- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#254
Part 13
Gone Too Soon - Simple Plan
Spoiler for :
Aku sedang menyeruput kopi diteras rumah, menikmati rasa pahitnya yang sebenarnya masih kalah pahit dibanding kenyataan hidup yang harus kuhadapi, saat kemudian dari arah gerbang rumah aku melihat Dhara sedang turun dari sebuah mobil berwarna putih.
Sosoknya masih terlihat menawan, sama seperti setiap kali aku melihatnya. Dia terlihat sedang mengatakan sesuatu pada seseorang yang tengah berada di balik kemudi, entah siapa lelaki itu, kenalan barunya mungkin. Dia kemudian nampak sedang tersenyum. Senyum yang sempat membuat kopi yang sedang menempel di lidahku ini terasa manis, meski aku tahu kalau saat ini senyum manisnya bukan ditujukan padaku.
Dia kemudian berjalan menghampiriku, aku yang masih terpaku melihat sosoknya tidak menyadari kalau beberapa saat kemudian dia sudah berada didepanku. Menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi kayu yang ada di teras rumah, dia lalu mulai menatapku.
"aku mau ngomong sama kamu fan.. "
Dia mengikat rambutnya yang tergerai, sesuatu yang selalu saja terlihat indah di mataku. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Wajahnya terlihat santai, namun sorot matanya tetap menunjukkan ekspresi serius.
"itu tadi siapa? "
Entah kenapa, justru malah kata kata itu yang secara spontan keluar dari bibirku. Harusnya bukan itu yang kuucapkan saat kembali melihat sosoknya, saat menyadari bahwa mungkin Dhara sudah mau menurunkan sedikit ego dan amarahnya untuk menemuiku, harusnya aku menyambut baik kedatangannya kali ini. Meski aku juga 'sedikit' nggak terima sih saat tau dia memberikan senyum manisnya itu pada laki laki lain. Padahal secara status, aku ini masih sah sebagai suaminya.
"taksi online.. " Jawabnya ketus. "kamu kenapa sih fan, masih aja nyebelin.. "
".. "
"kamu tau ga, aku bela belain kesini, nemuin kamu lagi, ngeliat tampang kamu lagi, berharap kalau semua ini masih bisa kita perbaiki. Tapi nyatanya apa fan, kamu masih aja ga berubah."
"aku kan cuma nanyaa.. "
"ya tapi pertanyaan kamu sama sekali ga tepat buat situasi seperti ini.. " Potong nya cepat dengan nada tinggi. "yang seharusnya marah itu aku, yang seharusnya emosi itu aku, dan yang seharusnya ngacak ngacak wajah kamu itu aku, bukan kamu yang dengan entengnya curiga sama aku. Lagian, yang udah jelas jelas ketauan selingkuh kan kamu.. "
".. "
Dhara ngomel panjang lebar, menumpahkan segala kekesalannya padaku. Aku tak bisa melakukan apa apa selain hanya mendengar semua amarahnya. Lagipula kalau dipikir pikir lebih baik begini, dia bisa bebas mengeluarkan isi hatinya tanpa harus ku cegah. Daripada dia nangis dan numpahin banyak airmata seperti kemarin.
"emang menurut kamu aku kurang apa sih? kurang cantik? kurang seksi? aku kurang ngertiin kamu? ga bisa jadi istri yang baik buat kamu? ga bisa 'muasin' kamu? "
"hee.. " Aku masih belum bisa berkata apa apa saat Dhara terus memarahiku, aku bahkan hanya bisa melotot dan menelan ludah saat dia malah tiba tiba membusungkan dada sambil menekankan nadanya pada kata 'muasin'. Sebenarnya kamu nggak salah kok ra, kamu juga nggak kurang apapun, emang aku aja yang nggak tau diri.
"jawab fan.. aku mesti jadi gimana lagi biar kamu ga selingkuhin aku lagi? "
".. "
"hiks hiks.. huu.. "
Dhara akhirnya kembali meneteskan airmata nya, ternyata segalak galaknya istriku, dia masih wanita biasa yang tidak tau harus bereaksi seperti apalagi saat emosi dan kesedihannya sudah memuncak, selain menangis. Aku kemudian menghampirinya dan memeluk tubuhnya, sekedar memberi tempat baginya untuk menumpahkan segala kesedihannya. Meski aku tahu, bahwa sumber kesedihannya adalah lelaki yang saat ini tengah mencoba menggapai tubuhnya.
