- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#1556
Apa Harus Kembali?
Mungkin sikap gue terlalu keras terhadap Emi. mungkin juga udah kelewat batas. Jadi, pada satu kesempatan gue menyelesaikan seluruh pekerjaan gue dengan cepat, kemudian gue langsung berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Emi.
Sepanjang gue menyelesaikan pekerjaan gue, nggak lupa gue selalu chat Emi, namun nggak ada yang dibalas. Ya mungkin dia masih bete dengan sikap gue. gue terima sikap Emi seperti ini, wajar. Pada akhirnya pun ini membuat gue sadar kalau gue nggak sepenuhnya benar dalam bersikap.
Setelah selesai dengan urusan pekerjaan, gue langsung saja cabut menuju ke rumah sakit. Gue menggunakan motor gue biar cepat sampai. Sengaja gue nggak memberitahu Emi dulu supaya nggak diusir suruh pulang. Biasanya kan kalau orang lagi bete paling gampang ngusir-ngusir orang. Haha.
Gue hanya mengandalkan feeling gue aja untuk menemukan Emi ada dimana. Dan akhirnya gue bisa nemuin Emi ada dimana. Haha. Awalnya dia masih agak marah dan kemudian gue meminta maaf ke dia.
“Maafin aku. Sekarang ada aku, aku bakalan dampingin kamu terus.” Kata gue.
“Gue bisa selama ini ngejalaninnya sendiri kok. Santai aja.” sahut Emi, ketus.
“Kalo bisa aku dampingin, kenapa harus terus sendiri?”
“Tapi kemaren gue ngejalanin semuanya bisa aja kok. SENDIRIAN, tanpa lo.”
“Sekarang udah ada aku, jadi kamu nggak perlu sendiri lagi.”
“Nggak perlu.”
“Tapi aku perlu kamu.”
“Halah anj*ng! Jangan bikin perkara di rumah sakit begini? Lo kesini ikhlas nggak sih? Mau ketemu nyokap gue atau mau sok ngejar gue lagi?”
“Mau jenguk nyokap kamu lah! Karena kamu nggak perlu dikejar lagi, kan kamu MASIH pacar aku dan nggak akan pernah kita pisah!” kata gue, sedikit menekankan nada bicara, tapi tetap pelan volumenya.
“Nggak pernah pisah? Bahkan akhir-akhir ini gue berpikir, apa kita PERNAH PACARAN dari awal?” kata Emi.
Belum sempat gue membalas omongan dia, tiba-tiba dari belakang kami ada yang memanggil nama Emi. Ternyata geng toxic bajingannya itu. Ini yang sebenarnya gue malas, tapi ya biarin aja, gue nggak ada salah sama mereka. Jadi ya gue biasa-biasa aja bersikap. Harusnya kalau punya malu, mereka akan sungkan dengan gue.
“EMIII!” salah seorang dari mereka berteriak.
“Nggak betah kan ada mereka? Lo pulang aja.” bisik Emi.
Gue nggak melanjutkan obrolan kami karena Bimo, satu-satunya cowok di geng itu, menghampiri gue dan mengajak gue mengobrol. Dia sepertinya tau kalau gue nggak senang dengan kedatangan mereka. Tapi yaitu tadi, gue masih berusaha untuk biasa-biasa aja sama mereka, mengingat mereka adalah teman-teman terdekat Emi, yang udah menyakiti hati gue.
Gue pun berusaha untuk berbaur dengan mereka. Bayangkan aja, lo bergaul sama orang-orang yang jelas-jelas udah membuat lo sakit hati, itu gimana rasanya? Hahaha. Itu yang gue rasakan. Tapi demi Emi, yaudah gue berusaha untuk bersikap biasa aja. merekanya jadi yang nggak enak hati terhadap gue.
Bahasan-bahasan untuk basa basi pun banyak keluar dari mulut mereka dan gue tanggapi sekena gue aja. sikap gue pun nggak menunjukkan ketidaksukaan gue ke mereka. Gue tau awalnya Emi sangat khawatir dengan keberadaan teman-temannya yang satu tempat dengan gue akan membuat keributan kembali. Tapi gue masih bisa mengendalikan emosi gue kok. Jadi ya aman-aman aja.
Sampai sekitar jam 15.00 mereka akhirnya berpamitan untuk pulang. Sementara gue memilih untuk tetap menemani Emi. Emi masih bersikap acuh ke gue. Tapi ya sabar aja, namanya juga orang punya salah, dengan sikap Emi yang begini ya harus kuat.
Bapaknya Emi kemudian menyarankan Emi untuk pulang bareng gue. Awalnya dia menolak mentah-mentah, tapi karena kemudian ibunya juga menyarankan Emi untuk pulang, jadinya Emi pulang bareng gue.
Karena jalanan sangat macet, kebetulan jam pulang kerja, gue dan Emi akhirnya pulang ke kostan gue. Disana pun gue nggak henti-hentinya untuk meminta maaf atas konyolnya sikap gue.
--
Keuangan gue cukup mengkhawatirkan saat itu. Jadinya gue memutuskan untuk nggak melanjutkan kostan gue. Gue lebih memilih untuk balik kerumah saja. Hitung-hitung bisa hemat. Tapi konsekuensinya tentu saja gue akan menghabiskan lebih banyak waktu dijalan, entah itu naik mobil, motor, bis, ataupun KRL.
Pilihan terakhir sempat menjadi alternatif pilihan favorit gue. Karena selain cepat, murah juga. Tapi disana masih banyak terjadi aksi pencopetan, pelecehan dan tentunya drama-drama nggak penting diantara para penumpangnya. Masih banyak penumpang yang butuh edukasi mengenai empati saat itu.
Gue memutuskan untuk gantian aja menggunakan moda transportasinya. Kadang motor kadang KRL. Gue nggak memilih mobil karena keadaan ibukota yang nggak memungkinkan gue untuk membawa mobil. Kecuali kalau hujan atau gue akan meeting disuatu tempat.
Dinamika kantor gue pun semakin beragam. Dikantor yang sekarang gue banyak menerima jenis pekerjaan baru. Karena gue senang dengan tantangan, gue menerima beberapa pekerjaan tersebut. Konsekuensinya adalah waktu gue dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut jadi lebih lama.
Emi pun sudah mendapatkan kostan barunya. Dekat dengan kantor dia. Gue pun membantu dia pindahan, sekaligus menitipkan beberapa barang gue dikostan tersebut. Pada saat yang sama juga gue mengakhiri perjanjian kerjasama gue dengan bapak kostan gue.
Kostannya jauh lebih kecil dari kostan gue dulu. Emi memilih kamar ini karena memang yang tersisa hanya tinggal yang itu saja. Tanpa AC dan kamar mandinya bertipe shared-bathroom. Kostan Emi ini juga sama seperti gue dan umumnya kostan diwilayah ini, campur. Tapi ya nggak masalah juga karena semuanya sudah sama-sama tau jadi nggak ada yang usil satu sama lain.
Beberapa barang sudah mulai disusun walaupun belum rapi. Dikostan ini lebih banyak gue yang tinggal sebenarnya karena gue nggak harus selalu masuk kekantor. Jadi kadang gue tidur sampai siang, kemudian baru jalan ke kantor dan menghabiskan waktu sampai larut malam.
“Lumayan lah kamarnya. Semoga lo nggak claustrophobia ya karena tinggal dikamar sekecil ini. Hehe. Biasa kamarnya segede apaan, mendadak kecil begini. Ini bahkan lebih kecil dari kamar kosan lama lo, Mi.” kata gue.
“Ya namanya juga milih kamar yang harganya paling murah. Kalau mau lengkap semuanya dan lebih gede, harga sampai dua juta. Abis dikostan doang gaji gue dong, Zy?” sahut Emi.
“Yaudah, semoga lo nyaman ya. Baik juga bapaknya, lo kan bayar mulai Senin nanti masuknya. Eh Kamis begini lo udah dibolehin pindahan. Kan jadi enak gue udah bisa keluar kostan sebelum waktunya.”
“Iya. Mudah-mudahan beneran baik ya.” katanya sambil membuka laptop kecilnya.
“Zy, hari Minggu nanti ada event nih.” Dia kemudian berkata lagi.
“Terus?”
“Ada lomba karaoke-nya.”
“Terus?”
“Masih buka pendaftarannya sampe hari Jum’at besok.”
“Terus?”
“LO MAU IKUTAN NGGAK NYET??? LO JAWAB TERUS LAGI, GUE TELANJANG NIH!”
“WAH BAGUS DONG! TERUS TERUS TERUS?” kata gue dan langsung bangun dari posisi tidur gue.
“T*I!”
“Hahaha. Becanda sih. Udah lama gue nggak pernah lagi ke event di situ sih. Tapi…” gue menggantungkan kalimat.
