Kaskus

Story

suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Kumpulan Cerita Romantis Bikin Baper

Cinta Bersemi di Kedai Serabi

Sumber: gambar di sini

Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.

Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.

Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.

"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"

"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.

Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.

"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.

Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.

Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.

"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.

Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.

"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.

"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.

Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.

Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.

"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.

Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.

“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.

“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.

“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.

“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.

“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”

Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.

Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.

“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”

Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.

“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.

“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.

“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.

“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.

“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”

“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.

“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”

“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”

“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.

“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.

“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.

“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”

“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”

“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”

“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.

“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.

“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.

“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”

“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”

Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.

“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”

Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.

“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.

Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.

Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.

“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.

“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.

Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.

“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.

“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”

Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.

“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.

Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.

“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.

“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.

“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.

“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.

Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.

“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.

Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.

“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.

“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.

Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”

“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.

Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”

“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.

“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.

Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”

Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]

Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 09:33
lianasari993Avatar border
firdainayahAvatar border
novianalindaAvatar border
novianalinda dan 79 lainnya memberi reputasi
80
14.2K
634
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
#64
Dyah Pitaloka
Between Love and Sorrow

kaskus-image

Sumber: gambar di sini

Saya Gajah Mada, Patih Amangkubumi Kerajaan Majapahit bersumpah, tidak akan menikmati Amukti Palapa sebelum berhasil menguasai Garun, Serah, Tanjungpura, Haru, Pahan, Dompo, Bali, Palembang, Tumasik, dan Padjajaran. ( SUMPAH PALAPA)

Pakuan Pajajaran (1340 Masehi)

Pangeran Linggabuana tampak sedang gelisah, gurat kekuatiran tampak jelas di wajahnya. Sudah satu jam lamanya ia hanya mondar-mandir tak jelas, berjalan ke sana kemari. Keringatnya bercucuran, ia terlihat sangat gundah.

“Sabarlah wahai putraku, tenangkan dirimu. Istrimu itu sosok yang kuat, ia pasti akan baik-baik saja.” Maharaja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa pun sebenarnya gelisah, namun ia berusaha terlihat tenang, untuk menghibur putranya.

“Selamat, Tuanku, .bayinya sehat, ibunya pun baik-baik saja.” Suara seorang perempuan berusia 50 tahunan itu, yang baru saja membantu persalinan Dewi Lara Linsing, bagaikan oase di tengah padang pasir. Membuat hati sang Raja dan Pangeran yang diliputi gundah seketika berubah lega. Mereka bergegas menghampiri sang Permaisuri yang masih terbaring lemas.

“Lihatlah putraku, betapa cantiknya cucuku ini.” Sang Raja begitu sukacita menyambut kelahiran cucunya. Binar bahagia terpancar jelas di wajahnya yang sudah menua itu.

Pangeran Linggabuana pun tak kalah bahagianya. Digendongnya bayi itu. Pandangan matanya terpaku pada wajah sang bayi. Ia pun mengakui putrinya yang baru lahir ke dunia ini memang sangat cantik. Parasnya begitu mirip ibundanya, yang juga memiliki kecantikan yang sempurna, bak bidadari surga. Hal inilah yang membuat Pangeran Linggabuana jatuh cinta pada Dewi Lara Linsing.

Sang Raja mengambil bayi itu dari gendongan putranya. “Aku akan menamainya Dyah Pitaloka Citraresmi.” Ia menimang-nimang cucunya itu. Bayi itu pun tersenyum, merasa nyaman dan hangat berada dalam gendongan kakeknya.

“Putraku, mari kita buat pesta menyambut kelahiran cucuku. Undang semua rakyat, jangan ada yang terlewat.”

“Baik Ayahanda.”

Malam harinya, berlangsunglah pesta penyambutan kelahiran Dyah Pitaloka. Bukan hanya Raja dan keluarganya saja yang berbahagia, tetapi seluruh rakyat Pakuan Pajajaran pun begitu sukacita menyambut anggota baru di kerajaan.
***
1350 Masehi, meninggalnya sang Raja

Life is never flat, kehidupan memang penuh warna. Suka dan duka, tangis dan tawa datang silih berganti. Bagaikan roda yang berputar, kadang di atas, kadang juga di bawah. Begitu pun siklus kehidupan, ada masanya, ada kelahiran ada pula kematian. Sebagai manusia, kita hanya mampu menerima takdir yang telah digariskan sang Pencipta. Jika sudah waktunya, semua pasti akan kembali kepada-Nya, tak ada yang abadi. Seluruh yang bernyawa di dunia ini tinggal menunggu giliran pulang.

Baru saja Pakuan Pajajaran bersuka cita, kini kerajaan itu tengah berduka. Maharaja Prabu Raga Mulya jatuh sakit. Sudah beberapa hari ini ia hanya terbaring lemah. Bahkan untuk makan pun ia sudah tak berselera.

“Linggabuana ... putraku ... umurku mungkin tidak lama lagi, waktunya aku pulang. Kuserahkan sepenuhnya kerajaan ini padamu. Jagalah baik-baik Pakuan Pajajaran. Jangan sampai ada yang menaklukkan, kerajaan kita harus menjadi satu-satunya yang paling tangguh di bumi ini.” Sorot mata sang Raja tak setajam saat ia masih berjaya, tubuhnya pun sudah rikuh.

“Kakek ... jangan berkata begitu. Kakek pasti sembuh, Kakek kan kuat.” Putri Dyah Pitaloka mulai terisak. Melihat cucunya bersedih, Raja pun berusaha mengukir senyum di wajahnya, ia mengelus lembut kepala cucu kesayangannya itu.
“Ayahanda, hamba mohon, Ayah harus bangkit. Rakyat membutuhkan Ayah, begitu pun kami.”

“Tidak, Nak, rakyat membutuhkan sosok yang tangguh dan masih muda sepertimu, masaku sudah habis. Aku sudah tua dan sakit-sakitan. Berjanjilah wahai Putraku, sepeninggal diriku kau harus menjaga kerajaan ini, buatlah Pakuan Pajajaran berjaya sepanjang masa.”

“Kakek ... bangun, Kek, jangan tinggalkan aku. Siapa yang akan bermain lagi denganku? Kumohon, Kek, bangunlah ....” Seiring dengan pecahnya tangis Putri Dyah Pitaloka, sang Raja pun mengembuskan napas terakhirnya.

Pangeran Linggabuana begitu terpukul mendapati sang Ayah telah tiada. Namun ia harus tegar, demi rakyat dan keberlangsungan kerajaan ini.

“Ayah, aku berjanji akan memenuhi amanatmu.”

Keluarga kerajaan tengah berduka, begitu pun semua rakyatnya. Mereka begitu terpukul dengan peristiwa meninggalnya sang Raja. Begitu pula dengan Putri Dyah Pitaloka, ia merasa sangat kehilangan. Kakeknya adalah sosok yang sangat dekat dengannya. Kasih sayang sang Kakek untuknya begitu besar. Apa pun yang ia mau, sang Kakek pasti mengabulkan.

“Sudahlah, putriku, janganlah terus-menerus bermuram durja. Kecantikanmu menghilang karena kesedihanmu, Nak. Ayah pun sebenarnya berduka. Namun, Ayah harus melanjutkan hidup. Ada tanggung jawab yang harus Ayah pikul, rakyat.”

Putri Dyah Pitaloka tak bersuara sedikit pun. Air matanya yang terus membanjiri pipinya menyiratkan bahwa ia masih larut dalam kesedihan.

Beberapa hari setelah meninggalnya sang Raja, dilaksanakanlah upacara penobatan Pangeran Linggabuana. Ia resmi menggantikan posisi sang Ayah, menjadi Raja Pakuan Pajajaran. Ia kini bergelar Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa.
****
Kerajaan Majapahit

Pertempuran demi pertempuran menyisakan darah, tangisan, sumpah serapah, dan dendam. Satu persatu kerajaan Nusantara takluk kepada Gajah Mada dan menjadi bagian dari kekuasaan Majapahit.

Pada suatu hari, Ratu Tribuanattunggadewi sedang bercengkerama dengan Gayatri di taman Istana.

“Ada kabar gembira, Gajah Mada telah berhasil menguasai Nusantara,” ucap sang Ratu dengan antusias.

“Kecuali Pajajaran.” Gayatri menyisir rambutnya yang panjang itu.

“Betul, Pajajaran memang sangat kuat, tak mudah ditaklukkan.”

“Kita sebagai perempuan sebenarnya kurang pantas berbicara politik. Bagaimana kalau kita membahas tentang putramu, Hayam Wuruk?”

“Ada apa dengan putraku?” sang Ratu heran mendengar ucapan kakaknya.

“Hayam Wuruk sudah cukup dewasa untuk kita nikahkan.”

“Kakak benar, mari kita temui dia.”

Sementara itu, Hayam Wuruk tengah duduk termenung, memandangi bulan purnama yang cahayanya membuat malam ini semakin indah. Raganya berada di sini, namun pikirannya tengah mengembara.

“Kakak, lihatlah, tingkah putraku akhir-akhir ini begitu aneh. Ia sering berlama-lama termenung.”

“Bangunlah, Nak, tak baik malam-malam melamun.” Suara Gayatri menyadarkan Hayam Wuruk dari lamunannya.

“Wahai putraku, apakah gerangan yang tengah mengganggu pikiranmu?”

“Ampun Ibunda, hamba ... hamba....”

“Ada apa, Nak ceritakanlah, melihat dari gelagatnya, kau seperti sedang jatuh cinta.” Gayatri mulai menggoda keponakannya itu.

“Hamba sebenarnya tengah tertarik dengan lukisan seorang perempuan cantik yang dibuat oleh Sungging Perbangkara. Hamba penasaran, apakah perempuan itu nyata atau hanya khayalan sang pelukis saja? Ini lukisannya.”

“Cantik sekali parasnya, siapakah dia?” Gayatri begitu terpesona dengan kecantikan perempuan yang berada dalam lukisan tersebut.

“Sayangnya hamba tidak tahu, hanya pelukis itulah yang mampu menjawabnya.”

“Baiklah, Nak, Ibu akan mengutus para menteri untuk mendatangkan pelukis itu ke istana.”

Beberapa hari kemudian, salah satu menteri yang diutus kerajaan berhasil menemukan pelukis itu. Ia pun membawanya ke hadapan sang Ratu.

“Sungging Perbangkara, bisakah kau ceritakan siapa perempuan berparas cantik yang berada dalam lukisanmu itu?”

“Ampun Paduka, beliau adalah seorang putri dari Pajajaran bernama Dyah Pitaloka Citraresmi.”

Hayam Wuruk terperanjat mendengar penuturan sang pelukis.

“Bagaimana, Nak, kau tertarik dengannya?” Ratu Tribuanattunggadewi heran menyaksikan raut wajah putranya yang berubah.

“Pajajaran adalah pesaing Majapahit. Kelak Paman Patih Gajah Mada akan berperang melawan kerajaan itu untuk membuktikan sumpahnya. Hamba tidak ingin menikahinya tanpa persetujuan Paman Patih, ini akan menjadi masalah besar.”

“Kau benar, Nak, bagaimana jika kita mencari calon lainnya?” Gayatri memberi saran.

“Tapi, jujur, hamba mencintai Dyah Pitaloka, sejak melihat wajahnya dalam lukisan.”

“Baiklah, putraku, aku akan mengirim surat undangan kepada Prabu Linggabuana beserta keluarganya untuk datang ke kerajaan Majapahit. Aku akan menikahkan putraku dengan perempuan yang ia cintai. Dengan atau tanpa persetujuan Gajah Mada.” Ratu Tribuanattunggadewi berkata dengan penuh keyakinan.

“Tapi, Dik ....”

“Sudahlah, Kak. Ini urusan keluarga, tak perlu campur tangan Patih.”
***
Pakuan Pajajaran

Prabu Linggabuana tengah membaca surat yang dikirim dari kerajaan Majapahit. Wajahnya berbinar bahagia.

“Jadi Hayam Wuruk bermaksud menikahi putriku, Dyah Pitaloka. Mengagumkan, Hayam Wuruk adalah pendamping yang tepat untuk putriku, selain sederajat, Hayam Wuruk sosok yang gagah perkasa. Bagaimana menurutmu, Dyah Pitaloka?”

“Hamba terserah Ayahanda saja.” Jantung sang Putri berdebar tak menentu. Ada desir aneh dalam hatinya kala mendengar nama itu disebut. Dia sudah sering mendengar cerita tentang sosok Raja itu. Selain gagah, Hayam Wuruk memiliki paras yang tampan. Mungkinkah ia jatuh cinta pada sosok yang belum pernah dijumpainya sama sekali?

“Ampun, Paduka, menurut hamba dalam tradisi kita tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Hamba menduga ini adalah jebakan diplomatik Majapahit yang sedang melebarkan kekuasannya,”ucap Hyang Bunisora Suradipati dengan nada kuatir.

“ Hayam Wuruk seorang Raja muda yang baik, tidak mungkin dia melakukan tindakan memalukan seperti dugaanmu itu. Dua kerajaan besar akan bersatu, ini benar-benar luar biasa. Perintahkan seluruh pejabat kerajaan untuk bersiap-siap berangkat ke Majapahit.”

“Baik, Paduka.”

Prabu Linggabuana sangatlah berjiwa besar, apalagi pendiri Majapahit masih merupakan bangsawan Sunda, dengan alasan silaturahmi untuk mempererat persaudaraan. Sebagai bangsa besar yang tidak pernah dikalahkan, Sang Raja terlalu percaya diri akan kebaikan orang lain. Apalagi masih keturunan yang sama, sehingga ia memutuskan untuk berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur kedua negara tersebut. Esoknya, Prabu Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda yang terdiri dari Prameswarinya juga para pembesar Sunda lainnya ke Majapahit dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
***
Kerajaan Majapahit

Patih Gajah Mada beserta pasukannya baru saja tiba. Mereka telah berhasil menaklukkan hampir seluruh Kerajaan Nusantara dan Negara-Negara di Asia Tenggara. Ia sangat bahagia atas pencapaian yang telah diraihnya selama ini. Semua yang dia lakukan semata-mata untuk kejayaan Majapahit.

“Maaf Yang Mulia, hamba melihat pasukan Pajajaran mendekati Majapahit. Ini ancaman besar.”

“Jangan kuatir Gajah Mada. Mereka datang bukan untuk berperang, tetapi memenuhi undanganku. Hayam Wuruk akan menikahi Dyah Pitaloka, Putri dari kerajaan Pajajaran.”

Patih Gajah Mada kaget mendengar penjelasan Ratu Tribuanattunggadewi. “Bagaimana mungkin acara besar seperti ini tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan hamba? Sudah semestinya hamba tahu segala hal yang menyangkut urusan kerajaan, karena hamba yang memangku jabatan sebagai Patih Mangkubumi, bertanggung jawab terhadap pemerintahan.”

“Yang Mulia Ratu, hamba telah mengucap sumpah palapa yang harus hamba pegang teguh, hamba yakin Paduka Hayam Wuruk pun sependapat,” tambahnya.

“Cukup, Gajah Mada, kau hanyalah seorang Patih. Putraku adalah Rajanya. Dialah yang paling berkuasa dan berhak mengambil keputusan, bukan dirimu. Jangan pengaruhi pikirannya. Ini menyangkut urusan hatinya, perasaannya, dan masa depan kerajaan ini.” Sang Ratu merasa geram. Pengaruh Gajah Mada terhadap Hayam Wuruk begitu kuat, sehingga putranya sangat bergantung pada patihnya itu, begitu pun dalam hal mengambil keputusan.

“Ibu mohon, Nak, ikuti kata hatimu, kau mencintainya, kan? Jangan sampai kau salah mengambil langkah karena kau akan menyesal seumur hidupmu. Kau sudah dewasa, Nak, seharusnya kau bisa mengambil keputusan sendiri, tak perlu terus-menerus mendengarkan patihmu.”

Hayam Wuruk tak sanggup berkata-kata. Ia benar-benar tak mampu berpikir jernih. Satu sisi hatinya mengakui, ia telah jatuh cinta pada perempuan itu. Namun, sisi hatinya yang lain merasa bahwa kejayaan kerajaannya lebih penting.
***
Pesanggrahan Bubat (1357 Masehi),terjadinya Perang Bubat

Prabu Linggabuana mengutus Mahapatihnya, Anusapaken untuk menemui Hayam Wuruk. Sang Prabu meminta patihnya itu untuk menyampaikan pesan agar Hayam Wuruk menjemput putrinya di desa Bubat. Maka berangkatlah Anusapaken menuju kerajaan Majapahit.

Beberapa jam kemudian, Anusapaken pun sudah kembali dari Majapahit di desa Bubat.

“Kau kelihatan gugup, Patih. Kuharap kau membawa kabar baik.” Prabu Linggabuana heran melihat patihnya yang datang dengan tergopoh-gopoh.

“Ampun Yang Mulia Prabu, hamba membawa berita dari Patih Gajah Mada. Mengenai pernikahan Raja Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka, Gajah Mada tidak keberatan.”

“Sudah kuduga. Akhirnya aku akan segera menimang cucu.” Prabu Linggabuana begitu bahagia mendengarnya.

Patih Anusapaken menambahkan, “namun ada syaratnya, Pajajaran harus tunduk di bawah kekuasaan Majapahit dan menyerahkan Putri Dyah Pitaloka sebagai upeti.”

“Apa? Betapa lancangnya Gajah Mada! Berani-beraninya mereka menghina martabat keluargaku!” Emosi sang Prabu memuncak, ia merasa harga diri kerajaannya telah diinjak-injak.

“Ampun Paduka, pasukan Gajah Mada sedang menuju kemari untuk meminta jawaban dari Baginda Raja,” ucap salah seorang pengawal kerajaan.

“Hamba tak terima diperlakukan hina seperti ini. Hamba telah berjanji pada Ayahanda untuk menjadikan kerajaan ini sebagai satu-satunya yang tak terkalahkan. Hamba pantang lari, tak sudi menyerah! Wahai putriku, maafkan Ayah yang telah membawamu pada situasi sulit seperti ini. Janganlah kau bersedih, Nak.”

“Tidak Ayahanda, hamba tidak sedih. Hamba bangga menjadi putri Ayah.”

“Ampun, Paduka, hamba utusan dari Majapahit, meminta ....” Tak sempat Geni melanjutkan kalimatnya, dengan sigap Patih Anusapaken menghunuskan sebilah pedang, tepat menembus jantung Geni. Tubuh Geni pun ambruk seketika.

Pecahlah peperangan antara kerajaan Majapahit dengan Pakuan Pajajaran, tak dapat dihindari. Putri Dyah Pitaloka pun ikut berperang. Dengan gagah berani ia menerjang pasukan Majapahit. Hatinya remuk redam, tak menyangka, lelaki yang dikaguminya ternyata punya pikiran yang picik. Ia benci Hayam Wuruk.

Pasukan Pakuan Pajajaran begitu gigih melawan pasukan kerajaan Majapahit. Namun, dengan peralatan yang seadanya dan jumlah yang tidak seimbang, pasukan Pajajaran pun kian terdesak. Prabu Linggabuana dan seluruh pasukannya tewas. Para istri petinggi Pajajaran melakukan bela mati di dekat jenazah suami-suami mereka. Hanya satu yang masih hidup, Putri Dyah Pitaloka.

Dyah Pitaloka berdiri di dekat jenazah ayah dan ibunya dengan tangan masih memegang pedang yang berlumuran darah. Sesaat kemudian, datanglah Gajah Mada, Hayam Wuruk, Ratu Tribuanattungadewi, dan Gayatri mendekat ke arah Putri Dyah Pitaloka berada.

“Tuhan, aku telah memenuhi sumpahku. Nusantara telah aku taklukkan!” Teriak Gajah Mada dengan bangganya.

“Karenamu aku telah kehilangan semuanya. Inikah yang kau sebut cita-cita adiluhung sumpah palapamu, Gajah Mada!” Putri Dyah Pitaloka geram. Matanya nanar memandang tajam ke arah Gajah Mada.

“Dyah Pitaloka, kaukah itu? Maafkan aku, Dyah. Aku tak bermaksud menyakitimu. Ini semua bukan keinginanku, bukan pula keputusan dariku.” Hayam Wuruk menangis dan bersimpuh. Ia menyesal tak mampu mengambil sikap, andai ia bisa dengan tegas mengambil keputusan, mengikuti kata hatinya, peperangan ini tak akan terjadi.

Ketika Hayam Wuruk mendongakkan wajahnya, Dyah Pitaloka telah menghunuskan pedang, menembus ulu hatinya. Darah pun membasahi gaun putih yang dikenakannya. Tubuhnya ambruk, dengan sigap Hayam Wuruk menahannya dan menyandarkan tubuh itu di pangkuannya.

“Tidak! Dyah, maafkan aku, Sayang. Aku mencintaimu sejak pertama kali melihat kecantikan parasmu di dalam sebuah lukisan. Aku mohon, bertahanlah, jangan tinggalkan aku ....”

“Kukira kau sungguh-sungguh akan menikahiku, Hayam Wuruk. Aku pun mencintaimu ....” Sang putri sudah tak bernapas lagi, tubuhnya terbujur kaku, tak ada gerakan lagi sama sekali. Ia sudah pergi untuk selamanya.

“Tidaak! Dyah kembalilah ....” Hayam Wuruk benar-benar terpuruk. Ia meratapi kepergian perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta itu. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah menyesali kebodohannya. Ratu Tribuanattungadewi dan Gayatri tak kuasa menahan sedih, air mata membanjiri pipi mereka.

Baca cerpen lainnya: Indeks Link
Diubah oleh suciasdhan 20-02-2020 16:15
Anna471
abellacitra
betiatina
betiatina dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.