambil menunjuk PS milikku.
"Salah satu hiburan yang bisa aku dapet ya dari main game..." aku menyalakan TV, "kadang game juga ngebantu buat inspirasi sih."
"Final Fantasy?"
Aku sangat terkejut mendengar apa yang baru saja ku dengar, "Loh kamu tau juga?"
Renata pun duduk di sampingku lalu berkata, "Aku juga suka main game kok. Bukan punya aku sih tapi punya adik aku, jadi kalau dia lagi ngga mainin ya aku mainin. Malah kadang-kadang aku yang beli gamenya."
"Waw..." aku tepuk tangan beberapa kali, "dan aku baru pertama kali lagi nih ketemu sama cewe yang suka main game ini. Mana yang menurut kamu paling bagus dari game ini?"
"Overall, Final Fantasy 6. Soalnya..."
"Ha? Kamu main semua serinya FF?" Kataku memotong pembicaraannya karena terkejut.
"Ngga sih, aku baru main tuh dari yang 3." Katanya.
"Oke oke oke, lanjutin." Kataku.
"Jadi kenapa menurut aku yang ke 6 yang paling bagus karena..."
Ia mulai menjelaskan dengan detil yang membuatku jujur saja kagum. Belakangan memang fenomena wanita dan game sedang naik daun bahkan ada atlet yang beranggotakan wanita semua. Namun ini berbeda, Renata yang ku pikir adalah seorang wanita yang tidak pernah menyentuh game malah menjadi seorang wanita yang cukup paham tentang game.
Tak terasa sudah dua jam kami bermain secara bergantian, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sudah merasa cukup, kami pun menyudahi permainan tersebut.
"Eh kamu pergi jam berapa nanti?" Tanya Renata.
"Sore sih jam 4 atau 5, soalnya agak jauh di x." Kataku.
"Kalau gitu aku pulang aja deh..."
"Eh ntar dulu..." aku memotong pembicaraannya, "kata Ibu kalau ada tamu harus dikasih makan sama minum. Jangan sampai pulang dari sini dia beli makan sendiri. Jadi tunggu sampe makan siang baru deh kamu boleh pulang."
"Tuh kan malah aku yang ngerepotin lagi, ngga usah lah." Kata Renata.
"Itu amanah dari Ibu loh..." aku membuka pintu kamar, "udah ayo makan dulu."
Kami pun turun menuju ruang tamu. Karena saat ini aku tinggal sendirian, aku lebih sering membeli makanan di luar. Singkat cerita makanan pun tiba, kami mulai memakan makanan tersebut. Sesekali kami masih membicarakan tentang game atau hal lainnya.
Tepat jam 3 sore, akhirnya Renata berpamitan untuk pulang. Aku pun mengantarmya menuju mobil.
"Adrian, makasih ya buat hari ini. Aku pulang ya." Kata Renata.
Aku tersenyum membalasnya, mobilnya pun melaju meninggalkan rumah dan menghilang di belokan jalan. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap untuk pergi. Selang 30 menit kemudian, aku melihat di luar sudah ada mobil terparkir. Ku buka pintu rumah dan aku menemukan Ferdi sedang duduk di teras dengan rokok yang sudah menyala di tangan kanannya.
"Ngapain lu di luar bukannya masuk ke dalem?" Tanyaku.
Ia tidak menjawab, aku pun menghampirinya. Aku melihat Ferdi dengan tatapan kosong, ku pikir ada sesuatu yang aneh terjadi padanya hingga aku menamparnya pelan.
Plak! Ia pun terkejut, "Kenapa gue ditampar?"
"Loh gue pikir lu kesurupan, diem gitu aja tatapan kosong." Kataku.
"Mana ada kesurupan sore-sore begini..." Ia menegakkan posisi duduknya, "ada-ada aja lu."
Aku pun duduk di sampingnya lalu menyalakan sebatang rokok, "Ada lah, lu ngga inget dulu siang-siang aja di sekolah ada yang kesurupan massal. Ngomong-ngomong kenapa bengong lu?"
Kebulan asap keluar dari dalam mulutnya, lalu ia berkata, "Kok gue ragu ya mau dateng ke sana, apa kita batalin aja?"
"Jangan belagak gila, apa susahnya tinggal dateng terus salaman, makan, pulang? Lagian juga udah diundang, kita libur pula." Kataku.
Ferdi terdiam lalu menatapku, "Jadi ini ya yang lu rasain pas si itu nikah?"
"Bajing*n!" aku berdiri lalu mengambil kunci mobilnya, "udah ayo berangkat."
Ia tertawa, dan akhirnya kami pun berangkat pada sore ini. Tempat yang kami tuju memang cukup jauh, rasanya memang malas untuk datang. Namun undangan diberikan langsung yang membuatku berfikir untuk tetap datang sejauh apapun.
Satu jam berlalu, kami masih berada di jalan tol. Ferdi sibuk dengan kemudinya sedangkan aku hanya diam memandangi jalanan sambil mendengarkan lagu dari mobilnya. Ting! Pesan Renata masuk, aku pun membacanya lalu membalasnya. Kegiatan itu aku lakukan cukup lama hingga Ferdi pun menyadarinya.
"Tumben amat lu nunduk terus? Kayaknya udah ada pendamping nih kalau diliat-liat dari fotonya." Kata Ferdi.