“Tapi?”
“Gue nggak pernah ikutan lomba karaoke. Gue nggak pernah di atas panggung sendirian. Gue selalu sama band gue. Nggak pernah tuh bener-bener sendirian.” Pungkas gue.
“Terus kenapa?”
“Ya jiper anj*ng sendirian di atas panggung. Biasanya kan berlima, bahkan dulu manajer gue juga kadang ikut ke atas panggung.”
“Manajer lama lo? Siapa namanya? Lo nggak pernah cerita tentang manajer lama lo itu.”
“Ara.”
“Oh cewek ya. Nggak pernah nyangkut tuh lo sama dia? Kan biasanya paling manajer itu nyangkutnya sama vokalis loh. Jangan-jangan dia mantan lo lagi?”
Kebiasaan asumsi dari seorang Emi mulai lagi. Tapi kali ini nyerempet ke kebenaran sih. Hehe.
“Nggak pernah. Gue cuman klop aja sama dia. Gue nggak pernah pacaran sama dia. Udah, kenapa jadi bahas Ara sih? Elah.”
“Loh kok lo sewot sih? Kan gue cuman nanya doang. Heran. Jadi gimana? Mau ikutan nggak?”
“Boleh deh. Itung-itung balik ke event lagi dan refreshing sebelum lo mulai fokus kerja kan.”
“Oke deh. Gue hubungin panitianya ya.”
Disini gue seperti menemukan potensi lain dari Emi. Emi mau aja ngurusin gue untuk perkara lomba karaoke. Dan sekarang bahkan dia udah mencatat dan menghubungi panitia terkait dengan lomba tersebut. Ini mungkin aja peluangnya besar kalau nanti suatu saat gue mau ngeband lagi. Gue nggak usah susah-susah nyari manajer kan.
Emi kan punya kebiasaan untuk ngurusin urusan banyak orang. Baik itu urusan percintaan sampai dengan pertikaian antar teman dilingkarannya. Itulah sebabnya juga Emi dipanggil ibu peri dikampus. Karena dia selalu punya solusi terhadap segala permasalahan dan intrik yang terjadi. Dengan bakat dan kepedulian seperti ini, harusnya dia bisa beradaptasi didunia per-band-an. Masalahnya, emang siapa yang mau ngeband lagi sama gue? hahaha.
Sepanjang gue menyelesaikan pekerjaan gue, nggak lupa gue selalu chat Emi, namun nggak ada yang dibalas. Ya mungkin dia masih bete dengan sikap gue. gue terima sikap Emi seperti ini, wajar. Pada akhirnya pun ini membuat gue sadar kalau gue nggak sepenuhnya benar dalam bersikap.
Setelah selesai dengan urusan pekerjaan, gue langsung saja cabut menuju ke rumah sakit. Gue menggunakan motor gue biar cepat sampai. Sengaja gue nggak memberitahu Emi dulu supaya nggak diusir suruh pulang. Biasanya kan kalau orang lagi bete paling gampang ngusir-ngusir orang. Haha.
Gue hanya mengandalkan feeling gue aja untuk menemukan Emi ada dimana. Dan akhirnya gue bisa nemuin Emi ada dimana. Haha. Awalnya dia masih agak marah dan kemudian gue meminta maaf ke dia.
“Maafin aku. Sekarang ada aku, aku bakalan dampingin kamu terus.” Kata gue.
“Gue bisa selama ini ngejalaninnya sendiri kok. Santai aja.” sahut Emi, ketus.
“Kalo bisa aku dampingin, kenapa harus terus sendiri?”
“Tapi kemaren gue ngejalanin semuanya bisa aja kok. SENDIRIAN, tanpa lo.”
“Sekarang udah ada aku, jadi kamu nggak perlu sendiri lagi.”
“Nggak perlu.”
“Tapi aku perlu kamu.”
“Halah anj*ng! Jangan bikin perkara di rumah sakit begini? Lo kesini ikhlas nggak sih? Mau ketemu nyokap gue atau mau sok ngejar gue lagi?”
“Mau jenguk nyokap kamu lah! Karena kamu nggak perlu dikejar lagi, kan kamu MASIH pacar aku dan nggak akan pernah kita pisah!” kata gue, sedikit menekankan nada bicara, tapi tetap pelan volumenya.
“Nggak pernah pisah? Bahkan akhir-akhir ini gue berpikir, apa kita PERNAH PACARAN dari awal?” kata Emi.
Belum sempat gue membalas omongan dia, tiba-tiba dari belakang kami ada yang memanggil nama Emi. Ternyata geng toxic bajingannya itu. Ini yang sebenarnya gue malas, tapi ya biarin aja, gue nggak ada salah sama mereka. Jadi ya gue biasa-biasa aja bersikap. Harusnya kalau punya malu, mereka akan sungkan dengan gue.
“EMIII!” salah seorang dari mereka berteriak.
“Nggak betah kan ada mereka? Lo pulang aja.” bisik Emi.
Gue nggak melanjutkan obrolan kami karena Bimo, satu-satunya cowok di geng itu, menghampiri gue dan mengajak gue mengobrol. Dia sepertinya tau kalau gue nggak senang dengan kedatangan mereka. Tapi yaitu tadi, gue masih berusaha untuk biasa-biasa aja sama mereka, mengingat mereka adalah teman-teman terdekat Emi, yang udah menyakiti hati gue.
Gue pun berusaha untuk berbaur dengan mereka. Bayangkan aja, lo bergaul sama orang-orang yang jelas-jelas udah membuat lo sakit hati, itu gimana rasanya? Hahaha. Itu yang gue rasakan. Tapi demi Emi, yaudah gue berusaha untuk bersikap biasa aja. merekanya jadi yang nggak enak hati terhadap gue.
Bahasan-bahasan untuk basa basi pun banyak keluar dari mulut mereka dan gue tanggapi sekena gue aja. sikap gue pun nggak menunjukkan ketidaksukaan gue ke mereka. Gue tau awalnya Emi sangat khawatir dengan keberadaan teman-temannya yang satu tempat dengan gue akan membuat keributan kembali. Tapi gue masih bisa mengendalikan emosi gue kok. Jadi ya aman-aman aja.
Sampai sekitar jam 15.00 mereka akhirnya berpamitan untuk pulang. Sementara gue memilih untuk tetap menemani Emi. Emi masih bersikap acuh ke gue. Tapi ya sabar aja, namanya juga orang punya salah, dengan sikap Emi yang begini ya harus kuat.
Bapaknya Emi kemudian menyarankan Emi untuk pulang bareng gue. Awalnya dia menolak mentah-mentah, tapi karena kemudian ibunya juga menyarankan Emi untuk pulang, jadinya Emi pulang bareng gue.
Karena jalanan sangat macet, kebetulan jam pulang kerja, gue dan Emi akhirnya pulang ke kostan gue. Disana pun gue nggak henti-hentinya untuk meminta maaf atas konyolnya sikap gue.
--
Keuangan gue cukup mengkhawatirkan saat itu. Jadinya gue memutuskan untuk nggak melanjutkan kostan gue. Gue lebih memilih untuk balik kerumah saja. Hitung-hitung bisa hemat. Tapi konsekuensinya tentu saja gue akan menghabiskan lebih banyak waktu dijalan, entah itu naik mobil, motor, bis, ataupun KRL.
Pilihan terakhir sempat menjadi alternatif pilihan favorit gue. Karena selain cepat, murah juga. Tapi disana masih banyak terjadi aksi pencopetan, pelecehan dan tentunya drama-drama nggak penting diantara para penumpangnya. Masih banyak penumpang yang butuh edukasi mengenai empati saat itu.
Gue memutuskan untuk gantian aja menggunakan moda transportasinya. Kadang motor kadang KRL. Gue nggak memilih mobil karena keadaan ibukota yang nggak memungkinkan gue untuk membawa mobil. Kecuali kalau hujan atau gue akan meeting disuatu tempat.
Dinamika kantor gue pun semakin beragam. Dikantor yang sekarang gue banyak menerima jenis pekerjaan baru. Karena gue senang dengan tantangan, gue menerima beberapa pekerjaan tersebut. Konsekuensinya adalah waktu gue dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut jadi lebih lama.
Emi pun sudah mendapatkan kostan barunya. Dekat dengan kantor dia. Gue pun membantu dia pindahan, sekaligus menitipkan beberapa barang gue dikostan tersebut. Pada saat yang sama juga gue mengakhiri perjanjian kerjasama gue dengan bapak kostan gue.
Kostannya jauh lebih kecil dari kostan gue dulu. Emi memilih kamar ini karena memang yang tersisa hanya tinggal yang itu saja. Tanpa AC dan kamar mandinya bertipe shared-bathroom. Kostan Emi ini juga sama seperti gue dan umumnya kostan diwilayah ini, campur. Tapi ya nggak masalah juga karena semuanya sudah sama-sama tau jadi nggak ada yang usil satu sama lain.
Beberapa barang sudah mulai disusun walaupun belum rapi. Dikostan ini lebih banyak gue yang tinggal sebenarnya karena gue nggak harus selalu masuk kekantor. Jadi kadang gue tidur sampai siang, kemudian baru jalan ke kantor dan menghabiskan waktu sampai larut malam.
“Lumayan lah kamarnya. Semoga lo nggak claustrophobia ya karena tinggal dikamar sekecil ini. Hehe. Biasa kamarnya segede apaan, mendadak kecil begini. Ini bahkan lebih kecil dari kamar kosan lama lo, Mi.” kata gue.
“Ya namanya juga milih kamar yang harganya paling murah. Kalau mau lengkap semuanya dan lebih gede, harga sampai dua juta. Abis dikostan doang gaji gue dong, Zy?” sahut Emi.
“Yaudah, semoga lo nyaman ya. Baik juga bapaknya, lo kan bayar mulai Senin nanti masuknya. Eh Kamis begini lo udah dibolehin pindahan. Kan jadi enak gue udah bisa keluar kostan sebelum waktunya.”
“Iya. Mudah-mudahan beneran baik ya.” katanya sambil membuka laptop kecilnya.
“Zy, hari Minggu nanti ada event nih.” Dia kemudian berkata lagi.
“Terus?”
“Ada lomba karaoke-nya.”
“Terus?”
“Masih buka pendaftarannya sampe hari Jum’at besok.”
“Terus?”
“LO MAU IKUTAN NGGAK NYET??? LO JAWAB TERUS LAGI, GUE TELANJANG NIH!”
“WAH BAGUS DONG! TERUS TERUS TERUS?” kata gue dan langsung bangun dari posisi tidur gue.
“T*I!”
“Hahaha. Becanda sih. Udah lama gue nggak pernah lagi ke event di situ sih. Tapi…” gue menggantungkan kalimat.
“Tapi?”
“Gue nggak pernah ikutan lomba karaoke. Gue nggak pernah di atas panggung sendirian. Gue selalu sama band gue. Nggak pernah tuh bener-bener sendirian.” Pungkas gue.
“Terus kenapa?”
“Ya jiper anj*ng sendirian di atas panggung. Biasanya kan berlima, bahkan dulu manajer gue juga kadang ikut ke atas panggung.”
“Manajer lama lo? Siapa namanya? Lo nggak pernah cerita tentang manajer lama lo itu.”
“Ara.”
“Oh cewek ya. Nggak pernah nyangkut tuh lo sama dia? Kan biasanya paling manajer itu nyangkutnya sama vokalis loh. Jangan-jangan dia mantan lo lagi?”
Kebiasaan asumsi dari seorang Emi mulai lagi. Tapi kali ini nyerempet ke kebenaran sih. Hehe.
“Nggak pernah. Gue cuman klop aja sama dia. Gue nggak pernah pacaran sama dia. Udah, kenapa jadi bahas Ara sih? Elah.”
“Loh kok lo sewot sih? Kan gue cuman nanya doang. Heran. Jadi gimana? Mau ikutan nggak?”
“Boleh deh. Itung-itung balik ke event lagi dan refreshing sebelum lo mulai fokus kerja kan.”
“Oke deh. Gue hubungin panitianya ya.”
Disini gue seperti menemukan potensi lain dari Emi. Emi mau aja ngurusin gue untuk perkara lomba karaoke. Dan sekarang bahkan dia udah mencatat dan menghubungi panitia terkait dengan lomba tersebut. Ini mungkin aja peluangnya besar kalau nanti suatu saat gue mau ngeband lagi. Gue nggak usah susah-susah nyari manajer kan.
Emi kan punya kebiasaan untuk ngurusin urusan banyak orang. Baik itu urusan percintaan sampai dengan pertikaian antar teman dilingkarannya. Itulah sebabnya juga Emi dipanggil ibu peri dikampus. Karena dia selalu punya solusi terhadap segala permasalahan dan intrik yang terjadi. Dengan bakat dan kepedulian seperti ini, harusnya dia bisa beradaptasi didunia per-band-an. Masalahnya, emang siapa yang mau ngeband lagi sama gue? hahaha.
Diubah oleh yanagi92055 08-02-2020 18:35
itkgid dan 24 lainnya memberi reputasi
25