"ma.. maafin aku ra.. "
Aku berhasil meraih tubuhnya, awalnya dia sempat meronta dan beberapa kali memukul dadaku, namun secara perlahan tenaganya berkurang seiring tangisnya yang masih pecah. Dia bahkan mulai membalas pelukanku, sementara aku hanya bisa mengelus punggungnya secara perlahan. Sambil tetap memberikan ruang baginya untuk membasahi bahuku dengan airmatanya.
"hiks.. hiks.. "
"maafin aku ra, aku emang udah jahat banget sama kamu... "
"... "
"aku sadar, kalau permintaan maafku mungkin nggak akan ngerubah banyak hal. Tapi aku harap kamu tetep mau maafin aku ra, kamu bisa ngasih aku satu kesempatan lagi, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi. Kasih aku satu kesempatan lagi ra, dan aku ga akan bikin kamu kecewa.. "
"hiks.. hiks.. " Dhara masih menangis, namun kemudian dia mengangkat wajahnya dan mulai menatapku. "kamu selalu aja gini, ngelakuin kesalahan, kemudian ngeyakinin aku kalau ini yang terakhir.. "
".. "
"dan bodohnya, aku selalu aja percaya fan.. " lanjutnya sambil tersenyum sinis.
"... "
"entah ini kamu yang pinter ngerangkai kata kata, atau emang aku aja yang bodoh karena terlalu percaya sama kamu.. "
"raa.. " aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya. "aku tau, sulit buat kamu maafin aku. Aku juga tau, kalau mungkin kesalahanku emang gak pantes buat dimaafin. Tapi aku yakin, dari lubuk hati kamu yang paling dalam, kamu juga ga pengen kan kalau ini semua berakhir?"
".. "
"kita masih bisa perbaiki semuanya ra, kita masih bisa mulai semuanya dari awal lagi. Yang perlu kamu lakukan hanya kasih aku satu kesempatan lagi, dan aku ga akan bikin kamu kecewa.. "
"hiks.. hiks.. huuu.. "
Dhara kembali memelukku dengan erat, sempat kulihat sekilas dia tengah menganggukkan kepala sebelum kemudian kembali menangis. Menyadari hal itu, akupun sedikit merasa lega karena nyatanya Dhara tetap memberiku satu kesempatan lagi, meski saat ini dia masih sesenggukan dalam pelukanku.
Aku makin memeluk tubuhnya dengan erat. Cukup lama dia menangis dalam pelukanku, hingga kaos bergambar parpol yang kudapat dari hasil kampanye beberapa waktu yang lalu itu mulai terasa cukup basah. Bahkan kali ini wajahku pun mulai terasa basah oleh airmatanya. Sesuatu yang sempat membuatku bertanya tanya, gimana ceritanya airmata Dhara bisa ikutan nyiprat ke mukaku?
"yah.. bangun yah.. yee malah makin kenceng meluk guling."
Aku membuka mata secara perlahan, dan langsung terperanjat saat mengetahui bahwa saat ini didepanku ada Irfan yang sedang mencoba membangunkanku.
"eeh.. nggak sopan kamu ya.. " Ucapku saat sudah sepenuhnya tersadar. "masa ayah sendiri dicipratin aer kobokan."
"lha abis ayah dibangunin daritadi ga bangun bangun.." Balasnya sambil mencoba mengancingkan seragamnya sendiri. "udah siang nih, bunda kemana sih yah? "
Aku kemudian bangkit dari kasur, sedikit galer selayaknya laki-laki saat pagi seperti ini, lalu mengambil handuk untuk bergegas menuju ke kamar mandi.
"bunda kamu lagi nginep dirumah nenek.. "
"ayah sama bunda lagi berantem ya? "
Aku menghentikan langkahku setelah mendengar pertanyaannya, bagaimanapun, masalah yang sedang ada diantara aku dan Dhara sebisa mungkin nggak diketahui oleh Irfan. Nggak seharusnya dia dilibatkan dalam masalah rumah tangga kita, meski kebanyakan yang paling dirugikan dan menjadi korban dalam masalah rumah tangga adalah anak.