"Mana ada pendamping..." ku masukkan handphone ke dalam saku batik, "nah lu udah bahas pendamping gue jadi inget, buat acara yang itu gimana?"
"Oh itu, aman terkendali semuanya. Malah kita dapet keuntungan gitu lah buat di sana. Berarti kita tinggal cari asisten buat lu di sana nih, masalahnya belum ada yang oke. Lu ngga punya rekomendasi orang gitu? Soalnya H-3 kita harus report buat ID Card." Kata Ferdi.
"Belum ada sih. Ntar gue coba cari deh." Kataku.
Satu jam kembali berlalu, total sudah dua jam kami berada di dalam mobil ini. Hingga akhirnya mobil ini keluar dari jalan tol dan kami memasuki sebuah hotel dimana acara pernikahan itu diselenggarakan. Setelah parkir, kami pun masuk ke dalam hotel menuju ballroom menggunakan lift.
Ting! Pintu lift terbuka, kami pun keluar dan sudah melihat cukup banyak orang yang datang. Kami memilih bangku yang dekat dengan akses jalan, dan tak lama kemudian acara pun dimulai.
Sambutan dari masing-masing keluarga sudah terucap, kemudian masuklah kedua mempelai berjalan dengan anggun melewati para tamu undangan yang bertepuk tangan dengan meriah. Sesekali aku melihat ke arah Ferdi, ia ikut bertepuk tangan namun wajahnya tanpa ekspresi.
Pengantin sudah mengucap janji suci, mereka pun berciuman diikuti tepuk tangan para tamu undangan yang semakin meriah. Aku kembali melihat ke arah Ferdi, ia masih sama. Aku pun mengajaknya untuk makan terlebih dahulu karena cukup ramai orang-orang yang menyalami mereka.
Ferdi pun masih sama, ia nampak kosong meskipun sedang memakan makanan kesukaannya. Tidak banyak yang bisa aku lakukan, aku hanya memberinya waktu untuk dirinya sendiri. Dan akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri kedua mempelai.
"Selamat ya atas pernikahannya..." kataku menyalami mempelai pria, lalu aku beranjak menuju mempelai wanita, "Dela, selamat ya atas pernikahannya."
"Adrian, makasih ya udah dateng jauh-jauh..." ia menjabat tanganku, "kamu dateng sendiri?"
"Kamu pasti tau lah aku dateng sama siapa..."
Ferdi pun menghampirinya lalu mengulurkan tangan padanya, "Selamat ya Del atas pernikahannya." Dan akhirnya aku bisa melihat Ferdi tersenyum saat ini.
Dela menjabat tangan Ferdi, "Makasih ya Fer udah mau dateng juga, aku kira yang dateng cuma Adrian sendiri."
"Ngga mungkin dong, masa iya dia mau naik motornya ke sini. Dia juga ngga bisa nyetir." Jelas Ferdi.
"Udah lah basa-basinya, ngga enak udah banyak yang ngantri tuh. Sekali lagi selamat ya Del." Kataku.
Ferdi ikut berpamitan, kami pun memutuskan untuk langsung pulang meninggalkan tempat ini. Mobil sudah keluar dari parkiran, aku dan Ferdi sudah menyalakan sebatang rokok. Aku menatap Ferdi sekali lagi, nampaknya ia sudah bisa menerima semuanya.
"Ngapain lu ngeliatin gue begitu? Ntar naksir, gue masih normal." Katanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
"Lega kan?" Tanyaku singkat.
"Banget! Berasa semua yang ada di dalem hati gue keluar gitu aja, lepas tanpa ada halangan." Katanya.
"Kan gue bilang apa tadi sore. Sekarang tinggal pendekatan aja sama si wanita itu." Kataku.
"Wanita itu? Vero?" Kata Ferdi bingung.
"Oh jadi namanya Vero? Baru tau gue, iya itu sama si Vero." Kataku.
"Mana ada urusannya sama dia, dia kan partner kita buat acara itu. Lagian juga gue ngga ada pikiran buat ngedeketin dia." Jelasnya.
"Lamban laun juga lu bakalan kepincut sama dia..." aku mengeluarkan dompet dari saku celana, "abis acara itu selesai, gue berani taruhan pakai semua isi dompet gue. Lu bakalan cerita ke gue soal pendekatan sama Vero."
"Serius semua isi dompet lu? Termasuk semua depositonya?" Tanya Ferdi penasaran.
Aku mengangguk, kemudian, "Tapi harus ada yang setimpal kalau ucapan gue bener. Lu mau ngasih gue apa?"
Ferdi menunjuk ke seberang jalan, ada showroom mobil di sana. Ia pun berkata, "Pilih mau yang mana kalau ucapan lu bener."
"Ah bangke! Udah tau gue ngga bisa nyetir." Kataku.
Ferdi pun tertawa, kami pun melanjutkan perjalanan kami pada malam hari ini. Aku merasa bangga ketika Ferdi sudah bisa menerima kenyataan dan tidak larut dalam kesedihan yang oernah ia alami. Begitu pun juga dengan semua orang, mereka berhak untuk bersedih namun tidak untuk larut dalam kesedihan.
"Kenapa sih lu ngga mau nyetir?"
"Berisik!"
***
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas