- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1570
Ide Untuk Serius Kembali
Pekerjaan gue semakin hari semakin banyak dan bervariasi. Beberapa kali gue juga harus keluar kota. Walaupun nggak terlalu jauh, tapi tetap aja ini menguras tenaga dan pikiran. Kalau kata gue, lebih baik sekalian jauh dan bisa naik pesawat ketimbang yang agak dekat dengan ibukota tapi harus menggunakan mobil. Memang gue ada supir kantor yang siap mengantarkan, tapi tetap aja namanya perjalanan darat menurut gue sangat melelahkan.
Selain itu pula gue sekarang mendapatkan tugas baru, yaitu menghafal lirik untuk kembali manggung. Tapi kali ini gue akan manggung sebagai peserta lomba, dan sendirian. Gue nggak pernah mengikuti lomba karaoke untuk lagu-lagu jepang sebelumnya.
Kali pertama gue mengikuti lomba karaoke adalah sewaktu gue SMP. Kala itu gue mewakili RT gue di kompetisi karaoke memperingati HUT RI. Lomba 17-an begitulah kurang lebih. Kala itu gue menempati juara kedua, setelah kalah oleh tetangga gue yang memang harus gue akui lebih baik suaranya daripada gue. Ketika itu juga gue seperti kapok untuk menyanyi lagi. Setengah lagu kebelakang suara gue lebih banyak out of tune-nya. Itu disebabkan oleh grogi yang nggak bisa gue atasi.
Bertahun-tahun kemudian, barulah gue kembali berani untuk memegang mikrofon kembali. Kala itu, sewaktu gue kelas satu SMA, dimana gue sekelas dengan Drian, setiap kelas diminta untuk menampilkan satu jenis kesenian. Bisa menyanyi, bisa menari, bisa melukis, puisi, atau ngeband.
Gue yang bertindak sebagai ketua kelas saat itu berpikir harus ada tampilan yang berbeda dibanding kelas lain agar bisa diingat oleh seantero sekolah. Ketika kelas lain menampilkan seni-seni seperti menyanyi solo dan menari atau puisi, gue mengidekan untuk ngeband dan seisi kelas menyetujui ide gue tersebut.
Permasalahan selanjutnya adalah, siapa personilnya? Gue hanya tau Drian sebagai orang yang gue kenal dari sejak SMP dan jago bermain gitar. Sementara basist dan drumer gue nggak tau sama sekali. Posisi vokalis pun belum ada. Pada akhirnya dua orang teman sekelas gue mengajukan diri sebagai bassist dan drumer. Gue masih meragukan kemampuan mereka, tapi daripada nggak ada, yaudah oke aja dulu.
Proses pencarian vokalis pun melalui perdebatan yang cukup panjang kala itu. Kesimpulan akhirnya adalah gue aja yang mengajukan diri sebagai vokalis. Kenapa? Karena kala itu gue belum bisa main alat musik sama sekali. Bahkan main gitar aja belum lancar sama sekali. Lubuk hati terdalam gue sebenarnya menginginkan posisi bassist. Tapi karena kemampuan bermain bas gue nggak sejago Papa (yang dulunya ngeband juga sama kakak-adiknya), gue memilih untuk jadi vokalis aja.
Anak-anak semua setuju. Dan inilah cikal bakal gue ngeband bareng Drian sampai saat ini. Kalau ditotal gue bareng sama Drian sudah hampir 20 tahun ngeband. Sempat juga kami berada dipersimpangan antara mau profesional atau tidak. Pada akhirnya kami semua memilih musik sebagai hobi, bukan sebagai sarana menghasilkan uang (profesional).
Latihan band pertama berlangsung sangat kacau dan amburadul. Kami masih mencari bentuk yang terbaik dari band. Mempelajari ritme bermain satu sama lain dan sebagainya. Tapi disana juga gue melatih kepercayaan diri gue dan membagi ego untuk tidak diutamakan sendiri. Disinilah persahabatan antara gue dan Drian serta kemudian menyusul Arko berkembang. Sampai saat ini persahabatan kami bertiga juga masih terus terjaga ddengan baik.
--
Gue sangat nervous memikirkan untuk kompetisi ini. Tapi disinilah peran sentral Emi dikehidupan gue yang semakin terasa. Emi selalu memberikan support yang nggak cuma ‘semangat ya sayang, kamu pasti bisa!’ dan sejenis itu. Tapi juga membantu sekiranya masalah apa yang dihadapi. Dari mulai intonasi, artikulasi pengucapan kata, sampai gimmick yang harus gue lakukan pun dia bantu.
Gue sudah menentukan lagu apa yang akan dibawakan nanti, jadi Emi browsing live-nya band ini kalau membawakan lagu yang akan gue bawakan seperti apa. Setelah dipelajari dari live mereka, barulah dianalisis kira-kira harus seperti apa pembawaan gue nanti. Feeling apa yang harus gue rasakan, gerakan apa yang sekiranya dapat mendukung performa diatas panggung dan sebagainya.