"enggak kok, bunda kemaren cuma bantuin kucing nenek yang mau lahiran, nanti juga pulang. Udah, kamu siap siap aja sana, ayah mau mandi dulu.. "
"jangan berantem berantem ya yah, ga baek kata bu guru. Tar gapunya temen kalo suka berantem. "
"haha anak siapa sih ini, pinter banget nasehatin orang. Nggak kok, ayah kan sayang ama bunda, ama Irfan juga. Yaudah kamu siap siap aja dulu, ayah mau mandi. Abis itu kita sarapan bareng.. " Aku mengelus pelan kepalanya, sebelum bocah kecil itu kemudian berjalan menuju ruang tengah.
Ini adalah pagi pertama semenjak pernikahan kita, dimana aku tidak melihat sosok Dhara disampingku saat aku bangun tidur. Aku beberapa kali melirik kearah dapur, ke tempat dimana Dhara biasa menyiapkan sarapan yang menunya 'itu itu aja' untuk aku dan Irfan. Entah kenapa, meski rasa masakannya nggak pernah mendekati kata 'enak', hal itu justru menjadi satu hal yang begitu aku rindukan saat situasinya sudah berbeda seperti sekarang ini. Aku mendadak pengen lagi menikmati nasi goreng keasinan buatannya, aku tiba tiba ingin pura pura keenakan lagi saat mencicipi sayur asem kemanisan yang biasa dia buat.
Setelah mengantar Irfan ke sekolah, aku buru buru menggeber mobil menuju rumah sakit. Aku harus bisa segera menyelesaikan semuanya dan berharap bahwa Dhara masih mau memberiku satu kesempatan lagi seperti yang terjadi dalam mimpiku. Aku benar benar nggak bisa membayangkan seperti apa hidupku jika tanpa Dhara, tanpa ocehannya, tanpa sifat bawelnya. Dan aku juga mulai berpikir keras, cicilan mobil dan rumah mau dibayar pake apa kalau Dhara terus terusan ngambek. 'Ah, udah tau cuma mokondo, masih aja aneh aneh lu pan..'
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berkeliling mencari istriku. Kali ini aku benar benar nggak mau buang buang waktu, aku harus cepat cepat bertemu dengannya dan menyelesaikan semua ini. Namun sayangnya setelah beberapa kali berkeliling aku tetap nggak menjumpai sosoknya. Yang ada malah sosok item besar satpam rumah sakit, alias bang Juna yang selalu saja kutemui.
"saya daritadi kok ketemu abang mulu sih, situ ngikutin saya ya? " Ucapku sambil duduk di salah satu meja kantin tempat bang Juna ngopi.
"heh, gak kebalik? " tanyanya sambil mencomot pisang goreng didepannya. "bukannya mas Irpan yang ngikutin rute patroli saya? "
"eh, iya kah? " Tanyaku sambil ikut mencomot gorengannya.
"lagi ngapain sih, kok keliatan bingung gitu?
"anu bang, saya lagi nyariin istri saya. Tapi udah muter muter kok masih gak ketemu ya.. "
"laah, kenapa nggak tanya daritadi? Malah muter muter ngikutin saya.. "
"eh, jadi abang tau dimana istri saya? "
"enggak, orang hari ini suster Rara nggak masuk.. "
"laah, terus kenapa nyuruh saya nanya? "
"ya biar mas Irpan gak ngikutin saya terus, jadi ilang deh kesempatan saya ngecengin suster baru tadi gara gara sampean ikutin.. "
Mendengar kata katanya yang semakin nggak jelas, aku kemudian bergegas meninggalkan tempat nongkrongnya untuk kembali berpikir dan kembali mencari tahu keberadaan istriku.
Aku sempat berpikir bahwa saat ini Dhara sedang ada dirumah orang tuanya, dan sempat punya pikiran untuk menyusulnya kesana. Tetapi setelah kupikir pikir lagi, dan menimbang nimbang bahwa mungkin Dhara sudah menceritakan semua yang terjadi kemarin pada keluarganya, aku kembali mengurungkan niatku untuk menyusulnya. Bukannya apa, bisa bisa malah jadi geprek aku gara gara kesalahanku pada Dhara yang kadarnya sudah lewat ambang batas itu. Dhara aja bar-bar nya kayak gitu, gimana orang tuanya?
Mengurungkan niat untuk mencari Dhara kerumah orang tuanya karena masih sayang nyawa, aku kemudian kembali kerumah dan membuat secangkir kopi. Aku masih percaya bahwa mimpi yang kualami tadi bukanlah sekedar bunga tidur. Aku seperti merasa bahwa apa yang ada didalam mimpi memang benar benar sesuatu yang nyata.
Setelah menyeduh satu sachet kopi lutung, aku kemudian membawanya ke teras dan menikmatinya. Sambil berharap bahwa Dhara akan segera tiba dan aku bisa menyelesaikan semua masalah ini.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, belum terlalu lama setelah aku ngopi di teras rumah, ada sebuah mobil berwarna putih yang berhenti tepat didepan gerbang rumah. Seorang penumpang kemudian keluar dari mobil, mengatakan sesuatu pada sang sopir, lalu kemudian tersenyum kearah mobil yang saat ini tengah mencoba mundur dan memutar balik.
Perempuan yang tadi tersenyum dan melambaikan tangannya kearah mobil yang kini sudah menjauh itu kemudian berjalan kearahku. Langkah kakinya tetap terlihat anggun, dan memandangi nya tetap membuat bumi terasa seperti berhenti berotasi, hingga tanpa kusadari kini sosoknya telah berada tepat didepanku.
"aku mau ngomong sama kamu fan.. "
kata kata yang dia ucapkan sama persis dengan apa yang terjadi dalam mimpiku, bedanya kali ini wajahnya terlihat lebih dingin. Dan kata katanya juga terdengar begitu datar, nyaris tanpa ekspresi.
"ma.. mau ngomong apa ra? "
"aku mau minta satu hal sama kamu.. "
Aku mencoba kembali menatap wajahnya, masih tetap dingin dan nyaris tanpa ekspresi. Aku sedikit bingung dengan dirinya hari ini, dan lebih memilih agar dia bisa mengutarakan segala emosinya dibanding harus bersikap dingin seperti ini.
"ma.. mau apa ra? "
"aku mau kita cerai, fan.. "
Sosoknya masih terlihat menawan, sama seperti setiap kali aku melihatnya. Dia terlihat sedang mengatakan sesuatu pada seseorang yang tengah berada di balik kemudi, entah siapa lelaki itu, kenalan barunya mungkin. Dia kemudian nampak sedang tersenyum. Senyum yang sempat membuat kopi yang sedang menempel di lidahku ini terasa manis, meski aku tahu kalau saat ini senyum manisnya bukan ditujukan padaku.
Dia kemudian berjalan menghampiriku, aku yang masih terpaku melihat sosoknya tidak menyadari kalau beberapa saat kemudian dia sudah berada didepanku. Menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi kayu yang ada di teras rumah, dia lalu mulai menatapku.
"aku mau ngomong sama kamu fan.. "
Dia mengikat rambutnya yang tergerai, sesuatu yang selalu saja terlihat indah di mataku. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Wajahnya terlihat santai, namun sorot matanya tetap menunjukkan ekspresi serius.
"itu tadi siapa? "
Entah kenapa, justru malah kata kata itu yang secara spontan keluar dari bibirku. Harusnya bukan itu yang kuucapkan saat kembali melihat sosoknya, saat menyadari bahwa mungkin Dhara sudah mau menurunkan sedikit ego dan amarahnya untuk menemuiku, harusnya aku menyambut baik kedatangannya kali ini. Meski aku juga 'sedikit' nggak terima sih saat tau dia memberikan senyum manisnya itu pada laki laki lain. Padahal secara status, aku ini masih sah sebagai suaminya.
"taksi online.. " Jawabnya ketus. "kamu kenapa sih fan, masih aja nyebelin.. "
".. "
"kamu tau ga, aku bela belain kesini, nemuin kamu lagi, ngeliat tampang kamu lagi, berharap kalau semua ini masih bisa kita perbaiki. Tapi nyatanya apa fan, kamu masih aja ga berubah."
"aku kan cuma nanyaa.. "
"ya tapi pertanyaan kamu sama sekali ga tepat buat situasi seperti ini.. " Potong nya cepat dengan nada tinggi. "yang seharusnya marah itu aku, yang seharusnya emosi itu aku, dan yang seharusnya ngacak ngacak wajah kamu itu aku, bukan kamu yang dengan entengnya curiga sama aku. Lagian, yang udah jelas jelas ketauan selingkuh kan kamu.. "
".. "
Dhara ngomel panjang lebar, menumpahkan segala kekesalannya padaku. Aku tak bisa melakukan apa apa selain hanya mendengar semua amarahnya. Lagipula kalau dipikir pikir lebih baik begini, dia bisa bebas mengeluarkan isi hatinya tanpa harus ku cegah. Daripada dia nangis dan numpahin banyak airmata seperti kemarin.
"emang menurut kamu aku kurang apa sih? kurang cantik? kurang seksi? aku kurang ngertiin kamu? ga bisa jadi istri yang baik buat kamu? ga bisa 'muasin' kamu? "
"hee.. " Aku masih belum bisa berkata apa apa saat Dhara terus memarahiku, aku bahkan hanya bisa melotot dan menelan ludah saat dia malah tiba tiba membusungkan dada sambil menekankan nadanya pada kata 'muasin'. Sebenarnya kamu nggak salah kok ra, kamu juga nggak kurang apapun, emang aku aja yang nggak tau diri.
"jawab fan.. aku mesti jadi gimana lagi biar kamu ga selingkuhin aku lagi? "
".. "
"hiks hiks.. huu.. "
Dhara akhirnya kembali meneteskan airmata nya, ternyata segalak galaknya istriku, dia masih wanita biasa yang tidak tau harus bereaksi seperti apalagi saat emosi dan kesedihannya sudah memuncak, selain menangis. Aku kemudian menghampirinya dan memeluk tubuhnya, sekedar memberi tempat baginya untuk menumpahkan segala kesedihannya. Meski aku tahu, bahwa sumber kesedihannya adalah lelaki yang saat ini tengah mencoba menggapai tubuhnya.
"ma.. maafin aku ra.. "
Aku berhasil meraih tubuhnya, awalnya dia sempat meronta dan beberapa kali memukul dadaku, namun secara perlahan tenaganya berkurang seiring tangisnya yang masih pecah. Dia bahkan mulai membalas pelukanku, sementara aku hanya bisa mengelus punggungnya secara perlahan. Sambil tetap memberikan ruang baginya untuk membasahi bahuku dengan airmatanya.
"hiks.. hiks.. "
"maafin aku ra, aku emang udah jahat banget sama kamu... "
"... "
"aku sadar, kalau permintaan maafku mungkin nggak akan ngerubah banyak hal. Tapi aku harap kamu tetep mau maafin aku ra, kamu bisa ngasih aku satu kesempatan lagi, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi. Kasih aku satu kesempatan lagi ra, dan aku ga akan bikin kamu kecewa.. "
"hiks.. hiks.. " Dhara masih menangis, namun kemudian dia mengangkat wajahnya dan mulai menatapku. "kamu selalu aja gini, ngelakuin kesalahan, kemudian ngeyakinin aku kalau ini yang terakhir.. "
".. "
"dan bodohnya, aku selalu aja percaya fan.. " lanjutnya sambil tersenyum sinis.
"... "
"entah ini kamu yang pinter ngerangkai kata kata, atau emang aku aja yang bodoh karena terlalu percaya sama kamu.. "
"raa.. " aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya. "aku tau, sulit buat kamu maafin aku. Aku juga tau, kalau mungkin kesalahanku emang gak pantes buat dimaafin. Tapi aku yakin, dari lubuk hati kamu yang paling dalam, kamu juga ga pengen kan kalau ini semua berakhir?"
".. "
"kita masih bisa perbaiki semuanya ra, kita masih bisa mulai semuanya dari awal lagi. Yang perlu kamu lakukan hanya kasih aku satu kesempatan lagi, dan aku ga akan bikin kamu kecewa.. "
"hiks.. hiks.. huuu.. "
Dhara kembali memelukku dengan erat, sempat kulihat sekilas dia tengah menganggukkan kepala sebelum kemudian kembali menangis. Menyadari hal itu, akupun sedikit merasa lega karena nyatanya Dhara tetap memberiku satu kesempatan lagi, meski saat ini dia masih sesenggukan dalam pelukanku.
Aku makin memeluk tubuhnya dengan erat. Cukup lama dia menangis dalam pelukanku, hingga kaos bergambar parpol yang kudapat dari hasil kampanye beberapa waktu yang lalu itu mulai terasa cukup basah. Bahkan kali ini wajahku pun mulai terasa basah oleh airmatanya. Sesuatu yang sempat membuatku bertanya tanya, gimana ceritanya airmata Dhara bisa ikutan nyiprat ke mukaku?
***
"yah.. bangun yah.. yee malah makin kenceng meluk guling."
Aku membuka mata secara perlahan, dan langsung terperanjat saat mengetahui bahwa saat ini didepanku ada Irfan yang sedang mencoba membangunkanku.
"eeh.. nggak sopan kamu ya.. " Ucapku saat sudah sepenuhnya tersadar. "masa ayah sendiri dicipratin aer kobokan."
"lha abis ayah dibangunin daritadi ga bangun bangun.." Balasnya sambil mencoba mengancingkan seragamnya sendiri. "udah siang nih, bunda kemana sih yah? "
Aku kemudian bangkit dari kasur, sedikit galer selayaknya laki-laki saat pagi seperti ini, lalu mengambil handuk untuk bergegas menuju ke kamar mandi.
"bunda kamu lagi nginep dirumah nenek.. "
"ayah sama bunda lagi berantem ya? "
Aku menghentikan langkahku setelah mendengar pertanyaannya, bagaimanapun, masalah yang sedang ada diantara aku dan Dhara sebisa mungkin nggak diketahui oleh Irfan. Nggak seharusnya dia dilibatkan dalam masalah rumah tangga kita, meski kebanyakan yang paling dirugikan dan menjadi korban dalam masalah rumah tangga adalah anak.
"enggak kok, bunda kemaren cuma bantuin kucing nenek yang mau lahiran, nanti juga pulang. Udah, kamu siap siap aja sana, ayah mau mandi dulu.. "
"jangan berantem berantem ya yah, ga baek kata bu guru. Tar gapunya temen kalo suka berantem. "
"haha anak siapa sih ini, pinter banget nasehatin orang. Nggak kok, ayah kan sayang ama bunda, ama Irfan juga. Yaudah kamu siap siap aja dulu, ayah mau mandi. Abis itu kita sarapan bareng.. " Aku mengelus pelan kepalanya, sebelum bocah kecil itu kemudian berjalan menuju ruang tengah.
Ini adalah pagi pertama semenjak pernikahan kita, dimana aku tidak melihat sosok Dhara disampingku saat aku bangun tidur. Aku beberapa kali melirik kearah dapur, ke tempat dimana Dhara biasa menyiapkan sarapan yang menunya 'itu itu aja' untuk aku dan Irfan. Entah kenapa, meski rasa masakannya nggak pernah mendekati kata 'enak', hal itu justru menjadi satu hal yang begitu aku rindukan saat situasinya sudah berbeda seperti sekarang ini. Aku mendadak pengen lagi menikmati nasi goreng keasinan buatannya, aku tiba tiba ingin pura pura keenakan lagi saat mencicipi sayur asem kemanisan yang biasa dia buat.
Setelah mengantar Irfan ke sekolah, aku buru buru menggeber mobil menuju rumah sakit. Aku harus bisa segera menyelesaikan semuanya dan berharap bahwa Dhara masih mau memberiku satu kesempatan lagi seperti yang terjadi dalam mimpiku. Aku benar benar nggak bisa membayangkan seperti apa hidupku jika tanpa Dhara, tanpa ocehannya, tanpa sifat bawelnya. Dan aku juga mulai berpikir keras, cicilan mobil dan rumah mau dibayar pake apa kalau Dhara terus terusan ngambek. 'Ah, udah tau cuma mokondo, masih aja aneh aneh lu pan..'
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berkeliling mencari istriku. Kali ini aku benar benar nggak mau buang buang waktu, aku harus cepat cepat bertemu dengannya dan menyelesaikan semua ini. Namun sayangnya setelah beberapa kali berkeliling aku tetap nggak menjumpai sosoknya. Yang ada malah sosok item besar satpam rumah sakit, alias bang Juna yang selalu saja kutemui.
"saya daritadi kok ketemu abang mulu sih, situ ngikutin saya ya? " Ucapku sambil duduk di salah satu meja kantin tempat bang Juna ngopi.
"heh, gak kebalik? " tanyanya sambil mencomot pisang goreng didepannya. "bukannya mas Irpan yang ngikutin rute patroli saya? "
"eh, iya kah? " Tanyaku sambil ikut mencomot gorengannya.
"lagi ngapain sih, kok keliatan bingung gitu?
"anu bang, saya lagi nyariin istri saya. Tapi udah muter muter kok masih gak ketemu ya.. "
"laah, kenapa nggak tanya daritadi? Malah muter muter ngikutin saya.. "
"eh, jadi abang tau dimana istri saya? "
"enggak, orang hari ini suster Rara nggak masuk.. "
"laah, terus kenapa nyuruh saya nanya? "
"ya biar mas Irpan gak ngikutin saya terus, jadi ilang deh kesempatan saya ngecengin suster baru tadi gara gara sampean ikutin.. "
Mendengar kata katanya yang semakin nggak jelas, aku kemudian bergegas meninggalkan tempat nongkrongnya untuk kembali berpikir dan kembali mencari tahu keberadaan istriku.