Emi pun memikirkan kostum apa yang kira-kira pas dengan suasana lagu ini dan cocok untuk gue pakai. Mungkin tingkat percaya diri Emi nggak sebesar gue ketika menghadapi khalayak ramai, tapi konsep dia untuk membentuk karakter gue dipanggung layak diacungi jempol.
Gue belum pernah liat manajer se-prepared ini. Ara aja yang udah gue anggap sempurna ternyata masih kalah dengan Emi. semua yang ada di Ara, ada di Emi. bahkan untuk pengalaman yang masih minimpun, Emi bisa mengimbangi performa Ara selama ini. Secara profesional gue melihat Emi nggak kalah kok dari Ara, malah menang banyak karena dia benar-benar menganalisa secara detail, sementara Ara lebih ke manajemen sebuah bandnya aja.
Bedanya saat itu, Emi belum pengalaman untuk masalah manajemen band, dari mulai ngurus personil secara personal, mengurus deal, membuat proposal perjanjian, kontrak, kostum dan lain sebagainya. Tapi gue yakin, dengan berjalannya waktu dan banyaknya pengalaman yang akan didapat nanti, Emi akan jauh lebih oke dari Ara. Entah kenapa gue sangat yakin dengan kemampuan Emi.
Kepercayaan gue datang dari kemampuan Emi dalam mengelola banyak situs online (blog pribadi, web untuk fanbase band XYZ lokal dan internasional, web pengetahuan tentang segala sesuatu tentang negara Jepang), mengelola perkumpulan fanbase band visual kei di Indonesia, jadi admin salah satu fanbase band ini dilevel worldwide, dan tetap tidak meninggalkan urusan real life dia yang udah super sibuk (maklum sejurusan, jadinya gue tau ribetnya kayak apaan. Hehe.).
--
Nggak kerasa waktu lomba pun telah tiba. Gue sudah mempersiapkan semaksimal yang gue bisa. Tapi tetap aja rasa grogi itu ada. Apalagi gue kembali keatas panggung sendirian setelah sekian lama vakum dari dunia band-bandan ini.
Gue diinstruksikan untuk membawa kaos oblong hitam dan blazer warna biru dongker yang gue punya. Katanya nanti juga ada mau dimake up-in. gue sih senang-senang aja karena kalau pakai make up pas manggung itu rasanya jadi lebih percaya diri. Bukan make up kayak cewek-cewek pakai seperti hari-hari mereka ya, tapi ya make up ala visual kei, tapi sederhana aja nggak ribet. Yang pasti adalah memakai eye liner dan terlihat smokey eyes-nya.
Kami kesana memakai motor kesayangan gue. Karena daerahnya termasuk daerah yang suka macet, makanya gue memutuskan untuk memakai kendaraan roda dua ini. Dan ternyata memang lebih cepat sampai jadinya.
Kampus internasional ini lokasinya sangat strategis dan pastinya diisi sama orang-orang yang ibu bapaknya berpenghasilan lebih semua. Emi langsung menuju meja registrasi dan menyerahkan lagu minus one yang sudah gue siapkan di flashdisk.
Ternyata gue mendapatkan urutan ke-3 saat itu. Agak jiper juga sih karena acara tersebut masih sangat sepi. Sepertinya para penonton dikomunitas jepangan saat itu lebih memilih untuk datang agak lebih siang, karena acaranya lebih menarik siang menjelang sore.
“Panggungnya ada diluar kan ya? nggak didalam ruangan?” tanya gue ke Emi.
“Iya, kayaknya ada dibagian belakang tuh. Mau liat-liat dulu situasinya?” jawab Emi dengan pertanyaan berikutnya.
“Iya, aku kebiasaannya dulu juga gitu. Bedanya, dulu kalau datang pagi itu buat check sound. Datang pagi buta, check semuanya, terus liat-liat lingkungannya kayak gimana, desain panggungnya kayak apa, terus keliling sebentar, habis itu pulang deh.”
“Lah, kok pulang?”
“Hahaha.. ya nggak pulang kerumah gitu. Maksudnya menyingkir dulu dari panggung. Soalnya biasanya band aku kan suka jadi Featuring atau Guest Star, manggungnya sore ke malam biasanya. Jadinya daripada bengong nggak jelas, mending pulang dulu. Dulu suka mampir sambil numpang tidur dikantor. Hehehe.”
“Oh iya ya? hahaha. Tapi iya juga sih Zy. Ngapain juga kelamaan disekitar lokasi acara. Toh kalau pagi-pagi gini masih pada beres-beres. Ini aja stand-stand buat jualannya banyak yang masih dirapihin.”
“Makanya itu kan. Tapi nggak tau sih kalau sekarang gimana ini penontonnya.”
“Ya kita liat aja nanti. Yaudah kita keliling lagi. Yuk ke stand-stand sebelah sana.” Kata Emi menunjuk kesalah satu tempat stand berada.
“Aku sih pingin banget ketemu sama teman-teman aku yang dulu. Kali aja bisa ketemu kan.”
“Dan itu sebabnya kamu pake baju ala harajuku gini kan? Hehehehe.”
“Kenapa kamu nggak suka ya Zy? Aneh ya?”
“Lah, nggak aneh. Aku malah suka. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Kamu suka begini kan? Aku juga nggak masalah kok.”
“Jadi Erika itu bagian dari hidup aku juga. Biar bisa lebih berekspresi.”
“Ya nggak apa-apa udah. Santai aja.”
Gue dan Emi pun meneruskan jalan-jalan dilingkungan sekitar. Kampus ini nggak terlalu besar tapi fasilitasnya lengkap banget. Bahasa yang digunakan juga nggak cuma bahasa Indonesia aja, tapi juga bahasa inggris. Dan kampus ini juga merupakan kampus sepupu gue si Emir.
Setelah selesai berkeliling dikampus kecil tapi mewah ini, gue dan Emi mencari spot yang agak sepi untuk berdandan. Dandan simpel yang penting keliatan smokey eyes. Haha. Gue udah memakai kaos oblong hitam yang akan dipakai untuk manggung. Memang agak repot juga ternyata kalau harus bawa blazer dengan menggunakan motor. Tapi ya daripada macet terus telat kan?
Acara sempat molor sekitar satu jam. Dan gue jadinya kebagian tampil jelang makan siang, atau sehabis azan zuhur. Sudah habis azan zuhur aja masih sepi pengunjungnya. Ini pengunjung sudah benar-benar berbeda keadaannya dengan komunitas jaman dulu. Emi bilang juga kalau ini sudah berbeda. Kalau komunitas jaman Emi aja bilang ini udah beda, gimana waktu jaman gue dulu? Sangat-sangat luar biasa berbeda.
Disini orang hanya datang untuk menghargai artis yang mereka kagumi aja. Kalau yang nggak mereka idolakan, atau minimal kenal dengan mereka, ya siap-siap aja kecewa karena nggak dapat apresiasi. Okelah, kalau bawain lagu-lagu kesukaan mereka, ya bakal tetap ada apresiasi walaupun nggak dikenal. Tapi kalau nggak memenuhi kriteria tersebut, jangan harap ada apresiasi.
Itulah yang terjadi. Gue manggung membawakan cover lagu jepang dari band yang cukup jadul bagi penonton masa kini. Bahkan dikomunitas jaman Emi aja, band ini udah cukup jadul hitungannya. Saat gue naik keatas, hanya tepuk tangan beberapa orang aja yang terdengar. Lalu ketika gue manggung pun sepertinya nggak ada yang tau lagu yang gue bawakan.
Sementara saingan gue lainnya memainkan strategi yang lebih baru dan fresh, memainkan lagu-lagu yang banyak orang tau, atau yang orang ingin dengar. Sebenarnya ini strategi standar dari marketing sebuah grup band atau idol sih. Mengikuti pasar yang ada. Tapi paling tidak, hargailah mereka yang sudah susah payah berlatih untuk manggung. Walaupun nggak tau lagunya ya jangan hanya duduk-duduk bersama dengan koloninya masing-masing tanpa apresiasi mereka yang sedang ada diatas panggung.
Ada beberapa penyebab keadaan komunitas ini jadi begini saat ini. Yang pertama adalah faktor teman. Mau gimanapun performanya diatas panggung, sejelek apapun, tapi kalau pertemanan kita luas pasti akan dapat apresiasi. Kedua adalah dari faktor lagu yang dipilih dan skill membawakannya. Semakin rapi atau semakin mirip asli, maka apresiasi akan datang. Tapi ini pun ada penghambat yang jadi faktor ketiga, yaitu sesuai nggak sama yang diinginkan penonton.
Kembali lagi seperti hukum jual beli, kalau pembeli adalah raja. Mereka yang berhak untuk menentukan. Mau bagaimanapun bagusnya kemasan, isi dan nilai tambahnya, kalau pembelinya nggak ada dan nggak minat, produk tersebut nggak akan pernah laku. Awareness macam ini yang belum gue dan Emi pahami ketika memutuskan kembali ke dunia jepangan.
Jadinya sudah bisa ketebak kan? Apresiasi terhadap apa yang gue bawakan dipanggung pun jadi minimal. Tapi gue bersyukur ada juri yang cukup terkesan dengan penampilan gue. Mungkin si juri melihat secara profesional ya, walaupun gue juga nggak yakin si juri yang keliatannya lebih muda dari gue ini tau lagu yang gue bawakan tadi.
Beberapa peserta lainnya pun ternyata bernasib sama dengan gue. Bahkan yang full band aja manggung dengan membawakan lagu jadul yang gue tau, tapi kebanyakan penonton nggak tau, apresiasinya pun minim. Padahal band ini sangat rapi membawakan lagunya, detail dari lagu pun sangat terasa.
Sedangkan ada dance cover yang sepertinya anggotanya anak-anak SMP baru pada belajar dance, karena lagunya saat itu sangat terkenal seperti AKB48, sudah ketebak kan apa yang terjadi? Penonton membludak, berjoget-joget riang didepan panggung dan mengelu-elukan si idol dengan chant-chant tertentu. Padahal kalau dari sisi seninya, performer muda ini sangat perlu banyak untuk berlatih kembali kalau nggak mau dibilang jelek. Visualisasi yang imut-imut kawaii gitu juga membuat para penonton sangat bersemangat.
Selesai gue manggung, karena gue terbiasa menghargai penampilan orang, gue tetap bertepuk tangan siapapun yang sudah manggung diatas sana. Apresiasi itu penting. Bisa menaikkan moral orang yang sedang tampil dan meningkatkan kepercayaan diri mereka juga kedepannya. Walaupun ketika ada performer yang jelek pun ya dihargai dulu aja, setelahnya baru dikasih kritik, kalau mau terima itu juga.
Selain itu semua, ada kebingungan lainnya yakni kalau performer jelek, tapi ternyata dipuji sudah bagus dan pada akhirnya mereka nggak berkembang sama sekali. Hal inilah yang sangat gue takutkan sebenarnya. Kasihan mereka kedepannya sudah merasa bagus padahal masih harus belajar lagi, jadinya stuck nggak berkembang sama sekali kemampuannya.
Ini berlaku juga dimanapun, dari mulai urusan kampus sampai urusan pekerjaan. Kalau memang jelek ada baiknya dikritik yang membangun, jangan malah dibiarkan, nanti jadinya nggak tau dimana persisnya kesalahannya. Akhirnya malah membuat kesalahan yang berulang.
Ketika gue manggung, ada salah satu juri yang menyatakan suara gue mirip penyanyi aslinya. Gue senang sih, tapi justru itu yang bisa jadi bumerang. Harusnya kalau lomba karaoke itu kan keluar dari bayang-bayang penyanyi aslinya. Gue pun menerima pujian tersebut dan sekalian ingin melakukan perbaikan kedepannya.
Sore harinya tibalah saatnya pengumuman pemenang. Gue sangat deg-degan menghadapinya. Tapi gue emang nggak berharap banyak kok. Karena kebanyakan saingan gue saat itu adalah jebolan les vokal semua, sedangkan gue hanya mengandalkan bakat yang terasah karena pengalaman aja, sisanya belajar otodidak.
Dan pada akhirnya gue nggak menang sama sekali. Kecewa? Pastilah. Tapi ini langsung menjadi pengingat gue, kalau tempat yang tepat adalah menjadi seorang vokalis bersama band, tidak sendirian seperti ini.
“Hey, jangan bete gitu dong. Namanya lomba kan bisa menang atau kalah. Mungkin lo merasa udah sempurna tadi diatas panggung, tapi mungkin menurut juri masih ada yang lebih sempurna dan sesuai dengan kriteria dia. Jangan give up yak? Ayo semangat! Kita coba lomba karaoke lainnya lagi.” Emi mencoba mengangkat moral gue.
“Nggak Mi, gue nggak mau karaoke-an lagi ah.” Kata gue.
“Loh? Terus udahan gitu aja nih? Kita nggak mau ke event lagi? Anj*ng amat!” Emi menyahut ketus.
“Ya nggak gitu. Kita tetep ke event kok. Tapi gue punya satu keinginan.” Ujar gue.
“Apaan?”
“Gue mau manggung lagi di event, bareng band gue.”
“Band? Bukannya anggota band lo udah pada entah dimana yak?”
“Kita hubungin lagi semuanya. Bujuk mereka buat balik nge-band lagi!”
“Lo nggak apa apa kalau nanti misalnya didiemin sama penonton kayak tadi?”
“Ya kita bikin band kembali jaya lah! Walopun sulit sih kayaknya! Tapi setidaknya anak-anak band bisa punya panggungan!”
“Kita?”
“Iya, kita! Mi, lo mau kan jadi pengganti Ara? Lo mau kan jadi manajer band gue nanti?”
Gue sangat serius menanyakan ini, karena ya gue yakin aja dengan kemampuan dan kreativitas Emi.
“Hmm. Gue kan nggak punya pengalaman di urusan band kaya gini, Zy. Tapi mungkin bisa gue coba ya. Kalau jadi panitia acara gede aja gue bisa atur, masa band gini gue nggak bisa? Tapi apa nggak apa-apa anak-anak band lo nanti kalo tau vokalis sama manajer band-nya punya hubungan?”
“Gue bikin mereka ngerti dan gue yakin mereka pasti bisa ngertiin kok. Gimana?”
“Boleh aja sih kalo itu mau lo. Tapi janji jangan berenti nyanyi dan mau ngejalanin konsep yang gue bikin yak?”
“SILAHKAN! Hahaha. Gue percaya kok sama kemampuan lo. Selalu. Lo itu cerdas, jadi cuma perlu penyesuaian dikit pasti bisa ngikutin dunia band-band-an ini deh.”
“Selalu? Kalo gitu gue nanti dibayarnya dong harusnya?”
“Kalo ada bayaran, lo embat dah bayarannya.”
“Gue nggak mau dibayar pake duit masalahnya, Zy.”
“Terus maunya dibayar pake apaan? Cinta?”
“TYTYD!”
“Oke siap! Rocky siap melayani Anda!”
“Bangs*t gue salah ngomong!” tutup Emi.
Kami pun tertawa kembali dan menikmati acara sampai jelang penutupan.
Selain itu pula gue sekarang mendapatkan tugas baru, yaitu menghafal lirik untuk kembali manggung. Tapi kali ini gue akan manggung sebagai peserta lomba, dan sendirian. Gue nggak pernah mengikuti lomba karaoke untuk lagu-lagu jepang sebelumnya.
Kali pertama gue mengikuti lomba karaoke adalah sewaktu gue SMP. Kala itu gue mewakili RT gue di kompetisi karaoke memperingati HUT RI. Lomba 17-an begitulah kurang lebih. Kala itu gue menempati juara kedua, setelah kalah oleh tetangga gue yang memang harus gue akui lebih baik suaranya daripada gue. Ketika itu juga gue seperti kapok untuk menyanyi lagi. Setengah lagu kebelakang suara gue lebih banyak out of tune-nya. Itu disebabkan oleh grogi yang nggak bisa gue atasi.
Bertahun-tahun kemudian, barulah gue kembali berani untuk memegang mikrofon kembali. Kala itu, sewaktu gue kelas satu SMA, dimana gue sekelas dengan Drian, setiap kelas diminta untuk menampilkan satu jenis kesenian. Bisa menyanyi, bisa menari, bisa melukis, puisi, atau ngeband.
Gue yang bertindak sebagai ketua kelas saat itu berpikir harus ada tampilan yang berbeda dibanding kelas lain agar bisa diingat oleh seantero sekolah. Ketika kelas lain menampilkan seni-seni seperti menyanyi solo dan menari atau puisi, gue mengidekan untuk ngeband dan seisi kelas menyetujui ide gue tersebut.
Permasalahan selanjutnya adalah, siapa personilnya? Gue hanya tau Drian sebagai orang yang gue kenal dari sejak SMP dan jago bermain gitar. Sementara basist dan drumer gue nggak tau sama sekali. Posisi vokalis pun belum ada. Pada akhirnya dua orang teman sekelas gue mengajukan diri sebagai bassist dan drumer. Gue masih meragukan kemampuan mereka, tapi daripada nggak ada, yaudah oke aja dulu.
Proses pencarian vokalis pun melalui perdebatan yang cukup panjang kala itu. Kesimpulan akhirnya adalah gue aja yang mengajukan diri sebagai vokalis. Kenapa? Karena kala itu gue belum bisa main alat musik sama sekali. Bahkan main gitar aja belum lancar sama sekali. Lubuk hati terdalam gue sebenarnya menginginkan posisi bassist. Tapi karena kemampuan bermain bas gue nggak sejago Papa (yang dulunya ngeband juga sama kakak-adiknya), gue memilih untuk jadi vokalis aja.
Anak-anak semua setuju. Dan inilah cikal bakal gue ngeband bareng Drian sampai saat ini. Kalau ditotal gue bareng sama Drian sudah hampir 20 tahun ngeband. Sempat juga kami berada dipersimpangan antara mau profesional atau tidak. Pada akhirnya kami semua memilih musik sebagai hobi, bukan sebagai sarana menghasilkan uang (profesional).
Latihan band pertama berlangsung sangat kacau dan amburadul. Kami masih mencari bentuk yang terbaik dari band. Mempelajari ritme bermain satu sama lain dan sebagainya. Tapi disana juga gue melatih kepercayaan diri gue dan membagi ego untuk tidak diutamakan sendiri. Disinilah persahabatan antara gue dan Drian serta kemudian menyusul Arko berkembang. Sampai saat ini persahabatan kami bertiga juga masih terus terjaga ddengan baik.
--
Gue sangat nervous memikirkan untuk kompetisi ini. Tapi disinilah peran sentral Emi dikehidupan gue yang semakin terasa. Emi selalu memberikan support yang nggak cuma ‘semangat ya sayang, kamu pasti bisa!’ dan sejenis itu. Tapi juga membantu sekiranya masalah apa yang dihadapi. Dari mulai intonasi, artikulasi pengucapan kata, sampai gimmick yang harus gue lakukan pun dia bantu.
Gue sudah menentukan lagu apa yang akan dibawakan nanti, jadi Emi browsing live-nya band ini kalau membawakan lagu yang akan gue bawakan seperti apa. Setelah dipelajari dari live mereka, barulah dianalisis kira-kira harus seperti apa pembawaan gue nanti. Feeling apa yang harus gue rasakan, gerakan apa yang sekiranya dapat mendukung performa diatas panggung dan sebagainya.
Emi pun memikirkan kostum apa yang kira-kira pas dengan suasana lagu ini dan cocok untuk gue pakai. Mungkin tingkat percaya diri Emi nggak sebesar gue ketika menghadapi khalayak ramai, tapi konsep dia untuk membentuk karakter gue dipanggung layak diacungi jempol.
Gue belum pernah liat manajer se-prepared ini. Ara aja yang udah gue anggap sempurna ternyata masih kalah dengan Emi. semua yang ada di Ara, ada di Emi. bahkan untuk pengalaman yang masih minimpun, Emi bisa mengimbangi performa Ara selama ini. Secara profesional gue melihat Emi nggak kalah kok dari Ara, malah menang banyak karena dia benar-benar menganalisa secara detail, sementara Ara lebih ke manajemen sebuah bandnya aja.
Bedanya saat itu, Emi belum pengalaman untuk masalah manajemen band, dari mulai ngurus personil secara personal, mengurus deal, membuat proposal perjanjian, kontrak, kostum dan lain sebagainya. Tapi gue yakin, dengan berjalannya waktu dan banyaknya pengalaman yang akan didapat nanti, Emi akan jauh lebih oke dari Ara. Entah kenapa gue sangat yakin dengan kemampuan Emi.
Kepercayaan gue datang dari kemampuan Emi dalam mengelola banyak situs online (blog pribadi, web untuk fanbase band XYZ lokal dan internasional, web pengetahuan tentang segala sesuatu tentang negara Jepang), mengelola perkumpulan fanbase band visual kei di Indonesia, jadi admin salah satu fanbase band ini dilevel worldwide, dan tetap tidak meninggalkan urusan real life dia yang udah super sibuk (maklum sejurusan, jadinya gue tau ribetnya kayak apaan. Hehe.).
--
Nggak kerasa waktu lomba pun telah tiba. Gue sudah mempersiapkan semaksimal yang gue bisa. Tapi tetap aja rasa grogi itu ada. Apalagi gue kembali keatas panggung sendirian setelah sekian lama vakum dari dunia band-bandan ini.
Gue diinstruksikan untuk membawa kaos oblong hitam dan blazer warna biru dongker yang gue punya. Katanya nanti juga ada mau dimake up-in. gue sih senang-senang aja karena kalau pakai make up pas manggung itu rasanya jadi lebih percaya diri. Bukan make up kayak cewek-cewek pakai seperti hari-hari mereka ya, tapi ya make up ala visual kei, tapi sederhana aja nggak ribet. Yang pasti adalah memakai eye liner dan terlihat smokey eyes-nya.
Kami kesana memakai motor kesayangan gue. Karena daerahnya termasuk daerah yang suka macet, makanya gue memutuskan untuk memakai kendaraan roda dua ini. Dan ternyata memang lebih cepat sampai jadinya.
Kampus internasional ini lokasinya sangat strategis dan pastinya diisi sama orang-orang yang ibu bapaknya berpenghasilan lebih semua. Emi langsung menuju meja registrasi dan menyerahkan lagu minus one yang sudah gue siapkan di flashdisk.
Ternyata gue mendapatkan urutan ke-3 saat itu. Agak jiper juga sih karena acara tersebut masih sangat sepi. Sepertinya para penonton dikomunitas jepangan saat itu lebih memilih untuk datang agak lebih siang, karena acaranya lebih menarik siang menjelang sore.
“Panggungnya ada diluar kan ya? nggak didalam ruangan?” tanya gue ke Emi.
“Iya, kayaknya ada dibagian belakang tuh. Mau liat-liat dulu situasinya?” jawab Emi dengan pertanyaan berikutnya.
“Iya, aku kebiasaannya dulu juga gitu. Bedanya, dulu kalau datang pagi itu buat check sound. Datang pagi buta, check semuanya, terus liat-liat lingkungannya kayak gimana, desain panggungnya kayak apa, terus keliling sebentar, habis itu pulang deh.”
“Lah, kok pulang?”
“Hahaha.. ya nggak pulang kerumah gitu. Maksudnya menyingkir dulu dari panggung. Soalnya biasanya band aku kan suka jadi Featuring atau Guest Star, manggungnya sore ke malam biasanya. Jadinya daripada bengong nggak jelas, mending pulang dulu. Dulu suka mampir sambil numpang tidur dikantor. Hehehe.”
“Oh iya ya? hahaha. Tapi iya juga sih Zy. Ngapain juga kelamaan disekitar lokasi acara. Toh kalau pagi-pagi gini masih pada beres-beres. Ini aja stand-stand buat jualannya banyak yang masih dirapihin.”
“Makanya itu kan. Tapi nggak tau sih kalau sekarang gimana ini penontonnya.”
“Ya kita liat aja nanti. Yaudah kita keliling lagi. Yuk ke stand-stand sebelah sana.” Kata Emi menunjuk kesalah satu tempat stand berada.
“Aku sih pingin banget ketemu sama teman-teman aku yang dulu. Kali aja bisa ketemu kan.”
“Dan itu sebabnya kamu pake baju ala harajuku gini kan? Hehehehe.”
“Kenapa kamu nggak suka ya Zy? Aneh ya?”
“Lah, nggak aneh. Aku malah suka. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Kamu suka begini kan? Aku juga nggak masalah kok.”
“Jadi Erika itu bagian dari hidup aku juga. Biar bisa lebih berekspresi.”
“Ya nggak apa-apa udah. Santai aja.”
Gue dan Emi pun meneruskan jalan-jalan dilingkungan sekitar. Kampus ini nggak terlalu besar tapi fasilitasnya lengkap banget. Bahasa yang digunakan juga nggak cuma bahasa Indonesia aja, tapi juga bahasa inggris. Dan kampus ini juga merupakan kampus sepupu gue si Emir.
Setelah selesai berkeliling dikampus kecil tapi mewah ini, gue dan Emi mencari spot yang agak sepi untuk berdandan. Dandan simpel yang penting keliatan smokey eyes. Haha. Gue udah memakai kaos oblong hitam yang akan dipakai untuk manggung. Memang agak repot juga ternyata kalau harus bawa blazer dengan menggunakan motor. Tapi ya daripada macet terus telat kan?
Acara sempat molor sekitar satu jam. Dan gue jadinya kebagian tampil jelang makan siang, atau sehabis azan zuhur. Sudah habis azan zuhur aja masih sepi pengunjungnya. Ini pengunjung sudah benar-benar berbeda keadaannya dengan komunitas jaman dulu. Emi bilang juga kalau ini sudah berbeda. Kalau komunitas jaman Emi aja bilang ini udah beda, gimana waktu jaman gue dulu? Sangat-sangat luar biasa berbeda.
Disini orang hanya datang untuk menghargai artis yang mereka kagumi aja. Kalau yang nggak mereka idolakan, atau minimal kenal dengan mereka, ya siap-siap aja kecewa karena nggak dapat apresiasi. Okelah, kalau bawain lagu-lagu kesukaan mereka, ya bakal tetap ada apresiasi walaupun nggak dikenal. Tapi kalau nggak memenuhi kriteria tersebut, jangan harap ada apresiasi.
Itulah yang terjadi. Gue manggung membawakan cover lagu jepang dari band yang cukup jadul bagi penonton masa kini. Bahkan dikomunitas jaman Emi aja, band ini udah cukup jadul hitungannya. Saat gue naik keatas, hanya tepuk tangan beberapa orang aja yang terdengar. Lalu ketika gue manggung pun sepertinya nggak ada yang tau lagu yang gue bawakan.
Sementara saingan gue lainnya memainkan strategi yang lebih baru dan fresh, memainkan lagu-lagu yang banyak orang tau, atau yang orang ingin dengar. Sebenarnya ini strategi standar dari marketing sebuah grup band atau idol sih. Mengikuti pasar yang ada. Tapi paling tidak, hargailah mereka yang sudah susah payah berlatih untuk manggung. Walaupun nggak tau lagunya ya jangan hanya duduk-duduk bersama dengan koloninya masing-masing tanpa apresiasi mereka yang sedang ada diatas panggung.
Ada beberapa penyebab keadaan komunitas ini jadi begini saat ini. Yang pertama adalah faktor teman. Mau gimanapun performanya diatas panggung, sejelek apapun, tapi kalau pertemanan kita luas pasti akan dapat apresiasi. Kedua adalah dari faktor lagu yang dipilih dan skill membawakannya. Semakin rapi atau semakin mirip asli, maka apresiasi akan datang. Tapi ini pun ada penghambat yang jadi faktor ketiga, yaitu sesuai nggak sama yang diinginkan penonton.
Kembali lagi seperti hukum jual beli, kalau pembeli adalah raja. Mereka yang berhak untuk menentukan. Mau bagaimanapun bagusnya kemasan, isi dan nilai tambahnya, kalau pembelinya nggak ada dan nggak minat, produk tersebut nggak akan pernah laku. Awareness macam ini yang belum gue dan Emi pahami ketika memutuskan kembali ke dunia jepangan.
Jadinya sudah bisa ketebak kan? Apresiasi terhadap apa yang gue bawakan dipanggung pun jadi minimal. Tapi gue bersyukur ada juri yang cukup terkesan dengan penampilan gue. Mungkin si juri melihat secara profesional ya, walaupun gue juga nggak yakin si juri yang keliatannya lebih muda dari gue ini tau lagu yang gue bawakan tadi.
Beberapa peserta lainnya pun ternyata bernasib sama dengan gue. Bahkan yang full band aja manggung dengan membawakan lagu jadul yang gue tau, tapi kebanyakan penonton nggak tau, apresiasinya pun minim. Padahal band ini sangat rapi membawakan lagunya, detail dari lagu pun sangat terasa.
Sedangkan ada dance cover yang sepertinya anggotanya anak-anak SMP baru pada belajar dance, karena lagunya saat itu sangat terkenal seperti AKB48, sudah ketebak kan apa yang terjadi? Penonton membludak, berjoget-joget riang didepan panggung dan mengelu-elukan si idol dengan chant-chant tertentu. Padahal kalau dari sisi seninya, performer muda ini sangat perlu banyak untuk berlatih kembali kalau nggak mau dibilang jelek. Visualisasi yang imut-imut kawaii gitu juga membuat para penonton sangat bersemangat.
Selesai gue manggung, karena gue terbiasa menghargai penampilan orang, gue tetap bertepuk tangan siapapun yang sudah manggung diatas sana. Apresiasi itu penting. Bisa menaikkan moral orang yang sedang tampil dan meningkatkan kepercayaan diri mereka juga kedepannya. Walaupun ketika ada performer yang jelek pun ya dihargai dulu aja, setelahnya baru dikasih kritik, kalau mau terima itu juga.
Selain itu semua, ada kebingungan lainnya yakni kalau performer jelek, tapi ternyata dipuji sudah bagus dan pada akhirnya mereka nggak berkembang sama sekali. Hal inilah yang sangat gue takutkan sebenarnya. Kasihan mereka kedepannya sudah merasa bagus padahal masih harus belajar lagi, jadinya stuck nggak berkembang sama sekali kemampuannya.
Ini berlaku juga dimanapun, dari mulai urusan kampus sampai urusan pekerjaan. Kalau memang jelek ada baiknya dikritik yang membangun, jangan malah dibiarkan, nanti jadinya nggak tau dimana persisnya kesalahannya. Akhirnya malah membuat kesalahan yang berulang.
Ketika gue manggung, ada salah satu juri yang menyatakan suara gue mirip penyanyi aslinya. Gue senang sih, tapi justru itu yang bisa jadi bumerang. Harusnya kalau lomba karaoke itu kan keluar dari bayang-bayang penyanyi aslinya. Gue pun menerima pujian tersebut dan sekalian ingin melakukan perbaikan kedepannya.
Sore harinya tibalah saatnya pengumuman pemenang. Gue sangat deg-degan menghadapinya. Tapi gue emang nggak berharap banyak kok. Karena kebanyakan saingan gue saat itu adalah jebolan les vokal semua, sedangkan gue hanya mengandalkan bakat yang terasah karena pengalaman aja, sisanya belajar otodidak.
Dan pada akhirnya gue nggak menang sama sekali. Kecewa? Pastilah. Tapi ini langsung menjadi pengingat gue, kalau tempat yang tepat adalah menjadi seorang vokalis bersama band, tidak sendirian seperti ini.
“Hey, jangan bete gitu dong. Namanya lomba kan bisa menang atau kalah. Mungkin lo merasa udah sempurna tadi diatas panggung, tapi mungkin menurut juri masih ada yang lebih sempurna dan sesuai dengan kriteria dia. Jangan give up yak? Ayo semangat! Kita coba lomba karaoke lainnya lagi.” Emi mencoba mengangkat moral gue.
“Nggak Mi, gue nggak mau karaoke-an lagi ah.” Kata gue.
“Loh? Terus udahan gitu aja nih? Kita nggak mau ke event lagi? Anj*ng amat!” Emi menyahut ketus.
“Ya nggak gitu. Kita tetep ke event kok. Tapi gue punya satu keinginan.” Ujar gue.
“Apaan?”
“Gue mau manggung lagi di event, bareng band gue.”
“Band? Bukannya anggota band lo udah pada entah dimana yak?”
“Kita hubungin lagi semuanya. Bujuk mereka buat balik nge-band lagi!”
“Lo nggak apa apa kalau nanti misalnya didiemin sama penonton kayak tadi?”
“Ya kita bikin band kembali jaya lah! Walopun sulit sih kayaknya! Tapi setidaknya anak-anak band bisa punya panggungan!”
“Kita?”
“Iya, kita! Mi, lo mau kan jadi pengganti Ara? Lo mau kan jadi manajer band gue nanti?”
Gue sangat serius menanyakan ini, karena ya gue yakin aja dengan kemampuan dan kreativitas Emi.
“Hmm. Gue kan nggak punya pengalaman di urusan band kaya gini, Zy. Tapi mungkin bisa gue coba ya. Kalau jadi panitia acara gede aja gue bisa atur, masa band gini gue nggak bisa? Tapi apa nggak apa-apa anak-anak band lo nanti kalo tau vokalis sama manajer band-nya punya hubungan?”
“Gue bikin mereka ngerti dan gue yakin mereka pasti bisa ngertiin kok. Gimana?”
“Boleh aja sih kalo itu mau lo. Tapi janji jangan berenti nyanyi dan mau ngejalanin konsep yang gue bikin yak?”
“SILAHKAN! Hahaha. Gue percaya kok sama kemampuan lo. Selalu. Lo itu cerdas, jadi cuma perlu penyesuaian dikit pasti bisa ngikutin dunia band-band-an ini deh.”
“Selalu? Kalo gitu gue nanti dibayarnya dong harusnya?”
“Kalo ada bayaran, lo embat dah bayarannya.”
“Gue nggak mau dibayar pake duit masalahnya, Zy.”
“Terus maunya dibayar pake apaan? Cinta?”
“TYTYD!”
“Oke siap! Rocky siap melayani Anda!”
“Bangs*t gue salah ngomong!” tutup Emi.
Kami pun tertawa kembali dan menikmati acara sampai jelang penutupan.
itkgid dan 27 lainnya memberi reputasi
28
Tutup