Aku sempat berpikir bahwa saat ini Dhara sedang ada dirumah orang tuanya, dan sempat punya pikiran untuk menyusulnya kesana. Tetapi setelah kupikir pikir lagi, dan menimbang nimbang bahwa mungkin Dhara sudah menceritakan semua yang terjadi kemarin pada keluarganya, aku kembali mengurungkan niatku untuk menyusulnya. Bukannya apa, bisa bisa malah jadi geprek aku gara gara kesalahanku pada Dhara yang kadarnya sudah lewat ambang batas itu. Dhara aja bar-bar nya kayak gitu, gimana orang tuanya?
Mengurungkan niat untuk mencari Dhara kerumah orang tuanya karena masih sayang nyawa, aku kemudian kembali kerumah dan membuat secangkir kopi. Aku masih percaya bahwa mimpi yang kualami tadi bukanlah sekedar bunga tidur. Aku seperti merasa bahwa apa yang ada didalam mimpi memang benar benar sesuatu yang nyata.
Setelah menyeduh satu sachet kopi lutung, aku kemudian membawanya ke teras dan menikmatinya. Sambil berharap bahwa Dhara akan segera tiba dan aku bisa menyelesaikan semua masalah ini.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, belum terlalu lama setelah aku ngopi di teras rumah, ada sebuah mobil berwarna putih yang berhenti tepat didepan gerbang rumah. Seorang penumpang kemudian keluar dari mobil, mengatakan sesuatu pada sang sopir, lalu kemudian tersenyum kearah mobil yang saat ini tengah mencoba mundur dan memutar balik.
Perempuan yang tadi tersenyum dan melambaikan tangannya kearah mobil yang kini sudah menjauh itu kemudian berjalan kearahku. Langkah kakinya tetap terlihat anggun, dan memandangi nya tetap membuat bumi terasa seperti berhenti berotasi, hingga tanpa kusadari kini sosoknya telah berada tepat didepanku.
"aku mau ngomong sama kamu fan.. "
kata kata yang dia ucapkan sama persis dengan apa yang terjadi dalam mimpiku, bedanya kali ini wajahnya terlihat lebih dingin. Dan kata katanya juga terdengar begitu datar, nyaris tanpa ekspresi.
"ma.. mau ngomong apa ra? "
"aku mau minta satu hal sama kamu.. "
Aku mencoba kembali menatap wajahnya, masih tetap dingin dan nyaris tanpa ekspresi. Aku sedikit bingung dengan dirinya hari ini, dan lebih memilih agar dia bisa mengutarakan segala emosinya dibanding harus bersikap dingin seperti ini.
"ma.. mau apa ra? "
"aku mau kita cerai, fan.. "
Quote:
Hey there now
Where'd you go
You left me here
So unexpected
You changed my life
I hope you know
'Cause now I'm lost
So unprotected
In the blink of an eye
I never got to say goodbye
Like a shooting star
Flying across the room
So fast so far
You were gone too soon
You're a part of me
And I'll never be the same here without you
You were gone too soon
You were always there
Like a shining light
On my darkest days
You were there to guide me
Oh I miss you now
I wish you could see
Just how much your memory
Will always mean to me
In the blink of an eye
I never got to say goodbye
Like a shooting star
Flying across the room
So fast so far
You were gone too soon
You're a part of me
And I'll never be the same here without you
You were gone too soon
Where'd you go
You left me here
So unexpected
You changed my life
I hope you know
'Cause now I'm lost
So unprotected
In the blink of an eye
I never got to say goodbye
Like a shooting star
Flying across the room
So fast so far
You were gone too soon
You're a part of me
And I'll never be the same here without you
You were gone too soon
You were always there
Like a shining light
On my darkest days
You were there to guide me
Oh I miss you now
I wish you could see
Just how much your memory
Will always mean to me
In the blink of an eye
I never got to say goodbye
Like a shooting star
Flying across the room
So fast so far
You were gone too soon
You're a part of me
And I'll never be the same here without you
You were gone too soon
Gone Too Soon - Simple Plan
Diubah oleh saleskambing 20-12-2024 10:38
jenggalasunyi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas